Santi tersenyum saat mendapati sang putra dan calon menantunya sejak tadi saling melirik satu sama lain. Ia benar-benar sudah tak sabar ingin melihat putra semata wayangnya itu menikah lagi dan memiliki keluarga kecil yang bahagia.
Seorang wanita paruh baya dan wanita muda melangkah menuju ruang tamu sambil membawa nampan yang berisi minuman dan camilan.
Siska membantu asisten rumah tangganya itu untuk meletakkan minuman itu ke atas meja.
“Mari silahkan dicicipi, semua ini masakan Bi Marni, karena Siska belum bisa memasak,” canda Indah dan langsung mendapat pelototan dari sang putri.
“Ihhh! Mama! aku bisa masak kok!” protes Siska yang malah membuat semua orang yang ada di ruangan itu terkekeh kecuali Dava.
“Iya loh Jeng Indah. Siska memang pandai memasak kok. Siska juga pernah membuatkan keluarga saya makan malam,” ucap Santi dengan senyuman di wajahnya.
“Jadi Siska sudah sedekat itu sama keluarga Dava. Apa mungkin mereka benar-benar sudah menjalin hubungan lama?” gumam Indah dalam hati.
“Maaf kalau Siska sering merepotkan Jeng Santi dan Nak Dava ya, dia memang anak yang manja. Semoga kedepannya nanti Nak Dava mau bersabar menghadapi semua tingkah Siska,” ucap Indah dengan menepiskan senyumannya.
“Ihhh! Mama ini kenapa sih! Memangnya aku mau apa nikah sama dia!” gumam Siska dalam hati.
Kesal itu pasti, karena dirinya sudah melarang Dava untuk datang ke rumahnya, tapi pria itu malan tetap datang ke rumahnya membawa kedua orang tuanya lagi.
“Sayang, coba kamu telepon papa kamu, suruh papa kamu pulang, bilang kalau Dava dan kedua orang tuanya datang,” pinta Indah kepada putri cantiknya yang duduk di sebelahnya.
Siska tak punya pilihan lain selain menganggukkan kepalanya. Ia meminta izin kepada keluarga Dava untuk pergi ke belakang karena ponselnya ada di dalam tas selempangnya yang dirinya taruh di sofa ruang tengah.
“Tante, apa saya boleh numpang ke belakang sebentar?” tanya Dava kepada mamanya Siska.
“Tentu, Nak Dava, silahkan. Nanti tanya saja sama Siska dimana kamar mandinya,” ucap Indah dengan anggukkan kepala.
“Baik, Tante. Kalau begitu saya ke belakang sebentar,” ucap Dava lalu beranjak dari duduknya, melangkah masuk lebih ke dalam rumah Siska.
Dava melihat Siska yang tengah berdiri sambil menempelkan ponselnya ke telinganya. Ia lalu melangkah mendekat, karena sebenarnya dirinya tak ingin pergi ke kamar mandi, itu hanya alasannya saja.
“Iya, Pa. Tapi kalau Papa sibuk gak pulang gak apa kok, biar nanti aku bicara sama Mama.”
Dava berdehem, hingga membuat Siska terkejut dan langsung menoleh ke arahnya.
“Ngapain Om disini! Om ngikutin aku ya!” Siska lupa kalau saat ini ia sedang bicara dengan sang papa di telepon.
“Sis, Papa akan segera pulang. Tolong bilang sama Dava dan kedua orang tuanya untuk menunggu Papa.”
“Tapi, Pa ....” Siska belum sempat menyelesaikan ucapannya, Galang sudah mengakhiri panggilan itu.
Siska mengepalkan kedua telapak tangannya, hingga genggaman pada ponselnya semakin erat.
“Kenapa Om datang kesini? bukankah aku sudah melarang Om kemarin?”
Dava menyunggingkan senyumannya. “Aku hanya menepati janjiku pada kedua orang tuamu. Aku ini tipe pria yang bertanggung jawab lho, aku gak ingin sampai kedua orang tuamu berpikir kalau aku ini ingkar janji dan lari dari tanggung jawab,” ucapnya sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya.
Dava menatap sekeliling, hingga tatapan tertuju pada pigura besar yang menggantung di dinding ruangan itu. Dimana dalam pigura itu terdapat foto Siska, kedua orang tuanya, dan seorang laki-laki.
“Kamu punya saudara?” tanya Dava lalu menoleh ke arah Siska.
“Om gak perlu tau!” ketus Siska dengan wajah semakin kesal.
“Sebentar lagi aku akan menjadi anggota keluarga kamu. Jadi aku harus tau semua tentang kamu dan keluarga kamu.”
“Om terlalu percaya diri! Siapa juga yang mau menikah sama Om! Aku gak mau ....”
“Siska!” Indah terkejut dengan apa yang baru saja Siska katakan kepada Dava.
Dava dan Siska sama-sama menoleh ke arah sumber suara.
“Mati aku!” umpat Siska dalam hati.
Indah melangkah mendekat. “Mama pikir kamu kenapa, menelpon papa kamu saja lama banget. Taunya kamu malah bicara gak sopan kayak gitu sama calon suami kamu!”
Dava tersenyum mengejek sambil menatap Siska, hingga membuat Siska semakin merasa kesal.
“Nak Dava, tolong maafkan Siska ya. Dia ini memang sulit sekali diatur. Tante juga gak tau kenapa dia bisa bicara seperti itu tadi,” ucap Indah tak enak hati.
“Mama! ngapain sih Mama harus minta maaf sama dia! Aku kan memang gak mau menikah, Ma!”
Indah menarik tangan Siska. “Jangan bicara macam-macam kamu, Sis! Apa kamu lupa dengan apa yang sudah kamu lakukan di apartemen kamu itu! apa kamu mau mempermalukan Mama dan papa!”
“Tapi aku sama Om Dava gak melakukan apa-apa, Ma. Aku berani sumpah.” Siska lalu menatap ke arah Dava.
“Om, bilang sama Mama aku tentang yang sebenarnya. Aku mohon, Om,” pintanya dengan wajah memelas.
“Tapi memang itu kenyataannya, Sis. Kita memang ....”
“Bohong!” seru Siska dengan kedua tangan mengepal sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Dia bohong, Ma. Aku ....”
“Cukup!” seru Indah sambil melebarkan telapak tangannya dan mengangkatnya tepat di depan wajah Siska.
“Mama bilang cukup, Sis! Mama gak mau tau, kamu dan Nak Dava harus segera menikah! Sekarang kamu keluar temani kedua orang tua Dava.”
Siska menghentakkan kakinya ke lantai, sebelum melangkah menuju ruang tamu dengan perasaan kesal.
Indah mengambil nafas dan mengeluarkannya secara perlahan, mencoba untuk meredamkan amarahnya. Ia benar-benar merasa malu di depan Dava, tak menyangka putrinya akan berbicara seperti itu di depan tamunya yang sebentar lagi akan menjadi menantunya.
“Nak Dava, Tante minta maaf ya. Tante benar-benar merasa sangat malu. Tante gak tau harus bagaimana menghadapi Siska.”
“Gak apa, Tan. Saya tau kok, mungkin ini begitu mengejutkan untuk Siska, karena dia harus menikah di usia muda. Tapi saya hanya menepati janji saya sama Tante dan Om. Saya juga harus mempertanggung jawabkan perbuatan saya, Tan.”
Dava lalu menggenggam tangan Indah. “Saya janji sama Tante, saya akan membuat Siska bahagia. Saya sangat mencintai Siska, Tante. Saya ingin Siska menjadi istri saya.”
Dava terpaksa harus berbohong kalau dirinya mencintai Siska agar mamanya Siska semakin mempercayainya, karena dirinya yakin Siska pasti akan terus meyakinkan kedua orang tuanya kalau malam itu sama sekali tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Siska.
Indah tersenyum. “Tante percaya sama kamu. Kamu pasti akan bisa merubah Siska menjadi lebih baik lagi.”
“Tante menerima lamaran saya?”
Indah menganggukkan kepalanya. “Tante akan merestui hubungan kalian. Kita tunggu papanya Siska pulang, lalu kita bicarakan tentang pernikahan kalian.”
Dava mengangguk dengan raut wajah bahagia. Ternyata kedua orang tua Siska begitu mudah dirinya bujuk.
Kini dirinya tak perlu lagi pusing memikirkan tentang calon istri, kedua orang tuanya juga tak akan lagi menjodohkannya dengan wanita-wanita yang sama sekali tak menarik hatinya.
Dava dan Indah kembali melangkah menuju ruang tamu, mereka melihat Siska yang tengah mengobrol dengan Santi dan Andrean.
Tak berselang lama Galang datang dan ikut berbaur dengan mereka semua.
Siska hanya bisa pasrah, saat kedua orang tuanya dan kedua orang tua Dava sudah mulai menentukan tanggal pernikahan mereka. Dimana pernikahannya akan digelar satu bulan dari sekarang.
Mau melawan pun percuma, karena kedua orang tuanya sudah tak mau lagi mendengar penjelasannya. Kedua orang tuanya lebih percaya dengan apa yang Dava katakan ketimbang percaya kepada putri mereka sendiri.
Setelah Dava dan kedua orang tua Dava pamit undur diri, Siska memilih untuk mengurung diri di dalam kamarnya. Bahkan sampai saatnya jam makan malam, ia sama sekali tak keluar dari kamarnya, hingga membuat Indah cemas.
“Sayang, kenapa kamu mengurung diri seperti ini? memangnya kamu gak lapar?” Indah terus mengetuk pintu kamar Siska.
“Aku gak lapar, Ma. Pokoknya aku gak mau makan!” teriak Siska dari dalam kamarnya.
Indah menghela nafas panjang. “Sayang, kamu tau kan kalau Mama dan papa melakukan ini semua demi kamu? kamu itu seorang wanita. Apa kata orang kalau sampai mereka tau kamu membawa seorang pria ke apartemen kamu dan membiarkannya menginap?”
“Mama hanya ingin melindungi kamu, Sayang. Dava juga pria yang baik, buktinya dia mau bertanggung jawab sama kamu. Coba kalau dia pria yang tak bertanggung jawab, pasti dia sudah kabur dan gak mau menikahi kamu.”
Siska beranjak dari duduknya, melangkah menuju pintu untuk membuka pintu kamarnya.
Indah menghela nafas lega, saat melihat putrinya baik-baik saja dan tak melakukan hal nekat seperti mengakhiri hidupnya.
“Kenapa Mama gak percaya sama aku? Mama gak percaya sama putri Mama sendiri. Aku gak bohong, Ma. Malam itu niat aku cuma mau bantu Om Dava, karena Om Dava mabuk dan ditinggal oleh kekasihnya.”
“Aku gak tau dimana rumah Om Dava, jadi aku bawa Om Dava ke apartemen aku.” Siska menggenggam tangan sang mama.
“Mama percaya dong sama aku, aku bener-bener gak bohong, Ma,” pintanya dengan wajah memelas.
Indah menghela nafas panjang, dirinya sebenarnya juga tak tega melihat putrinya sampai memohon seperti ini padanya. Tapi, dirinya juga tak bisa berbuat apa-apa saat sang suami sudah mengambil keputusan.
Dimana keputusan suaminya itu tak bisa diganggu gugat oleh siapapun, termasuk dirinya. Selain itu, dirinya juga sudah yakin, kalau Dava adalah pria yang tepat untuk menjadi pendamping putrinya.
Meskipun usianya jauh lebih tua dari putrinya, Indah sama sekali tak mempermasalahkan itu, karena semakin tua umurnya, semakin dewasa cara pikirkan.
Dava juga mengatakan kepada kedua orang tua Siska, kalau dirinya seorang duda tanpa anak. Itu pun tak membuat Indah dan Galang untuk merubah keputusannya untuk menikahkan Siska dengan Dava.
“Sayang, papa kamu sudah mengambil keputusan, dan kamu tau, semua keputusan yang sudah papa kamu ambil, tak bisa diubah. Mama juga gak bisa mengubahnya, Sayang.”
“Tapi, Ma ....”
“Percaya sama Mama, Dava itu pria yang tepat untuk menjadi pendamping hidup kamu. Lebih baik sekarang kamu turun untuk makan malam, kamu gak mau membuat papa kamu semakin marahkan?”
Siska hanya diam sambil menundukkan wajahnya.
“Kalau kamu sudah lebih tenang, turunlah. Mama akan tunggu kamu di ruang makan. Mama akan temani kamu,” ucap Indah sambil mengusap lengan sang putri dengan sangat lembut.
Dengan masih menunduk, Siska hanya bisa menganggukkan kepalanya.
Sementara ini di tempat lain, Dava mengajak ketiga sahabatnya untuk berkumpul di cafe tempat biasa mereka nongkrong dulu. Ia ingin memberitahu sahabat-sahabatnya tentang kabar gembira, yaitu tentang pernikahannya dengan Siska yang sudah ditetapkan tanggalnya.
Dava melambaikan tangannya saat melihat ketiga sahabatnya yang tengah mencari-cari keberadaannya.
Jonathan, Tegar, dan Rendy melangkah menghampiri Dava yang memilih tempat duduk di dekat jendela.
“Tumben lo ngajak kita-kita nongkrong,” ucap Jonathan lalu menarik kursi yang ada di samping Dava, lalu didudukinya.
Tegar dan Rendy juga sudah duduk di kursi mereka masing-masing.
“Kalian mau pesan apa?” tanya Dava sambil melihat buku menu.
“Kopi aja. Seharian ini kepala gue pusing mikirin kerjaan yang gak kelar-kelar,” ucap Jonathan.
“Lo berdua?”
“Samain aja, sama camilan apa terserah lo,” ucap Tegar.
“Gue juga.” Rendy juga ikut-ikutan.
Dava lalu memanggil pelayan untuk memesan semua pesanan sahabatnya.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya pelayan itu dengan sopan.
“Tolong cappucino nya 4 sama camilan yang paling enak disini.”
Pelayan itu mencatat pesanan Dava. “Tolong ditunggu sebentar ya, Pak,” ucapnya lalu melangkah pergi.
“Dav, lo itu orang yang sangat susah kalau diajak ngumpul bareng, dengan alasan lo lagi sibuk sama cewek-cewek lo itu. Tapi sekarang lo justru yang ngajak kita-kita buat ngumpul. Lo lagi ada masalah?” tanya Jonathan penasaran.
“Gak. Gue lagi gak ada masalah. Gue ajak kalian kesini, karena gue mau kasih tau kalian, kalau sebentar lagi gue mau nikah,” ucap Dava dengan nada santai, padahal kabar yang dirinya sampaikan membuat terkejut Jonathan, Tegar, dan Rendy.
Karena selama ini mereka bertiga tau, kalau Dava tak akan mau menikah lagi setelah Dina meninggal dunia, karena baginya hanya Dina wanita yang sangat dia cintai. Tapi kini, tiba-tiba saja sahabatnya itu memberitahu kalau akan segera menikah.
“Dav, lo lagi gak bercandakan?” tanya Tegar sambil mengernyitkan dahinya.
“Iya, Dav. Kalau lo emang hanya bercanda, bercanda lo sudah kelewatan.” Rendy ikut berkomentar.
“Apa kalian lihat, kalau gue lagi bercanda?” tanya Dava sambil menunjuk ke arah wajahnya sendiri dengan kedua jari telunjuknya.
“Tapi lo pernah bilang sama kita-kita, kalau lo gak akan menikah lagi. Lo akan setia sama Dina sampai mati. Apa lo tiba-tiba berubah pikiran?” Jonathan ikutan penasaran.
Dava menghela nafas panjang. “Gue berubah pikiran.”
“Kenapa? selama ini gue sudah berusaha kenalin lo sama teman-teman Diva, sama karyawan gue, sama teman-teman Linda juga. Tapi satupun gak ada yang menarik di mata lo.”
Seorang pelayan datang mengantar pesanan Dava, meletakkan 4 cangkir cappucino dan tiga piring camilan ke atas meja. Setelah itu pelayan itu pamit undur diri.
“Gue bosen, tiap hari nyokap gue minta gue buat nikah. Nyokap gue selalu menjodohkan gue sama anak-anak teman nyokap gue. Jadi, gue terpaksa harus mencari calon yang benar-benar tepat buat jadi istri gue.”
“Siapa wanita yang beruntung itu?” tanya Jonathan, Tegar, dan Rendy bersamaan. Setelah itu mereka tergelak karena memberikan pertanyaan yang sama kepada Dava.
Karena mereka memang benar-benar penasaran, siapa wanita yang berhasil mengubah pendirian seorang Dava Rahendra. Padahal selama ini mereka bertiga sudah berusaha mencarikan jodoh untuk sahabatnya itu, tapi satupun tak ada yang menarik di mata sahabatnya itu.
“Apa dia Anita?” tanya Jonathan sambil mengernyitkan dahinya.
“Anita? Siapa dia?” kini Tegar yang bertanya.
“Pacar baru Dava, seorang perawat di rumah sakit.”
“Bukan. Gue sudah putus sama Anita. Gadis itu namanya Siska. Dia anak kuliahan,” ucap Dava lalu mengambil secangkir cappucino yang tadi dirinya pesan, meniupnya secara perlahan untuk mengurangi suhu panasnya, lalu menyesapnya secara perlahan.
“Waw ... anak kuliahan. Hebat juga lo, dapat daun muda. Berapa usia dia?” Rendy ikutan kepo.
“20 tahun.” Dava kembali meletakkan secangkir cappucino itu ke atas meja.
“Mantap, malam pertama bisa belah duren lo. Kirain lo dapat janda. Lo duda, dia janda. Pas,” ucap Rendy sambil menjentikkan jarinya.
“Ck, lo itu ya, yang ada di otak lo cuma lobang mulu. Bini lo sudah gak bisa buat lo puas?” Tegar kayaknya sudah bersiap ngajak ribut Rendy.
“Lah ... emang ucapan gue salah? Benarkan kalau dapat gadis, nanti malam pengantinnya belah duren. Kecuali dapat janda, itu mah langsung terobos aja gak ada tantangannya,” celetuk Rendy lalu memasukkan stick kentang ke dalam mulutnya.
“Ada juga loh yang mengaku gadis ternyata rasa janda,” ucap Jonathan yang sontak langsung membuat ketiga sahabatnya tergelak.
“Dav, Siska gimana tuh? Gadis rasa gadis, atau malah gadis rasa janda?” canda Rendy di sela tawanya.
“Ck, mana gue tau, nyobain aja belum. Besok kalau gue sama dia udah sah, gue akan kasih tau kalian, malam pertama gue ada tantangannya atau malah lancar jaya kayak jalan tol,” ucap Dava lalu mengambil stick kentang lalu dimasukkan ke dalam mulutnya.
“Tapi kalau lo beneran mau nikah, kita-kita ikutan seneng. Akhirnya sahabat kita ini yang ngakunya betah melajang, kini akhirnya akan melepas masa lajangnya,” ucap Jonathan sambil menepuk bahu Dava.
“Iya, Dav. Kita ikutan seneng kok. Kita-kita bakalan datang ke nikahan lo entar. Iya gak, Ren?” Tegar bertanya sambil menoleh ke arah Rendy yang duduk di sebelahnya.
“Yoi. Lumayan kan, bisa makan gratis,” ucap Rendy sambil menggerakkan kedua alisnya naik turun.
“Ck, makanan mulu yang lo pikirin!” decak Tegar lalu mengambil secangkir cappucino dari atas meja, lalu menyesapnya secara perlahan.
“Aish! Sial! Panas banget!” umpat Tegar saat lidahnya terasa panas.
“Itu kan masih panas, lo aja yang main nyosor!” decak Rendy sambil geleng kepala.