Dava yang mendengar teriakan Siska hanya diam mematung di depan pintu. Kedua matanya kini menatap keindahan yang ada di depan kedua matanya.
Siska bergegas merapikan pakaiannya, karena dirinya juga tak tau harus bersembunyi dimana. Menutup tubuhnya pun percuma, karena kaos yang ingin dirinya pakai sudah menutup setengah tubuh bagian atasnya.
Dengan kesal Siska melangkah menuju pintu dengan kedua tangan mengepal.
Belum cukupkah pria itu menghancurkan hidupnya? kini pria itu malah seenaknya membuka pintu kamarnya dan melihat perut ratanya yang mulus.
“Ngapain Om kesini lagi, hah! Belum puaskah Om menghancurkan hidupku!”
Dita melangkah mendekat, saat melihat perdebatan Siska dan Dava. Ia tak menyangka, ternyata hubungan Siska dan Dava sudah sedekat ini.
“Sis, maafkan aku. Aku sudah mencegah Om ini untuk masuk. Tapi dia memaksa masuk dan....” Dita tak sanggup melanjutkan kata-katanya, karena dirinya tau, saat ini Siska tengah menahan malu karena ulah Dava.
“Kamu nanti malam ikut aku ke rumah.”
Bukan hanya Siska, tapi kedua mata Dita juga membulat dengan sempurna.
“Rumah!” seru kedua gadis cantik itu bersamaan.
“Kenapa? apa kalian tak pernah mendengar orang bilang rumah? Atau jangan-jangan kalian ini juga gak tau rumah itu apa?” Dava menatap Dita dan Siska secara bergantian.
Dita menarik tangan Siska dan membawanya pergi dari hadapan Dava. Ada hal yang ingin dirinya bicarakan dengan sahabatnya itu.
“Sis, apa ada yang kamu sembunyikan dariku?”
“I-itu... aku....”
“Jangan bilang tebakan aku dulu benar?” Dita mengernyitkan dahinya, mencoba untuk mencari jawaban dari raut wajah Siska saat ini.
“Apa maksud kamu?” tanya Siska yang tak mengerti dengan maksud sahabatnya itu.
“Kan aku pernah bilang sama kamu, jangan terlalu membenci orang yang kamu gak suka, sekarang jadinya kamu cinta mati kan sama Om itu?”
Kedua mata Siska membulat dengan sempurna.
"Cinta mati! Gila aja, amit-amit dah!" umpatnya dalam hati.
“O... jadi sekarang kamu cinta mati sama aku.” Dava melangkah mendekati Siska dan Dita.
Siska maupun Dita tak menyadari kalau sejak tadi Dava mencuri dengar pembicaraan mereka secara diam-diam.
“Jadi aku gak salah dong, mengambil keputusan untuk melamar kamu pada kedua orang tuamu.” Dava menyunggingkan senyumannya.
“Hah! Melamar!” kedua mata Dita membulat dengan sempurna.
“Jadi yang kamu ingin katakan sama aku tadi... orang itu....”
Siska menganggukkan kepalanya sebelum Dita menyelesaikan ucapannya. Sekarang masalah dalam hidupnya semakin bertambah, karena sahabatnya kini mengetahui tentang rencana Dava yang ingin melamarnya.
“Hai... kamu.” Dava menunjuk ke arah Dita.
“Apa kamu bisa tinggalkan aku sama Siska berdua?”
Siska menggenggam tangan Dita, tatapannya memohon agar sahabatnya itu tetap tinggal dan tak meninggalkannya berdua dengan Dava.
“Sis, apa kamu masih takut sama aku? aku bukan vampir yang akan gigit kamu. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan sama kamu. Tapi gak apa sih kalau kamu mau sahabat kamu mendengar pembicaraan kita. Kalau aku pribadi gak masalah.”
Dava menatap ke arah Dita yang masih berdiam diri di tempat.
“Ok. Kamu boleh ada disini. Tapi jangan ganggu pembicaraan aku sama calon istriku.”
Dava menarik tangan Siska dan membawanya menuju kamar.
Siska hanya diam dan mengikuti langkah Dava.
“Duduklah.” Dava sudah mendudukkan tubuhnya di sofa yang ada di dalam kamar Siska.
Siska mendudukkan tubuhnya di samping Dava, karena hanya ada satu sofa panjang di dalam kamarnya.
“Apa yang ingin Om bicarakan sama aku? apa Om ingin menarik kembali kata-kata Om dan akan mengatakan kepada kedua orang tuaku kalau semua itu hanya salah paham?”
Dava menggelengkan kepalanya. Ia lalu melipat kedua tangannya di depan dadanya.
“Sekarang aku tanya sama kamu? apa kamu diam-diam tertarik padaku?”
“Hah! Gak! Siapa juga yang tertarik sama Om. Yang ada aku sangat membenci Om, kalau aku bisa, ingin aku cabik-cabik itu wajah Om yang sok tampan!” geram Siska dengan kedua tangan yang bergerak-gerak seakan ingin mencabik-cabik wajah Dava saat itu juga.
Dava terkekeh.
“Sok tampan? Bukannya kamu mengakui kalau aku ini memang tampan?” Dava bahkan mengedipkan sebelah matanya, hingga membuat kedua mata Siska membola.
Dava menggeser tubuhnya, agar lebih dekat dengan Siska. Kali ini dirinya akan serius.
Anggap saja tadi dirinya hanya ingin menghibur diri dengan menggoda Siska, karena menurutnya wajah memerah Siska karena menahan amarah terlihat begitu menggemaskan di matanya.
“Ngapain Om dekat-dekat, hah! Om mau modusin aku ya!” kedua tangan Siska bahkan sudah menyilang di depan tubuhnya.
Dava menjentikkan jari tengahnya ke dahi Siska.
“Otak kamu yang kotor, dasar bocah ingusan.”
Siska mengusap dahinya yang terasa nyeri.
“Mau kamu apa sih, Om!” kesalnya.
“Mau aku, kamu menikah denganku.”
“Gak! Sampai kapanpun aku gak mau menikah sama Om!”
“Gimana kalau kita buat perjanjian?”
Siska mengernyitkan dahinya.
“Perjanjian? Maksud Om?” tanya tak mengerti.
“Malam ini kamu ikut aku ke rumah. Kedua orang tuaku ingin bertemu denganmu. Aku sudah bicara dengan kedua orang tuaku, kalau aku akan melamarmu secepatnya.”
“Hah!”
“Sis, aku gak main-main dengan ucapan aku tadi sama kedua orang tuamu. Aku tau, kita belum saling mengenal satu sama lain, tapi kita bisa saling mengenal setelah kita menikah.”
Siska menggelengkan kepalanya. Apapun alasannya, dirinya tetap tak akan menikah.
“Aku gak mau, Om! Aku gak mau menikah sama Om!”
“Tapi kamu sama sekali gak punya pilihan lain selain setuju. Kecuali kamu ingin aku mengatakan kepada kedua orang tuamu kalau aku sudah merenggut kesucian putri mereka.”
“Apa Om sudah gila, hah! Semalam tak terjadi apa-apa antara aku dan Om! Kita bahkan tidur di kamar yang terpisah!” geram Siska tak terima.
Memangnya dirinya wanita rendahan, sampai mau menyerahkan hal yang paling berharga pada dirinya kepada pria asing.
“Gak ada yang akan percaya sama ucapan kamu. Kamu juga gak ada bukti kalau kita memang tak melakukan apa-apa semalam.”
Dava lalu menatap sekeliling kamar Siska, menatap bagian langit-langit kamar itu juga.
“Kecuali kamu pasang CCTV di kamar kamu, baru kamu bisa membuktikan kepada kedua orang tuamu kalau kita memang gak melakukan apa-apa semalam.”
“Aku akan buktikan kalau aku masih suci. Aku gak serendah itu, Om!”
Dava melipat kedua tangannya di depan dadanya, ia lalu menyunggingkan senyumannya.
“Bagaimana caranya kamu akan membuktikan kalau kamu masih suci? Apa dengan cara kamu akan melakukan hubungan itu sama pria yang kamu cintai? Kalau keluar darah itu artinya kamu masih suci? Begitu?” Dava bahkan sampai mengernyitkan dahinya.
“E—nggak gitu juga.”
“Terus dengan cara apa? karena setahu aku, untuk membuktikan orang itu masih suci atau gak itu hanya dengan cara keluar darah saat melakukan hubungan. Saat melakukannya pun akan membutuhkan....”
“Cukup, Om!” seru Siska yang tak ingin lagi mendengar apa yang Dava katakan.
Dava menyunggingkan senyumannya, saat melihat wajah merah Siska saat ini.
“Kenapa? apa kamu belum pernah melihat orang bercinta?”
Siska hanya diam.
Dava mendekatkan wajahnya ke wajah Siska, hingga membuat Siska membulatkan kedua matanya dan dengan reflek memundurkan wajahnya.
“Apa kamu mau tau bagaimana rasanya bercinta? Dengan senang hati aku akan mengajari kamu caranya,” bisiknya dengan lembut di telinga Siska.
“Dasar, m***m!” Siska mendorong tubuh Dava menjauh dari tubuhnya.
“Apa tadi kamu bilang? Aku ini pria normal. Jadi wajar kalau aku butuh kehangatan.”
Dava lalu membelai pipi Siska, tapi langsung Siska tepis dengan kasar.
“Setelah kita menikah nanti, aku akan tunjukan padamu, betapa nikmatnya surga dunia itu.”
Siska mengepalkan kedua telapak tangannya. Dadanya kembang kempis menahan amarah yang bahkan sudah merangkak naik sampai ke ubun-ubun.
“Tenang-tenang. Ok. Sekarang kita bicara lebih serius lagi.”
“Kenapa Om memperlakukan aku kayak gini! Apa salah aku sama Om!”
“Salah kamu, karena kamu menolongku semalam. Jadi mau gak mau, kamu harus mengikuti semua kata-kataku.”
“Sis, dengarkan aku baik-baik. Malam ini aku akan menjemputmu untuk makan malam. Hanya makan malam. Ok. Tapi, ada hal yang harus kamu ingat. Sekarang kamu adalah calon istriku. Aku ingin kamu bersandiwara di depan kedua orang tuaku, kalau kita adalah sepasang kekasih.”
“Gak!” tegas Siska dengan sorot mata yang tajam.
“Ok. Kalau begitu aku akan datang ke rumah kamu, dan aku akan katakan kepada kedua orang tua kamu kalau aku sudah meniduri putrinya berkali-kali. Gimana? Apa kamu masih ingin keras kepala?”
“Kenapa harus aku, Om! Kenapa Om gak bawa kekasih Om si tante-tante itu!”
“Karena hanya kamu yang pantas untuk aku bawa ke depan kedua orang tuaku.”
"Hah? Aku gak salah dengarkan? Kok bisa?" gumam Siska dalam hati.
Bolehkah Siska berbangga hati saat Dava mengatakan kalau hanya dirinya yang pantas untuk Dava bawa ke depan kedua orang tuanya?
Itu bukannya berarti Siska wanita yang begitu sempurna di mata pria tampan ini?
Dava memutar bola matanya jengah, saat melihat Siska yang hanya diam.
"Dasar! Bisa besar kepala dia kalau aku bilang hanya dia yang pantas untuk aku kenalkan pada Mama dan Papa. Tapi tak apalah, menyanjung dia sekali-kali juga gak apa. Yang penting rencanaku berjalan dengan lancar," gumam Dava dalam hati.
“Gimana? Kamu mau kan?”
“Gak! Kecuali Om akan membatalkan rencana Om untuk melamarku, aku akan pertimbangkan permintaan Om itu.”
“Dasar keras kepala! Aku sudah mencoba untuk berbaik hati sama kamu, tapi kamu sama sekali tak menghargai niatku ini!” lama-lama kesabaran Dava semakin habis.
"Ternyata membujuk bocah ingusan ini tak mudah. Sial! Sekarang apa yang harus aku lakukan agar dia mau ikut aku ke rumah untuk makan malam," gumam Dava dalam hati.
“Ok. Kamu boleh meminta apa saja, tapi kamu harus ikut aku untuk bertemu dengan kedua orang tuaku.”
Siska diam. Ia tengah memikirkan sesuatu yang tentu saja sangat menguntungkan untuknya.
“Batalkan rencana Om untuk....”
“Gak! Kamu boleh meminta apapun selain itu,” potong Dava yang sudah tau permintaan apa yang ingin Siska minta darinya.
"Enak aja! sampai kapanpun aku gak akan membatalkan niat aku untuk menikahimu," gumam Dava dalam hati.
"Sial! Dia serius mau menikah denganku? Dia bahkan masih kekeh dengan keputusannya. Tapi aku tetap harus membuat perjanjian dengannya. Aku gak mau rugi. Enak aja dia mau mendapatkan tubuhku!" umpat Siska dalam hati.
“Ok. Jadi Om janji akan melakukan apapun yang aku inginkan?”
“Hem. Tapi hanya satu permintaan.”
“Dua. Kalau Om gak mau, silahkan Om pergi dari sini sekarang juga.” Siska bersikap angkuh di depan Dava.
"Sial! Pintar juga dia ternyata!" umpat Dava dalam hati.
“Ok. Apa permintaan kamu?”
“Satu, aku akan memikirkan tentang Om yang akan melamarku pada kedua orang tuaku. Aku belum setuju untuk menikah dengan Om.”
“Tapi aku akan tetap menikahimu.”
“Terserah!” kesal Siska.
“Ok. Terus yang kedua.” Dava menopangkan dagunya ke telapak tangannya yang ditumpu di atas pahanya. Kedua matanya menatap ke arah Siska yang saat ini tengah memikirkan permintaan keduanya.
“Cantik,” puji Dava hingga membuat kedua mata Siska membulat dengan sempurna.
Tapi Siska tak akan bisa menyembunyikan rona merah di kedua pipinya.
“Pe-permintaan kedua aku, kalau ki-kita jadi menikah, aku tak ingin ada kontak fisik di antara kita.”
“Hah!” Dava kembali menegakkan duduknya.
“Kamu serius? Kamu gak mau tau gimana rasanya surga dunia?”
Siska menggelengkan kepalanya.
“Aku gak mau melakukan itu sama Om.”
Dava tertawa sarkas.
“Yakin kamu bisa menahan diri nanti? Yakin kamu gak akan masuk dalam jerat pesonaku?”
“Jangan terlalu PD ya Om.”
"Hebat juga dia. Tapi gak apalah, gak dapat dari dia, aku masih dapat kehangatan dari Anita," gumam Dava dalam hati.
“Ok. Aku setuju dengan permintaan kamu itu.”
Dava melihat jam di pergelangan tangannya.
“Sekarang kamu siap-siap.”
“Memangnya kita mau kemana? Ini masih siang lho, Om.”
“Ada yang perlu aku lakukan.” Dava lalu beranjak dari duduknya.
“Aku tunggu di luar,” lanjutnya lalu melangkah keluar dari kamar itu.
Dava tak melihat adanya Dita di seluruh ruangan yang ada di apartemen Siska.
"Kemana dia? Apa dia sudah pulang?"
Dava melihat Siska yang tengah berjalan ke arahnya. Ia tatap penampilan Siska dari atas sampai bawah.
"Dasar bocah! Pakaiannya gak ada yang lebih bagus apa," gumamnya dalam hati.
Siska saat ini memakai kaos lengan pendek dan celana jeans. Rambutnya dikuncir ala ekor kuda, hingga memperlihatkan leher jenjangnya yang mulus tanpa noda.
“Lho, kemana Dita?” tanya Siska saat tak melihat Dita.
“Lebih baik kita pergi sekarang. Banyak hal yang harus kita lakukan.”
“Memangnya kita mau ngapain Om?”
Dava menghela nafas panjang.
“Bisa gak kamu gak panggil aku, Om? Kapan aku nikah sama tante kamu, hmm!”
"Emang aku setua itu apa!" umpat Dava dalam hati.
Kamu memang sudah tua, Dav. Memangnya kamu gak nyadar.
“Lah... Om kan memang lebih tua dari aku. Sekarang usia Om berapa? Paling udah kepala tiga kan? Ya kali aku harus panggil kakak. Gak banget deh, Om!”
“Terserah kamu. Tapi, saat di depan kedua orang tuaku, jangan panggil aku, Om. Mengerti!”
“Terus apa dong? Mas gitu, kayak tante-tante itu?”
“Terserah kamu.”
Dava melangkah keluar dari apartemen Siska dengan menahan rasa kesalnya. Ia bahkan sampai meraba wajahnya sendiri.
"Masa sih aku sudah setua itu?" gumamnya masih tak percaya kalau dirinya memang terlihat tua.
Siska mengekor di belakang Dava, hingga mereka sudah sampai di depan mobil Dava.
“Masuklah.” Dava sudah membukakan pintu mobil untuk Siska.
Siska tak mengucapkan sepatah katapun, ia langsung masuk ke dalam mobil Dava.
Dalam perjalanan pun tak ada percakapan antara Dava dan Siska, sampai akhirnya Dava menghentikan mobilnya di basement sebuah mall.
“Om, ngapain Om bawa aku kesini?”
“Nanti kamu juga akan tau.” Dava membuka pintu mobil dan keluar dari mobil.
Siska pun melakukan hal yang sama. Ia sejak tadi terus mengekor di belakang Dava, dirinya sudah terlihat seperti anak ayam yang mengekor di belakang induknya.
Dava mengajak Siska masuk ke dalam sebuah butik.
“Om, ngapain kita kesini?”
Dava hanya diam, ia memanggil penjaga butik itu.
Seorang wanita cantik melangkah mendekat.
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya wanita cantik itu.
Siska memutar kedua bola matanya jengah, saat melihat bagaimana wanita cantik itu menatap Dava.
Terlihat sangat jelas di wajah wanita itu kalau dia mengagumi ketampanan seorang Dava Rahendra.
“Tolong carikan gaun yang cocok untuknya.” Dava menatap ke arah Siska.
“Hah! Kok aku!”
“Aku gak mau sampai kamu membuatku malu di depan kedua orang tuaku.”
Wanita yang bekerja sebagai pelayan butik itu pun mencoba untuk menahan diri agar tidak tertawa.
"Sialan! Dia menertawakan aku gitu! Memangnya penampilan aku malu-maluin apa?" umpat Siska dalam hati.
Siska bahkan sampai melihat penampilannya sendiri.
“Mari ikut saya, Mbak.”
“Om, apa mau Om sih sebenarnya?”
“Gak usah banyak tanya. Kamu ikuti saja dia.”
Siska dengan sangat terpaksa akhirnya mengikuti langkah pelayan butik itu.
Dava memilih untuk menunggu di sofa yang ada di depan ruang ganti. Ia yang akan menilai penampilan Siska.
“Hah! Mbak gak salah nih! Ya kali aku disuruh mencoba semua pakaian ini. Memangnya aku foto model apa. Gak!” tolak Siska dengan kedua tangan yang terlipat di depan dadanya.
“Kalau Mbak gak mau, nanti saya yang akan kena marah sama Om Mbak itu,” tunjuk wanita itu pada Dava yang tengah duduk sambil memainkan benda pipih di tangannya.
"Sial!" umpat Siska dalam hati.
Mau tak mau Siska membawa ke empat gaun itu ke dalam ruang ganti.
Kini Siska sudah mengganti pakaiannya dengan gaun pertama. Ia tatap penampilannya di depan cermin besar yang ada di depannya.
"Cantik. Aku ternyata cantik juga."
Siska lalu membuka tirai yang menjadi penutup ruang ganti itu. Ia lalu melangkah mendekati Dava.
“Apa Om sudah puas sekarang!” kesalnya.
Dava menatap penampilan Siska dari atas sampai bawah. Ia lalu menggelengkan kepalanya.
“Ganti. Aku gak suka. Jelek.” Dava lalu kembali menatap benda pipih di tangannya, ia bahkan tak memperdulikan wajah kesal Siska saat ini.
Siska yang ingin kembali masuk ke dalam ruang ganti, seketika mengurungkan niatnya saat melihat seseorang yang sangat dikenalnya tengah berjalan ke arahnya.
“Mas Dava!” teriak Anita yang sontak membuat Dava mengalihkan tatapannya dari benda pipih yang ada di tangannya.
"Bagus! Sepertinya akan ada pertunjukan drama nih sebentar lagi," gumam Siska sambil menyunggingkan senyumannya.
Dava beranjak dari duduknya, saat melihat Anita yang semakin dekat ke arahnya.
“Sedang apa kamu disini?” tanyanya setelah Anita berdiri tepat di depannya.
“Seharusnya aku yang tanya sama kamu, Mas! sedang apa Mas disini sama dia!” Anita mengarahkan jari telunjuknya ke arah Siska dengan tatapan tajam.
“Om, sepertinya aku harus pergi.”
Dava menarik tangan Siska, saat Siska ingin pergi dari tempat itu.
“Tetap disini.”
“Tapi....”
“Aku bilang tetap disini!” suara Dava mulai meninggi, hingga membuat Siska bergidik ngeri.
Mau tak mau Siska tetap berdiri di samping Dava.
“Apa ada yang ingin Mas jelasin sama aku?”
“Gak ada.” Dava masih berbicara dengan nada dingin.
Siska terkejut, saat sebuah tamparan keras mendarat dengan mulus di pipi kirinya.
“Kenapa Tante menamparku!” seru Siska tak terima, karena ini kedua kalinya Anita menampar wajahnya di depan umum.
Dava pun terkejut dengan apa yang Anita lakukan pada Siska. Dirinya benar-benar tak menyangka, Anita akan bersikap sekasar itu pada Siska.
“Dasar gadis murahan! Jadi ini cara kamu untuk menggoda kekasihku, hah!” geram Anita dengan amarah yang sudah memuncak.
Dava mencengkram pergelangan Anita, saat Anita ingin melayangkan tangan kanannya lagi ke wajah Siska.
“Jangan berani kamu menyentuh calon istriku!” geramnya yang tak suka melihat sikap bar-bar Anita.