Tatapan kebencian

2389 Kata
Siska menatap Dava dengan penuh kebencian. Dirinya tak menyangka, pria yang dengan tulus ia bantu, kini malah membuatnya dalam masalah besar. "Menikah!" umpatnya dalam hati. Dalam mimpipun Siska tak berharap akan menikah dengan pria seperti Dava. Dava memang tampan. Tapi dari segi usia, Dava jauh berada di atas Siska, hingga membuat Siska berpikir dua kali untuk mau menikah dengan pria yang bahkan baru dirinya tau namanya itu. “Ma... Pa. Aku mohon, dengarkan penjelasan aku dulu. Bagaimana bisa Papa dan Mama percaya begitu saja dengan apa yang dia katakan!” Siska menatap Dava dengan sorot mata yang tajam. Tapi Dava sama sekali tak peduli dengan tatapan kebencian Siska padanya, karena yang terpenting baginya, sekarang dirinya mempunyai cara agar kedua orang tuanya tak lagi menjodohkannya dengan wanita-wanita yang sama sekali bukan tipenya. Siska juga bukan tipe Dava sih. Tapi Siska adalah wanita pertama yang sama sekali tak tertarik akan pesona seorang Dava Rahendra. Padahal dari sekian banyak wanita yang Dava kenal, tak ada satupun yang akan menolak pesona ketampanannya. Bahkan semua wanita itu bertekuk lutut di hadapan duda tampan itu dan berakhir di atas ranjangnya untuk menemani malam-malam dinginnya yang perlu akan kehangatan. “Sis, memangnya apa yang ingin kamu jelaskan sama Papa dan Mama sekarang? apa kamu akan bilang kalau kamu tidak sengaja bertemu dengan pria ini, lalu menolongnya dengan cara kamu masukkan dia ke dalam kamar kamu? begitu?” Galang tak habis pikir dengan cara pikir putrinya. Sudah syukur Dava mau bertanggung jawab dan menikahinya. Tapi kenapa sikap putrinya itu menunjukkan kalau dia tak terima dengan keputusan Dava. “Tapi memang itu kenyataannya, Pa. Aku memang sudah pernah bertemu dengannya sih. Tapi kan aku sama sekali gak mengenalnya. Semalam aku tak sengaja bertemu dia dalam keadaan... aku bertemu dia di....” Siska menghentikan ucapannya, karena dirinya tak mungkin mengatakan kalau dirinya bertemu Dava di depan club malam. Bisa-bisa kedua orang tuanya semakin murka, saat mereka tau putri tersayangnya pergi ke tempat hiburan malam seperti itu. “Dimana kamu bertemu Dava, Sayang? kenapa kamu diam?” Indah masih ingin mendengar penjelasan putrinya, karena dirinya sangat mengenal putrinya itu, dimana sang putri tak akan mungkin berbohong padanya. “I-itu... aku ketemu dia di....” Siska menatap Dava, berharap pria itu kali ini benar-benar mau membantunya, bukannya malah semakin menjerumuskannya ke dalam masalah. Apalagi kalau sampai membawa-bawa pernikahan, dimana Siska berharap hanya akan menikah satu kali selama hidupnya. Itupun dengan pria yang dicintainya, bukan pernikahan terpaksa seperti ini. Bahkan dirinya sama sekali tak mengenal siapa itu Dava. Dimana rumahnya, siapa keluarganya dan bagaimana kehidupannya selama ini. Galang mengernyitkan dahinya, saat melihat Siska yang hanya diam sambil menatap ke arah Dava. “Papa anggap diamnya kamu itu, sebagai kebohongan.” “Pa!” Siska tak terima dengan tuduhan sang papa padanya. “Jadi Papa berpikir kalau aku berbohong?” “Kalau kamu memang tidak berbohong, sekarang katakan, dimana kamu bertemu dengan Dava?” desak Galang. “I-itu... aku ketemu dia di....” “Di club malam,” sahut Dava gemas, karena sejak tadi Siska hanya membuang-buang waktu. "Tinggal bilang club malam aja susah amat," gumam Dava dalam hati. “Apa! club malam!” kedua mata Galang dan Indah membulat dengan sempurna. Siska menganggukkan kepalanya pelan, tanda ia mengiyakan apa yang Dava katakan. “Maafkan aku, Pa. Tapi aku kesana bukan untuk mabuk-mabukan kok. Aku hanya....” “Cukup!” seru Galang dengan rahang mengetat karena emosinya kembali merangkak naik. “Papa gak pernah mendidik kamu untuk menjadi wanita seperti itu, Sis! Apa kamu ingin mempermalukan Mama dan Papa!” d**a Galang naik turun dengan nafasnya yang terengah-engah karena mencoba untuk mengendalikan emosinya. Siska menundukkan kepalanya. “Maafkan aku, Pa. Maaf.” Indah mengusap lengan sang suami, meminta sang suami untuk menahan emosinya. Jujur, dirinya juga kecewa saat mendengar pengakuan Siska. Tapi semua juga tak mungkin bisa mereka cegah, apalagi Siska memilih untuk tinggal di apartemen. Sehingga dirinya juga tak bisa memantau gerak-gerik Siska setiap waktu. “Om, Tante. Maaf, kalau saya ikut campur. Tapi, saya bisa menjamin, kalau Siska bukan wanita seperti itu. Saya bertemu Siska di area parkir club malam. Siska bahkan sama sekali tak minum minuman haram itu.” “Saya semalam sedang dalam masalah. Saya telah ditipu oleh rekan bisnis saya, hingga membuat perusahaan saya mengalami kerugian. Memang gak terlalu besar.” Dava terpaksa harus berbohong kepada kedua orang tua Siska. Dava lalu menggenggam tangan Siska, agar sandiwaranya terlihat nyata. “Tapi, saya bersyukur ada Siska di samping saya. Dia mencoba untuk menguatkan saya, dan memberi saya tumpangan di apartemennya.” Dava mengecup punggung tangan Siska dengan lembut. Dirinya tak akan membiarkan Siska untuk menggagalkan rencananya, karena hanya ini satu-satunya cara agar dirinya bisa membuat kedua orang tuanya bahagia dengan melihatnya menikah. Hanya Siska wanita yang tepat untuk dirinya nikahi, karena hanya Siska yang wanita yang sangat sulit untuk dirinya taklukan saat ini. “Om dan Tante gak perlu cemas, saya akan tetap menikahi Siska, karena saya sudah cinta mati sama Siska,” ucap Dava dengan senyuman di wajahnya. Indah dan Galang saling menatap satu sama lain. Mereka tau, kalau putrinya sangat keberatan dengan keputusan Dava itu, dan itu terlihat sangat jelas di wajah Siska saat ini. Tapi, Indah maupun Galang juga tak mungkin membiarkan Dava lepas begitu saja setelah tidur di kamar putrinya. Apalagi Dava tertangkap basah tidak memakai pakaian lengkap. Galang tak ingin sampai kabar Siska yang membawa pria ke dalam kamarnya tersebar kemana-mana dan akan menghancurkan masa depan putrinya. Galang menghela nafas panjang. Ia lalu menatap Siska dan Dava secara bergantian. “Sis, Papa sudah memutuskan, kalau Papa akan menerima pertanggung jawaban Dava untuk menikahi kamu.” Tubuh Siska seketika langsung lulai. Ia benar-benar kecewa dengan keputusan kedua orang tuanya yang lebih percaya dengan orang asing ketimbang dengan putrinya sendiri. “Dan kamu, Dava. Om akan tunggu kedatangan kamu di rumah bersama dengan kedua orang tuamu.” Dava menganggukkan kepalanya, tanda dirinya setuju dengan keputusan papanya Siska. “Sis, Papa dan Mama akan menunggu kamu di rumah.” “Tapi, Pa. Aku ada kuliah. Aku....” “Om dan Tante tenang saja, saya akan mengantar Siska pulang ke rumah dengan selamat,” ucap Dava dengan menepiskan senyumannya. Galang dan Indah menganggukkan kepalanya. Selera makan mereka tiba-tiba hilang. Masalah yang Siska berikan pada mereka kali-kali bukan main-main. Apalagi sampai menyangkut masa depan putri mereka satu-satunya. Galang dan Indah beranjak dari duduk mereka. “Pa, Ma, kalian mau kemana?” “Papa dan Mama masih ada urusan. Papa sangat kecewa sama kamu. Papa harap kali ini kamu gak akan melakukan hal yang akan membuat Papa dan Mama semakin kecewa sama kamu.” Setelah mengatakan itu Galang dan Indah keluar dari apartemen Siska. Tapi, sebelum mereka keluar, Dava masih sempat untuk mencium punggung tangan kedua orang tua Siska. Dava ingin meninggalkan kesan yang baik kepada kedua orang tua Siska, kalau dirinya pantas untuk menjadi suami Siska, menantu mereka. Setelah kedua orang tua Siska keluar dari apartemen itu, Dava menghela nafas lega. Ia lalu mendudukkan tubuhnya di sofa, menyandarkan tubuhnya yang masih sangat lelah. Dava bahkan tak peduli dengan wajah Siska yang sudah memerah seperti tomat, karena menahan amarahnya yang sejak tadi Siska tahan. “Kamu gak perlu mengucapkan terima kasih sama aku. Aku ikhlas membantumu. Anggap saja itu sebagai balasan karena kamu sudah membawaku kesini semalam dan tak meninggalkan aku di jalan.” Dava menoleh ke arah Siska yang sejak tadi hanya diam. "Kenapa dia? Apa dia begitu bahagia, saat aku bilang akan menikahinya?" gumamnya dalam hati. Dava beranjak dari duduknya, berdiri tepat di depan Siska. “Apa kamu sangat bahagia karena akan menikah denganku?” tanyanya sambil mengernyitkan dahinya. Siska mengepalkan kedua telapak tangannya. “b******k!” serunya dengan tangan kanan yang sudah bersiap berayun ke wajah tampan Dava. Tapi, dengan sigap Dava mencengkram pergelangan Siska yang sudah siap untuk menamparnya. Kalau sampai Siska berhasil menampar wajahnya, berarti ini kedua kalinya tangan mulus itu menampar wajah tampannya. “Aku gak akan membiarkan kamu menamparku untuk kedua kalinya.” Dava lalu mengecup punggung tangan Siska. “Tangan mulus ini seharusnya kamu gunakan untuk membelai wajah tampanku, bukan malah kamu gunakan untuk menamparku.” “Kalau sampai wajah tampan aku ini luka gimana? Kalau aku jadi jelek gimana? Apa kamu mau bertanggung jawab?” Siska menghempaskan tangannya dengan sangat kasar, hingga cengkraman tangan Dava terlepas. “Kenapa Om melakukan ini sama aku? kenapa, Om! Apa salah aku sama Om!” kedua mata Siska mulai berkaca-kaca. Siska tak bisa membayangkan kalau dirinya harus menikah dengan Dava. Bagaimana dirinya bisa hidup dengan pria asing? Hanya membayangkan saja sudah membuat Siska tersiksa lahir dan batin. Bagaimana kalau sudah menjalaninya? Akankah hidupnya akan seperti di neraka? Belum lagi Siska membayangkan bagaimana dirinya harus melakukan tugasnya sebagai istri Dava. “Kenapa? aku sudah menolongmu untuk keluar dari masalah. Seharusnya kamu berterima kasih sama aku, bukan malah mau menamparku seperti tadi.” Dava melipat kedua tangannya di depan dadanya. “Sekarang aku tanya sama kamu, apa kedua orang tuamu akan membiarkan aku pergi begitu saja setelah mereka melihat aku ada di dalam kamar kamu dengan penampilan seperti tadi?” Siska hanya diam. Tapi, jika dirinya bisa menyakinkan kedua orang tuanya, dirinya yakin, semua akan selesai dan dirinya tak perlu sampai menikah dengan pria yang sangat dibencinya itu. “Gak akan ada orang tua yang hanya diam saja saat melihat putrinya memasukkan pria asing ke dalam kamarnya. Kamu mau menjelaskan sepanjang apapun, kedua orang tua kamu tak akan percaya dengan apa yang kamu katakan.” Siska semakin tertunduk. Bahkan isak tangis mulai terdengar di kedua telinga Dava. "Astaga! jangan bilang dia nangis karena aku berniat untuk menikahinya? Sebegitu bencikah dia sama aku?" gumamnya dalam hati. “Bagaimana Om bisa menjanjikan itu kepada kedua orang tuaku, kalau kita saja tak saling mengenal satu sama lain. Bagaimana bisa Om berjanji akan melamarku tanpa meminta persetujuan dariku dulu?” Siska mengangkat wajahnya untuk menatap wajah tampan Dava. “Kenapa, Om! Apa Om tak ada wanita lain yang bisa Om ajak nikah, hah!” “Bisakah Om menarik kata-kata Om itu? bisakah Om bicara sama kedua orang tuaku kalau kita bukan sepasang kekasih dan kita sama sekali tak saling kenal? Bisakah Om melakukan itu buat aku? aku mohon.” Siska terlihat begitu putus asa. Dirinya benar-benar tak mau menikah. Bukan karena pria itu Dava, pria yang lebih tua darinya dan baru dikenalnya. Tapi, dirinya memang belum ingin menikah saat ini. Dava menghela nafas panjang. Melihat wajah Siska saat ini, membuatnya merasa bersalah, karena telah melibatkan Siska ke dalam masalahnya. Tapi, dirinya tak akan membiarkan air mata Siska mempengaruhi keputusan yang sudah diambilnya. “Apapun yang terjadi, aku tak akan menarik kata-kataku tadi. Aku akan tetap datang ke rumahmu untuk melamarmu. Aku sama sekali tak membutuhkan persetujuanmu, karena semua keputusan ada di tanganku.” Dava membulatkan kedua matanya, saat melihat Siska yang tiba-tiba langsung bersimpuh di depannya. “Apa yang kamu lakukan, hah!” “Om, aku mohon. Om tarik kembali kata-kata Om itu. Aku gak bisa menikah dengan Om. Bagaimana bisa Om mengambil keputusan sepenting itu dengan begitu mudah. Menikah? Om yakin akan menikah denganku? Om bahkan tak mengenalku.” “Aku gak peduli siapa kamu dan aku gak mau tau siapa kamu. Aku hanya perlu datang ke rumahmu untuk melamarmu, karena itu janji yang aku ucapkan kepada kedua orang tuamu.” “Bangunlah. Jangan buat aku semakin ingin menikahimu saat ini juga!” ancam Dava saat melihat Siska yang tak juga berdiri. “Aku gak akan berdiri sebelum Om berjanji akan menarik kata-kata Om itu.” Dava tertawa sarkas. Dirinya tak menyangka, bocah ingusan yang ada di depannya kini berani mengancamnya. “Apa kamu pikir aku akan takut dengan ancaman kamu itu? terserah! Kamu mau bersimpuh seperti ini sampai besok pun aku gak peduli!” Dava lalu berjongkok di depan Siska, mengangkat wajah Siska dengan cara memegang dagunya. Ia tatap kedua mata Siska yang sampai saat ini masih mengalirkan cairan bening. “Tunggu aku manis. Semakin kamu menolakku, aku semakin tertantang untuk menikahimu. Ingat satu hal, meski kamu memohon sampai air mata kamu mengering sekalipun, aku tak akan pernah menarik kata-kataku itu.” Dava lalu melepaskan cengkraman tangannya pada dagu Siska. “Tunggu aku, aku akan datang ke rumah kedua orang tuamu untuk melamarmu. Aku yakin, kedua orang tuaku akan sangat bahagia, saat mereka tau aku akan melamar anak gadis orang,” ucapnya dengan menyunggingkan senyumannya. Dava menggerakkan tangan kanannya untuk menghapus cairan bening yang membasahi kedua pipi Siska. “Sekarang aku tanya sama kamu, kenapa kamu gak ingin menikah denganku?” “Apa Om gak punya kaca di rumah?” Dava mengernyitkan dahinya. "Apa hubungannya pertanyaannya dengan kaca di rumahnya?" gumamnya dalam hati. “Om itu lebih pantas untuk menjadi Om aku, bukan suami aku!” geram Siska sambil mencengkram kerah kemeja yang Dava pakai. “Jadi usia aku yang membuatmu tak ingin menikah denganku? Ok. Tapi sekarang aku tanya sama kamu, apa aku tampan?” Dava bahkan membiarkan kedua tangan Siska yang masih mencengkram kerah kemejanya. “Kenapa kamu diam?” tanya Dava saat melihat mulut Siska yang masih tetap bungkam. Siska memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia tak sanggup menatap kedua mata hazel Dava. Dirinya tak ingin sampai terjerat akan pesona seorang Dava Rahendra. “Gak! Om sama sekali gak tampan. Om juga bukan tipeku!” Dava terkekeh saat mendengar jawaban Siska. Ia tau, kalau Siska berbohong, karena Siska tak berani menatap kedua matanya saat mengatakan itu. Dava lalu menyingkirkan kedua tangan Siska dari kerah kemejanya. Ia lalu beranjak berdiri. “Terima kasih untuk bantuan kamu semalam. Seenggaknya aku harus mengucapkan terima kasih sama kamu kan?” “Aku gak bisa lama-lama disini, karena aku harus memberitahukan kabar gembira ini kepada kedua orang tuaku, karena mereka sebentar lagi akan mempunyai menantu,” ucap Dava dengan menyunggingkan senyumannya. Siska menepis tangan Dava yang mengusap puncak kepalanya. Dava tak memperdulikan sikap Siska padanya. “Ok. Aku tau kamu masih butuh waktu untuk menerima semua ini. Aku akan memberikan waktu untukmu. Tapi, jangan pernah berpikir untuk kabur, karena aku akan tetap menemukanmu meski kamu bersembunyi di lubang semut sekalipun.” Setelah mengatakan itu Dava melangkah keluar dari apartemen Siska, meninggalkan Siska yang kembali menangis tergugu akan takdir hidupnya. Takdir yang membuatnya semakin menyesali pertemuannya dengan Dava untuk pertama kalinya. Dimana pertemuan itu justru membuat hidup dan masa depannya hancur dalam sekejap. "Sekarang apa yang harus aku lakukan? apa aku akan diam saja dan menerima semua ketidakadilan ini?" gumamnya dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN