Maaf, ya, Pak Dokter, aku terdesak. Habisnya mau bagaimana lagi. Aku lebih takut Papa marah dibandingkan kamu yang marah.
"Siapa namanya, Tiara?" Papa bertanya dengan suara yang masih terdengar berat saat melirik lelaki yang kuakui sebagai calon suami. Aku tak buru-buru menjawab pertanyaan Papa, ingin melihat dulu bagaimana dokter bengis di sampingku berekspresi, ketika aku mengungkap di depan orang tuaku kalau dia adalah orang yang akan melamarku. Persis dengan apa yang dia katakan di depan Julia tadi.
Saat kulirik, terlihat Dokter Afzan jadi begitu salah tingkah sekarang. Ternyata … di depan orang tua bisa juga dia tak menunjukkan wajah bengisnya. Bahkan dia terlihat begitu kalem dengan raut wajah yang tak terlihat menyebalkan sama sekali. Manis juga ternyata.
Astaga! Pikiran macam apa ini, Tiara?
"Mas Afzan, Pa. Maksud Tiara … Dokter Afzan," terangku ragu-ragu seraya meremas ujung kaus lengan panjang yang kukenakan sore ini.
Wajah Papa tampak berbinar saat mungkin tahu lelaki yang kuakui sebagai calon suami adalah seorang dokter. Ya … mungkin kebanyakan orang tua di luar sana juga akan senang kalau tahu calon menantunya seorang dokter. Agaknya begitu juga dengan Papa.
"Kamu ... serius dengan anak saya?" Papa mulai menginterogasi Pak Dokter yang kali ini tampak begitu serba salah.
Dengan gugup Dokter Afzan melepas helm-nya. "Ma-maaf, Pak, soal ini, mungkin bisa dibicarakan lain waktu, ya, saya buru-buru. Adaa jadwal praktek setelah ini soalnya. Mari." Mas Afzan mengangguk ramah sebelum memakai kembali helm miliknya.
Papa mengangguk dengan kaku. Mungkin sedikit kecewa karena tak langsung mendapatkan jawaban pasti, tapi sepertinya beliau mencoba memahami profesi calon menantunya.
Hah? Calon mantu? Yang benar saja, Tiara!
"Ok, silakan."
Selepas memakai kembali helm-nya, dokter preman itu melesatkan motor dengan kecepatan cukup tinggi meninggalkanku yang berdiri kaku di depan Papa.
"Papa setuju kalau kamu memilih menikah muda, daripada cuma pacaran buang waktu. Nambah dosa juga." Papa mengulang lagi nasihat yang sama begitu Dokter Afzan menghilang dari pandangan.
Aku tertegun.
Wah … amazing! Papa tidak marah? Bahkan beliau terlihat begitu bersemangat saat mengatakan aku lebih baik menikah muda. Apa ini karena … yang kuakui sebagai calon suami adalah seorang dokter? Ah bodo amat lah. Yang terpenting Papa tak marah kali ini. Itu saja.
"Iya, Pa." Aku tersenyum kecut karena masih terbersit rasa bersalah pada Dokter Afzan karena aku seenaknya mengakui dirinya sebagai calon suami.
Saat memasuki ruang tamu, tatapan sinis ibu tiri yang telah memberiku dua adik tak kupedulikan. Aku langsung menuju kamar dan mengambil charger. Dari dulu, aku memang tak menyukai wanita yang Papa nikahi setahun setelah berpisah dengan istri pertamanya—ibu kandungku.
[Nin, kamu tadi nyimpen kartu nama Dokter Afzan ga?] Aku mengirim pesan pada sahabat baikku saat baterai ponsel masih dalam masa pengisian.
[Ada. Kenapa?]
[Tolong fotoin!]
[Buat apaan?] Aku mendengkus kasar membaca pesannya.
[Kepo, deh!]
Tak lama kemudian, Nindi mengirim foto kartu nama dokter 'begajulan' itu padaku.
Secepat kilat aku menyalin nomor kontak yang tertera pada kartu nama yang dikirim Nindi.
Percakapan teks dengan Nindi kuakhiri dan buru-buru menghubungi nomor kontak yang kusimpan tadi.
"Hallo." Suara bariton Dokter Afzan terdengar kaku di telinga saat kami tersambung melalui sambungan telepon.
"Ha-hallo, Dok," balasku tergagap.
"Ya, ada yang bisa dibantu?"
"Ini ini Tiara, Dok." Duh, kenapa jadi gugup begini, sih?
"Tiara?"
"Iya."
"Maaf Tiara siapa, ya?" Aku mendengkus pelan. Sopan juga dia kalau dengan orang yang tak dikenal.
"Tiara yang katamu alay dan kerempeng. Ish." Aku yang geram terpaksa mengingatkannya dengan merendahkan diri sendiri di hadapannya. Bukankah itu memuakkan?
"Oh … calon istri?" Sebuah tawa mengiringi pertanyaannya barusan.
Deg!
Ucapannya seketika membuatku terdiam dan mematung. Tanpa diminta, ada yang tiba-tiba terasa menghangat dalam hati. Kenapa rasanya berbeda saat dia menyebutku sebagai calon istri? Apa ada yang salah dengan diriku?
"Mas." Refleks aku memanggilnya dengan sebutan mas. Lagi, seperti saat hampir keluar dari kafe tadi, Dokter Afzan menertawakanku yang memanggilnya demikian.
