Dava terkejut, saat melihat Siska yang mengikuti ajakan sang mama.
Dimana Santi saat ini mengajak Siska untuk membantunya menyiapkan makan malam.
"Seriusan nih itu bocah ingusan bisa masak?" gumamnya dalam hati.
Dava yang masih ragu dan tak ingin sampai Siska mempermalukannya di depan sang mama, akhirnya memilih untuk ikut ke dapur. Dirinya tak yakin, Siska bisa memasak.
“Ma, kenapa Mama minta Siska untuk bantuin Mama? kan ada Bibi. Semua kan tugas Bibi, Ma.” Dava menarik salah satu kursi mini bar lalu didudukinya. Ia akan memantau gerak gerik Siska dari tempatnya saat ini.
Dava juga tak ingin sampai Siska membocorkan tentang sandiwara mereka saat ini kepada sang mama.
“Kenapa, Sayang? apa kamu takut Mama akan menyiksa calon istri kamu ini?” goda Santi sambil tersenyum menatap Siska yang berdiri di sampingnya.
“Bukan gitu, Ma. Aku hanya gak ingin sampai Siska justru malah mengganggu pekerjaan Mama.”
Santi mengusap lengan Siska dengan lembut. Sejujurnya, dirinya bersyukur, gadis secantik dan semuda Siska mau menikah dengan putranya yang bahkan sudah berstatus duda.
“Sayang, apa kamu bisa memasak?”
Siska menatap ke arah Dava yang saat ini juga tengah menatap ke arahnya.
“Em... bisa sih, Tante. Tapi gak begitu jago juga,” ucap Siska sambil menepiskan senyumannya.
Santi mengangguk mengerti.
“Maaf ya, Tante mengundangmu kesini untuk makan malam. Tapi sekarang Tante malah meminta kamu untuk membantu Tante menyiapkan makan malam.”
Santi lalu menatap sang putra tercinta.
“Tante gak tau, kalau anak Tante yang sudah tua itu, akan membawa kamu lebih awal. Jadi Tante belum selesai menyiapkan menu makan malamnya.”
Dava tak terima, saat sang mama menyebutnya sudah tua, meskipun kenyataannya dirinya memang sudah tua.
"Umur boleh tua, tapi jangan tanya, stamina masih anak muda," gumamnya dalam hati.
Dava berbangga hati, karena selama ini dirinya sudah berhasil memuaskan wanita-wanita yang berakhir di ranjangnya untuk menghangatkan malam dinginnya.
“Ma....” Dava beranjak dari duduknya, lalu melangkah menghampiri sang mama dan Siska.
Dava lalu memegang kedua bahu sang mama dari belakang.
“Lebih baik sekarang Mama temui Papa, kasih tau Papa, kalau calon menantunya sudah datang. Soal menu makan malam, serahkan sama aku dan calon menantu Mama ini.”
“Tapi, Sayang....”
“Mama tenang saja. Pokoknya malam ini akan menjadi malam yang tak akan pernah Mama dan Papa lupakan, karena ini pertama kalinya calon menantu Mama akan membuatkan makan malam untuk Papa dan Mama.”
Kedua mata Siska membulat dengan sempurna.
"Hah! Yang benar saja!" umpat Siska dalam hati.
Dava menatap Siska sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Bolehkan sekali-kali aku ngerjain bocah ingusan yang keras kepala ini," gumamnya dalam hati.
Santi menggenggam tangan Siska, karena dirinya tak tega meminta Siska yang tak lain tamu di rumahnya untuk memasak menu makan malam untuk keluarganya.
“Sayang, kamu yakin, mau memasak makan malam untuk kita semua?”
Siska tetap menunjukkan senyuman di wajahnya, meskipun hatinya sejak tadi mengumpat atas sikap Dava.
“Em... gak apa kok, Tan. Nanti Mas Dava juga akan bantuin saya. Ide Mas Dava juga bagus, karena dengan begitu saya bisa menghidangkan masakan pertama saya untuk Tante dan Om.”
Dava merangkul bahu Siska tanpa meminta izin terlebih dahulu, lalu mengecup pelipis kiri Siska dengan lembut.
“Terima kasih, Sayang. Aku janji, aku akan bantu kamu. Malam ini kita akan buat menu makan malam yang tak akan pernah terlupakan sepanjang hidup kita.”
