Permulaan

2417 Kata
Ini kali pertama mereka bertemu dan dalam waktu sebulan status mereka akan berubah menjadi suami-istri. Maka dari itu Kirana dan Satya diberi kesempatan untuk saling mengenal dan mendalami karakter masing-masing. Sesuai perintah dari Kanjeng ratu Astika, Kirana mengajak Satya ke lantai tiga. Bukan ruang keluarga, gadis itu malah membawa sang pria ke balkon yang bersisian dengan ruang olahraga. Udara di ruang terbuka berlantai kayu bengkirai itu terasa lebih dingin dari biasanya, sedingin interaksi mereka. Bahkan, hawa panas dari teh chamomile yang disuguhkan oleh Mbak Diah tidak mampu mencairkan kebekuan diantara keduanya. Hening. Jangankan untuk saling berbicara, berdekatan saja rasanya enggan. Kirana duduk di ayunan rotan yang ada di sisi kiri, sedangkan Satya berdiri di bagian depan balkon dengan tangan yang bertumpu pada pagar pembatas. Dari tempatnya, Kirana bisa melihat kepulan asap yang keluar dari mulut dan hidung Satya. Ini adalah batang kedua yang dihisap oleh pria bertubuh jangkung itu. Merasa Satya tidak berniat untuk berbicara, Kirana memutuskan untuk membuka ponsel dan memainkan game favoritnya untuk menghilangkan kebosanan. Samar-samar Satya dapat menangkap sebuah nada yang tak asing di rungunya. Dia menoleh sebentar ke arah asal suara, tampak wajah Kirana bersinar karena pantulan dari cahaya ponsel. Satya mengernyit, mencoba mengingat nada yang keluar dari ponsel gadis itu. Beberapa saat kemudian dia tertawa geli sambil menggeleng. "Tetris. Susun balok," gumamnya di sela tawa. Dia heran, saat yang lain menggilai game online seperti Mobile Legend, Free Fire.COC, dan PUBG, gadis itu malah memainkan permainan jadul. Menghisap dalam batang rokok yang tersisa sedikit sebelum mematikan baranya pada asbak yang ia letakkan di atas pagar. Sesaat kemudian kepulan asap ia loloskan dari hidung dan mulutnya. Satya membalikkan badan, menyandarkan punggungnya pada pagar kaca dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Matanya menatap lekat pada gadis yang sedang duduk di ayunan. Tidak munafik, dia mengakui jika gadis pilihan sang ibu sangat menarik. Good looking. Hanya saja usia Kirana terlalu muda menurutnya. Dia tidak yakin jika gadis itu bisa menjadi ibu yang baik untuk Belva dan Selva. Lagipula, membayangkan Kirana akan menjadi partner berkembang biaknya, membuat Satya merasa seperti seorang p*****l, dan yang lebih penting dia pasti akan menjadi bahan bully-an teman-temannya. “Benarkan gadis ini yang akan menjadi istriku? Apakah pilihan ibu tidak salah?” Satya membatin. Jauh di lubuk hatinya ada sedikit ketakutan untuk kembali membina rumah tangga. Pernikahannya kali ini bukan sekadar mencari pendamping hidup melainkan mencari ibu untuk anak-anaknya. Tidak seperti saat muda dulu, kali ini Satya tidak menetapkan kriteria tertentu, yang penting wanita itu bisa menyayangi si Kembar. Masalah hati itu bisa diatur. Ehem! Satya berdeham sedikit nyaring untuk menarik atensi gadis yang tengah fokus dengan ponselnya. "Saya nggak nyangka kalau Ibu lebih memilih bocah ingusan seperti kamu untuk jadi menantunya daripada wanita yang pernah menjalin hubungan dengan Saya," ujar Satya santai dengan tatapan mengejek. Jika Satya pikir Kirana akan diam saja saat diremehkan seperti itu dan bisa dengan mudah mempengaruhi si Gadis untuk menurutinya, maka jawabannya adalah salah. Ada dua hal yang tidak Kirana sukai. Pertama dikhianati dan yang kedua diremehkan. Tentu saja gadis itu akan membalas siapa saja yang melakukan dua hal tersebut. Terlebih, Kirana memiliki jiwa kompetitif yang mudah terpancing. Gadis itu mendongak dan menatap tajam pria yang bekerja di salah satu perusahaan konstruksi milik negara itu. Dada Kirana bergemuruh, ingin sekali memaki dan melontarkan sumpah serapah pada Satya. Namun, urung karena itu bukan gaya Kirana dalam membalas lawannya. Inhale … Exhale … Inhale … Exhale. Berulang kali dia melakukan itu untuk menormalkan nafas yang sempat terengah karena menahan amarah. Setelah mampu menguasai emosi yang hampir saja meledak, gadis itu bangkit, lalu dengan anggun dia berjalan menghampiri Satya yang sedang menatapnya penuh selidik. Kini, Kirana berdiri tepat di depan Satya. Kedua tangannya dilipat di atas perut. Dari jarak yang tidak lebih dari lima puluh sentimeter, Kirana dapat melihat dengan jelas wajah sang duda. Rahang tegas yang bersih dari rambut-rambut halus, bibir tipis, serta alis tebal yang menambah kesan tajam pada netranya. Tampan dan mempesona, sayangnya Kirana tidak sedikit pun menaruh rasa. “Dan gue lebih nggak nyangka bakal dijodohin sama duda bangkot kayak lo,” balas Kirana tak kalah santai. Gadis itu melupakan tata krama yang diajarkan orang tuanya. Tanpa rasa takut dia membalas tatapan tajam Satya yang tidak terima dengan kata-katanya yang sedikit kurang ajar. Kirana tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupanya jika menikah dengan pria kaku ini. Pasti membosankan dan penuh drama. Apalagi dengan cara bicara Satya yang formal, Kirana merasa seperti sedang berbicara dengan dosen pembimbingnya. Keberanian Kirana benar-benar diluar ekspektasi Satya. Penilaian terhadap gadis itu salah besar. Dia pikir Kirana adalah gadis kalem dan penurut. Ternyata apa yang ditampilkan Kirana beberapa jam yang lalu hanya sebuah kamuflase. “Kenapa nggak nolak waktu ibu menanyakan kesediaan kamu untuk menjadi menantunya?” Satya bertanya tanpa melepaskan tatapannya pada mata bulat Kirana. Salah satu sudut bibirnya terangkat, lalu dengan percaya diri pria itu kembali berkata, “Jangan bilang kalau kamu tiba-tiba berubah pikiran setelah melihat saya.” Gadis itu tertawa lirih seraya mengubah posisinya menjadi sejajar dengan Satya. Melirik sekilas pada pria yang masih setia menatapnya sebelum menghela nafas kasar. Apakah duda ini baru saja mengatakan jika Kirana terpesona padanya? Apa Satya pikir Kirana hanya berpangku tangan saat mengetahui rencana perjodohan konyol ini? Tentu saja tidak! Kirana sudah mencoba segala cara untuk menolak. Mulai dari bernegosiasi dengan sang papa, melakukan aksi mogok makan sebagai bentuk protes hingga berupaya untuk kabur. Namun, ada satu ide yang sempat ia pikirkan tapi urung dilakukan karena sadar tidak memiliki bekal yang cukup, terlebih jika ia mengingat dosa-dosanya. “Kalau disuruh milih antara nikah sama lo atau ditarik semua fasilitas, Gue bakalan milih yang kedua. Lebih baik dimiskinin Papa dari pada membuang masa muda gue untuk ngurus pria tua kayak lo. Sayangnya, Papa nggak ngasih gue