Siska membuka kedua matanya secara perlahan. Ia lalu menatap jam yang menggantung di dinding kamarnya. Waktu menunjukkan pukul 09. 00.
Kedua mata Siska seketika langsung membulat dengan sempurna.
“Sial! Aku kesiangan!”
Padahal Siska sudah berencana untuk bangun pagi dan segera membangunkan Dava dan memintanya untuk pergi dari apartemennya. Tapi sepertinya rencananya kali ini gagal.
Siska langsung beranjak turun dari ranjang, melangkah menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya dan menggosok giginya, karena dirinya tak punya banyak waktu untuk mandi.
Siska harus segera membangunkan Dava dan memintanya untuk segera pergi dari apartemennya.
Siska melangkah keluar dari kamar itu dan langsung menuju kamar yang Dava tempati. Tapi, disaat tangan kanannya ingin mengetuk pintu kamar itu, kedua telinga mendengar suara bel berbunyi.
"Siapa yang datang? kalau Dita gak mungkin, karena semalam dia bilang akan ketemu di kampus. Terus siapa dong?"
“Apa Pak Rt?”
Siska menggelengkan kepalanya, karena itu jelas-jelas tak mungkin terjadi. Pak Rt tak mungkin datang ke apartemennya.
“Gak mungkin Pak Rt. Ini kan apartemen, bukan kampung halaman aku.”
"Siapa ya?"
Mau tak mau Siska melangkahkan kakinya menuju pintu depan, karena dirinya benar-benar merasa penasaran dengan siapa yang datang ke rumahnya.
Siska melihat layar intercom yang ada di samping pintu itu guna melihat siapa yang saat ini berdiri di depan pintu apartemennya.
“Mama! Papa!”
"Astaga! sekarang apa yang harus aku lakukan? kenapa Mama dan Papa datang kesini gak kasih kabar ke aku sih!"
Siska mondar mandir sambil menggigit ujung kuku jarinya, hingga kedua telinganya kembali mendengar suara bel berbunyi.
"Apa aku bangunkan Om itu ya? tapi mau aku sembunyikan dimana coba."
Siska semakin terlihat bingung. Ia tak tau apa yang harus dilakukannya. Ternyata apa yang ditakutkannya terjadi, membawa Dava ke apartemennya akan membawa masalah baru untuknya.
"Sial! Tau gini semalam aku tinggal itu Om genit di club. Sekarang gara-gara dia aku harus menghadapi masalah baru!" umpatnya dalam hati.
“Semoga Om itu masih tidur dan gak keluar-keluar kamar sampai Mama dan Papa pulang. Biasanya Mama dan Papa kalau datang juga gak akan lama.
Siska mengambil nafas panjang, lalu mengeluarkannya secara perlahan.
“Tenang, Sis. Semua akan baik-baik saja.”
Siska dengan perlahan lalu membuka kunci dan membuka pintu itu. Ia lalu tersenyum menyambut kedatangan kedua orang tuanya.
“Astaga! kenapa lama sekali sih buka pintunya? Kamu gak lagi bangun tidur kan, Sayang?”
Indah dan Galang masuk ke dalam apartemen Siska. Ia melihat apartemen Siska yang rapi.
“Maaf, Ma, Pa. Aku memang baru bangun,” ucap Siska sambil nyengir kuda.
Indah hanya geleng kepala melihat kelakukan putrinya itu.
“Mama dan Papa sengaja datang kesini, karena Papa kamu ada kerjaan di sekitar sini. Jadi kami memutuskan untuk mampir.”
“Seharusnya Mama kasih kabar ke aku kalau mau datang. Kan aku bisa siapkan makanan untuk Mama dan Papa.”
Indah tersenyum, sambil mengusap lengan sang putri.
“Kalau soal itu kamu gak perlu cemas, Sayang.”
Indah lalu mengangkat tangan kanannya yang menenteng paperbag.
“Tadi Mama dan Papa mampir ke restoran dan membelikan kamu makanan. Kamu belum sarapan kan?”
Siska menggelengkan kepalanya.
“Lebih baik sekarang kamu mandi, habis itu keluar untuk sarapan. Kebetulan Papa dan Mama juga belum sempat sarapan tadi karena buru-buru ingin cepat kesini,” ucap Galang saat melihat penampilan sang putri yang masih berantakan.
Punya anak gadis kok malasnya minta ampun.
Galang sampai geleng-geleng kepala.
“Kalau begitu aku mandi dulu Ma, Pa.”
Siska lalu beranjak dari duduknya, ia lalu melangkah menuju kamarnya. Ini adalah kesempatan dirinya untuk melihat keadaan Dava saat ini.
Siska bergegas membuka pintu kamarnya, lalu masuk dan kembali menutup pintu kamar itu. Ia lalu menyandarkan tubuhnya ke badan pintu.
"Bisa-bisa aku beneran akan kena serangan jantung kalau kayak gini caranya."
Siska lalu melihat ke arah ranjang, dimana saat ini Dava masih tertidur dengan sangat nyenyak.
"Astaga! jam segini belum bangun juga!"
Dengan kesal Siska melangkah menuju ranjang dan berniat untuk membangunkan Dava. Bagaimanapun caranya, dirinya harus bisa mengajak Dava bekerja sama.
Kecuali dirinya ingin kena omel kedua orang tuanya, karena telah berani membawa seorang pria ke dalam apartemennya. Mana prianya lebih pantas jadi om nya lagi.
Siska membangunkan Dava dengan menggoyangkan tubuhnya secara perlahan.
“Om, bangun,” lirihnya karena takut suaranya akan terdengar sampai keluar.
Padahal kalau bersuara sedikit keras lagi, suaranya tak akan terdengar sampai keluar. Siska saja yang sudah takut duluan, karena dirinya tau bagaimana sifat sang papa.
Tapi, bukannya bangun, Dava malah menarik selimut yang tak lagi menutup tubuhnya.
“Om!” Siska menarik selimut yang menutup tubuh Dava.
“Bangun, Om! Ini darurat!” geram Siska.
Dava yang tidurnya merasa terganggu, akhirnya membuka kedua matanya. Kepalanya terasa sangat pusing.
“Dimana aku?” tanyanya saat melihat dirinya tak ada di dalam kamar apartemennya.
“Di apartemen aku. Apa Om sudah bisa mengingat semuanya?”
Dava bangun, lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang.
“Kenapa aku bisa disini?” tanyanya sambil memijat kedua pelipisnya untuk mengurangi rasa sakit di kepalanya.
“Apa Om lupa kalau semalam Om mabuk berat? Wanita yang bersama Om dengan teganya meninggalkan Om begitu saja, hingga membuat aku susah!”
“Siapa nama kamu bocah ingusan?” tanya Dava sambil menatap Siska.
Siska paling tak suka saat Dava memanggilnya bocah ingusan. Dirinya bukan bocah ingusan, karena saat ini dirinya sudah berusia 20 tahun.
Tapi, saat ini Siska mencoba untuk menahan diri, menahan emosinya yang bahkan sudah siap untuk meledak kapan saja. Semua itu dirinya lakukan untuk keselamatannya saat ini.
“Aku bukan bocah ingusan, Om. Nama aku Siska.”
Dava mengangguk mengerti.
“Bisa tolong ambilkan aku minum? Aku sangat haus.”
Siska mengepalkan kedua telapak tangannya.
“Om, apa Om bisa serius dikit? Sekarang aku sedang dalam masalah, karena sudah membawa Om kesini.”
“Aku gak memintamu untuk membawaku kesini.” Dava masih terlihat cuek.
“Astaga! jadi ini balasan Om, setelah aku membantu Om semalam!”
Disaat Siska sedang berdebat dengan Dava di dalam kamarnya, kedua orang tua Siska—Indah dan Galang sudah menunggu Siska di meja makan.
“Ma, coba Mama lihat Siska. Masa mandi aja lama banget. Papa sudah lapar soalnya.”
Indah menganggukkan kepalanya.
“Baik, Pa. Papa bisa makan duluan, Mama akan panggil Siska,” ucapnya lalu beranjak dari duduknya dan melangkah menuju kamar Siska.
“Dasar itu anak. Bukannya dia masuk siang. Mandi aja lama.”
Indah kini sudah berdiri di depan pintu kamar Siska. Ia lalu mengetuk pintu kamar putrinya itu.
“Sayang, sudah belum mandinya? Kamu baik-baik saja kan?” tanyanya cemas.
Siska membulatkan kedua matanya saat mendengar suara sang mama.
“Om, sekarang apa yang harus aku lakukan?” tanya Siska lalu menggigit ujung kuku ibu jarinya. Itu lah yang biasa dirinya lakukan kalau tengah gugup.
“Tinggal buka pintu. Apa susahnya. Atau mau aku bantu untuk membuka itu pintu?” Dava sudah bersiap-siap untuk beranjak dari ranjang.
“Jangan!” seru Siska membuat Dava mengurungkan niatnya.
“Apa Om sudah gila! kalau sampai Mama tau aku membawa pria ke apartemen aku dan memasukkannya ke dalam kamarku. Bisa-bisa Mama akan menggantungku disini saat ini juga, Om!” kesal Siska.
“Terus mau kamu apa?”
Siska dan Dava kembali mendengar suara ketukan di pintu.
“Aku gak minta kamu buat menolongku semalam dan membawaku kesini. Jadi semua ini juga bukan salah aku,” ucap Dava sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya.
“Aku nyesel sudah bantuin Om semalam! Sekarang aku malah jadi dalam masalah gara-gara Om!”
Sedangkan diluar, Indah yang merasa khawatir kalau sampai terjadi apa-apa dengan putrinya, langsung membuka pintu kamar Siska tanpa meminta persetujuan dari sang pemilik kamar.
“Sayang! siapa dia!” seru Indah saat melihat Dava yang tak memakai atasan berada di atas ranjang putrinya.
Siska membulatkan kedua matanya saat sang mama kini berdiri di depan pintu kamarnya dengan kedua mata melotot.
"Mati aku!" umpatnya dalam hati.
Siska menatap Dava yang masih saja cuek.
“Semua ini gara-gara Om tau gak!” kesalnya lalu melangkah menghampiri sang mama untuk menjelaskan semuanya.
“Ma, aku bisa jelasin semuanya. Ini gak seperti yang Mama pikirkan.”
“Kamu belum jawab pertanyaan Mama! siapa pria itu! kenapa pria itu bisa berada di dalam kamar kamu!” seru Indah dengan d**a yang naik turun karena mencoba untuk menahan amarahnya.
Siapa yang tidak terkejut, saat melihat seorang pria yang bahkan lebih tua dari putrinya berada di dalam kamar putrinya dengan pakaian yang sudah tak lengkap lagi.
Galang yang mendengar suara teriakan istrinya, sontak langsung beranjak dari duduknya dan bergegas menuju kamar sang putri.
“Ada apa ini, Ma?” tanya Galang lalu melangkah masuk ke dalam kamar Siska.
“Pa, anak kita, Pa. Siska berani membawa pria masuk ke dalam kamarnya.” Indah lalu memeluk sang suami.
Galang menatap Dava yang kini sudah memakai kembali kemejanya.
“Sis, bisa kamu jelaskan semua ini?”
Siska menganggukkan kepalanya, ia akan menjelaskan semuanya kepada kedua orang tuanya.
“Maafkan aku, Pa. Maaf.” Untuk saat ini hanya itu yang bisa Siska katakan.
Galang menghela nafas panjang. Dirinya benar-benar tak menyangka, putrinya berani membawa seorang pria ke dalam kamarnya.
“Kita bicara di luar. Bawa pria itu juga,” ucapnya lalu membawa sang istri keluar dari kamar itu.
Siska melangkah mendekati Dava sambil mengepalkan kedua telapak tangannya.
“Apa Om puas sekarang, hah!” geramnya dengan kedua telapak tangan yang sudah mengepal.
Dava menghela nafas panjang. Sejujurnya dirinya juga tak menginginkan semua ini. Tapi, semua sudah terlanjur terjadi, dirinya harus menghadapinya bukan?
“Aku akan bicara dengan kedua orang tuamu,” ucapnya lalu melangkah keluar dari kamar itu.
Siska mengikuti Dava keluar dari kamarnya. Ia melihat kedua orang tuanya yang sudah menunggu di ruang tengah.
Dava duduk di sebelah Siska.
Galang melipat kedua tangannya di depan dadanya, tatapannya kini mengarah ke arah Dava yang duduk di samping putrinya.
“Apa yang ingin kamu jelaskan pada Papa? Siapa pria ini?”
Siska menelan ludah dengan susah payah, pasalnya dirinya tak mengenal siapa Dava. Bahkan dirinya lupa bertanya siapa nama pria yang saat ini duduk di sebelahnya.
Dava menatap Siska, lalu tersenyum. Ia sudah tau semua ini pasti terjadi. Kedua orang tua Siska akan bertanya pada Siska siapa dirinya.
Dava jadi teringat akan permintaan sang mama yang ingin melihatnya segera menikah.
