Hai, Duda

1729 Kata
Kesibukan sudah terlihat sejak pagi tadi, terutama di bagian dapur. Dibantu Mak Sum dan Mba Dia, nyonya keluarga Nugraha itu sibuk membuat beberapa menu makanan. Sedangkan istri Bima sedang membuat puding dan kue untuk hidangan penutup sekaligus buah tangan. Dari pada memesan katering, Astika lebih suka menjamu tamu-tamunya dengan masakan sendiri. Apalagi ia memiliki menantu yang ahli membuat aneka kue dan puding. Jangan tanya di mana Kirana, karena sejak pembicaraan semalam ia lebih banyak mengurung diri di kamar. Biasanya dia paling bersemangat jika ada acara masak-memasak. Matahari sudah mulai terbenam. Semua persiapan untuk menyambut keluarga calon besan sudah selesai. Sekarang mereka sibuk mempersiapkan diri. "Dek." Panggilan Astika diiringi suara ketukan pintu. "Dek, buka pintunya." Pintu baru terbuka dipanggilan ketiga. Astika tersenyum miris melihat raut wajah sendu putrinya. Ia sebenarnya tak rela, tetapi mau bagaimana lagi, anak bungsunya ini sudah melewati batas yang keluarga tetapkan. Terkadang dia meringis ngilu saat melihat banyaknya tindikan di telinga Kirana. Empat di kiri dan tiga di kanan. Belum lagi di cuping hidung sebelah kanan. Benar kata suaminya tidak menutup kemungkinan Kirana suatu saat akan melukis tubuhnya dengan jarum dan zat pewarna. "Kok, belum siap-siap?" tanya Astika. Kirana masih menggunakan celana running pendek dengan tanktop. Kirana hanya berlalu begitu saja, lalu kembali bertelungkup di kasur. Astika mengikuti langkah putrinya dan duduk di tepi ranjang. Menepuk-nepuk manja b****g Kirana seperti bayi. "Siap-siap, yuk. Bentar lagi magrib." Tak ada tanggapan. "Dek …." "Mah, harus benget ya, aku nikah sama om Satya?" "Mas Satya, Dek," koreksi Astika. Kirana berdecak kesal. "Iya … iya … Mas Satya." "Harus dibiasakan. Lagi pula dia nggak setua yang kamu pikir. Memang, sih, lebih tua dia dua tahun dari Mas Bima. Tapi … mukanya awet muda, ganteng pula." "Tapi tetap aja tua. Apalagi dia punya anak cewek sudah remaja, dua pula." "Mama juga waktu nikah, papa sudah umur tiga puluh tujuh dan mas Bima sudah remaja," kata Astika. "Tapi, kan, Mah—" "Sudah … sudah, nggak usah tapi-tapian. Sekarang cepat siap-siap. Dandan yang cantik." Astika menepuk pelan pipi putrinya kemudian beranjak meninggalkan ruangan itu. Kirana bangkit, duduk di tengah tempat tidur. Dengan langkah malas, Kirana berjalan menuju kamar mandi. Setelah lima belas menit, Kirana keluar dengan menggunakan bathrobe biru muda dan lilitan handuk di kepala. Ia berdiri di depan lemari besar, bertolak pinggang, menatap deretan gaun yang berjejer rapi, dari yang pendek hingga panjang. Pilihan Kirana jatuh pada off shoulder midi dress berwarna hitam. Gaun sifon dengan model A-line dan tali spageti di bahu. Masih dengan lilitan handuk di kepala, Kirana duduk di depan meja rias. Tangannya begitu lihai menggunakan peralatan make-up. Kirana menatap pantulan diri di cermin setelah mengoleskan lipstik glossy berwarna peach. Tersenyum bangga melihat hasil karya jemari lentiknya. "Kayaknya gue harus bilang makasih, nih, sama Febi," ucapnya sambil menyapukan kuas blush-on. Berkat Febi, Kirana memiliki keahlian berdandan yang tak kalah dari para beauty vlogger. Gadis bertubuh mungil itu kerap mengajaknya mengikuti kelas kecantikan yang diadakan oleh brand-brand ternama. Kirana menghela nafas panjang sambil menutup mata. Tiba-tiba saja jantungnya berdebar tak karuan. Ia beranjak dari meja rias, kemudian berdiri di depan standing mirror. Menatap secara keseluruhan penampilannya malam ini. Dering ponsel menghentikan pergerakan tangan Kirana yang akan memutar knop pintu. Gadis itu berbalik, mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. "Apa!" "Yaelah, judes amat, sih, Bu. Ntar cakepnya kurang, loh," kata Monik menggoda sahabatnya. "Bu … Bu … gue bukan Ibu lo," kata Kirana kesal. "Kan lo calon ibu dari dua anak." Ucapan Monik dibalas dengan tatapan membunuh dari Kirana. "Kalau niat lo video call cuma