pilihan lain,” papar Kirana. Dari ekor matanya, Kirana dapat melihat wajah kesal Satya. Mata mendelik dan rahang mengetat. Ah, satu lagi … sepertinya telinga pria itu akan memerah jika sedang marah. Bukannya takut, Kirana malah mengulum bibir guna menahan tawanya. Tidak perlu memaki dan berteriak-teriak untuk membalas sang lawan. "Kena lo!" Batin Kirana senang. Baru saja ingin membalas, tetapi Satya kalah cepat dari Kirana. “Kenapa? Lo nggak terima dikatain tua? Kan itu fakta,” ujar gadis itu sarkas menatap pria di samping kanannya. Kemudian dia kembali mengubah posisi menghadap Satya dengan tangan yang masih bersedekap. “Gini, ya … sekarang umur lo udah tiga lima, sepuluh tahun kedepan udah mendekati setengah abad, udah sepuh, bau tanah istilahnya. Sedangkan gue baru tiga satu.” Kalkulasi Kirana benar-benar menyentil ego Satya. Gadis itu sangat pintar mempermainkan emosinya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perhitungan Kirana, tetapi tetap saja Satya tidak terima. Dia merasa tidak setua itu meski usianya mendekati kepala empat. Wajah tampan dan tubuh atletis, membuatnya percaya diri jika harus bersaing dengan pemuda seusia gadis itu. “Kenapa lo juga nggak nolak? Lo kan udah tua, masa masih mau dijodoh-jodohin. Nggak laku, lo?” cerca Kirana lagi. Tiba-tiba gadis itu memicingkan mata dengan telunjuk kanan diarahkan pada Satya. “Jangan-jangan lo jadi setuju setelah ngeliat gue," lanjut Kirana mengembalikan kata-kata Satya. Satya mengumpat dalam hati. Ternyata berhadapan dengan Kirana tidak semudah yang dibayangkan. Sepertinya dia salah memilih lawan debat. Satya berbalik. Kini posisi keduanya saling berhadapan dengan salah satu sisi tubuh masih menempel pada pagar. “Jangan terlalu percaya diri, Bocah! Kamu pikir saya tertarik dan tergoda sama gadis kecil seperti kamu,” sangkalnya tegas. Satya menyeringai, lalu mengikis jarak yang tersisa. Dengan sedikit membungkuk dia mendekatkan wajah pada telinga kanan Kirana, kemudian berbisik, “Saya yakin ukuranya tidak sebesar genggaman tangan saya. Sekedar informasi, saya menyukai yang ukurannya pas di genggaman saya.” Mata Kirana melebar sempurna saat mendengar pernyataan vulgar Satya. Namun, dia segera menormalkan mimik wajahnya saat Satya menegakkan tubuh dan mundur beberapa langkah. Senyum licik kini terbit di wajah Kirana. Sepertinya dia perlu melakukan sesuatu yang sedikit berani untuk membalas penghinaan itu. Satya menaikkan sebelah alisnya saat Kirana mendekat dan menatapnya dengan tatapan menggoda. Aksi Kirana selanjutnya sukses membuat sang duda membatu. Bagaimana tidak, gadis itu tiba-tiba mengalungkan kedua tangannya pada leher Satya dengan tubuh yang saling menempel tanpa jarak. Bahkan, dia bisa merasakan embusan nafas Kirana di batang lehernya. “Benarkah?” tanya Kirana dengan suara lembut yang menggelitik gendang telinga Satya. Kirana sengaja menempelkan tubuhnya pada Satya, agar pria itu bisa merasakan ukuran dari dua aset kembar kebanggaannya. Liar? Biar saja, Kirana tidak peduli. Dia harus membuktikan jika dua benda kenyal miliknya tidak sekecil yang dipikirkan Satya. Jangan tanya dari mana gadis itu belajar cara menggoda pria. Tidak lupa kan jika Kirana and the genk adalah clubbers. Hal-hal seperti ini sering dia lihat