Siska sudah selesai mandi, malam ini dirinya berniat untuk bersantai di apartemennya, karena dirinya sedang tak berselera untuk pergi keluar.
Siska melangkah menuju ranjangnya, mengambil ponselnya yang tadi dirinya letakkan di atas ranjang empuk itu. Dengan posisi tengkurap, ia mulai membuka grub chat room dengan kedua sahabatnya.
Dalam chat room itu, Siska membaca chat dari Dita, kalau saat ini sahabatnya itu tengah pergi berjalan-jalan ke ancol dengan kekasihnya.
“Mau pamer dia kalau sudah balikan lagi sama mantannya. Aku jadi kasihan sama Rassen. Sepertinya Rassen masih menaruh hati sama si Dita.”
Rassen adalah sahabat masa kecil Siska dan Dita. Mereka bertiga dulu selalu pergi kemana-mana bertiga. Tapi, semenjak masuk perguruan tinggi, Rassen sudah jarang kumpul sama mereka lagi. Apalagi saat ini pria itu tengah sibuk dengan pekerjaannya.
Perut Siska mulai keroncongan, ia lalu bangun dan turun dari ranjang, melangkah keluar dari kamarnya menuju dapur. Membuka lemari pendingin untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa dirinya masak untuk makan malamnya.
“Yah, gak ada apa-apa. Sepertinya aku lupa mengisi bahan-bahan makananya deh. Mana Mama sekarang sudah jarang datang kesini lagi semenjak Om Dava datang ke rumah untuk melamar. Memangnya anaknya ini gak butuh makan apa!” dengan kesal Siska menutup pintu lemari pendingin itu.
Bagaimana tidak kesal, orang yang selalu mengisi lemari pendinginnya dengan bahan-bahan makanan adalah sang mama. Tapi sudah seminggu ini sang mama tak lagi datang mengunjunginya dan membawakan makanan untuknya.
“Lebih baik aku cari makan di luar sajalah, daripada aku harus tidur dengan perut keroncongan.”
Siska kembali melangkah masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil hoodie, karena udara malam ini sangatlah dingin, ia tak ingin sampai terkena flu nantinya.
Setelah memasukkan ponsel ke dalam saku celana pendeknya, dan mengambil kunci mobil dari atas nangkas, Siska melangkah keluar dari kamarnya sambil bersenandung lagu kesukaannya.
Tapi, saat membuka pintu apartemennya, Siska terkejut saat melihat Dava yang sudah berdiri di depan pintu apartemennya.
“Mau apa Om kesini?” tanyanya dengan nada tak suka.
Dava menelisik penampilan Siska malam ini dari atas sampai bawah. Saat ini Siska memakai celana pendek di atas lutut, dipadukan dengan hoodie berwarna merah marun. Rambutnya di kuncir ala-ala ekor kuda. Benar-benar mencerminkan anak muda jaman sekarang.
Siska melambaikan telapak tangan kanannya tepat di depan wajah Dava yang sejak tadi diam sambil menatapnya.
“Helo ... Om, Om bisa mendengarku?” tanya Siska sekali lagi.
“Kamu mau kemana dengan pakaian seperti ini?” tanya Dava sambil menatap penampilan Siska malam ini.
Siska menundukkan kepalanya guna menatap penampilannya saat ini. Menurutnya tak ada yang salah dengan penampilannya malam ini.
“Memangnya ada apa dengan penampilanku? Aku sudah biasa pakai pakaian seperti ini?”
“Kamu gak malu keluar dengan celana sependek itu?” tanya Dava dengan dahi mengernyit.
Siska memutar kedua bola matanya jengah. “Aku pakai baju lho, Om. Aku gak telanjang, jadi untuk apa aku malu. Kalau Om datang kesini hanya untuk mengajak aku debat, lebih baik Om pergi, soalnya aku juga mau pergi, tapi Om menghalangi jalanku.”
“Kamu mau pergi kemana?”
“Om gak perlu tau.” Siska mendorong tubuh Dava, sehingga Dava tak lagi menghalangi jalannya yang ingin melangkah keluar dari apartemennya.
“Kenapa Om selalu menggangguku? Tolong beri aku waktu untuk sendiri, Om. Aku juga butuh privasi.”
Siska membulatkan kedua matanya saat tiba-tiba Dava merangkul bahunya. “Apa yang Om lakukan!”
“Kemanapun kamu pergi, aku harus tau. Siapa tau kamu berencana untuk kabur sebelum hari pernikahan kita. Aku gak akan membiarkan itu terjadi. Jadi, kamu mau kemana? Aku akan mengantar kemanapun kamu mau pergi,” ucap Dava dengan mengedipkan sebelah matanya.
Siska mencoba untuk menyingkirkan tangan Dava dari bahunya, tapi sia-sia, karena Dava justru semakin mengeratkan rangkulannya.
“Bisa lepas gak, Om? Jangan seperti ini. Apa kata orang nanti.”
“Kenapa harus peduli sama kata orang? Kalau mereka bertanya dan ingin tau apa hubungan kita, tinggal bilang saja kalau kita aku ini calon suami kamu. Bereskan? Lagi pula sebentar lagi kita juga akan menikah.”
“Terserah, Om! Aku juga gak mau debat sama Om!” kesal Siska sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya.
“Bagus. Sekarang kamu mau kemana?”
“Aku lapar, aku mau cari makan di dekat sini.”
“Ok, aku akan bawa kamu ke restoran favorit aku, sekalian aku mau kenalin kamu sama teman-teman aku.”
“Hah! Teman-teman, Om!” seru Siska terkejut dengan kedua mata membola.
“Hem, kenapa? kamu gak mau?”
“Gak! Ingat ya, Om. Aku menikah sama Om itu karena terpaksa, jadi aku gak mau kenal sama teman-teman Om itu!”
“Tapi aku akan tetap mengenalkan kamu sama teman-teman aku, karena mereka ingin bertemu dengan wanita yang sudah berhasil membuatku berubah pikiran dan akhirnya memutuskan untuk menikah lagi.”
“Tapi, Om ....”
“Kamu pasti tau, kalau aku paling gak suka dibantah.”
Dava memaksa Siska untuk pergi dari depan apartemen Siska menuju lift yang akan membawanya turun ke basement gedung apartemen itu.
Sebelum datang ke apartemen Siska, Dava memang sudah menghubungi sahabat-sahabatnya dan mengajaknya untuk makan malam di restoran tempat biasa mereka nongkrong. Dava bahkan sudah memesan ruang VIP untuk sahabat-sahabatnya itu yang ada di lantai dua restoran itu.
Sesampainya di restoran, ternyata Jonathan, Diva, Tegar, dan Rendy sudah ada di restoran itu, mereka bahkan sudah memesan beberapa menu makanan yang kini sudah terhidang di atas meja.
“Sorry, gue telat. Kenalkan, ini Siska, calon istri gue,” ucap Dava mencoba untuk memperkenalkan Siska kepada sahabat-sahabatnya.
Siska sebenarnya merasa tak nyaman berada di ruangan itu bersama dengan teman-teman Dava. Apalagi dirinya yang paling muda diantara mereka. Tapi, dirinya juga tak punya pilihan lain selain memperkenalkan dirinya kepada sahabat-sahabat Dava.
“Dav, lo pinter juga nyari calon istri. Lo dapat daun muda ternyata,” celetuk Rendy sambil menatap penampilan Siska malam ini.
“Masih ABG ya.” Kini giliran Tegar yang berkomentar.
Dava tak memperdulikan ledekan Tegar dan Rendy, ia meminta Siska untuk duduk. Dirinya pun mendudukkan tubuhnya di samping Siska.
“Div, ini semua kamu yang pesan?” tanya Dava sambil menatap begitu banyak menu makanan yang terhidang di atas meja.
“Hem, sama Jonathan juga. Aku pikir kamu bakalan lama datangnya, makanya aku pesan makanan duluan.”
Diva lalu menatap ke arah Siska. “Jangan kamu ambil hati ucapan-ucapan mereka ya. Mereka hanya bercanda kok. Kami senang bisa mengenalmu, wanita yang berhasil membuat Kakak Iparku ini mau menikah lagi,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
“Kakak ipar?” Siska menoleh ke samping, menatap Dava yang baru saja meneguk secangkir kopi yang baru saja diambilnya dari atas meja.
Dava meletakkan secangkir kopi itu kembali ke atas meja, lalu menoleh ke arah Siska yang saat ini masih menatapnya dengan dahi mengernyit.
“Kenapa kamu terkejut seperti itu? bukankah kamu sudah tau kalau aku ini seorang duda?”
Dava lalu merangkul bahu Siska tepat di depan sahabat-sahabatnya. “Diva memang adik ipar aku, dia adiknya Dina—istriku yang sudah pergi meninggalkan aku untuk selama-lamanya. Terus yang disampingnya itu suaminya, mantan kekasih dari istriku.”
“Hah! Om ini bicara apa sih? Aku benar-benar gak ngerti deh.”
Tegar dan Rendy yang mendengar bagaimana Siska memanggil Dava dengan panggilan om, membuat kedua orang itu tergelak.
“Dav, seriusan ini, calon bini lo panggil lo om?”
“Em ... memangnya kenapa kalau aku panggil Om Dava dengan panggilan om? memangnya ada yang salah ya?” tanya Siska sambil menatap sahabat-sahabat Dava.
“Jangan dengerin apa kata mereka, aku gak masalah kamu mau panggil aku apa. Asal kamu gak lari dari aku saja, karena aku gak akan bisa hidup tanpa kamu mulai dari sekarang,” goda Dava sambil mencolek hidung mancung Siska.
Jonathan, Tegar, dan Rendy rasanya ingin muntah saat mendengar gombalan yang Dava lontarkan untuk calon istrinya yang memang terlihat begitu polos itu.
Siska hanya menganggukkan kepalanya, karena dirinya memang merasa asing berada di ruangan yang sama dengan sahabat-sahabat Dava yang sama sekali tak dikenalnya itu.
Diva mengambil spaghetti yang tadi dipesannya dan diberikannya kepada Siska.
“Daripada kamu mendengarkan ocehan mereka, lebih baik sekarang kamu makan. Kamu pasti sudah laparkan?”
“Iya, Tan. Aku ....”
“Jangan panggil aku tante dong, jadi berasa tua aku kalau kamu panggil aku tante,” ucap Diva dengan senyuman di wajahnya.
“Sayang, Dava saja dia panggil om, masa sama kamu dia gak boleh panggil tante.”
“Ya jangan dong, Pa. Siska kan calon istri Dava, itu berarti dia calon kakak ipar aku.”
“Div, kamu gak nyuruh Siska untuk manggil kamu adik ipar kan?” tanya Dava sambil mengernyitkan dahinya.
Diva menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Ya gak adik ipar juga, Dav,” ucapnya malu-malu.
“Ck, cuma masalah panggilan saja ribet. Kamu panggil Diva dengan panggilan tante saja. Lagian dia memang pantes buat jadi tante kamu,” celetuk Dava yang membuat Diva membulatkan kedua matanya.
Siska hanya menganggukkan kepalanya. Ia ingin segera pergi dari tempat itu, karena dirinya benar-benar tak nyaman. Tapi, ia akhirnya bisa menghela nafas lega, saat mereka sudah memulai makan malamnya, karena cacing di dalam perutnya sejak tadi sudah berdemo.
Setelah selesai makan, Dava mengajak Siska untuk berjalan-jalan disekitar Pantai Ancol. Malam ini kawasan Pantai Ancol terlihat begitu ramai pengunjung.
Awalnya Siska menolak, karena ia memang sedang tak ingin pergi kemanapun. Tapi, Dava terus memaksanya hingga ia tak punya pilihan lain selain mengikuti ajakan Dava.
“Om, lain kali, kalau Om mau pergi ke sini itu, ajak kekasih, Om. Ya kali ngajak aku, yang ada nanti pada ngira Om ngajak keponakannya lagi. Memangnya Om gak mau jalan sama aku?”
Kini Dava dan Siska tengah duduk di bangku panjang yang memang disediakan di tempat itu untuk tempat beristirahat para pengunjung Pantai Ancol.
“Memangnya kamu gak marah kalau aku ajak kekasih aku jalan?”
“Ngapain juga aku harus marah.” Siska mulai menggigit jagung bakar yang tadi dibeli Dava.
“Lah, kamu kan calon istri aku. Gimana sih?”
“Om gak lupa kan kalau pernikahan ini hanya pura-pura?”
Dahi Dava mengernyit bingung. “Pernikahan pura-pura? Maksud kamu?” tanyanya yang masih tak mengerti.
“Kita menikah karena perjanjian kan, Om? Jadi, setelah kita menikah nanti, Om gak berhak ngelarang aku dan mencampuri urusan pribadi aku. Begitu juga sebaliknya, aku gak akan ngelarang Om dan mencampuri urusan pribadi Om.”
“Lagian aku tau kok, kalau Om mau menikahiku karena kedua orang tua Om yang selalu mendesak Om untuk segera menikah. Aku juga tau, kalau Om itu sebenarnya gak cinta sama aku. Jadi, Om gak usah pura-pura cinta dan peduli sama aku.”
Dava menghela nafas panjang. “Sekarang mau kamu apa? aku bersikeras ingin menikahimu memang karena aku sudah gak tahan dengan permintaan kedua orang tuaku yang ingin melihatku menikah lagi.”
“Aku gak mau apa-apa, Om. Aku hanya ingin, setelah kita menikah nanti, jangan pernah menuntutku untuk menjalankan kewajiban aku sebagai seorang istri, karena jujur, aku gak bisa melakukannya, karena aku gak cinta sama Om.”
“Jadi maksud kamu, kamu membebaskan aku untuk melakukan apapun, dan aku juga membebaskan kamu untuk melakukan apapun?”
“Hem, aku juga gak suka ada kontak fisik apapun itu alasannya.”
“Gak, kalau yang itu aku gak setuju.”
“Tapi ....”
“Aku yang akan memutuskan apa yang akan aku lakukan sama kamu nanti.” Dava lalu beranjak dari duduknya.
“Aku akan mengantar kamu pulang, besok Mama ku ingin bertemu denganmu, jadi besok malam aku akan menjemputmu,” lanjutnya lalu melangkah pergi menuju parkiran lebih dulu, sedangkan Siska masih duduk dia di bangku panjang itu.
“Memangnya aku salah bicara ya? kayaknya gak deh, tapi kenapa dia marah kayak gitu hanya gara-gara aku ngomongin soal kontak fisik? Dia gak akan minta aku untuk melayaninya di ranjangkan setelah kita menikah nanti?”
Siska yang melihat Dava sudah semakin menjauh, langsung beranjak dari duduknya dan bergegas menyusul calon suaminya itu.
Sesampainya di apartemen Siska, Dava tak langsung pulang ke apartemennya. Ia bahkan langsung masuk ke dalam apartemen Siska tanpa disuruh oleh sang pemilik, hingga membuat Siska merasa sangat kesal.
Keinginannya untuk menghabiskan waktu sendiri sepertinya tak berjalan dengan lancar, karena kehadiran Dava yang sudah mengacaukan semuanya.
“Om, aku mau istirahat! Om pulang gih!” usir Siska dengan raut wajah kesal.
“Kalau mau istirahat ya istirahat saja, gitu aja susah amat sih! Lagian aku juga gak akan ganggu kamu.”
“Tapi aku yang merasa terganggu dengan kehadiran Om disini. Lagian gak baik loh bawa cowok ke apartemen? Apalagi aku hanya tinggal sendiri di apartemen ini. Apa kata orang nanti, Om?”
“Palingan mereka akan menikahkan kita. Itu lebih baik, jadi kita gak usah menunggu lama untuk menikah,” ucap Dava dengan entengnya.
Tapi ucapan Dava itu justru membuat Siska semakin merasa kesal. Dengan menghentakkan kakinya, ia melangkah menuju kamarnya, karena percuma saja dirinya berdebat dengan Dava, karena hanya akan menghabiskan tenaganya.
Siska melepas hoodie yang tadi dipakainya, lalu memasang hanger dan memasukkan jaketnya itu ke dalam lemari pakaiannya. Ia lalu melangkah menuju balkon kamarnya, mendudukkan tubuhnya di kursi yang ada di balkon itu.
“Maunya dia itu apa sih! Gak bisa lihat apa, orang lagi pengen sendiri!”
Sementara ini Dava yang tengah duduk di sofa ruang depan seorang diri, merasakan getaran di saku celananya. Ia lalu mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya.
Dava langsung menjawab panggilan itu. “Sudah aku bilang, jangan menghubungiku lagi!” serunya saat panggilan itu sudah mulai tersambung.
“Mas, bisa datang ke apartemen aku gak? Aku butuh bantuan Mas sekarang juga.”
“Sorry, Nit, aku gak bisa. Sekarang aku lagi sama calon istriku, aku harap ini menjadi terakhir kalinya kamu menghubungi aku.”
“Tapi Mas ....”
Anita belum sempat menyelesaikan ucapannya, Dava sudah keburu mengakhiri panggilan itu, memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. Mengangkat tangan kanannya, melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
Dava beranjak dari duduknya, lalu melangkah menuju kamar Siska, mencoba membuka pintu itu yang ternyata tak dikunci dari dalam.
Dava melangkah masuk ke dalam kamar itu, tapi dirinya tak mendapati Siska di dalam kamar itu. Ia lalu melangkahkan kakinya menuju balkon kamar Siska, dan melihat Siska yang ternyata sudah tertidur dengan posisi duduk di kursi.
“Astaga ini anak! Ngapain juga tidur disini!” Dengan hati-hati, Dava membopong tubuh Siska dan membawanya masuk ke dalam kamar, merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Dava menatap wajah lelap Siska saat ini, dimana wajah itu terlihat begitu tenang dan sangat cantik. Jauh berbeda dengan saat jika kedua mata itu terbuka, mulutnya pasti akan mengeluarkan kata-kata yang tak ingin dirinya dengar.
Dava mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang, mengusap pipi Siska dengan sangat lembut dan hati-hati, karena ia tak ingin sampai tidur Siska terganggu.
“Maafin aku, kalau aku harus membawa kamu dalam masalahku. Seandainya waktu itu kamu gak menolongku, mungkin kamu tak harus terjebak masalah denganku seperti ini,” lirihnya yang mungkin hanya bisa didengarnya olehnya sendiri.
Dava menatap bibir mungil Siska yang berwarna merah muda itu. Bibir mungil yang terlihat seperti sedang menggodanya. Tanpa dirinya sadari, wajahnya semakin menunduk mendekati wajah Siska yang terlelap dalam tidurnya.
Hingga kedua mata yang awalnya terpejam itu, mulai terbuka dengan perlahan dan akhirnya bertemu tatap dengan kedua mata Dava dengan jarak yang begitu dekat.
“Apa yang Om lakukan di kamar aku?”