“Aku anggap hari ini spesial karena hari ini adalah hari minggu. Jadi aku anggap kesempatan ini sebagai liburanku juga. Karena itu aku membawa mobil sendiri,” kata Seung-Hun ketika mereka berjalan keluar dari gedung apartemen Rachel.
Seketika dua gadis itu terkesiap. Menatapnya antara tidak percaya dan berterima kasih.
“Aku akan mengambilnya di tempat parkir, tunggulah di sini,” tanpa menunggu jawaban dari siapapun ia berjalan cepat ke tempat parkir di samping gedung.
Rachel tidak heran. Karena gedung apartemennya ini memang tidak memiliki basemant. Maklum saja, gedung apartemennya memang terbilang sederhana. Setiap apartemen hanya terdiri dari tiga ruangan dan sebuah bilik kecil kamar mandi. Dan tingginya hanya sampai lantai lima saja, itu pun tidak ada fasilitas lift. Untungnya apartemen Rachel terletak di lantai dua, jadi ia tidak perlu menguras tenaga ketika harus naik-turun apartemen. Salah satu hal terpenting yang membuat Rachel bertahan tinggal di apartemen sederhana ini, yaitu biaya sewanya yang murah. Tentu saja, itu karena Rachel tidak ingin terlalu merepotkan orang tuanya yang sudah pindah ke Jepang.
Suara mesin mobil yang halus membuat Rachel mengalihkan perhatiannya. Otomatis saja ia berjalan mendekati pintu belakang.
Seung-Hun membuka kaca jendela dan berseru meminta mereka untuk masuk. “Duduklah di depan agar bisa melihat pemandangan, dengan begitu kau tidak akan bosan,” katanya ketika Rachel berjalan di sampingnya.
Rachel berhenti dan menatapnya. “Hm. Tapi sepertinya biar Karin saja yang duduk di depan. Kan dia yang ingin melihat-lihat Seoul. Kau tidak keberatan, bukan?”
Seung-Hun memandang gadis itu agak lama. Kemudian dengan agak berat menggelengkan kepala.
Rachel mengangkat wajah dari Seung-Hun. “Karin!” serunya. “Kau duduk di depan.”
“Kenapa?”
“Supaya kau bisa menikmati tour wisatamu dengan puas.”
Karin tersenyum lebar dan kembali menutup pintu belakang. “Terima kasih,” katanya ceria.
Rachel membuka pintu belakang bersamaan dengan Ji-Yeon yang masuk. Pandangan mereka bertemu. Rachel duduk di belakang Seung-Hun dengan Ji-Yeon di sampingnya.
Sekitar lima belas menit perjalanan. Rachel terlihat asik bercanda dengan Ji-Yeon. Entah hanya perasaan Karin atau memang laki-laki di sampingnya ini terlihat kesal? Apa mungkin dia cemburu? Tapi cemburu dengan teman sendiri, rasanya sangat aneh.
Berkali-kali Seung-Hun memandang ke kaca spion memperhatikan mereka. Karin jadi semakin bingung. Apa laki-laki di sampingnya ini benar-benar cemburu?
“Um, Seung-Hun ssi,” katanya hati-hati. “Apa Gunung Namsan masih jauh?”
Laki-laki itu memaksakan seulas senyum dan menoleh. “Tidak juga,” sahutnya. Mungkin Seung-Hun tidak ingin menjelaskan lebih.
Karin memandang ke kaca spion. Ji-Yeon terlihat mencondongkan tubuhnya pada Rachel sekaligus mendekatkan ponselnya. Rachel juga ikut mencondongkan tubuh dan mendekatkan telinga ke ponsel.
“Bagaimana? Bagus, bukan?” kata Ji-Yeon dengan menatap Rachel lekat-lekat.
Rachel mengangguk-ngangguk. “Ini lagunya Adele, kan?”
Ji-Yeon mengangkat sebelah alis memandangnya tidak menyangka.
“Judulnya Rolling in the Deep. Benar, kan?” Rachel menegakkan posisi duduknya kembali.
“Benar,” Ji-Yeon tersenyum lebar.
“Sudah kuduga, aku memang pintar.”
Karin dapat mendengar nada bangga dari ucapan Rachel itu.
“Iya, tumben sekali hari ini Hime pintar.”
Kemudian mereka berdua kembali tertawa. Hei, Karin baru menyadari sesuatu. Barusan Ji-Yeon memangginya Hime?
Tiba-tiba Seung-Hun mengerem. Sebelum Karin sempat berpikir, tubuhnya serasa hampir jatuh ke depan. Sekarang ia bersyukur karena sudah memakai sabuk pengaman.
Ji-Yeon dan Rachel juga sama. Tetapi dua manusia itu malah tertawa.
Pandangan Karin beralih pada Seung-Hun. Laki-laki itu terlihat seperti sedang menahan napas. Lalu pandangannya turun pada tangan Seung-Hun yang mencengkeram setir sampai buku-buku tangannya memutih.
“Sekarang coba tebak lagu ini.”
Suara Ji-Yeon kembali terdengar. Karin yakin. Pasti saat ini Ji-Yeon sedang mencondongkan tubuhnya dan Rachel melakukan hal yang sama.
* * *
“Selamat datang di Namsan Park,” seru Rachel pada Karin. Ia terlihat lebih ceria dibanding saat akan berangkat.
Gadis itu menoleh dan tersenyum lebar sebelum akhirnya membuka pintu dan keluar. “Kita belum sampai di Namsan Park.”
Rachel tertawa kecil. “Rupanya aku tidak bisa membohongimu ya?”
“Meski belum pernah ke sini tapi aku tahu,” kata Karin bangga.
“Jadi kemana kita akan pergi dulu?” Seung-Hun ikut bicara.
“Apa ada yang lapar? Aku tahu penjual odeng yang enak di sekitar sini.”
Rachel menoleh ke arah Ji-yeon. “Odeng?” ia berpikir sejenak, “sepertinya aku agak lapar.”
“Baiklah kita bisa mampir ke sana dulu,” ucapan Seung-Hun membuat gadis itu kembali menoleh memandangnya.
“Baiklah apa yang kita tunggu? Ayo jalan,” Rachel menggandeng tangan Karin dan berjalan di depan Ji-Yeon dan Seung-Hun.
“Tunggu sebentar,” Rachel melepas tangannya dari Karin. Ia melepas ransel panda imutnya lalu mengeluarkan pulpen dan sebuah buku catatan kecil.
Karin merogoh tas tangannya dan mengeluarkan sebuah ponsel hitam yang terbungkus wallet berbentuk kepala Micky Mouse. Lalu ia mulai sibuk memotret spot-spot yang ia anggap menarik.
“Mau foto bersama?” Karin mengangkat ponselnya tinggi-tinggi dan tanpa menunggu jawaban memotret mereka. Ia tertawa kecil melihat hasil foto. Rachel terlihat sibuk menulis sesuatu di buku catatannya. Seung-Hun dan Ji-Yeon juga ikut terlihat. Mereka berdua terlihat sedang mengobrol.
Karin berlari kecil dan setelah agak jauh dari Rachel ia berhenti. Berbalik dan mengarahkan kamera ponselnya pada Rachel.
Di bawah pohon dengan dedaunan menguning –yang ia tidak tahu apa nama pohonnya- Rachel terlihat seperti seorang foto model. Wajahnya menunduk menatap buku di tangan juga seulas senyum di bibir membuatnya terlihat sangat manis. Oh ya, Karin hampir melupakan dua laki-laki yang berjalan di belakang Rachel. Mereka berdua berhenti tepat di sampingnya. Seung-Hun bicara dan Rachel menoleh. Ji-Yeon juga ikut bicara dan mereka bertiga tertawa.
“Katakan Namsan!” teriak Karin sehingga tiga orang itu menoleh ke arahnya bersamaan.
Karin tersenyum puas. Di foto itu Rachel, Ji-Yeon dan Seung-Hun tersenyum memandang kamera.
Rachel berlari-lari kecil menghampirinya. “Hei, kau diam-diam memfotoku ya?” katanya dengan tatapan curiga.
“Fotonya bagus, nanti akan aku kirimkan padamu,” Karin tersenyum cerah dengan mata berbinar gembira.
“Lihat, itu penjual odeng enak favoritku.”
Perkataan Ji-Yeon mengalihkan perhatian mereka.
“Odeng?” Rachel bergumam sendiri.
“Aku akan mentraktir kalian semua,” seru Karin sambil melangkah cepat menuju kedai kecil yang Ji-Yeon tunjuk.
Beberapa langkah dari kedai yang cukup ramai itu Karin berhenti dan memotretnya.
Rachel hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah sepupunya itu. Sampai di sana Rachel lebih memilih untuk duduk di kursi yang ada di pinggir jalan. Sejak tadi memang banyak kursi-kursi yang berada di pinggir jalan. Dan kali ini adalah kesempatannya untuk duduk mengistirahatkan kaki.
“Sejak tadi kau terlihat sibuk menulis terus.”
Rachel tersenyum tanpa mendongak untuk memandang si pemilik suara yang kini duduk di sebelahnya. “Otakku mendapat banyak inspirasi, jadi aku harus menuliskannya,” ia berhenti menulis. Menutup buku dan memasukkan benda itu bersama pulpen ke dalam ransel.
“Sudah selesai?”
Rachel mengangguk. “Ternyata jalan-jalan seperti ini membuat otakku terasa lebih segar. Mungkin aku harus melakukannya setiap satu atau dua minggu sekali.”
“Ya, dan kau memiliki sopir yang siap mengantarmu kemana saja di sini.”
Rachel tertawa dan menoleh ke arah Seung-Hun yang juga tertawa.
“Oh ya, sepertinya kau sangat sibuk akhir-akhir ini.”
“Begitulah. Aku ingin beralih profesi,” gadis itu menggeleng cepat. “Ah, tidak-tidak. Tapi maksudnya aku ingin menjadi novelis juga. Karena itu belakangan aku sibuk karena sedang dalam proses penyelesaian n****+ pertamaku,” ia menarik napas perlahan dan mengembuskannya.
“Ini adalah cita-citaku yang sempat tertunda. Sudah banyak cerita pendekku yang dimuat di majalah,” ia tersenyum. “Aku senang cita-citaku bisa terwujud. Editor dari majalah juga mengatakan orang-orang mulai menanyakan tentangku. Mereka bertanya-tanya siapa aku yang sebenarnya. Rasanya senang sekali ada orang yang menyukai karyaku.”
“Lalu kenapa kau tidak menunjukkan dirimu?”
Rachel mengerjap satu kali. Mengalihkan pandangan lurus dengan tatapan menerawang. “Aku merasa belum siap. Aku belum merasa benar-benar menjadi penulis sebelum menerbitkan sebuah novel.”
“Menurutku jika kau menunjukkan siapa dirimu, hal itu justru akan mempermudah karirmu ke depan.”
Gadis itu menatapnya. Terlihat sedang berpikir dengan alis bertaut. “Mungkin kau benar juga.”
“Tapi...” kening Seung-Hun berkerut samar. “Itu berarti kau akan menjadi semakin sibuk.”
Rachel mengangguk. “Aku bahagia dengan kesibukkan ini karena aku mencintai pekerjaan ini. Dan aku juga tidak akan patah hati karenanya. Tidak seperti saat mencintai manusia.”
Seung-Hun memiringkan kepala ke satu sisi, “memangnya kau pernah patah hati?”
“Entahlah,” Rachel mengangkat bahu dan tertawa.
Ji-Yeon dan Karin datang bersamaan membawa empat bungkusan kertas yang masing-masing berisi tiga tusuk odeng. Karin memberikan salah satunya pada Rachel, begitu juga dengan Ji-Yeon memberikannya pada Seung-Hun.
“Duduklah,” Rachel menepuk tempat kosong di sebelahnya.
“Sebentar,” Karin berjalan mundur dan mengarahkan ponselnya pada mereka bertiga.
“Kau ini sejak tadi memotret terus,” omel Rachel kesal. Tapi Karin tidak peduli, ia berbalik dan berjalan mundur. Mengangkat ponselnya tinggi-tinggi dan berseru.
“Katakan Namsan!”
Ji-Yeon dan Seung-Hun ikut tersenyum dan mengangkat odeng mereka. Rachel terlihat cuek dan memakan odengnya yang ternyata memang terasa sangat enak.
Setelah berfoto-foto ria sambil menikmati odeng, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Sampai akhirnya mereka sampai di Namsan Park. Karin langsung mengeluarkan ponselnya dan berfoto-foto ria lagi.
“Sekarang kita akan naik cable car atau jalan kaki ke puncak?”
Pertanyaan Seung-Hun membuat Karin menghentikan aktivitasnya.
“Jalan kaki saja, nanti di perjalanan kita bisa mampir ke perpustakaan Namsan,” kata Rachel antusias dan terdengar setengah memaksa.
“Tempat kerjamu kan sudah seperti perpustakaan. Untuk apa ke sana?” nada bicara Karin berubah menyedihkan.
“Tujuanku ke sini kan memang untuk mengunjungi Perpustakaan Namsan,” kata Rachel dengan wajah tanpa dosa.
“Begini saja,” Seung-Hun menatap kedua gadis itu bergantian. “Sekarang kita ke Namsan Tower menggunakan cable car, pulangnya kita jalan kaki supaya bisa mampir ke Perpustakaan Namsan.”
Dua gadis itu mengangguk-ngangguk setuju.
“Tapi Karin, jika kau tidak mau ke Perpustakaan Namsan kurasa kau bisa mengunjungi Botanical Garden Namsan.”
Entah hanya perasaannya atau memang Rachel tidak ingin ke Namsan Tower? Seung-Hun menatap Rachel yang kini menatapnya dan Ji-Yeon bergantian.
“Mungkin Ji-Yeon atau Seung-Hun bisa mengantarmu.”
“Kami bisa saja mengantar Karin ke sana. Tapi kau akan tetap ikut ke Namsan Tower, kan?”
Ternyata memang benar. Buktinya pertanyaan Ji-Yeon itu membuat Rachel tersenyum muram dan mengangguk terpaksa.