di klub-klub malam dan tentu saja berdasarkan ilmu yang sering diajarkan sahabat mesumnya. Siapa lagi kalau bukan Monika. Sebagai pria dewasa yang normal, tentu saja jiwa lelaki Satya mulai terpancing. Dia berusaha menutupi itu dengan memasang wajah datar seolah-olah tidak tergoda. Sayangnya, jakun dan detak jantung pria itu tidak bisa diajak bekerjasama. Kirana melihat dengan jelas jika tonjolan pada leher Satya bergerak naik-turun dan juga bisa merasakan debaran jantung pria yang wajahnya mulai memerah itu. “Yakin nggak tertarik?” tanya Kirana setengah berbisik, jangan lupakan ekspresi sensual yang dia tampilkan. Gadis itu semakin berani. Telunjuk kanannya bergerak seringan kapas menyusuri rahang, bibir hingga leher pria yang tatapannya berubah sayu. Telunjuk itu semakin turun dan bergerak nakal membentuk pola abstrak di d**a bidang Satya. "Bukannya pria matang seperti Om lebih menyukai gadis belia untuk dijadikan penghangat ranjang?" "Lebih sempit dan menggigit," bisiknya dengan bibir yang nyaris menempel pada leher Satya. Dia pun meniup pelan area tersebut, membuat si empunya mati-matian menahan erangan. Tanpa sadar Satya memejamkan mata saat Kirana berjinjit dan mendekatkan bibir mereka. Bayangan akan merasakan manisnya bibir glossy si gadis belia itu sirna ketika rungunya menangkap suara kikikan Kirana. Shit! umpatnya dalam hati. “See! Baru gitu aja lo sudah kepancing,” Kirana tersenyum pongah. "Nggak usah munafik. Cuma kucing nggak normal yang nolak daging segar. " Kirana memberi jarak. Entah karena malu atau marah, tapi wajah Satya yang merah padam membuat Kirana mati-matian menahan tawa. Kirana berlalu meninggalkan Satya yang masih membatu. Diambilnya ponsel yang ada di ayunan, kemudian berjalan masuk ke rumah berniat bergabung dengan keluarga di lantai bawah. Saat menuruni anak tangga, pikiran Kirana kembali pada kejadian beberapa menit lalu. Dia sedikit tidak percaya dengan tindakan spontanitasnya tadi. Sedangkan Satya sibuk merutuki kebodohannya. Pria itu mengusap kasar wajahnya, menyugar rambut lalu memejamkan mata dan menarik nafas dalam. "Bodoh!" makinya pada diri sendiri. Dia bukan pria yang mudah terpancing hasratnya hanya dengan tindakan receh seperti tadi. Namun, apa yang terjadi tadi? Gadis ingusan itu dengan mudah mengobrak-abrik pertahanannya. Satya seperti tidak mengenali dirinya sendiri. *** "Loh, kok, udah turun? Satya-nya mana?" tanya Astika sedikit kaget melihat Kirana turun seorang diri. Kedua keluarga masih berkumpul di ruang tengah. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi saat menuruni tangga tadi Kirana mendengar suara tawa mereka. "Masih di atas. Katanya ngabisin rokok sebatang dulu," bohongnya. "Ditemenin, dong. Masa ditinggal sendirian." Lagi si Nyonya besar bersuara memrotes tindakan sang anak "Ki haus, Mah." Gadis itu beralasan. Padahal teh yang disuguhkan tadi saja masih utuh. Beberapa saat kemudian terdengar derap langkah seseorang, lalu Satya muncul dengan senyum ramahnya. Kirana melirik sekilas pria itu sembari tersenyum jahil. Sebenarnya dia ingin tertawa karena mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. "Jangan ngerokok terus, Sat!" titah Bu Risma membuat sang putra yang baru saja duduk terkejut. Pria itu langsung menatap Kirana tajam. Namun, gadis itu hanya mengedikkan bahu tak acuh. "Dingin, Bu." Satya tidak berbohong. Suhu di Malang lebih rendah dibandingkan dengan Surabaya. Terlebih saat malam hari. Obrolan mereka berlanjut membahas hal-hal random. Hingga tiba saatnya keluarga Satya berpamitan. **** "Gimana, Dek?" tanya Astika saat memasuki kamar putrinya. Kirana yang sedang mengaplikasikan krim malam menoleh, menatap sang mama dengan tatapan penuh tanya. Astika berdecak kesal karena Kirana tak peka dengan maksudnya. "Itu, Mas Satya. Ganteng, kan?" "Ooh …." Kirana kembali melanjutkan kegiatannya. "Biasa aja." Astika dibuat melongo dengan jawaban Kirana. Bagaimana mungkin pria setampan Satya dibilang biasa. Jika dia jadi Kirana, dia pasti tidak akan menolak. Rupawan, mapan dan sopan, benar-benar idaman. Kirana sudah menyelesaikan rutinitasnya. Dia mengernyit saat melihat Astika sudah berbaring di kasurnya. "Mama ngapain?" "Tidur lah!" "Ck! Maksudnya kenapa di sini?" "Pengen aja. Kan udah lama kita nggak pillow talk." “Nggak!” tolak Kirana sembari bertolak pinggang di sisi tempat tidur yang di tiduri Astika. Gadis itu menyibak selimut yang menutupi tubuh sang mama. “keluar!” Kirana menarik tangan Astika agar wanita itu bangkit. “Apaan, sih, Dek. Mama mau temani kamu tidur,” protes Astika. “Emangnya Ki bocah, tidur pake ditemenin. Keluar Ma ….” Bukannya bangkit dan pergi, Astika kembali merebahkan tubuhnya dengan posisi membelakangi Kirana. “Mama …,” rengeknya. Kali ini gadis itu berusaha keras mendudukkan mamanya, begitu pula dengan Astika yang menahan tubuhnya untuk tetap berbaring. Kirana semakin dibuat jengkel dengan ulah mamanya. Dia tidak menyerah. “Mama …. balik ke kamarnya Pak Danu, ih!” Kirana kembali merengek dengan suara tertahan karena berusaha mengangkat punggung sang mama agar menjauh dari tempat tidurnya. “Nggak mau, Ki,” balas Astika tak mau kalah sambil menahan tubuhnya agar tetap berbaring. Pintu kamar yang terbuka lebar membuat keributan di kamar bernuansa biru tersebut terdengar hingga ruangan di seberangnya, kamar Danu. Pak Danu berdiri di tengah pintu dengan kedua tangan dipinggang. Dia tercengang melihat adegan di depan sana. “Apa-apaan kalian ini?” Suara tegas pria itu berhasil menghentikan pertarungan antara ibu dan anak itu. “Mama nih, Pah, nggak mau keluar dari kamar Ki,” adu Kirana pada pria yang sudah berada di hadapannya. “Mama cuma mau nemenin dia tidur,” kilah Astika. “Ki, udah besar, Ma!” “Bagi Mama kamu masih kecil. “ “Kalau gitu Ki nggak perlu nikah sama Om Satya, Kan Ki masih kecil.” Skak Mat! “Ya, nggak bisa gitu, dong!” Astika masih berusaha mendebat. “Ka—” “Sudah … Sudah!” ujar Danu tegas memotong ucapan Kirana. Kepalanya terasa mau pecah mendengarkan perdebatan dua wanita beda generasi ini. “Kembali ke kamar, Ma!” titahnya membuat sang istri cemberut. “Balik sana!” usir Kirana, mendorong pelan tubuh mamanya. “Ki!” tegur Danu segera saat melihat kelakuan putrinya “Kualat, baru tau!” ancam Mamanya. “Mah!” Danu memberi kode dengan matanya agar sang istri keluar dari ruangan pribadi putri mereka. Pria itu ikut keluar. “Semangat lembur, Ma. Biar Ki cepat dapat adek bayi,” ujar Kirana sebelum menutup pintu kamar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN