Sekitar lima menit menggunakan cable car mereka sudah sampai di puncak. Tepatnya di Namsan Tower. Rachel dapat melihat sepupunya itu terus bergerak-gerak karena sangat bahagia.
“Oh, astaga, astaga! Ayo kita ke tempat gembok cinta!” desak Karin sambil menarik-narik tangan Rachel.
Pandangan Rachel masih terpaku pada menara itu. Ia sangat berharap bisa ke atas sana untuk menikmati pemandangan Seoul di musim gugur. Seperti dulu.. dan jika bisa dengan seseorang yang sama seperti dulu juga. Tapi mau tidak mau ia harus mengikuti langkah Karin yang terus menarik-narik tangannya.
Namsan Tower. Rasanya sudah sangat lama. Ia sangat merindukan tempat itu. Di musim gugur tahun lalu, ketika cintanya justru sedang bersemi. Astaga, menyadari kenyataan bahwa kenangan itu sudah jauh ia lewati membuatnya merasa sedikit sakit.
Karin berhenti menarik tangannya. Rachel tersadar, ia sudah berada di hadapan ratusan atau mungkin ribuan gembok yang bertumpuk-tumpuk. Ia berjalan ke pinggir lalu berhenti dan mencari sesuatu di sana.
Itu dia! Benda itu masih ada di sana. Rachel meraih sebuah gembok warna mint, warnanya sama seperti sweater yang ia kenakan sekarang. Kadang, bahkan sering. Ia merasa bersalah karena kesalah pahaman bisa membuatnya sekalap itu.
“Karin,” panggilnya. Ia mendapati suaranya terdengar serak.
“Ya,” Karin berhenti memotret dan berjalan ke arahnya.
“Apa kau tahu artinya?” Rachel menunjukkan gembok dengan tulisan Jepang itu padanya.
“Itu artinya, aku mencintaimu.”
Alisnya bertaut sedih. Ia tidak salah mengartikan tulisan itu. Karin pergi dan kembali sibuk memotret. Barulah saat itu Rachel membalik gemboknya. Ada dua nama yang ditulis menggunakan spidol di sana. Yaitu namanya dan nama seseorang. Seseorang yang sangat berarti.
“Hei, sedang apa?”
Suara Ji-Yeon membuatnya terkejut. Rachel langsung melepaskan gembok itu dari genggamannya. “Tidak ada,” sahutnya cepat.
Tiba-tiba Karin menarik lengan Rachel. “Ayo, aku akan memotret kalian,” ia menunjukkan ponselnya. “Kau juga ikut Seung-Hun ssi,” katanya pada Seung-Hun yang berdiri agak jauh dari mereka.
Seung-Hun mengangguk, tersenyum dan berdiri di samping Rachel. Rachel tersenyum dan memandang lurus ke arah kamera ponsel Karin. Sementara dua laki-laki di sampingnya tersenyum sambil memiringkan kepala ke arahnya.
* * *
Karin menghela napas panjang sambil merentangkan tangannya. Kini mereka sedang berjalan menuruni anak tangga menuju Perpustakaan Namsan.
“Aku sangat senang bisa datang ke sini. Melihat gembok cinta, Namsan Tower dan semua pemandangan di sini benar-benar membuatku jatuh cinta. Ya.. meskipun aku sedikit menyesal karena tidak masuk ke Namsan Tower,” ia melirik Rachel dengan sudut matanya.
“Aku sedang tidak ingin ke sana,” kata Rachel seolah tahu Karin sedang memandangnya dan bertanya-tanya kenapa ia menolak sewaktu Karin mengajaknya ke sana. Tentu saja ia tidak akan memberitahukan alasan yang sesungguhnya pada Karin.
Ia memandang jam tangannya. ”Mungkin sekitar lima belas menit lagi kita akan sampai di Perpustakaan Namsan,” Rachel menurunkan tangannya kembali. “Siapa yang sudah pernah ke Botanical Garden Namsan?” ia memandang Ji-Yeon dan Seung-Hun bergantian.
“Aku pernah,” suara Ji-Yeon terdengar lirih.
“Kalau begitu kau mau kan mengantar Karin ke sana?”
Ji-Yeon tidak langsung menjawab. “Hm, baiklah. Lalu kau sendiri?”
“Seung-Hun bisa mengantarku kalau mau, tapi jika tidak Seung-Hun bisa ikut bersama kalian.”
“Iya, aku akan mengantarmu,” sahut Seung-Hun cepat. Bahkan mungkin terlalu cepat.
* * *
Akhirnya Karin pergi ke Botanical Garden bersama Ji-Yeon. Ia merasa agak aneh. Ketika bersama Rachel laki-laki itu terlihat ceria dan banyak bicara. Tetapi sekarang dan sepanjang perjalanan mereka mengelilingi Botanical Garden Namsan, ia jadi pendiam dan agak dingin.
Karena merasa tidak enak Karin selalu berusaha mengajaknya mengobrol. Ji-Yeon memang menjawabnya, tersenyum dan tertawa. Namun tetap terlihat berbeda. Tidak sama seperti saat ia sedang bersama Rachel ataupun Seung-Hun.
Sudahlah, katanya dalam hati. Mungkin Ji-Yeon jadi pendiam karena belum terlalu mengenal dirinya. Lagipula Karin juga baru mengenalnya pagi ini.
“Ji-Yeon ssi, mungkin sekarang kita bisa menyusul Seung-Hun ssi dan Rachel di perpustakaan Namsan.”
Laki-laki jangkung itu mengangguk. “Baiklah.”
Dan saat itu Karin melihat sorot mata Ji-Yeon berubah lebih cerah.
* * *
Suasana hati Rachel semakin buruk sejak meninggalkan Namsan Tower. Melihat banyak buku di perpustakaan juga tidak membuat suasana hatinya membaik. Sama sekali tidak membaik. Dan semakin jauh ia meninggalkan Namsan suasana hatinya menjadi semakin buruk.
Rasanya ada yang tertinggal di sana. Tapi apa? Kenangan? Ah, sial. Tidak bisakah ia melupakan masalah itu sejenak?! Setidaknya hari ini. Karena hari ini adalah hari yang penting untuk sepupunya. Tidak mungkin ia akan mengacaukan liburan Karin yang besok atau lusa ia sudah harus kembali ke Jepang.
“Rachel,” Karin menyentuh lengannya pelan.
Ia terlonjak, menoleh menatap sepupunya itu bingung.
“Kau mau pesan apa? Sejak tadi aku tanya malah diam saja.”
Benarkah? Apa sejak tadi Karin mengajaknya bicara? Tapi ia tidak mendengar apa-apa.
“Malah melamun lagi,” Karin mendengus kesal.
Rachel mengangguk, ia sendiri juga tidak tahu kenapa melakukannya. Tangannya meraih buku menu dan mulai membaca daftarnya.
“Aku pesan udon saja. Um... dan juga jus lemon,” katanya pada si pelayan yang sudah menunggu.
Setelah mencatat pesanan Rachel, si pelayan pun pergi.
Rachel menghela napas berat dan melipat tangannya di atas meja. Ia tidak menyadari dua orang laki-laki yang duduk di hadapannya sedang memperhatikan dirinya.
Untuk kesekian kalinya ia menghela napas berat. Namun kali ini terdengar berlebihan. Karin tidak terlalu menghiraukannya karena sedang sibuk memposthing foto-fotonya sewaktu di Namsan. Dalam waktu singkat saja ada banyak teman-temannya yang berkomentar. Membuat gadis asli Jepang itu semakin sibuk dengan ponselnya.
Tiba-tiba terdengar bunyi dentingan tiga kali berturut-turut. Rachel terlonjak dan segera merogoh saku sweaternya. Ia mengeluarkan sebuah ponsel, menatap layarnya dengan kening berkerut.
“Nomor asing,” bibirnya bergumam pelan. Lalu dengan sentuhan kecil ia mengusap layar ponselnya dan menempelkan ponsel itu di telinga.
Seung-Hun dan Ji-Yeon menatapnya dengan tatapan bertanya. Ia hanya mengalihkan pandangan acuh dari dua manusia itu.
“Halo?”
Rachel mengernyit. Ia merasa mengenali suara ini. “Ya?” sahutnya memastikan.
“Bagaimana kabarmu?”
“Apa?”
“Siapa?” tanya Karin penasaran.
Rachel memutar duduknya sehingga membelakangi Karin.
“Maaf ini si-“
“Bagaimana kabarmu?” suara di seberang mengulangi pertanyaannya. “Katakan saja bagaimana kabarmu sekarang.”
“Aku baik,” Rachel juga tidak tahu kenapa ia malah menjawab pertanyaannya. Padahal suara di seberang sama sekali tidak terdengar memaksa atau semacamnya.
“Syukurlah. Aku senang kau baik-baik saja.”
Hubungan terputus.
Tangannya bergerak menjauhkan ponsel dari telinga. Ia mengernyit lagi, memandang layar ponselnya yang meredup. Ia tak mengerti. Siapa orang itu? Kenapa tiba-tiba menanyakan kabar? Apa mungkin salah sambung?
“Siapa?”
Suara Ji-Yeon dan Seung-Hun yang terdengar bersamaan membuyarkan lamunannya. Rachel memutar posisi duduknya seperti semula dan meletakkan ponselnya di meja.
Aku tidak tahu.
“Seseorang.”
Tepat saat itu pesanan mereka datang. Tanpa sengaja matanya menangkap bayangan sebuah mangkuk berisi miyeok guk yang disajikan di hadapan Seung-Hun.
Rachel tertegun. Suara Karin yang berseru “selamat makan” tidak membuatnya bergeming.
“Rachel,” Seung-Hun memanggilnya.
Ia mengangkat wajah dan menatap laki-laki itu datar. Pasti tadi ia terlihat seperti sedang melihat hantu.
“Ada yang aneh dengan miyeok guk ini?” Seung-Hun memandangnya cemas. Bukan karena ia mencemaskan makan siangnya itu, tapi ia memang benar-benar mencemaskan Rachel.
Rachel menggeleng. “Seseorang sering memesannya.”
Alis Seung-Hun bertaut, pandangannya berubah bingung. “Seseorang yang barusan menelepon?”
“Hm-mmm,” ia bergumam sendiri. Sebenarnya Rachel tidak terlalu mendengar pertanyaan Seung-Hun dan asal bergumam saja. Ia mulai mengambil sumpit dan memakan udon-nya, karena satu alasan. Ia ingin cepat-cepat pulang ke apartemen.
“Setelah ini kita akan ke mana?” Karin menatap Seung-Hun antusias.
Rachel mendengus. Sepertinya keinginannya untuk segera pulang tidak akan terwujud.
“Yamaken!”
Rachel tertegun. Sesaat tubuhnya berubah menjadi seperti patung. Detik berlalu kepalanya berputar-putar gelisah. Yamaken? Apa ia tidak salah dengar? Barusan ada yang memanggil Yamaken?
“Yamaken...”
Suara itu terdengar lagi. Lalu ia menangkap bayangan seorang laki-laki yang berjalan ke sudut ruangan. Benar laki-laki itu yang memanggil Yamaken. Tapi Rachel tidak melihat Yamaken yang ia kenal di sana. Mendadak sorot matanya berubah redup. Mungkin keputusannya untuk menemani Karin ke Namsan bukan keputusan yang tepat. Mungkin harusnya ia tak pernah datang ke tempat ini lagi.
“Hime kau kenapa?”
Rachel tersenyum muram, mengangkat wajah menatap Ji-Yeon. “Tidak ada.”
Laki-laki itu mengernyit. Ia bertanya Rachel kenapa tapi gadis itu malah menjawab tidak ada. Pasti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sekarang.