Siska terkejut, saat tubuh Dava hampir saja menimpanya.
“Astaga! bukan ini yang aku inginkan. Kenapa wanita itu pergi meninggalkan dia begitu saja. Dasar gak bertanggung jawab banget sih! Mana kondisinya kayak gini lagi.”
“Om... Om bisa mendengarku?” tanya Siska yang kembali menyandarkan tubuh Dava ke badan mobilnya, karena dirinya juga tak kuat menahan berat tubuh Dava.
Dava membuka kedua matanya secara perlahan. Kini kedua matanya melihat ada dua Siska di depannya.
“Hai bocah ingusan. Kenapa kamu ada dua? Apa kamu punya kembaran?” tanyanya sambil menatap Siska dengan tubuh sempoyongnya.
Dava seperti orang yang sudah tak sanggup lagi berdiri dengan tegap. Tubuhnya terus bergerak ke kiri dan kanan sambil menatap Siska.
Siska mengernyitkan dahinya.
“Dua? Astaga! Om benar-benar mabuk! Sekarang aku tanya sama, Om. Dimana rumah Om? Wanita itu meninggalkan Om disini.”
“Wanita? Maharani maksud kamu? wanita jalang itu?”
"Hah? Wanita jalang? jadi wanita itu bukan kekasih baru Om genit ini. Pantas saja. Pakaiannya aja kayak gitu," gumamnya dalam hati.
“Om, lebih baik Om katakan dimana alamat rumah, Om. Aku akan mengantar Om pulang.”
Siska terkejut saat Dava tiba-tiba menangkup kedua pipinya. Apalagi jarak wajah Dava begitu dekat dengan wajahnya.
Siska bahkan bisa mencium bau alkohol dari hembusan nafas hangat Dava yang menerpa pori-pori kulit wajahnya.
“Apa yang Om lakukan! lepas!” serunya sambil mencoba menyingkirkan kedua telapak tangan Dava dari kedua pipinya.
Siska semakin membulatkan kedua matanya, saat Dava membungkam mulutnya dengan sangat kasar dan memagut bibir mungilnya.
"Ciuman pertamaku," gumamnya dalam hati.
Siska sontak langsung mendorong tubuh Dava dan menampar pipi kiri Dava dengan sangat keras, hingga membuat tubuh Dava yang tak bertenaga itu menabrak badan mobil.
Dava yang tak sanggup menopang tubuhnya, akhirnya terhuyung jatuh tepat di depan Siska.
Siska mengusap bibirnya yang baru saja dicium paksa oleh Dava dengan sangat kasar.
“Ciuman pertamaku! Om! Kenapa Om mengambil ciuman pertamaku, hah!”
Siska mengepalkan kedua tangannya. Dirinya semakin menyesal karena telah menghampiri Dava dan Maharani, karena dirinya harus membayarkan dengan kehilangan ciuman pertamanya.
Dimana ciuman itu akan Siska berikan kepada suaminya kelak. Pria yang akan menjadi imamnya seumur hidupnya. Tapi, sekarang dirinya sudah kehilangan ciuman pertamanya.
"Sial! Tau gini aku tinggalin saja dia tadi!" umpatnya dalam hati.
Siska yang ingin kembali mengumpat, akhirnya mengurungkan niatnya saat melihat Dava yang sudah tak sadarkan diri dengan kedua mata yang sudah terpejam.
"Sial! Sekarang apa yang harus aku lakukan! kenapa setiap bertemu dengan Om Om genit ini, aku selalu sial sih!" umpatnya dalam hati.
Siska menyugar rambut panjangnya ke belakang dengan kasar. Ia tak tau harus membawa Dava kemana. Dirinya juga tak mungkin membiarkan Dava di tempat itu sendirian.
Siska akhirnya mempunyai satu ide untuk mencari tau tentang siapa Dava, sehingga dirinya tak perlu lagi repot-repot mengurus Dava yang tengah mabuk berat itu.
“Ponsel. Ya ponsel dia. Aku akan coba hubungi teman-temannya atau keluarganya.”
Siska lalu mencoba mencari ponsel Dava di kedua saku celananya. Akhirnya ia berhasil menemukan ponsel Dava.
“Sial! Dikunci lagi!” Siska tak akan bisa membuka ponsel Dava tanpa memasukkan kata sandi di ponsel itu.
