Siska dan Anita sama-sama membulatkan kedua mata mereka.
“Apa, Mas! calon istri!” seru Anita dengan dahi mengernyit.
“Mas bercandakan?” lanjutnya.
Siska semakin membulatkan kedua matanya, saat Dava tiba-tiba merangkul bahunya dan menarik tubuhnya agar semakin mendekat.
“Aku serius. Siska, dia calon istriku.”
“Gak!” Anita tetap tidak percaya dengan apa yang Dava katakan, dirinya tak terima Dava perlakukan seperti ini.
Apalagi setelah apa yang mereka lakukan selama ini. Anita bahkan sudah menyerahkan semuanya kepada Dava. Hatinya, tubuhnya, bahkan kalau perlu semuanya, karena dirinya tak mungkin rela kehilangan Dava.
“Apa Mas pikir aku akan percaya dengan apa yang Mas katakan?”
Anita menangkup kedua pipi Dava, ia lalu tersenyum.
“Aku tau, Mas hanya ingin membuat aku cemburukan? Mas hanya ingin menguji ketulusan cintaku kan? Iya kan, Mas?”
Dava menyingkirkan kedua telapak tangan Anita dari wajahnya.
“Aku serius, Nit. Maaf, karena aku gak bisa lagi melanjutkan hubungan kita.”
Anita melangkah mundur dengan kepala yang terus menggeleng. Dirinya tak terima dengan keputusan Dava.
“Gak! Aku gak mau, Mas! aku gak mau!”
Anita lalu menatap ke arah Siska yang sejak tadi memilih untuk diam.
Siska sama terkejutnya dengan Anita. Bagaimana bisa pria yang berdiri di sampingnya ini dengan begitu mudahnya mengatakan semua itu. Bahkan raut wajahnya sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun.
“Kamu!” seru Anita langsung melangkah mendekati Siska dan mencengkram kaos yang Siska pakai.
“Apa yang sudah kamu lakukan sama Mas Dava, sampai Mas Dava lebih memilihmu dan meninggalkan aku, hah!”
“Apa yang kamu lakukan, Nit!” seru Dava mencoba untuk melepas cengkraman tangan Anita pada kaos Siska.
“Apa maksud, Tante?”
“Apa kamu juga sudah menyerahkan kesucian kamu pada Mas Dava, sama seperti yang aku lakukan!”
Kedua mata Siska membulat dengan sempurna.
"Apa! ja-jadi Om Dava sudah... sudah...," gumam Siska dalam hati dengan raut wajah terkejut.
Siska kini menoleh ke arah Dava yang sama sekali tak terpengaruh dengan ucapan Anita.
“Anita, cukup!” Dava berhasil melepaskan cengkraman tangan Anita pada tubuh Siska.
Dava melihat sekeliling, dimana saat ini dirinya, Siska, dan Anita sudah menjadi pusat perhatian semua orang.
"Sial!" umpatnya dalam hati.
“Mas, Mas gak akan ninggalin aku kan? Mas gak akan mutusin aku kan?” pinta Anita sambil menggenggam tangan Dava.
Siska menatap sekeliling. Saat ini dirinya benar-benar merasa sangat malu, karena situasi saat ini semakin menyudutkan dirinya.
Semua orang pasti menganggapnya sebagai wanita hina yang telah merebut Dava dari Anita.
Kedua telinga Siska bahkan mendengar bisik-bisik dari dua wanita yang berdiri tak jauh darinya. Dimana kedua wanita itu tengah menyebutnya sebagai perebut laki orang.
“Cantik-cantik tapi kok perebut pacar orang.”
“Iya nih. Aku kasihan deh sama cewek satunya. Kok dia jahat banget sih. Padahal masih muda gitu, masa suka sama yang lebih tua dari dia.”
“Hati-hati. Jaga suami kamu, siapa tau itu cewek memang mengincar pria-pria kaya agar bisa dikuras hartanya.”
Sepertilah itulah bisik-bisik yang Siska dengar dari arah belakangnya.
“Om, jujur aku malu, Om. Sekarang semua orang memandang hina aku. Disini aku gak tau apa-apa. Om yang menyeretku ke dalam masalah Om. Jadi aku harap, jangan pernah melibatkan aku dalam masalah Om lagi.”
Setelah mengatakan itu, Siska melangkah menuju ruang ganti untuk mengganti gaun yang dipakainya dengan pakaian yang tadi dipakainya.
"Sial! Kenapa hidupku se-sial ini sih! Pelakor? Helo, siapa yang pelakor? Enak aja mereka mengataiku pelakor."
Dengan kesal Siska mengganti gaun yang dipakainya. Ia lalu memakai kembali pakaian yang tadi dipakainya. Setelah selesai, Siska keluar dari ruang ganti itu dan memberikan gaun yang tadi dicobanya kepada pelayan butik itu.
“Aku ambil gaun ini.”
Pelayan butik itu menganggukkan kepalanya dan mengajak Siska untuk mengurus pembayarannya.
Sedangkan Dava membawa Anita pergi dari tempat itu, karena dirinya tak ingin menjadi tontonan gratis buat para pengunjung butik itu.
“Apa kamu gak sadar, apa yang tadi kamu lakukan sudah mempermalukan aku!” Dava melajukan mobilnya dengan membelah jalanan.
“Mas, kenapa Mas marah sama aku? seharusnya yang marah itu aku loh. Mas yang sudah selingkuh dengan gadis murahan itu!”
Dava mengeratkan genggaman tangannya pada setir kemudi. Ia mencoba untuk menahan amarahnya, karena dirinya tak ingin sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Dava menghentikan mobilnya di sebuah taman. Ia lalu membuka pintu dan keluar dari mobil, begitu dengan Anita.
“Nit, apa kata-kata aku tadi masih kurang jelas?”
“Aku gak mau putus. Aku mencintaimu, Mas. Apa semua yang udah aku kasih belum cukup untuk membuktikan kalau aku mencintaimu?” Anita membelai lembut pipi Dava, berharap kali ini Dava akan kembali luluh padanya.
Dava menyingkirkan telapak tangan Anita dari wajahnya.
“Maaf, Nit. Aku gak bisa. Aku akan tetap menikahi Siska.”
Anita mengepalkan kedua telapak tangannya.
“Apa sih yang sudah dia kasih ke kamu, Mas! apa! sampai kamu tega ninggalin aku!” geramnya.
“Dia gak kasih apa-apa ke aku. Tapi aku akan tetap menikahinya. Aku minta maaf, karena aku harus mutusin kamu dengan cara seperti ini. Tapi, semua yang sudah aku kasih ke kamu, itu sudah cukup untuk mengganti rugi untuk kesucian kamu yang sudah aku renggut.”
“b******k!” Anita melayangkan tangan kanannya tepat mengenai pipi kiri Dava.
“Setelah apa yang sudah aku lakukan selama ini, kamu dengan begitu mudahnya mengatakan semua itu, Mas!”
Dava mengusap pipi kirinya yang masih terasa panas karena tamparan keras yang Anita berikan pada wajahnya.
Dava lalu menyunggingkan senyumannya.
“Aku gak pernah maksa kamu untuk menyerahkan kesucian kamu padaku. Kamu sendiri yang datang ke apartemen aku dan menyerahkan tubuhmu padaku. Apa kamu lupa itu?”
“Aku melakukan itu karena aku mencintaimu, Mas. Aku percaya, kalau Mas gak akan pernah ninggalin aku.” kedua mata Anita mulai berkaca-kaca.
“Sekarang aku tanya sama kamu, apa aku pernah bilang kalau aku mencintaimu? Apa aku pernah berjanji padamu akan menikahimu?”
“Tapi... tapi kita kan sudah....”
“Aku melakukan hubungan itu bukan hanya sama kamu, Nit. Asal kamu tau itu.”
Dava mencengkram dagu Anita.
“Dengar baik-baik kata-kataku ini. Jangan pernah kamu tunjukan wajahmu di hadapanku lagi, kecuali kamu berani untuk menanggung akibatnya. Aku gak pernah main-main dengan ucapan aku ini.”
Dava lalu melepaskan cengkraman tangannya, lalu beralih mengusap lembut pipi Anita.
“Semua yang aku berikan ke kamu, itu sudah lebih dari cukup untuk membayar kesucian yang sudah aku renggut darimu.”
Anita mengepalkan kedua telapak tangannya. Dirinya tak menyangka, cinta sucinya akan dibalas Dava dengan rasa sakit yang teramat sakit yang saat ini dirinya rasakan.
Dava mengambil dompet dari saku belakang celananya. Ia lalu mengambil kartu kredit dari dalam dompetnya.
Dava menengadahkan telapak tangan kanan Anita, meletakkan kartu kredit itu di telapak tangan Anita.
“Uang yang ada di dalam kartu ini, lebih dari cukup untuk membiayai hidup kamu dan keluarga kamu. Tapi, ingat satu hal yang tadi aku katakan sama kamu. Jangan pernah kamu mengganggu Siska, atau kamu akan berhadapan denganku. Cam kan itu baik-baik!” ancam Dava lalu melangkah menuju mobilnya.
Dava melajukan mobilnya pergi dari taman itu, meninggalkan Anita yang saat ini tengah meratapi nasib buruknya.
Sementara ini, Siska memilih untuk pergi ke rumah Dita. Ia tak ingin bertemu dengan Dava ataupun siapapun. Harga dirinya benar-benar terluka karena sikap Anita yang sudah mempermalukannya di depan umum.
“Sis, apa ada yang ingin kamu ceritakan sama aku?”
Siska menundukkan wajahnya.
“Bukannya aku gak mau cerita. Tapi suasana hati aku sedang tak baik-baik saja.”
“Apalagi masalah kamu? apa ini ada hubungannya dengan Om itu?”
Siska menganggukkan kepalanya. Ia lalu menoleh ke arah Dita yang duduk di sampingnya.
“Dit, aku gak mau menikah dengan Om itu.”
“Aku gak tau, apa yang terjadi antara kamu dan Om itu, sampai akhirnya Om itu mau melamar kamu kepada kedua orang tuamu. Apa kamu bisa jelasin semuanya ke aku, agar aku bisa paham tentang masalah yang sedang kamu hadapi saat ini?”
Siska akhirnya menjelaskan kepada Dita tentang awal mula masalah yang dirinya hadapi saat ini. Dimana semua masalahnya saat ini berpusat pada satu orang, yaitu Dava.
“Astaga! jadi seperti itu ceritanya. Gila aja itu Om-Om. Ya kali udah dibantu bukannya berterima kasih, tapi malah membuat kamu dalam masalah besar kayak gini. Tapi yang lebih parah lagi, pacar Om itu nuduh kamu sebagai pelakor?”
Siska menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Dit, apa aku kabur aja ya? kemana kek yang penting itu Om Dava gak bisa nemuin aku.”
“Memangnya kamu mau pergi kemana?”
Siska menggelengkan kepalanya, karena dirinya sendiri tak tau harus kabur kemana untuk menghindari Dava.
“Apa aku menginap di apartemen kamu aja ya, Dit? Om Dava kan gak tau soal apartemen kamu ini?”
Dita mengangguk setuju. Ia akan lebih senang kalau Siska ingin tinggal bersamanya.
“Makasih ya, Dit. Kamu memang sahabat terbaik aku,” ucap Siska lalu memeluk Dita dengan sangat erat.
Kedua telinga Dita dan Siska mendengar suara perut Siska yang berbunyi.
Siska melepaskan pelukannya, lalu nyengir kuda.
“Kamu belum makan siang?”
Siska menggelengkan kepalanya.
“Kamu ada makanan gak?”
“Kamu mau makan apa? biar aku pesankan.”
“Terserah kamu aja deh.”
Dita lalu memesankan makanan untuk Siska lewat aplikasi gofood yang ada di ponselnya.
“Sis, kalau kamu capek, kamu bisa istirahat dulu, nanti kalau makanannya sudah datang, aku akan panggil kamu.”
“Hem. Makasih ya, Dit. Kalau begitu aku ke kamar dulu.” Siska beranjak dari duduknya, lalu melangkah menuju kamar yang ada di sebelah kamar Dita.
Siska butuh waktu untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Ia memilih untuk merebahkan tubuhnya.
Sedangkan Dita, saat ini tengah melihat acara kesukaannya di layar datar yang ada di depannya saat ini. Hingga kedua telinganya mendengar suara bel berbunyi.
"Mungkin itu makanan yang aku pesan untuk Siska."
Dita lalu beranjak dari duduknya, melangkah menuju pintu untuk membuka pintu.
“Om!” Dita terkejut, saat melihat Dava ada di depan pintu apartemennya.
“Om tau darimana apartemen aku?”
“Itu gak penting, dimana Siska? Aku tau kalau Siska ada disini. Siska! Keluar kamu!” teriak Dava keras hingga membuat kedua mata Dita membulat dengan sempurna.
“Lebih baik Om pergi dari sini, karena Siska gak ada disini.”
“Aku tau Siska ada disini.” Dava mendorong tubuh Dita dan memaksa masuk ke dalam apartemen Dita.
“Om!” seru Dita lalu bergegas mengejar Dava.
“Om gak bisa main masuk apartemen aku!”
“Aku akan pergi bersama dengan Siska.” Dava mendudukkan tubuhnya di sofa ruang depan.
“Tapi Siska gak ada disini, Om!”
Dava menyunggingkan senyumannya. Kini tatapannya mengarah ke arah paperbag yang ada di atas meja.
“Aku tau Siska ada disini. Kalau kamu gak mau memanggil Siska sekarang, aku akan pastikan kamu akan menyesal.” Dava berbicara dengan kedua tangan yang terlipat di depan dadanya.
“Kenapa Om maksa Siska untuk menikah sama Om?”
“Kamu gak perlu tau.” Dava sepertinya sudah mulai kehabisan kesabaran. Ia lalu beranjak dari duduknya.
“Aku gak punya banyak waktu. Dimana Siska sekarang?”
Dita hanya diam. Hingga kedua telinganya mendengar suara bel berbunyi. Mau tak mau dirinya harus membukakan pintu itu.
Dava melihat seluruh ruangan yang ada di apartemen Dita. Ia lalu menyusuri setiap ruangan, hingga kakinya kini berhenti di depan pintu sebuah kamar.
"Aku yakin Siska ada di kamar ini."
Dava lalu menggerakkan tangan kanannya untuk membuka pintu yang ternyata tak dikunci dari dalam.
Dava tersenyum, saat melihat Siska yang tengah terlelap dalam tidurnya. Ia lalu melangkah masuk ke dalam kamar itu. Ia tatap wajah tenang Siska saat terlelap dalam tidurnya.
Dava mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang, ia tatap wajah cantik Siska.
"Bocah ingusan ini cantik juga. Tapi sayang, dia sangat keras kepala," gumamnya dalam hati.
Dava mendengar suara derap langkah kaki yang mendekat. Ia lalu menatap ke arah pintu.
“Aku akan bawa Siska pergi.”
“Aku gak akan izinkan Om bawa Siska.”
“Kamu gak berhak melarangku.” Dava sebenarnya masih ingin melihat wajah lelap Siska, tapi sekarang waktunya tak tepat, karena dirinya harus segera membawa Siska untuk bertemu dengan kedua orang tuanya.
“Sis, bangun.” Dava menggoyang lengan Siska, hingga membuat kedua mata yang semula terpejam itu kini mulai terbuka dengan perlahan.
“Kita harus segera pergi.”
Siska yang sudah mendapatkan kesadarannya kembali, begitu terkejut saat melihat Dava di dalam kamar itu.
“Om! Sedang apa Om disini! Bagaimana bisa Om tau apartemen Dita?” Siska bahkan sudah bangun dan sekarang dalam posisi duduk menghadap Dava.
“Aku gak punya banyak waktu untuk menjelaskan sama kamu, lebih baik sekarang kamu bersiap-siap. Aku akan ajak kamu ke rumahku.”
“Gak! Aku gak akan ikut sama Om!”
Dava mengernyitkan dahinya.
“Apa maksud kamu? apa kamu akan ingkar janji?”
Siska menundukkan wajahnya.
“Sebaiknya Om pergi dari sini.”
Siska terkejut, saat Dava menangkup kedua pipinya dan membungkam mulutnya dengan sangat kasar. Ini kedua kalinya Dava mencuri ciumannya.
Dita yang ada di dalam kamar itu juga terkejut melihat sikap Dava yang dengan lancang mencium bibir Siska.
Siska mencoba untuk mendorong tubuh Dava, tapi usahanya sia-sia. Kini dirinya hanya bisa pasrah dengan kedua sudut mata yang sudah mengalirkan cairan bening.
Dava mengakhiri pangutannya. Ia lalu mengusap bibir Siska yang basah karena ulahnya.
“Kamu tau apa yang akan aku lakukan kalau kamu melawan perintahku kan?” Dava sebenarnya tak ingin bersikap sejauh ini. Tapi, dirinya terpaksa melakukan itu, karena hanya itu caranya agar Siska mau menurut padanya.
Dava bahkan tak peduli dengan cairan bening yang kini sudah membasahi kedua pipi Siska.
“Aku akan tunggu diluar. Lebih baik sekarang kamu bersiap-siap. Kalau kamu melawan lagi, aku bisa melakukan lebih dari ini,” ancamnya lalu beranjak dari duduknya dan melangkah mendekati Dita.
“Kamu bantu dia bersiap-siap. Buat dia secantik mungkin,” ucap Dava lalu melangkah keluar dari kamar itu.
Kini Siska dan Dava sedang dalam perjalanan menuju rumah kedua orang tua Dava. Dava sengaja datang lebih awal, karena dirinya ingin Siska lebih dekat dengan keluarganya.
“Jangan pasang wajah cemberut saat bersama dengan keluargaku.”
Siska hanya diam dengan tatapan masih menatap keluar jendela.
Dava menghentikan mobilnya tepat di depan rumah kedua orang tuanya.
“Keluar sekarang,” ucapnya lalu membuka pintu dan melangkah keluar dari mobil.
Siska menatap bangunan dua lantai yang saat ini berdiri kokoh di depannya. Ia lalu menatap ke arah tangan kanannya, dimana saat ini telapak tangannya tengah digenggam erat oleh Dava.
“Kita mulai sandiwaranya sekarang.” Dava lalu mengajak Siska melangkah menuju pintu rumahnya.
Dava membuka pintu rumah itu dengan perlahan, lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan Siska yang berjalan di sampingnya.
“Sayang, kamu sudah datang.” Santi memeluk anak semata wayangnya itu, melepaskannya, lalu menatap gadis cantik yang berdiri di samping putranya.
“Sayang... dia....”
Dava merangkul bahu Siska, lalu mengecup pelipis Siska, hingga membuat tubuh Siska menegang.
Siska menatap ke arah Dava.
“Ma, dia Siska, calon menantu Mama,” ucap Dava dengan senyuman di wajahnya.
Siska mencium punggung tangan Santi, bagaimanapun dirinya harus tetap menghormati orang yang lebih tua darinya. Kecuali sikapnya kepada Dava yang sudah seperti musuh bebuyutan.
“Selamat datang di rumah Tante, Sayang. Tante tak menyangka, ternyata kamu masih sangat muda. Cantik lagi,” puji Santi sambil mengusap lengan Siska.
Santi tak menyangka, wanita yang Dava bawa dihadapannya masih sangat muda. Bahkan usianya jauh dibawah Dava, hingga menimbulkan keraguan di hatinya.
“Terima kasih, Tante. Saya juga senang bertemu dengan Tante. Em....” Siska menatap ke arah Dava. Saat ini dirinya bingung harus memanggil Dava apa di depan mamanya Dava.
Dava tersenyum sambil mengusap lembut pipi Siska.
“Ada apa, Sayang? apa yang sedang kamu pikirkan?”
Santi mengulum senyum, saat melihat bagaimana Dava memperlakukan Siska dengan sangat lembut. Tapi apa yang Santi rasakan, berbanding terbalik dengan apa yang Siska rasakan saat ini.
Dimana saat ini tiba-tiba jantungnya berdetak dengan sangat cepat, saat kedua telinganya mendengar kata sayang yang terucap dari mulut Dava. Dimana untuk pertama kalinya Dava memanggilnya dengan panggilan sayang.
Kedua mata Siska semakin membulat dengan sempurna, saat Dava mengecup keningnya dengan lembut.
“Sayang, kok bengong sih. Apa kamu merasa malu saat bertemu dengan Mama aku?”
“Bu-bukan begitu. A-aku hanya....”
Siska menghentikan ucapannya, saat dirinya merasakan usapan lembut di lengannya. Ia lalu mengalihkan tatapannya guna menatap mamanya Dava.
“Tante tau, kamu pasti terkejut, saat Dava mengajakmu untuk datang kesini. Tapi, Tante sangat berterima kasih, karena kamu mau memenuhi undangan Tante untuk makan malam disini,” ucap Santi dengan senyuman di wajahnya.
Siska menganggukkan kepalanya. Entah mengapa saat dirinya menatap tatapan teduh mamanya Dava, membuatnya merasa tak enak hati kalau harus mengecewakan wanita paruh baya itu.
“Tante tak perlu berterima kasih sama saya, karena ini sudah kewajiban saya untuk memenuhi undangan Tante.”
Siska dengan ragu merangkul lengan Dava, ia lalu menatap kedua mata hanzel Dava.
“Mas Dava bilang sama saya, kalau Tante ingin bertemu dengan saya,” ucapnya dengan senyuman yang dipaksakan.
Dava mengulum senyum. Ia tak menyangka, Siska sangat pandai bersandiwara.