4. Seenaknya Saja

1017 Kata
Alamak apa pula yang ada di otak Damar saat ini? Seenaknya saja membatalkan reservasi restoran milik Karina. Beberapa detik Sandra menahan napas. Ia bingung bagaimana menyampaikan hal ini pada Karina nanti. "Kamu dengar saya?" tanya Damar sambil melambaikan tangan di depan wajah Sandra yang saat ini mengerjab beberapa kali. "Pak, saya memesan restoran itu dua hari yang lalu. Lantas, tanpa aba-aba, Bapak dengan sesuka hati membatalkannya?" Sandra sedikit kesal dengan ulah anak kedua Luka itu. "Tuan Prabu tidak akan melakukan hal seperti ini. Jika sudah memesan tempat, maka akan dipakai untuk rapat," lanjut Sandra berusaha bernegosiasi dengan bos muda itu. "Kamu nggak setuju? Karina restoran itu kecil. Mana muat untuk seratus orang," kata Damar dengan sok tahu karena hanya melihat dari luar saja restoran milik Karina. Sandra mengembuskan napas panjang dan berharap jika ada sedikit kesabaran dalam hati. Sejak Damar yang memegang kekuasaan kantor ini, semua berubah sesuka hati. Akan tetapi, memang perubahan itu sangat significan dan menghasilkan banyak keuntungan perusahaan. Gaji pegawai pun mendadak naik hingga dua puluh persen. "Bapak lihat dari luarnya saja?" tebak Sandra dan diangguki oleh Damar dengan polosnya. "Ya, mau lihat dari mana lagi. Lagi pula, restoran itu tampak hanya restoran kecil saja," jawab Damar sambil melirik ke arah Erna yang justru masih ikut berdiri dan menyimak obrolan mereka berdua. Erna sadar diri lalu pamit untuk menuju meja kerjanya. Sandra hanya bisa diam dan memikirkan jawaban yang tepat agar sang atasan tidak membatalkan reservasi itu. Sandra jelas tidak enak jika semua harus dibatalkan secara mendadak. Karina pasti sudah menyiapkan semuanya. "Bapak belum masuk ke restoran itu? Di lantai dua, ada ruangan yang sangat luas untuk kapasitas kurang lebih dua ratus atau bahkan bisa lebih. Restoran itu terbiasa dipakai untuk beberapa acara penting. Coba, Bapak cari saja di internet, Karina Kitchen," kata Sandra setengah memerintah bocah laki-laki berusia dua puluh enam tahun itu. Damar segera merogoh ponsel berlogo buah apel tergigit keluaran seri terbaru. Ia mencari informasi tentang restoran itu. Fakta mencengangkan pun terjadi, ternyata Karina Kitchen salah satu restoran yang diberi apresiasi baik oleh banyak pelanggan. Damar lantas menatap ke arah Sandra. "Tetap saja saya tidak suka dengan bentuk restoran itu. Terlalu biasa dan tidak aesthetic," kata Damar tetap bersikukuh ingin membatalkan reservasi itu. "Tapi, Pak ...." Sandra kali ini tidak bisa lagi membuat alasan yang lebih masuk akal sehat Damar. Damar lantas meninggalkan Sandra dengan wajah datar. Ucapannya adalah perintah yang tidak boleh ditolak oleh siapa pun. Berani menolak artinya siap dipecat. Damar arogan, tetapi ada kompensasi untuk semua itu; gaji pegawai Batara naik secara ugal-ugalan. Sandra mondar-mandir di pantry karena bingung bagaimana mengatasi semua masalah ini. Ia tahu bagaimana antusiasnya Karina saat mendapatkan pesanana untuk kantor ini. Sandra ingin sedikit meringankan beban sang sahabat karena masalah rumah tangganya. Akan tetapi, Damar justru mengacaukan semuanya. "Kenapa kamu?" tegur Teddy yang kebetulan berada di pantry untuk membuat segelas kopi hitam siang ini. "Ck! Bos itu ada saja ulahnya. Udah rapat tinggal besok, eh, minta ganti tempat." Sandra mengadukan permasalahannya pada teman kuliahnya itu. "Batalin reservasi, maksud kamu?" Teddy sedikit tidak paham dengan arah pembicaraan Sandra yang saat ini wajahnya sangat keruh. "Emang kamu pesan restoran mana?" tanya Teddy ingin tahu bagaimana selera sang bos muda. "Aku pesan di Karina Kitchen, itu udah lumayan loh, ya. Makanannya semua enak dan harga juga masih rata-rata. Mana ada restoran yang harganya miring dengan masakan nggak jauh beda dengan restoran bintang lima itu," keluh Sandra yang kini semakin sakit kepala. Sandra jelas tidak berani menghubungi Karina saat ini. Ia bisa membayangkan bagaimana kecewanya sang sahabat. Hal ini jelas tidak mudah bagi mereka berdua. Entahlah, apa yang ada di otak Damar saat ini. "Lah? Karina Kitchen bukannya yang biasa antar makan siang dan snack kalo kita ada acara?" tanya Teddy yang kini malah ikutan kesal dengan tindakan sang bos. "Makanya itu." Sandra kini menelungkupkan wajah di meja karena menahan rasa sakit kepala. "Mana undangan sudah aku sebar. Mereka semua tahunya rapat diadakan di Karina Kitchen. Lagi pula, mereka sudah familiar dengan tempat itu. Lokasinya juga tak jauh dari kantor," kata Sandra yang kini sedikit mendongak menatap Teddy. Teddy tampak berpikir karena juga ikut rapat besok siang. Ia tidak mau membuang waktu jika tempat rapat harus diganti. Kemacetan ibu kota itu sangat menyebalkan. Bisa-bisa pulang rapat malah sudah jam pulang kantor. Ambigu! "San, kamu nggak usah ubah tempat rapat itu. Biar aku yang bicara pada Tuan Prabu. Nanti rapat akan tetap di Karina Kitchen. Tuan Prabu pasti akan memahami situasi ini. Maklumi saja bos muda kita itu." Sandra seolah mendapatkan solusi yang sangat berharga dibandingkan dengan kenaikan pangkat. "Besok siang, aku pastikan Pak Damar juga akan datang di Karina Kitchen," kata Teddy dengan mantap lalu membuat kopinya dengan cepat. Karina sedikit lega saat ini. Tinggal bagaimana besok mendapatkan amukan Damar. Ia pasti dianggap menentang perintah sang atasan. Mau bagaimana lagi, Sandra lebih baik kehilangan pekerjaan dibandingkan dengan kehilangan sahabat baiknya itu. Sementara itu, Evan kali ini sibuk berkutat dengan pekerjaannya. Perusahaan tempatnya bekerja baru saja menerima banyak pegawai baru. Ada banyak hal yang harus dilakukan setelah kemarin mendapatkan teguran dari sang atasan. Evan mengubah semua sistem untuk keselamatan pegawai kantor ini. "Selamat siang, Pak. Maaf, saya mengganggu pekerjaan, Bapak. Perkenalkan saya Almira Safitri yang akan menjadi staf baru menggantikan Pak Teguh yang baru saja purna tugas kemarin." Suara lembut itu berhasil membuat Evan mendongak dan menatap ke arah sang gadis muda. "Ada keperluan apa?" Evan bertanya dengan nada dingin dan tidak bersahabat. "Kalo mau bekerja silakan segera kerjakan semua yang ada. Kantor ini hanya menggaji karyawan yang bekerja tanpa banyak basa-basi," lanjut Evan tanpa mengalihkan pandangan pada laptop yang ada di depannya. Almira sedikit kaget dengan sikap sang atasan yang sangat ketus. Akan tetapi, tidak dipungkiri jika ketampanan Evan telah membiusnya. Almira sedikit kecewa saat melihat cincin pernikahan yang dipakai oleh sang atasan. Evan tampak tidak peduli dengan keberadaan Almira itu. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, akhirnya gadis berusia dua puluh dua tahun itu meninggalkan Evan. Ia lantas menuju ke arah meja kerja bekas milik Pak Teguh. Beberapa karyawati melirik ke arah Almira yang saat ini memilih menunduk. Padahal, ia diminta memperkenalkan diri pada Evan oleh bagian HRD.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN