Semenjak lamarannya diterima oleh kedua orang tua Siska, Dava mulai bisa menjalani hari-harinya dengan tenang. Seminggu sudah berlalu sejak dirinya datang ke rumah Siska untuk melamar wanita itu.
Dava sesekali memang mendatangi apartemen Siska, untuk memastikan kalau gadis yang sama sekali tak tertarik dengan pesonanya itu kabur sebelum hari pernikahan mereka tiba.
Dava mengulum senyum, saat mengingat bagaimana wajah Siska saat itu. Dimana wajah cantik itu terlihat sangat kesal saat mamanya justru membelanya dan tak mendengar kata-katanya.
“Sekarang kedua orang tua lo sudah ada dipihak gue. Lo gak akan pernah bisa lepas dari gue lagi,” ucapnya sambil menyunggingkan senyumannya.
Kedua telinga Dava mendengar suara pintu diketuk. “Masuk,” sahutnya dari dalam dengan tatapan mengarah ke arah pintu.
Pintu yang berwarna coklat itu mulai terbuka dengan perlahan, menampakkan wajah cantik sang sekretaris dengan pakaian kerjanya yang memang selalu seksi. Rok di atas lutut, dipadukan dengan kemeja berlengan pendek yang agak kekecilan, sehingga bagian atas tubuhnya terlihat begitu menggoda.
Tapi sayang, tubuh seksi itu sama sekali tak bisa menarik perhatian Dava, karena Dava sudah berjanji pada dirinya sendiri, tak akan pernah menjalin hubungan dengan sekretarisnya maupun karyawannya yang lain.
“Ada apa, Rin?”
Rini melangkah masuk ke dalam ruangan itu dengan bagian belakang yang meliuk-liuk bak foto model.
“Maaf, Pak. Ada Ibu Anita yang ingin bertemu dengan Bapak,” ucapnya dengan sopan.
“Anita? Mau apalagi dia kesini?” gumam Dava dalam hati.
“Suruh dia masuk.”
Rini menganggukkan kepalanya, ia lalu membalikkan tubuhnya dan kembali berjalan menuju pintu, dimana saat ini Anita tengah menunggunya di luar ruangan Dava.
“Silahkan masuk, Bu. Pak Dava sudah menunggu di dalam.” Rini lalu menyingkir dari depan pintu.
“Terima kasih,” ucap Anita dengan menepiskan senyumannya.
Ini adalah pertama kalinya Anita menginjakkan kakinya di kantor Dava, karena selama dirinya berhubungan dengan Dava, ia tak pernah datang ke kantor kekasihnya itu.
Apalagi hubungan mereka hanya berjalan singkat, karena Dava memutuskan dirinya secara sepihak dengan alasan yang sama sekali tak pernah dirinya bayangkan.
Dava beranjak dari duduknya, saat melihat Anita yang mulai melangkah masuk ke dalam ruangannya.
“Ada apa kamu kesini?” Dava menatap wajah sembab Anita, tapi dirinya tak akan pernah terpengaruh oleh wajah sedih mantan kekasihnya itu.
Apalagi ini bukan pertama kalinya dirinya mengakhiri hubungan dengan wanita yang sudah menghangatkan ranjangnya. Anita memang berbeda, karena dirinya adalah yang pertama untuk wanita itu. Tapi tetap saja, dirinya tak merasakan getaran apapun saat bersama dengan wanita itu.
Dava memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celananya, ia bahkan tak menyuruh Anita untuk duduk dan tetap membiarkan wanita itu berdiri tepat di depannya dengan kedua mata yang sampai detik ini masih betah menatap kedua matanya.
“Kenapa kamu diam? kenapa kamu datang kesini? apa kata-kata aku waktu itu masih kurang jelas?”
“Kenapa? kenapa kamu memperlakukan aku seperti ini? kenapa!” teriakan Siska menggema di seluruh ruangan itu.
Tapi untung saja ruangan Dava itu kedap suara, sehingga teriakan Siska tak terdengar sampai keluar.
“Aku gak perlu alasan buat mutusin kamu. Sejak awal aku juga pernah bilang sama kamu, kalau aku gak mau berkomitmen apa-apa sama kamu.”
Kedua tangan Anita mengepal erat, dengan kedua mata menatap Dava dengan sorot mata yang tajam.
“Tapi aku sudah memberikan semua yang aku miliki. Kamu sudah mengambil hal yang paling berharga yang aku miliki. Seharusnya kamu ....”