Santi hanya geleng kepala melihat bagaimana Dava menunjukkan perhatiannya kepada calon menantunya itu. Meski ragu, dirinya tetap mengikuti apa mau Dava.
“Kalau begitu Mama akan temui Papa kamu dulu.”
Santi lalu menatap ke arah Siska.
“Tante pergi dulu ya, Sayang. Kamu bisa panggil Tante kalau membutuhkan bantuan,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya.
Siska menganggukkan kepalanya dengan senyuman di wajahnya.
Siska menatap kedua mata hazel Dava dengan sorot mata yang tajam, setelah Santi keluar dari dapur.
“Sebenarnya apa mau Om! Kenapa Om bilang kayak gitu tadi!” geramnya dengan kedua telapak tangan mengepal.
Dava hanya diam, lalu melangkah menuju lemari untuk mengambil appron yang ada di dalam laci lemari itu. Ia lalu kembali melangkah mendekati Siska dan memakaikan appron itu di tubuh Siska.
Siska menatap penampilannya saat ini.
“Om serius minta aku untuk memasak?” tanyanya sambil mengernyitkan dahinya.
Dava menganggukkan kepalanya. Ia lalu melipat kedua tangannya di depan dadanya.
“Kenapa? bukannya tadi kamu bilang bisa memasak? Jangan bilang kalau kamu tadi berbohong sama Mama aku?”
“Tapi Om mengundang aku kesini untuk makan malam, bukan untuk memasak makan malam untuk keluarga, Om. Jangan bilang Om hanya ingin mengerjai aku ya!” geram Siska dengan kedua telapak tangan mengepal.
Dava mulai mengambil sayuran dari atas meja, lalu mulai memotongnya.
“Kita gak punya banyak waktu. Jangan buat kedua orang tuaku menunggu. Anggap saja ini sebagai kesan pertama kamu buat keluargaku.”
Siska memutar kedua bola matanya jengah.
"Kesan pertama? Siapa juga yang mau menjadi menantu di rumah ini," gumamnya dalam hati.
Dava mengernyitkan dahinya, saat melihat Siska yang malam mendudukkan tubuhnya di kursi yang ada di depan meja dapur.
“Kenapa kamu malah duduk disitu?”
“Aku gak mau masak. Om aja yang masak. Siapa suruh sok-sok-an.” Siska mengambil buah apel yang ada di atas meja dapur itu, lalu mulai memakannya.
"Astaga ini bocah!" umpatnya dalam hati.
“Apa kamu gak malu sama keluargaku?”
“Kenapa aku harus malu? memangnya aku ngapain?” Siska masih terlihat cuek sambil menggigit buah apel di tangannya.
“Om kan bisa masak tuh, kenapa gak Om aja yang memasak makan malam. Aku janji deh, aku akan temani Om disini.”
Dava berjalan memutar untuk mendekati Siska. Ia lalu menarik tubuh Siska untuk menghadapnya, hingga membuat kedua mata Siska mengerjap berkali-kali.
Belum lagi detak jantungnya yang mulai bermasalah, karena saat ini detak jantungnya berdetak dengan sangat cepat.
“Om... Om mau apa?” Siska memundurkan wajahnya, karena Dava semakin mendekatkan wajahnya.
“Sekarang kamu pilih, bantu aku masak, atau aku cium kamu disini.”
Kedua mata Siska membulat dengan sempurna.
“Ja-jangan macam-macam ya, Om! Kalau gak aku akan teriak!” ancamnya.
Dava tersenyum sinis.
“Teriak aja. Aku gak takut. Kalau sampai Mama dan Papa melihat apa yang kita lakukan, aku akan pastikan besok aku akan datang ke rumahmu untuk melamarmu.”
“Apa!” Siska lalu mendorong tubuh Dava, hingga membuat Dava melangkah mundur.
Siska lalu beranjak dari duduknya.
"Sial! Enak aja main cium. Gak akan aku biarkan kamu menciumku lagi!" umpatnya dalam hati.
Dava tersenyum, saat melihat Siska yang kini melanjutkan apa yang tadi dikerjakan olehnya.
“Gitu dong, itu baru namanya calon menantu yang baik.”
“Siapa juga yang mau jadi istri Om. Jangan bermimpi deh, Om! Aku akan pastikan kedua orang tuaku untuk lebih percaya sama aku!”