Ya ampun. Kutepuk kepalaku pelan merasa tak seharusnya merendahkan diri untuk kesekian kali di hadapan lelaki angkuh sepertinya.
"Iya, Dede?" Tawa Dokter Afzan menggelegar pasca mengucap panggilan manis itu.
Hah! Apa? Panggilan manis? Apa kau menyukainya Tiara? Sontak aku menepuk kening seraya menyadarkan diri dari lamunan. Rasanya … aku terlalu banyak membaca n****+ komedi, jadi seperti inilah efeknya. Lawak.
"Maksudku Pak. Ish!" Aku buru-buru meralat ucapanku.
"Iya, kenapa, Nak?" Lagi, dia tertawa selepas memanggilku demikian. Heran, suka sekali dia tertawa. Apa tidak takut giginya kering? Atau mungkin … persediaan odolnya banyak?
"Aku lagi nggak pengen becanda, ya, Dok!" Aku mulai naik pitam karena sedari tadi terus ditertawakan.
"Iya, kenapa lagi lu? Mau minta dilamar?" tanyanya ketus dan sedikit terdengar serius.
Aku menggigit bibir bawah seraya berpikir. Mencerna pertanyaannya.
"Iya," balasku tegas tanpa menimbang-nimbang lagi.
"What? Lu serius, Lay?" Dari nada bicaranya Dokter Afzan seperti tak percaya dengan apa yang baru ia dengar.
"Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau kamu bakal ngelamar aku, waktu di depan Mbak Julia?" Aku mengingatkannya meski dengan hati berdebar.
"Elah. Lu nganggep omong kosong tadi itu serius? Lagian, ogah amat gue nikah sama anak bawang. Kayak nggak ada cewek bener aja buat gue nikahin."
Sontak mataku terbuka lebar mendengar penuturannya yang santai tapi menyakitkan.
"Apa?! Jadi kamu nganggep aku cewek nggak bener gitu?" tanyaku ketus, merasa sedikit tersinggung dengan ucapannya yang pedas setara bon cabe entah level berapa.
"Ya … seenggaknya yang gak alay kan masih banyak. Ngapain juga gue harus nikahin cewek alay?" Lagi, ucapannya yang santai dan ringan terasa menikam hingga ke jantung.
"Terserah, deh, Pak Tua!" Aku yang masygul menutup ponsel dengan perasan kesal.
Aku menarik napas dalam dan memegangi kepala dengan kedua tangan.
Apa yang terjadi denganku? Kenapa juga aku harus sakit hati kalau dokter bengis itu tak mau melamarku? Apa benar aku mulai menyukainya? Ah, tidak tidak. Yang benar saja! Sejak kapan seorang Tiara suka dengan seseorang yang usianya jauh di atasnya?
Aku yang tengah berdiam diri, merasakan sesak di d**a manakala kenangan buruk di masa lalu membayang di kepala.
Air mataku luruh saat mengingat nasibku yang tak seberuntung mereka yang memiliki orang tua lengkap dan tinggal bersama dalam satu atap.
Sejak Papa dan Mama bercerai 13 tahun yang lalu, hak asuh atas diriku memang jatuh ke tangan Papa. Mama yang kedapatan mengkhianati pernikahan dengan sebuah perselingkuhan dianggap tak layak mengurusku, anak semata wayang mereka.
Hanya sesekali aku berjumpa dengan Mama. Pun tak diperbolehkan terlalu lama, takut selingkuhan yang sekarang menikahi Mama berbuat yang tidak-tidak padaku. Papa cuma mengantisipasi. Katanya.
Dalam hal itu, aku memang sependapat dengan Papa. Aku memang membenci lelaki itu. Lelaki yang telah membuat kehidupan rumah tangga orang tuaku bercerai berai dan menjadikanku korban atas perpisahan mereka.
Dadaku tiba-tiba rasa terhimpit. Sejak berusia enam tahun, aku seperti kehilangan sosok ibu dalam hidupku. Dia yang seharusnya menjadi tempatku bersandar mengharap kasih sayang nyatanya kerap mengabaikanku. Ya, lelaki jahan*m itu penyebabnya. Orang yang telah membuat Mama terlena dan lalai akan tanggung jawab sebagai seorang ibu sekaligus istri.
***
Siang ini, selepas jam kuliah usai, aku yang tengah menunggu jemputan di depan pintu gerbang kampus, dibuat tersentak saat tiba-tiba ada panggilan masuk dari …?
Dokter Afzan?
Ragu-ragu aku mengangkat telepon darinya meski tak tahu harus memulai percakapan dari mana. Lagian, dia kan yang menelepon. Biarlah dia yang menyiapkan topiknya.
"Lay. Gue mau ketemu." Suara bariton milik dokter jangkung itu memenuhi rongga telinga saat telepon kami tersambung.
Aku membelalak.
What's? Ketemu? Mau apa dia? Adakah dia punya niat buruk?
"Enggak!" Aku membalas ketus panggilan lelaki menyebalkan yang kerap memanggilku dengan sebutan semaunya.
"Gue serius."
"Bodo amat!"
"Gue mau ngelamar lu."
"Me-la-mar?"
"Iya."
Astaga! Dia mau melamar? Serius? Bukan lagi sandiwara tipu-tipu?
Rasanya …. aku tidak mimpi yang aneh-aneh tadi malam. Pun waktu sarapan, rasanya juga aku tak salah makan. Lalu kenapa juga harus dapat kabar mengejutkan?