mau ngejek gue, mending nggak usah." Monik memasang raut sedih. "Astaga. Gue nggak sejahat itu, Ki. Kenapa, sih, lo selalu berburuk sangka sama gue," katanya mendramatisasi. "Dek, udah belum?" Suara Astika menginterupsi pembicaraan mereka. "Bentar, Ma," jawab Kirana. "Hai, Tante, apa kabar?" sapa Monik saat wajah Astika muncul di layar ponselnya. "Hai, Mon. Alhamdulillah, sehat." "Dengar-dengar mau ada perhelatan akbar, nih, Tan." Kirana kembali mendelik saat mendengar ucapan Monik, sedangkan gadis di seberang sana hanya menanggapinya dengan cengiran. "Iya. Nanti datang, ya. Ajak Febi sama Laura juga. Tante udah siapkan seragam Bridesmaids buat kalian." Kirana terkejut, spontan ia menoleh menatap mamanya. Berarti pernikahan ini memang sudah direncanakan sebelum ia pulang. Berbeda dengan Kirana yang tampak terkejut. Monik menanggapi ucapan Astika dengan bersorak riang. "Pasti, dong, Tan. Kita kan pengen menyaksikan hari bahagia Kirana." "Gue matiin. Tamunya udah dateng." Tut! Kirana tidak peduli dengan teguran dari mamanya karena memutuskan sambungan video call begitu saja tanpa mengucapkan salam. Kirana dan Astika turun ke lantai bawah dengan tangan yang saling bertaut. Dari jarak lima meter, netra Kirana melihat ada lima orang asing yang sedang duduk di ruang tengah bersama Papa dan mas-nya. Gadis itu berjalan perlahan sambil memindai dua pria seumuran Bima. Dia berusaha menebak siapa dari dua pria tersebut yang merupakan calon suami pilihan orang tuanya. Yang kemeja navy atau yang pakai batik? Yang navy cakep, sih, tapi tatapan matanya bikin merinding. Kalau yang batik keliatan berwibawa dan kalem. Ah, tapi baju dia serasi sama mbak-mbak di sebelahnya. Pasti mereka suami-istri. Artinya calon gue yang … astaga! Bisa mati beku kalau punya laki kayak salju di gunung Jayawijaya. Kirana berharap bukan pria itu yang jadi calon suaminya. Semoga masih ada seorang pria dari pihak tamu yang belum hadir di ruangan ini. Asik dengan pikirannya, gadis itu tidak sadar jika jarak dengan sofa hanya tinggal beberapa langkah lagi. Ia tersadar saat Astika berbisik, "Rileks, Dek." Genggaman tangan Astika terlepas, dan berpindah pada bahu putrinya. Dengan ramah wanita yang malam ini mengenakan terusan batik memperkenalkan Kirana pada tamu sesaat setelah mereka berdiri di sisi meja. "Kenalin, Mas, Mba, ini Kirana, putri bungsu dan cucu perempuan satu-satunya di keluarga Nugraha." Seorang wanita seumuran sang papa langsung berdiri sambil tersenyum sumringah Kirana maju beberapa langkah, mendekat pada nyonya besar keluarga Prawira lalu mencium punggung tangannya. Mata tua wanita bernama Risma itu berbinar menatap Kirana. Senyuman di wajahnya belum juga surut sejak kemunculan Kirana dari balik partisi. "Ayune calon mantuku." Pujian tersebut dibarengi dengan usapan lembut pada pipi kanan Kirana. Kemudian Risma mencium kedua pipi dan kening gadis itu setelah membuat gadis itu sedikit menunduk. "Oalah, nganti mberebes mili saking senenge ketemu calon mantu," ujarnya sambil mengusap sudut mata yang berair, membuat Kirana dan Astika tersenyum haru. Kirana beralih pada Surya Prawira. Ia juga melakukan hal yang sama, mencium punggung tangan pria itu dan di balas dengan usapan lembut pada pucuk kepalanya. Kemudian, memperkenalkan diri dan bersalaman dengan pasangan suami istri, Desti dan Dandi. "Tuh, bener kan, yang ini namanya Om Satya." Batin Kirana kembali bersuara saat berhadapan dengan pria berkemeja navy. "Satya." "Kirana." Keduanya merasa seperti ada aliran listrik yang menyengat saat saling berjabat tangan. Namun, mereka berusaha untuk tetap tenang. Satya menatap lekat gadis di hadapannya. Suara lembut dan senyum Kirana membuat darahnya berdesir dan jantungnya berdetak tidak normal. "Sial. Kenapa bocah ini bisa membuatku gugup," batinnya. Tautan tangan keduanya belum terlepas, dengan mata yang saling menatap dalam. Mencoba mencari sesuatu dari bola mata masing-masing. Hingga … "Ekhem!" Dehaman Desti membuat tautan tangan itu terlepas. Keduanya tersenyum canggung. "Jangan terlalu dalam natapnya, nanti khilaf," goda wanita itu yang disambut dengan tawa oleh anggota keluarga lain. "Sabar, Mas Satya. Bulan depan udah halal." Kali ini Dandi, suami Dasti ikut menimpali membuat keduanya semakin salah tingkah. "Sudah hampir jam delapan," ujar Danu sambil melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Mari kita makan malam dulu, nanti lanjut lagi ngobrol-ngobrolnya." Mereka sudah pindah ke meja makan. Kedua keluarga duduk saling berhadapan, berdampingan dengan pasangan masing-masing. Selama makan malam berlangsung, pandangan Satya tak lepas dari Kirana yang duduk di hadapannya, mencoba menilai gadis pilihan orang tuanya. Untuk sementara dia menyimpulkan jika Kirana adalah gadis anggun, kalem dan penurut. Dia mulai memikirkan cara untuk mempengaruhi gadis itu agar mau membatalkan perjodohan konyol ini. Bohong jika Satya tidak tertarik dengan Kirana. Dia pria normal, tentu saja penampilan fisik menjadi hal pertama yang diperhatikan dari seorang wanita, dan Kirana memenuhi kriterianya. Dia juga mengakui jika gadis belia itu memiliki tubuh yang indah. Apalagi belahan d**a yang sejak bersalaman tadi mengganggu penglihatannya, bisa ia pastikan jika dua gundukan itu original, tanpa tambahan implan. Tidak hanya itu, leher jenjang dan tengkuk Kirana yang dilihatnya saat menyematkan kalung sebelum makan malam, cukup membuat nafasnya terasa berat. Namun, Slseindah dan semenarik apapun calon istrinya, Satya tetap tidak bisa menerima perjodohan ini. Apa kata teman-temannya jika ia menikah dengan gadis yang usianya jauh dibawahnya. Selain itu, dia juga meragukan kemampuan Kirana dalam mengurus dua buah hatinya yang saat ini berusia remaja. Merasa diperhatikan, Kirana yang sedang menikmati hidangan penutup mendongak, membuat tatapan mereka bersirobok. Daripada tertunduk dengan wajah tersipu seperti kebanyakan gadis, Kirana malah menantang tatapan Satya. Dia bukan gadis yang mudah terintimidasi atau baper saat ditatap secara intensif oleh pria tampan. Kirana memperhatikan wajah calon suaminya. Sorot mata tajam, hidung mancung, kulit yang tidak terlalu putih, rahang tegas dan bibir tipis yang sedikit gelap. Sepertinya Satya penikmat nikotin. Senggolan dari kakak iparnya membuat Kirana menoleh. "Mba tau Mas Satya ganteng, tapi perhatikan dulu orang tua bicara. Ntar aja tatap-tatapannya kalau sudah resmi," bisik istri Bima menggoda Kirana. Kirana berdecak. "Apaan, sih, Mba." "Kirana, mau minta mahar apa?" Pertanyaan dari Pak Surya cukup membuat Kirana gelagapan "Mahar?" batin Kirana sedikit terkejut. Tidak menyangka jika pembahasan akan sejauh ini. Ia pikir sekadar perkenalan saja. "Ki, terserah Mama aja, Pak," jawab Kirana seadanya. Ia bingung mau minta mahar apa, hal seperti ini belum pernah ia pikirkan. "Loh, kok, terserah mama, sih,” ujar Astika sebari tersenyum dan menatap calon besannya. "Bilang aja, nduk. Kami usahakan untuk menyanggupi." Suara lembut Bu Risma ikut menimpali. "Ya, Ki. Ndak usah sungkan. Mas-mu ini duite akeh." Perkataan Desti mengundang tawa. "Emm …," Kirana berpikir sejenak sembari melirik sang mama. "Ki terima apa aja yang dikasih sama Om … eh, Mas Satya," putusnya sambil menatap pria yang masih betah menatapnya. "Ya sudah, kalau begitu nanti kami bicarakan lagi sama Mas-mu, ya, Nduk. Kami usahakan untuk kasih yang terbaik," kata Bu Risma lembut. Kirana hanya mengangguk canggung. Obrolan para orang tua terus berlanjut saat mereka kembali duduk di ruang keluarga. Kirana tidak begitu memperhatikan. Dia sibuk menilai si calon suaminya. Gerak-gerik, cara bicara bahkan hal kecil yang dilakukan pria itu tidak luput dari perhatiannya. Tatapan intimidasi yang Satya layangkan cukup menjadi tanda jika pria itu tidak menyetujui perjodohan ini. Maka dari itu, Kirana harus mengenali lawannya. Dia harus segera memikirkan cara untuk menghadapi pria yang akan menjadi suaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN