"Ibu yakin dengan pilihan Ibu? Bukankah Kirana terlalu muda?" tanya Satya pada wanita yang duduk di sofa panjang ruang keluarga.
Dia baru saja pulang dari kantor dan langsung menuju kediaman orang tuanya untuk makan malam sekaligus membicarakan rencana pernikahan.
"Apa pilihanmu dulu benar?" sindir Risma tanpa menghentikan aktivitasnya melihat beberapa sampel kartu undangan. "Ibu punya pertimbangan sendiri sebelum meminta Kirana pada orang tuanya.
Kirana menyerahkan semua urusan pernikahan kepada Mama dan calon ibu mertuanya. Bukan tidak ingin terlibat, hanya saja dia terlalu pusing dengan banyaknya hal yang harus diurus. Mungkin akan lebih mudah jika sudah memiliki konsep pernikahan impian, sayangnya gadis itu belum memiliki bayangan untuk hal tersebut.
Bahkan, gambaran pernikahan yang ada di n****+ karyanya adalah hasil dari imajinasi Laura, Feby dan Monik. Baginya usia dua puluhan adalah waktu untuk bersenang-senang. Mewujudkan semua impian yang tertunda karena kewajibannya menyelesaikan pendidikan.
“Kegagalanmu dulu karena ndak nurut omongan orang tua dan kamu mau mengulanginya lagi dengan wanita yang kamu kenalkan waktu itu?” Wanita paruh baya itu mengingatkan. Suaranya terdengar ketus. Dia selalu begitu setiap kali membahas masalah wanita yang dekat dengan putranya.
“Amanda berbeda, Bu," kilah Satya.
“Pernah menjadi simpanan pejabat dan melakukan aborsi saat masih SMA. Setahun yang lalu dia baru saja menyelesaikan pernikahan kontrak dengan seorang petinggi perusahaan batu bara di Kalimantan. Koreksi jika Ibu salah.”
Satya terlihat sangat terkejut. Tidak menyangka jika sang ibu mengetahui fakta yang bahkan baru diketahui setelah dua bulan menjalin hubungan dengan wanita itu. Bukan Amanda yang bercerita, melainkan temannya yang bekerja di pulau terbesar Indonesia itu.
“Bahkan dia lebih parah dari mantan istrimu.”
“Ibu yakin mau menjadikan gadis yang suka ke diskotik itu sebagai menantu?” Jika Ibunya mempermasalahkan masa lalu Amanda, maka dia akan membongkar kebiasaan Kirana. Dua hari lalu dia bekerja keras menyelidiki gadis itu.
Risma tersenyum sumir, memindahkan tumpukan kartu undangan yang ada di pangkuannya ke atas meja. Kemudian kembali menyandarkan tubuh pada punggung kursi. Menatap putranya dengan tatapan meremehkan.
Ibu Satya itu tidak terkejut karena sejak awal orang tua Kirana sudah menjelaskan apapun mengenai gadis itu tanpa ada yang ditutupi. Begitu pun dengan Risma dan Surya, tetapi ada sesuatu yang Risma sembunyikan, bahkan suaminya saja tidak tahu mengenai hal tersebut.
“Setidaknya dia bukan gadis yang rela melebarkan paha untuk pria yang hanya berstatus sebagai kekasihnya apalagi sekedar teman berbagi keringat,” tandas Risma.
Satya kembali dibuat tercengang. Bahkan kali ini wajah pria itu berubah tegang. Sebenarnya sebanyak apa dan dari mana sang ibu tahu mengenai hal-hal yang selama ini berusaha dirinya sembunyikan.
“Kaget?” tanyanya pada Satya yang masih diam menatapnya tak percaya. “Diam di rumah bukan berarti Ibu miskin informasi. Jadi, jangan kira Ibu ndak tau kelakuan kotormu selama ini.”
Jangankan untuk membalas, menatap ibunya saja Satya tak mampu. Dia menunduk dalam, menyembunyikan wajah mulai terasa panas. Dia benar-benar kehilangan muka di hadapan Ibunya.
“Ibu harap kamu ndak lupa kalau punya dua orang anak perempuan.”
Satya mengangkat wajah. Dia merasa tertampar dengan perkataan ibunya. Selama ini dia terlalu menikmati kebebasannya tanpa mengingat jika ada dua orang gadis remaja yang berpotensi mendapat balasan atas perbuatannya.
“Kalau kamu menolak Kirana dan lebih memilih wanita itu … silahkan. Ibu bisa batalkan pernikahan ini. Tapi ingat! Bukan hanya hidupmu, tapi hidup Belva dan Selva juga menjadi taruhan jika kamu salah pilih lagi. Jadi, pikirkan baik-baik.”
Risma beranjak menuju kamarnya. Berdebat dengan Satya tidak akan ada habisnya. Putra semata wayangnya itu tidak berubah. Tetap keras kepala.
Satya mengusap wajahnya kasar, lalu menghempaskan punggung pada sandaran sofa. Matanya terpejam dan sebelah tangannya bergerak memijat pangkal hidung untuk meredakan nyeri yang tiba-tiba menyerang kepala. Benar kata ibunya, kali ini dia juga mempertaruhkan hidup anak-anaknya.
Pikirannya melayang pada kejadian empat belas tahun yang lalu. Andai dulu dia menurut pada sang ibu, mungkin hidupnya tidak akan serumit ini. Sayangnya, penyesalan tidak bisa mengubah apapun.
***
"Dia bukan wanita baik." Risma mengutarakan penilaian saat Satya baru kembali setelah mengantar pulang gadis yang selama enam bulan ini menjadi kekasihnya.
"Ibu belum mengenalnya," bela Satya tak terima.
"Meragukan penilaian Ibu?" Risma tidak menghentikan aktivitasnya, mengoreksi tugas para siswa.
“Setuju atau ndak … aku tetap menikahinya.”
Jawaban Satya tidak membuat Risma terkejut. Putranya sedang dibutakan cinta, jadi menasihatinya adalah hal yang sia-sia.
"Baiklah ….” Bukan Risma melainkan sang kepala keluarga yang sejak tadi hanya menjadi pendengar perdebatan anak dan istrinya.
“Lakukan apapun yang kamu yakini, tapi jangan libatkan kami. Kamu tahu konsekuensinya, 'kan?" Tidak ada gunanya menahan Satya dengan segala kemauannya.
Keras kepala.
"Baik."
Pria itu berlalu ke kamarnya. Mengemasi beberapa baju dan barang penting lainnya. Inilah konsekuensi yang harus diterima jika mempertahankan Sinta, kekasihnya.
Satya keluar dari kamar dengan membawa sebuah koper besar dan ransel. Melenggang tanpa beban melewati ruang keluarga tanpa berniat pamit pada orang tuanya. Hingga perkataan Risma sukses membuat kakinya terpaku tak bisa melangkah.
"Tinggalkan semua fasilitas yang kamu dapat dari kami. Bawa apa yang kamu beli dengan uangmu," titah Risma dengan suara tegas.
Sejak awal Risma dan Surya sudah mewanti-wanti agar Satya mengakhiri hubungannya dengan Sinta. Bukannya menurut, Satya malah merencanakan pemberontakan ini. Dia yakin sang ibu tidak akan membiarkan dia pergi dan berakhir dengan menurutinya seperti biasa. Namun, yang terjadi benar-benar di luar ekspektasinya.
Satya ingin protes, tetapi sang ibu lebih dulu bersuara tanpa menatap pria dua puluh satu tahun itu. "Jika dia tulus, dia akan setia menemanimu merintis dari nol.”
Satya menatap tajam dua orang yang telah membesarkannya. Nafas pria muda itu memburu dengan kedua tangan yang mengepal kuat. Dia marah, kenapa mereka tidak mengerti perasaannya.
Dengan berat hati, pria yang baru dua bulan bekerja di salah satu perusahaan konstruksi itu meletakkan kunci mobil di meja, mengeluarkan kartu ATM dari dompet kemudian melebarkan langkah meninggalkan rumah yang ditempati sejak kecil dengan perasaan gusar.
Satya pergi hanya berbekal beberapa lembar uang pecahan lima puluh ribu rupiah dan untuk memenuhi permintaan Sinta.
Sembari berjalan keluar dari rumah, Satya memutar otak mencari tempat beristirahat untuk malam ini sebelum besok mencari rumah sewa atau kamar kos-kosan.
Satya menebalkan muka, menghubungi Adam. Untuk malam ini dia memutuskan untuk menumpang di kamar kost sahabatnya sejak SMA.
Beberapa bulan kemudian, Satya dan Sinta memutuskan untuk menikah. Mereka pikir kehadiran anak akan membuat hati kedua orang tua Satya luluh. Namun, sekali lagi takdir tidak berjalan sesuai keinginan mereka.
Satya memencet bel rumah sederhana yang sudah hampir dua tahun dia tinggalkan.
Suara putaran anak kunci membuat jantung pria itu berdebar dua kali lipat.
Wanita berdaster batik itu terkejut melihat kedatangan Satya dan Sinta dengan masing-masing menggendong bayi perempuan yang usianya baru enam bulan.
Sepasang tamu itu tersenyum pada Risma. Ada secercah harapan saat Risma menatap putri kembar mereka.
"Bu—."
"Ada perlu apa?" Pertanyaan bernada ketus itu terlontar seraya menolak Satya yang ingin meraih dan mencium punggung tangannya.
"Kami datang mau mengenalkan mereka." Sinta memberanikan diri membuka suara disertai senyum lebar.
"Mereka anak kami, cucu Ibu." Dia yakin sang mertua akan luluh ketika melihat bayi kembar berpipi tembam.
Namun, senyum itu luntur saat Risma memberikan tatapan sinis. Bahkan, ibu mertuanya itu berniat menutup pintu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Emosi Sinta tersulut. Dia tidak terima diperlakukan seperti ini.
"Apa Ibu ndak mau menerima mereka? Mereka ini cucu-cucu ibu! Mereka juga berhak dapat pengakuan dan tinggal di rumah ini," ujarnya dengan suara tinggi.
"Sinta!" tegur Satya. Ini diluar kendalinya.
"Saya tidak pernah merestui pernikahan kalian. Lalu, kenapa saya harus menerima anak-anak kalian," balas Risma, tenang.
Bukan pada si Kembar, tetapi penolakan itu sebenarnya ditujukan untuk istri putranya. Saat ini Risma sedang berusaha menahan diri untuk tidak menimang bayi-bayi itu.
Dikuasai emosi, Sinta tidak dapat mengontrol ucapannya. Hingga tanpa sadar dia mengungkapkan kebenaran "Tentu saja ibu harus menerimanya. Mereka yang akan menjadi pewaris harta kalian. Saya susah-susah ngelahirin mereka supaya diterima keluarga ini!"
Risma tersenyum mendengar pengakuan Sinta. Wanita itu akhirnya membuka topengnya sendiri. Ini adalah alasan kenapa dia tidak memberikan restu. Wanita pilihan putranya itu tidak tulus.
Berbeda dengan Satya yang tampak terkejut. Bukan itu alasan Satya mengajak keluarga kecilnya berkunjung. Dia hanya ingin orang tuanya memaafkannya dan menerima si Kembar.
Tanpa sepatah kata, Risma menutup pintu. Membiarkan sepasang suami-istri itu berdebat.
Dua tahun berlalu, kehidupan mereka tidak banyak berubah meski karier Satya di perusahaan meningkat. Sinta yang menganut gaya hidup hedonis, suka membeli barang yang tidak penting tanpa memikirkan keperluan rumah tangga.
Dulu Satya pikir hidupnya akan bahagia jika menikah dengan wanita yang dicintai. Ternyata dia salah. Semakin lama rumah tangga mereka lebih sering dihiasi dengan pertengkaran. Satya mulai muak dengan perilaku sang istri yang sering meninggalkan anak mereka.
"Jam berapa ini?" tanya Satya.
Hampir jam sepuluh malam dan Sinta baru sampai di rumah. Menurut baby sitter anaknya, sang istri pergi sejak pukul sebelas siang.
"Nongkrong lah. Using di rumah terus," jawabnya santai, kemudian berlalu ke kamar mandi.
Dengan sabar Satya menunggu Sinta membersihkan diri. Sepuluh menit kemudian wanita itu keluar.
"Kamu punya tanggung jawab, nggak bisa seenaknya begitu."
"Kan ada Mbak Tari."
Wanita itu sibuk mengoleskan beberapa krim pada wajahnya.
"Bukan berarti kamu bisa ninggalin mereka seenaknya. Mbak Tari kewalahan kalau ngurus mereka sendiri.” Suara Satya tertahan karena berusaha menekan emosinya.
Saat pulang kerja tadi, Satya melihat Tari kewalahan menangani si kembar yang menangis. Seharusnya, wanita itu hanya bekerja sampai pukul lima sore.
"Ya tambahin satu lagi dong baby sitter-nya. Gampangkan."
Demi Tuhan, Satya benar-benar ingin meledak mendengar jawaban dari istrinya.
Masalahnya tidak segampang itu. Setiap bulan gajinya ludes untuk keperluan rumah tangga. Sebenarnya, akan ada sisa jika saja Sinta bisa menghentikan kebiasaannya shopping dan perawatan ke salon yang memakan biaya tidak sedikit.
Satya lebih memilih keluar kamar dari pada terlibat pertengkaran hebat seperti sebelum-sebelumnya.
Sesuai usul sang istri, Satya menambah satu lagi pengasuh, tetapi untuk membayar pengasuh tersebut dia memangkas uang bulanan Sinta. Tentu saja hal tersebut semakin membuat sang istri marah.
Sinta yang tidak pernah merasa cukup dengan pemberian suaminya, memutuskan untuk kembali bekerja. Satya tidak bisa melakukan apa-apa karena Sinta meminta jatah bulanan dua kali lipat sebagai syarat untuk membatalkan niatnya.
Hubungan mereka semakin renggang. Sama-sama sibuk membuat mereka jarang berkomunikasi, hanya berbicara seperlunya.
Satya dibuat heran dengan pekerjaan istrinya. Yang dia tahu, Sinta hanya pegawai biasa, tetapi kenapa wanita itu sering pergi keluar kota dengan alasan pekerjaan. Sampai Sinta tidak memiliki waktu untuk keluarga.
Satya berusaha berfikir positif. Namun, semakin hari perilaku ibu dari anak-anaknya itu semakin mencurigakan.
Wanita itu kerap pulang larut bahkan bekerja di akhir pekan. Tak jarang dia pulang dengan menenteng paper bag dari butik-butik ternama. Saat ditanya dia akan menjawab membeli barang-barang tersebut dengan gajinya. Tentu saja Satya tidak langsung percaya.
Kecurigaan Satya terjawab saat dia membaca pesan dengan kata-kata yang cukup vulgar pada ponsel Sinta yang tertinggal. Satya semakin penasaran, jarinya bergerak mengecek ponsel itu hingga membuka folder galeri. Alangkah terkejutnya dia saat mendapat deretan foto tidak senonoh sang istri dengan pria berumur.
Satya menggenggam erat ponsel tersebut hingga buku-buku tangannya memutih, daun telinga pria itu memerah tanda jika amarah sedang menguasainya.
Dadanya bergemuruh, terasa sesak seperti ada sesuatu yang mengganjal. Tulang-tulangnya melunak membuatnya limbung hingga terduduk di kasur saat memutar sebuah video berdurasi singkat.
Meskipun hanya mempertontonkan tubuh bagian belakang, tetapi Satya tahu siapa pemeran wanita yang sedang bergerak liar di atas pangkuan seorang pria.
"Ponselku,” ujar Sinta yang tiba-tiba muncul di kamar. Dia berusaha merampas ponsel, tetapi gerakannya kalah cepat dengan gerakan Satya yang langsung berdiri dan mengangkat tinggi ponsel tersebut.
Ada sedikit rasa takut pada diri Sinta saat menyadari ekspresi wajah Satya yang menyeramkan. Rahang pria itu mengetat hingga terdengar suara gemeletuk dari gigi-giginya yang bergesekan. Tidak hanya telinga, mata serta wajah pria itu juga merah padam.
“Balikin!” pintanya sedikit membentak berusaha menyembunyikan ketakutannya.
“Apa ini?” tanya Satya dengan suara rendah menunjukkan layar ponsel Sinta yang menampilkan adegan tak senonoh. “Ini kamu? Kamu selingkuh?”
Bukannya menjawab, wanita itu malah berusaha merah benda canggih itu.
“JAWAB!” hardik Satya tak sabaran.
“IYA! KENAPA?!” Astika berteriak tak kalah nyaring. “Kamu udah nggak bisa nyukupi ke—-"
Plak!
Sebelum Sinta menyelesaikan perkataannya sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, membuat wanita itu tersungkur dengan sudut bibir berdarah.
"Berani-beraninya kamu!" Satya tidak bisa lagi menahan amarahnya. Selama ini dia berusaha sabar, tetapi istrinya tidak berubah malah semakin menjadi.
"Aaaa!" pekik Sinta kesakitan karena Satya menjambak rambutnya hingga membuat wanita itu mendongak paksa.
"Lepas!" Tangan Sinta memukul-mukul tangan kekar Satya, berusaha melepas jambakan suaminya.
“Demi uang kamu rela menjadi jalang,” ujar Satya menggeram.
Setelah berusaha, akhirnya Sinta berhasil membebaskan diri. Dengan mata yang berair dia menatap penuh kebencian pada sang suami yang juga tengah menatapnya dengan tatapan yang menyiratkan tanya kenapa.
“Aku bosan hidup gini. Aku nikah sama kamu supaya hidupku berubah. Supaya aku bisa hidup nyaman. Tapi apa? Kamu malah bawa aku kembali ke lubang sengsara,” paparnya dengan suara nyaring.
“Aku sudah masukan pengajuan cerai kita,” lanjutnya membuat Satya tersentak.
“Aku nggak nuntut apapun, termasuk hak asuh anak. Jadi, silahkan kamu bawa mereka. Kalau nggak mau, kamu bisa taruh mereka di panti asuhan.”
Satya tidak percaya jika Sinta bisa setega itu pada si kembar yang baru berusia dua tahun.
Sinta langsung mengemasi barang-barangnya, lalu pergi meninggalkan Satya yang masih mematung di tempatnya.
Entah siapa yang membantu Sinta dalam mengurus perceraian hingga prosesnya berjalan sangat singkat.
Setelah perceraian itu Satya semakin kewalahan mengurus anak kembarnya karena pengasuh mereka mengundurkan diri.
Dengan menahan malu Satya memutuskan kembali ke rumah orang tuanya. Meski diterima di rumah itu, tetapi sikap Ayah dan ibunya masih dingin. Butuh waktu beberapa tahun untuk meluluhkan hati mereka.