"Sepertinya aku bisa memanfaatkan situasi ini. Aku lihat Siska sangat membenciku. Dia bisa aku ajak kerjasama," gumamnya dalam hati.
Siska mengernyitkan dahinya, saat melihat Dava menatapnya dengan senyuman di wajahnya tanpa mengatakan sepatah katapun.
"Apa yang sedang dipikirkannya? Dia gak akan berbuat hal-hal yang akan semakin membuatku dalam masalah kan?" gumamnya dalam hati.
“Siska! Kenapa kamu diam! siapa pria ini!” sepertinya Galang sudah tak bisa bicara dengan tenang lagi.
Siska membulatkan kedua matanya, saat Dava tiba-tiba menggenggam tangannya. Ia ingin menarik tangannya dari genggaman tangan Dava pun tak bisa, karena Dava menggenggam tangannya dengan sangat erat.
“Om, Tante. Maaf, kalau saya baru bisa memperkenalkan diri sekarang.”
Siska membulatkan kedua matanya. Saat mendengar apa yang Dava katakan kepada kedua orang tuanya.
"Apa yang dia lakukan! apa dia ingin membuat aku semakin dalam masalah!" umpatnya dalam hati.
“Siapa kamu? apa hubunganmu dengan Siska?” kini Indah yang bertanya.
Dava menatap Siska, lalu tersenyum kepada gadis cantik itu.
“Saya... saya kekasih, Siska.”
Kedua bola mata Siska bahkan hampir meloncat saat mendengar apa yang baru saja Dava katakan. Ia lalu menggelengkan kepalanya, melihat kedua orang tuanya secara bergantian.
“Ma... Pa... i-ini tidak seperti yang Mama dan Papa pikirkan. Dia... Om ini... bukan....”
“Sayang....” Dava memotong ucapan Siska. Ia lalu mengusap lembut pipi Siska tepat di depan kedua orang tua Siska.
“Aku sudah siap kok untuk kamu kenalkan pada kedua orang tua kamu,” ucap Dava dengan senyuman di wajahnya.
Dava lalu kembali menatap kedua orang tua Siska.
“Om, Tante. Perkenalkan, nama saya Dava. Saya dan Siska sudah lama berpacaran. Maaf, kalau saya baru bisa memperkenalkan diri sekarang,” ucapnya dengan menepiskan senyumannya di wajahnya.
Galang dan Indah yang masih sangat shock dengan apa yang mereka dengar, kini saling menatap satu sama lain.
“Pa... bagaimana ini?”
Dava tau apa yang kedua orang tua Siska takutkan saat ini. Dirinya juga akan marah dan kecewa, saat melihat anak gadisnya bersama dengan pria yang bukan suaminya di dalam kamarnya.
“Saya tau apa yang sedang Om dan Tante pikirkan saat ini.”
Dava mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Siska.
“Om dan Tante gak usah cemas. Saya akan bertanggung jawab dengan apa yang terjadi hari ini.”
“Apa yang....” Siska belum sempat menyelesaikan ucapannya, Dava kembali memotongnya.
“Saya akan menikahi Siska secepatnya, Om. Saya janji.”
Kedua mata Siska semakin membulat dengan sempurna. Dirinya tak menyangka kalau Dava akan mengatakan semua itu padanya.
"Gak! Aku gak bisa diam saja. Aku gak mau sampai Mama dan Papa percaya begitu saja dengan apa yang Om ini katakan. Gak!" gumamnya dalam hati.
“Pa... Ma... tolong dengarkan penjelasan aku dulu. Bukan seperti ini kejadiannya. Dia... dia....”
“Cukup!” seru Galang sambil mengangkat tangannya dengan telapak tangan yang terbuka lebar.
“Papa gak mau mendengar apapun lagi!”
“Pa!” Siska terlihat sangat kecewa, kedua orang tuanya sama sekali tak mau mendengar penjelasan darinya.
Indah dan Galang yang tak ingin masa depan putrinya hancur. Mereka pun mencoba untuk memperjelas maksud dari kata Dava.
“Apa kamu benar akan menikahi Siska?” tanya Galang sambil mengernyitkan dahinya.
Dava menganggukkan kepalanya, sebagai jawaban dari pertanyaan papa Siska.
“Saya berjanji, Om. Om bisa pegang janji saya.”
Galang menghela nafas panjang.
“Kalau begitu kapan kamu akan datang ke rumah kami bersama dengan kedua orang tuamu untuk melamar Siska?”
“Pa!”