“Aku gak memintanya, kamu sendiri yang menyerahkan secara sukarela padaku,” potong Dava dengan entengnya yang membuat kepalan tangan Anita semakin mengerat hingga memperlihatkan urat-urat tangannya.
“Selain itu, aku sudah membayar mahal untuk kesucian yang sudah kamu berikan ke aku. Uang, barang-barang mewah, serta apartemen yang kamu tinggali sekarang, itu lebih dari cukup untuk membayar semua itu,” lanjutnya.
Anita melangkah maju, mengikis jarak antara dirinya dan Dava. Dirinya sangat merindukan pria tinggi bertubuh kekar yang saat ini berdiri di depannya dengan sangat angkuh.
Hatinya memang sakit, karena Dava memperlakukan dirinya dengan tidak adil. Tapi, rasa cinta di hatinya tak bisa dirinya kubur begitu saja. Semakin hari, rasa cinta itu semakin tumbuh bersemi di hatinya.
Apalagi rasa rindu yang dirinya rasakan selama beberapa hari tak bertemu dengan pria tampan itu, semakin menyesakkan dadanya, itu sebabnya Anita memberanikan diri untuk datang ke kantor Dava.
Selain untuk meluapkan rasa rindunya, dirinya juga ingin meminta penjelasan dari kekasihnya itu. Penjelasan dari ucapan Dava yang sama sekali tak dirinya harapkan bisa terucap dari mulut Dava begitu saja.
“Mas ....” Anita menggenggam tangan Dava.
“Kamu tau kan kalau aku sangat mencintaimu, itu sebabnya aku rela memberikan semua yang aku miliki.”
Anita kini meletakkan telapak tangan Dava di pipi kirinya. “Aku mohon, jangan tinggalkan aku. Aku gak mau putus dari kamu. Aku butuh kamu.”
Dava menarik tangannya dari genggaman tangan Anita. “Lebih baik kamu pergi dari sini. Kamu pastinya tau, kalau sebentar lagi aku akan menikah. Aku gak ingin kamu sampai mengacaukan semuanya.”
Dava lalu membalikkan tubuhnya, melangkahkan kakinya menuju meja kerjanya. Tapi langkahnya terhenti saat tiba-tiba Anita memeluknya dari belakang.
“Gak, Mas. Aku gak rela Mas buang aku kayak gini. Aku gak mau, Mas!”
Dava menghela nafas panjang, lalu membalikkan tubuhnya, melepaskan diri dari pelukan Anita.
“Jangan buat aku marah. Jadi lebih baik sekarang kamu ....”
Dava membulatkan kedua matanya saat melihat gerak tangan Anita, dimana saat ini kedua tangan itu mulai melepas kancing kemejanya satu persatu, hingga kedua matanya bisa melihat apa yang ada di balik kemeja berwarna biru muda itu.
Anita memang datang ke kantor Dava setelah selesai dengan pekerjaannya. Ia bahkan sampai mandi di toilet rumah sakit, karena ia tak ingin sampai Dava mencium baru keringat dari tubuhnya.
“Apa yang kamu lakukan, hah!” meskipun berteriak seakan melarang apa yang Anita lakukan, jakun Dava tetap bergerak naik turun saat dirinya menelan salivanya berkali-kali.
Apalagi saat ini Anita sudah berhasil menanggalkan kemeja yang tadi dipakainya, menyisakan celana jeans, serta penutup bagian atasnya yang berwarna hitam.
“Aku tau, Mas pasti juga menginginkannya. Aku tau, Mas pasti juga sangat merindukan aku kan?” kini kedua tangan Anita bahkan sudah melingkar di leher Dava, meniupkan nafas hangat di telinga pria tampan itu, hingga membuat suhu tubuh Dava meningkat tajam.
“Aku janji, Mas. Aku akan puaskan kamu dari sebelumnya. Kali ini Mas cukup diam saja, karena aku yang akan mengambil alih kendali.”
“Nit ....” suara Dava mulai terdengar serak, bersamaan dengan gejolak yang mulai menguasai tubuh dan pikirannya.
“Jangan pikirkan yang lain, Mas. Pikirkan saja kenikmatan yang akan kita dapatkan.” Anita mulai melepas jas yang Dava pakai, lalu melemparkannya ke atas meja kerja Dava.
“Aku gak minta untuk kamu nikahi, Mas. Tapi jangan tinggalkan aku. Aku butuh kamu.” Kini jemari-jemari lentik itu mulai melepas dasi yang Dava pakai dan melemparnya begitu saja ke sembarang arah.
Dava mencengkram erat kedua pergelangan tangan Anita, saat kedua tangan itu mulai bergerak untuk melepas kancing kemejanya.
“Jangan sampai aku kehilangan kesabaran. Jangan ....” ucapan Dava terhenti begitu saja, saat tiba-tiba Anita membungkam alat ucap itu, lalu menyesapnya dengan sangat rakus.
Anita tak akan membiarkan Dava mengeluarkan satu patah kata pun yang akan kembali menyakiti hatinya. Saat ini dirinya tak peduli dengan apa yang akan Dava pikirkan tentangnya, harga dirinya bahkan sudah tak penting lagi, karena saat ini yang terpenting baginya adalah Dava kembali lagi dalam genggamannya.
“b******k!” umpat Dava saat tubuhnya sama sekali tak menolak setiap sentuhan jemari lentik Anita.
Sentuhan yang sudah lama tak dirinya dapatkan dari wanita manapun, karena semenjak dirinya memutuskan untuk melamar Siska, dirinya tak lagi menjalin hubungan dengan wanita manapun, tentu saja hanya sampai Siska sudah sah menjadi istrinya.
Saking terbuai dengan apa yang Anita lakukan pada tubuhnya saat ini, Dava bahkan tak mendengar suara dering ponselnya yang sejak tadi berbunyi nyaring di atas meja kerjanya.
Kegiatan panas yang menguras tenaga dan keringat itu berlangsung cukup lama, hingga keduanya sama-sama lelah dan akhirnya berhenti ketika sama-sama mendapatkan puncak kepuasan dari permainan yang mereka mainkan di atas sofa panjang yang ada di dalam ruangan itu.
Anita membelai lembut dadanya Dava yang bidang, dimana d**a itu ditumbuhi bulu-bulu halus yang selalu membuatnya nyaman saat bersandar setelah aktivitas yang baru saja mereka lakukan.
“Terima kasih, Mas. Dengan begini aku yakin, kalau Mas masih menginginkan aku,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
Dava memejamkan kedua matanya sejenak, lalu kembali membukanya, menundukkan kepalanya menatap ke arah bawah, menatap sesuatu yang sudah kembali tidur setelah mendapatkan kepuasannya.
“Aku harap ini akan menjadi yang terakhir kalinya, Nit. Jangan pernah datang kesini lagi atau menemuiku lagi.”
Anita menggelengkan kepalanya, mengecup lembut pipi kanan Dava. “Aku gak mau. Aku akan datang kesini lagi, aku akan temui kamu lagi, Mas. Aku akan datang saat aku merindukan Mas dan dia,” ucapnya sambil menyentuh sesuatu yang sudah tertidur.
“Aku akan manjakan dia lagi, karena aku yakin, selama ini calon istri kamu itu belum pernah memanjakannya.”
Dava memejamkan kedua matanya. Merasakan setiap sentuhan lembut tangan Anita, membuat gejolak dalam tubuhnya semakin memanas.
“Aku hanya melakukan apa yang kamu inginkan, Nit. Kamu yang memintanya, bukan aku.”
Setelah itu hanya ada suara-suara kenikmatan yang keluar dari mulut Anita, karena saat ini bukan dirinya yang memulai, melainkan Dava. Kini giliran Dava yang mengambil alih kendali.
Dava—duda dengan stamina yang cukup kuat, dirinya tak akan pernah puas hanya dengan satu kali permainan, karena biasanya Anita selalu menemani Dava sampai 3 kali permainan, sampai tubuh mereka benar-benar lelah dan tak bertenaga lagi.
Sementara ini di tempat lain, Siska tengah duduk di sebuah restoran menikmati makan siangnya bersama dengan Gigi dan Dita. Dua sahabat yang selalu ada disaat dirinya butuh teman untuk berkeluh kesah.
“Sis, kamu beneran mau menikah sama Om Dava?” Gigi masih tak percaya, kalau sahabatnya itu akan menikah dalam waktu dekat ini.
Menikah dengan pria yang dulu pernah sahabatnya tabrak dengan tidak sengaja, yang membuat sahabatnya itu dipermalukan di depan umum.
“Aku gak punya pilihan lain, Gi. Mama dan Papa gak mau mendengar penjelasan aku,” ucap Siska sambil mengaduk-aduk orange jus yang tadi dipesannya dengan sedotan yang ada di dalam gelas itu.
“Tapi Om Dava itu tampan lho, Sis. Kalau aku jadi kamu, aku gak akan pernah menyesal menikah sama Om Dava,” ucap Gigi sambil membayangkan wajah tampan Dava.
Dita memutar kedua bola matanya jengah. Sahabatnya yang satu ini memang mudah sekali terpesona dengan lawan jenisnya. Mungkin kalau kambing tetangganya didandani, sahabatnya itu pasti akan terpesona dan mengatakan kalau kambing tetangganya itu tampan.
“Sis, sekarang apa yang akan kamu lakukan? tinggal 3 minggu lagi hari pernikahan kamu sama dia?”
Siska menggeleng pasrah, karena dirinya juga tak tau harus berbuat apalagi agar pernikahannya dengan Dava bisa batal, sehingga dirinya tak perlu menikah dengan Dava.
“Mungkin memang sudah nasib aku harus menikah dengannya, Dit.”
Dita menggenggam tangan Siska yang satunya. “Aku punya ide. Tapi, apa kamu mau melakukannya?”
Dahi Siska mengernyit. “Ide? Ide apa itu?”
“Iya, Dit. Memangnya kamu mau ngasih ide apa ke Siska?” tanya Gigi yang juga ikutan kepo.
“Sis, gimana kalau kamu terima Dery jadi pacar kamu? mungkin dengan begitu Om Dava akan menyerah dan membatalkan rencana pernikahan kalian, kan secara tidak langsung kamu selingkuh tuh sama si Dery.”
Ucapan Dita membuat kedua mata Siska dan Gigi sama-sama membulat dengan sempurna.
Gigi menyentuh kening Dita. “Kamu gak apa-apa kan, Dit? Kamu gak lagi salah minum obat kan? Soalnya kamu sedikit demam deh ini.”
Dita menyingkirkan telapak tangan Gigi dari dahinya. “Kamu pikir aku sakit!”
“Kayaknya kamu memang sakit deh, Dit. Ya kali kamu minta aku jadian sama si Dery. Ogah lah! Mending aku nikah sama Om Dava daripada aku jadian sama si Dery!” kesal Siska yang tak menyangka sahabatnya itu akan memberikan ide yang justru akan semakin membuatnya menderita.
Dery memang tak jelek-jelek amat, tapi di kampusnya Dery terkenal sebagai playboy yang sering gonta ganti pasangan. Siska sendiri tak menyangka, si Dery bakalan terus mengejarnya sampai saat ini.
“Sis, gimana ya perasaan Dery saat dia tau kamu akan menikah?”
“Aku gak tau dan aku juga gak mau tau.”
“Tapi, Sis, kalau kamu dan Om Dava beneran menikah, gimana nasib tante itu?” Dita tiba-tiba teringat dengan wanita yang sudah menampar wajah sahabatnya itu.
Siska menghela nafas panjang, bayang-bayang saat Dava dengan lantang memutuskan hubungannya dengan Anita di depannya kembali melintas di otaknya.
“Mereka sudah putus.”
“Hah! Putus!” Gigi dan Dita sama-sama terkejut.
“Serius? Kamu yakin mereka beneran putus? Siapa tau sampai saat ini mereka masih menjalin hubungan,” ucap Dita yang tak bisa langsung percaya begitu saja kalau hubungan Dava dan Anita berakhir begitu saja.
Siska beranjak dari duduknya, entah mengapa selera makannya langsung hilang dalam sekejap.
“Aku juga gak perduli, kalau mereka memang masih menjalin hubungan. Itu juga bukan urusan aku,” ucapnya lalu membalikkan tubuhnya, melangkah kakinya melewati meja-meja yang tertata rapi di restoran itu, menuju pintu keluar.
Dita dan Gigi bergegas beranjak dari duduknya dan berjalan cepat mengikuti langkah sahabatnya itu.
“Apa maksud kamu, Dit? Kamu akan membiarkan Om Dava menjalin hubungan dengan wanita itu?” Dita masih belum paham maksud dari kata-kata sahabatnya itu.
“Kamu mau dipoligami, Sis?” kini giliran Gigi yang bertanya.
Siska menghentikan langkahnya, lalu membalikkan tubuhnya menghadap kedua sahabatnya itu.
“Aku akan membuat perjanjian pernikahan dengan Om Dava.”