Saking emosinya, Siska tak fokus dengan pisau yang saat ini dirinya gunakan untuk memotong sayuran. Sampai ....
“Aww!” pekik Siska sambil menekan jari telunjuknya yang tergores pisau.
Dava spontan langsung mendekati Siska, dan memasukkan jari telunjuk Siska ke dalam mulutnya.
“Apa yang Om lakukan!” seru Siska sambil menarik tangannya.
Siska benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja Dava lakukan.
Dava tak menjawab. Ia kembali menarik tangan Siska dan melihat jari telunjuk Siska yang terluka.
“Katanya bisa masak, baru gitu aja udah terluka,” ledeknya lalu mengambil kotak P3K dari dalam lemari dapur.
“Sini aku obati.”
“Gak perlu.”
“Sini, jangan keras kepala deh!” Dava menarik paksa tangan Siska, lalu mengoles luka yang ada di jari telunjuk Siska dengan obat, lalu membalutnya dengan plester luka.
“Apa kamu masih bisa masak? Kalau enggak biar aku minta Bibi untuk meneruskannya.”
“Gak perlu. Aku akan melanjutkannya.” Siska hanya tak ingin sampai citranya di mata kedua orang tua Dava menjadi buruk. Tapi itu bukan berarti dirinya memang ingin menjadi menantu di rumah itu.
“Kamu yakin?” Dava hanya tak ingin melihat Siska semakin kesakitan menahan rasa sakit di jari telunjuknya.
“Hem. Lagian hanya luka kecil.”
“Ok.”
Siska mulai meneruskan pekerjaannya. Tentu saja dengan dibantu Dava, karena Dava tak tega membiarkan Siska memasak menu makan malam sendirian dengan kondisi tangannya yang terluka.
Setelah satu jam, akhirnya semua menu makanan yang dimasak oleh Siska dan Dava sudah terhidang di atas meja makan.
“Kamu tunggu disini, biar aku panggil Mama dan Papa.”
Siska hanya menganggukkan kepalanya, karena dirinya juga tak mungkin memanggil kedua orang tua Dava untuk makan malam. Dirinya bahkan tidak tau seluk beluk rumah Dava.
Dava melangkah keluar dari dapur untuk memanggil kedua orang tuanya yang tengah duduk di ruang tengah sambil ngobrol. Tentu saja yang mereka obrolkan tentang calon menantu mereka yang sangat cantik.
Tapi obrolan mereka harus terhenti, saat Dava datang.
“Ma, Pa, makan malam sudah siap.”
Santi dan Andrean beranjak dari duduknya, lalu melangkah menuju ruang makan bersama dengan Dava.
“Sayang, kamu ini ya. Masa calon istri kamu, kamu suruh masak. Mama kan jadi gak enak sama Siska.”
“Gak apa kok, Ma. Lagian Siska sendiri gak merasa keberatan kok,” ucap Dava dengan menepiskan senyumannya.
Siska mencium punggung tangan Andrean.
"Apa yang Mama katakan memang benar. Siska masih sangat muda. Apa jangan-jangan yang Mama takutkan benar adanya?" gumam Andrean dalam hati.
Andrean lalu menatap Dava.
"Apa Dava sengaja meminta Siska untuk menjadi calon istri pura-puranya? Kalau sampai itu benar, dia sudah keterlaluan karena sudah mempermainkan perasaan kami," gumam Andrean dalam hati.
Siska menatap Dava, karena dirinya merasa aneh dengan sikap papanya Dava.
"Ada apa ya? apa aku melakukan kesalahan? Apa sandiwara aku dan Om Dava ketahuan?" gumam Siska dalam hati.
Santi melihat sikap aneh suaminya dan Siska. Ia tak ingin sampai makan malam malam ini menjadi canggung.
“Pa, kenapa malah bengong? Apa Papa gak ingin menyapa calon mantu kita?”
“Ah... iya, Ma. Maafkan Papa.”
Andrean lalu menatap Siska yang masih berdiri di depannya.
“Senang bertemu denganmu, Siska. Tolong maafkan Dava, kalau selama kamu berhubungan dengannya, dia sering membuatmu marah.”
Siska hanya bisa mengangguk sambil menepiskan senyumannya.
Sedangkan Dava tak begitu memperdulikan apa yang papanya katakan.
“Sudah... sudah... lebih baik sekarang kita makan. Mama sudah gak sabar ingin mencicipi masakan calon mantu Mama,” ucap Santi dengan mengusap lengan Siska.
Mereka semua mulai duduk di kursi masing-masing.
Dava duduk di sebelah Siska.
“Sayang, kamu mau makan pakai apa?”
“Aku bisa ambil sendiri Om... Em... maksud aku, Mas.” Siska merutuki mulutnya yang susah diajak kerja sama.
Santi dan Andrean menatap satu sama lain.
Dava menghela nafas, mencoba untuk menahan emosinya.
“Sekarangkan kamu di rumah aku, jadi aku akan melayani kamu, karena kamu tamu di rumah ini.”
Dava lalu mengambil piring kosong yang ada di depan Siska, lalu mengisinya dengan nasi, sayur, dan lauk, lalu meletakkan di depan Siska.
“Mau aku suapin juga?”
Siska menggelengkan kepalanya.
“Terima kasih.”
Santi melihat jari telunjuk tangan kiri Siska yang terbungkus plester luka.
“Sayang, kenapa jari kamu?”
Siska menatap jari telunjuk kirinya.
“Em... tadi gak sengaja tergores pisau, Tan. Tapi udah gak apa-apa kok, karena Mas Dava sudah mengobatinya,” ucap Siska dengan menepiskan senyumannya.
“Astaga, Sayang. Gara-gara membantu Tante, jari kamu jadi terluka. Maafkan Tante yang, Sayang. Padahal ini pertama kalinya kamu datang ke rumah ini.” Santi menjadi merasa bersalah, karena dirinya menjadi penyebab jari telunjuk Siska terluka.
“Mama gak usah minta maaf. Lagian lukanya gak parah kok. Aku juga udah mengobatinya. Lebih baik sekarang Mama dan Papa cobain masakan Siska. Enak lho, Ma, Pa. Siska memasaknya penuh dengan cinta. Iya kan, Sayang?” Dava mengulum senyum sambil menatap ke arah Siska.
Siska mau tak mau menganggukkan kepalanya dengan senyuman di wajahnya.
“Mama jadi penasaran, gimana rasanya masakan calon menantu Mama yang cantik ini.”
Santi lalu mengambil satu sendok makanan dan dimasukkan ke dalam mulutnya, begitu juga dengan Andrean.
Siska dan Dava menatap Santi dan Andrean yang saat ini tengah mengunyah makanan yang ada di dalam mulut mereka.
“Gimana, Ma? Enak kan?”
Siska sama tegangnya seperti Dava, karena ini pertama kalinya dirinya memasak untuk orang lain. Biasanya dirinya hanya memasak untuk dirinya sendiri atau sahabat-sahabatnya.
"Mati aku kalau ternyata masakan aku gak enak," gumamnya dalam hati.
Santi tersenyum, lalu menganggukkan kepalanya, membuat Dava dan Siska menghela nafas lega.
Dava dan Siska bahkan saling melempar senyum satu sama lain, karena masakannya tak mengecewakan.
“Mama gak menyangka, gadis semuda kamu sudah pandai memasak. Kamu memang calon istri yang sempurna untuk Dava,” ucap Santi jujur dari lubuk hatinya yang terdalam.
Masakan Siska memang terasa nikmat. Meski masih ada yang kurang, tapi tetap terasa nikmat di lidahnya.
Siska menatap Andrean yang sejak tadi hanya diam sambil menikmati makanannya. Ia belum merasa puas sepenuhnya sebelum papanya Dava memberikan penilaian tentang masakannya.
“Om, apa Om suka masakan saya?”
Dava terkejut, saat Siska berani bertanya pada papanya.
"Hebat juga dia. Padahal ini pertama kalinya dia ketemu sama Papa. Ternyata aku gak salah memilih kamu untuk jadi istri aku, Sis," gumam Dava dalam hati.
“Enak kok, Om suka. Terima kasih untuk makan malam yang enak ini.” Hanya itu yang keluar dari mulut Andrean.
“Terima kasih, Om,” ucap Siska dengan senyuman di wajahnya. Dirinya tak akan merasa kecewa dengan tanggapan papanya Dava yang terlihat datar-datar saja.
Setelah selesai makan malam, mereka melanjutkan dengan obrolan di ruang tengah.
“Sayang, kapan kamu akan mengajak Mama dan Papa untuk menemui kedua orang tua Siska?”