Siska melihat Dava yang kini mengigau nama Dina.
"Dina? Siapa dia? Apa dia kekasih Om ini juga? Dasar playboy! Mentang-mentang tampan dia bisa seenaknya mempermainkan semua wanita!" gumamnya dalam hati.
Siska menutup mulutnya dengan kedua mata yang membulat.
“Apa aku sudah gila! tadi aku memujinya tampan!”
Siska lalu berjongkok di samping tubuh Dava yang tergeletak tak sadarkan diri. Ia menatap wajah tampan Dava yang masih memejamkan kedua matanya.
"Em... memang tampan sih. Apalagi hidungnya yang mancung. Bulu matanya juga. Astaga! ada apa denganku. Apa aku benar-benar sudah mulai gila?" gumamnya dalam hati.
Siska lalu menatap bibir Dava. Dimana bibir itu belum lama ini mencuri ciuman pertamanya.
Siska lalu menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ia lalu beranjak berdiri.
“Jangan gila kamu, Sis! Jangan bilang kamu terpesona dengan ketampanannya! Ingat, Sis! Dia itu pembawa sial! Kamu selalu sial kalau bertemu dengannya!”
Siska melihat jam di pergelangan tangannya. Waktu menunjukkan pukul 21.30. Ia merasakan getaran di saku celananya, lalu mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya.
"Dita?"
Siska lupa, kalau kedatangannya di tempat itu untuk menemui sahabat-sahabatnya.
"Kalau aku jawab, apa yang harus aku katakan pada Dita? Gak mungkin kan aku bilang kalau aku lagi sama si Om ini."
Siska akhirnya tak menjawab panggilan itu dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
Siska menatap Dava.
“Aku gak bisa lama-lama disini. Aku juga gak mungkin meninggalkan dia disini. Apa lebih baik aku bawa dia ke apartemen aku ya? nanti kalau dia sudah sadar, baru aku suruh pergi.
“Hem, hanya itu jalan-jalan satunya.”
Siska berjongkok di samping tubuh Dava, lalu menepuk-nepuk kedua pipi Dava agar dia kembali sadar.
Dava akhirnya membuka kedua matanya. Ia tatap wajah cantik yang tengah menatapnya saat ini.
“Dina... kamu datang, Sayang. Apa aku sekarang sudah mati? Apa kamu mau menjemputku dan mengajakku untuk kembali berkumpul dengan anak kita?”
Siska mengernyitkan dahinya.
“Sadar, Om. Om harus bisa bertahan. Aku juga gak mungkin bawa Om kalau Om seperti ini.”
Siska lalu membantu Dava berdiri.
“Sial! Berat banget lagi. Makan apa sih, Om! Atau karena kebanyakan dosa kali ya, badan Om jadi berat gini!”
Sambil membawa Dava menuju mobilnya, Siska terus mengomel.
Sepertinya doa-doanya selama ini untuk tak bertemu dengan Dava lagi, sama sekali tak Tuhan kabulkan. Buktinya dirinya bertemu Dava lagi dan mendapatkan kesialan lagi.
Bahkan kesialannya lebih parah dari pertama kali dirinya bertemu dengan Dava, karena saat ini dirinya harus mengurus Dava yang tengah mabuk berat.
Sekalipun Siska belum pernah menangani orang mabuk. Tapi sekarang dirinya harus berurusan dengan orang mabuk berat seperti Dava.
Siska menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi pengemudi.
“Astaga! tenaga aku sampai habis. Om harus membayar mahal ya untuk semua ini. Semua ini gak gratis lho, Om!” omelnya lalu menatap ke arah Dava yang duduk di sampingnya.
“Astaga! molor lagi!”
Siska menghela nafas panjang.
“Lebih baik aku segera pergi dari sini, sebelum Dita dan yang lainnya melihatku disini.”
Siska lalu menyalakan mesin mobilnya, melajukan mobilnya pergi dari tempat hiburan malam itu.
Dirinya sekalipun belum pernah masuk ke tempat itu. Tapi, demi sahabat-sahabatnya, dirinya terpaksa datang ke tempat itu.
Tapi, sepertinya keberuntungan masih berpihak padanya, karena Siska tak jadi masuk ke dalam tempat itu, karena bertemu dengan Dava.
Tapi, pertemuannya dengan Dava malah menambah masalah baru buatnya.
Siska merebahkan tubuh Dava di kamarnya, karena hanya kamar itu yang layak untuk dipakai.
Di apartemen Siska ada dua kamar, tapi kamar satunya Siska pakai untuk meletakkan barang-barangnya yang belum sempat dirinya masukkan ke dalam lemari.
"Om, apa salah aku sih, Om, sampai aku harus bertemu dengan Om lagi? Mana dalam keadaan mabuk kayak gini lagi," gumamnya dalam hati.
Siska melihat pakaian Dava yang basah karena keringat. Pakaiannya pun juga basah karena keringat.
"Apa aku biarkan saja? kan gak mungkin aku melepas pakaiannya. Selain itu disini juga gak ada baju ganti untuknya. Baju aku mana muat di tubuhnya," gumamnya dalam hati.
Siska yang berniat untuk keluar dari kamar itu, kembali mengurungkan niatnya.
“Aku aja gak nyaman dengan pakaianku yang basah. Apalagi dia. Apa aku lepas aja ya? terus nanti aku kecilkan AC nya biar dia gak masuk angin.”
“Gak apakan aku lepas bajunya? Lagian aku juga gak mau ngapa-ngapain dia.”
“Gak apalah. Daripada besok dia masuk angin. Entar aku juga yang repot.”
Siska dengan perlahan mengarahkan kedua tangannya ke kancing kemeja Dava.
Dengan sangat hati-hati, bahkan ia harus menahan detak jantungnya yang berdetak dengan sangat cepat, karena dirinya takut si pemilik tubuh membuka kedua matanya.
Siska menghela nafas lega, saat dirinya telah berhasil membuka satu kancing kemeja Dava.
"Astaga, Sis! Itu baru satu kancing! Masih banyak lagi kancing yang harus kamu buka, agar kamu bisa melepas pakaian Om ini," gumamnya dalam hati.
Tubuh Siska langsung lulai. Tapi, kedua tangannya tetap bekerja untuk membuka kembali satu persatu kancing kemeja Dava.
"Akhirnya!"
Siska kembali menghela nafas lega. Setelah penuh dengan perjuangan dengan jantung yang berdebar-debar, dirinya akhirnya berhasil membuka semua kancing kemeja Dava.
Siska membulatkan kedua matanya, saat melihat d**a bidang Dava yang terpampang jelas di depan kedua matanya.
Siska bahkan sampai menelan ludah dengan susah payah, karena ini pertama kalinya dirinya melihat perut kotak-kotak yang terpahat dengan sempurna.
Siska sontak langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Tiba-tiba tubuhnya mulai panas dingin. Otaknya mulai eror.
"Jangan gila kamu, Sis! Jangan sampai kamu terpesona lagi! ingat, pria ini pembawa sial!" gumamnya dalam hati.
Siska akhirnya melepas kemeja Dava dengan menatap ke arah lain. Ia sejak tadi tak bisa mengendalikan detak jantungnya yang kembali bermasalah.
"Seingatku aku gak punya riwayat sakit jantung deh. Tapi kok jantung aku kayak gini ya? semoga aja aku gak tiba-tiba terkena serangan jantung," gumamnya sambil mengusap dadanya naik turun.
Siska membuang kemeja Dava ke lantai. Ia lalu menarik selimut untuk menutup tubuh Dava, dan kini yang terlihat hanya leher ke atas.
Siska lalu mengambil remote AC dan mulai mengecilkan suhunya agar Dava tak semakin kedinginan.
“Lebih baik aku mandi dan ganti baju.”
Siska mencium bau tubuhnya. Ia hampir saja muntah, karena bau alkohol di tubuhnya membuat perutnya mual.
Siska mengambil baju gantinya. Ia akan membersihkan tubuhnya di kamar sebelah.
“Nyenyak juga tidurnya.”
Siska lalu kembali teringat dengan ucapan Dava saat masih di depan club tadi.
"Dina? Siapa dia? Kenapa dia tadi juga bicara soal anak? Apa dia tadi melihat wajah istrinya di wajah aku? masih sih?" gumamnya dalam hati.
Siska menggelengkan kepalanya.
“Mikirin nih orang bikin kepala aku makin pusing. Ngapain juga aku ngurusin hidup dia.”
"Lebih baik sekarang aku mandi, habis itu tidur. Tapi... aku mau tidur dimana coba?" gumamnya dalam hati.
Siska menepuk keningnya sendiri.
“Terpaksa harus beresin semua barang yang ada di dalam kamar sebelah. Aku gak mau tidur di sofa. Aku gak mau badan aku sakit semua nanti.”
Siska lalu melangkah keluar dari kamar itu, menutup kembali pintu itu. Ia lalu melangkah menuju kamar yang ada di sebelah kamar itu.
Tujuan pertama Siska adalah membereskan semua barang itu. Setelah setengah jam, semua barang sudah masuk ke dalam tempatnya.
Siska merasa tubuhnya benar-benar lelah hari ini. Ia bahkan sudah tak bisa menahan kantuknya lagi. Tapi, dirinya harus tetap mandi, karena bau alkohol di tubuhnya membuatnya pusing.
Setelah selesai mandi, Siska langsung merebahkan tubuhnya di ranjang yang sudah dirinya ganti dengan sprei baru.
"Akhirnya, bisa istirahat juga."
Tapi, saat Siska ingin memejamkan kedua matanya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia lalu bangun, mengambil ponselnya dari atas lemari kecil yang ada di dekat ranjang dan melihat siapa yang menghubunginya.
"Dita!"
Siska kali ini menjawab panggilan itu, karena dirinya tak ingin sampai sahabatnya itu semakin curiga padanya.
“Halo, Dit,” sapanya saat panggilan itu sudah mulai tersambung.
“Sis, kenapa kamu gak jawab panggilan aku? dimana kamu sekarang? kamu baik-baik saja kan?”
Siska bisa melihat kalau sahabatnya itu sangat mengkhawatirkannya, hingga membuat dirinya semakin merasa bersalah.
“Aku baik kok, Dit. Aku di apartemen sekarang. Sorry, aku gak bisa datang, karena tiba-tiba tadi kepala aku pusing.”
“Hah! Kamu sakit! kalau begitu aku akan ke apartemen kamu sekarang. Kebetulan kita sudah mau cabut.”
Kedua mata Siska membulat dengan sempurna. Bisa kacau kalau sampai Dita datang ke apartemennya dan melihat Dava ada di apartemennya sekarang.
“Jangan! Jangan datang kesini!”
“Lah... kenapa? kan aku bisa temani kamu. Lagian besokkan kita masuk siang.”
“Pokoknya jangan! Aku sudah enakkan kok. Kalau aku buat tidur, nanti juga hilang pusingnya.”
“Tapi, kalau kamu datang kesini, yang ada kepala aku makin tambah pusing karena aku gak akan bisa istirahat.”
Siska bisa mendengar Dita tertawa.
“Kamu kan orangnya cerewet. Selain itu kamu pasti nanti akan mengajak aku ngobrol dan menceritakan apa yang terjadi tadi. Iya kan?”
“Tau aja. Yaudah deh, kamu istirahat gih. Besok kita ketemu di kampus. O ya, Sis. Tadi Dery sampai nyariin kamu diluar tau gak?
“Hah! Serius!”
"Jangan bilang Dery melihat aku sama Om itu lagi?" gumam Siska dalam hati.
“Hem. Dia tadi katanya lihat mobil kamu. Tapi itu gak mungkin kan, Sis? Kamu gak datang ke club kan?”
“Hah! Ya e-enggaklah! Dery salah lihat kali. Orang aku dari tadi tiduran di kamar aku.”
“Aku juga gak percaya sama dia. Kalau kamu datang kesini, pasti kamu akan masuk, karena kamu gak mungkin membuat kita menunggu.”
“Hem. Maafin aku ya, Dit. Aku lupa mengabari kamu tadi.”
"Maafkan aku, Dit. Maaf, karena aku terpaksa bohong sama kamu," gumamnya dalam hati.
“Ok. Lebih baik kamu tidur gih. Aku juga mau cabut sama yang lain.”
“Hem.”
Siska lalu mengakhiri panggilan itu. Ia lalu menghela nafas lega.
“Hampir saja. Kalau sampai Dita tau aku bawa pulang itu Om, dia pasti akan berpikir yang enggak-enggak lagi.”
"Dery, dia benaran gak lihat aku sama Om itu kan? Kalau sampai dia lihat aku, bisa makin panjang ini entar masalahnya," gumamnya dalam hati.
“Lebih baik besok aku tanya sama dia.”
Siska lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menatap langit-langit kamar itu.
"Semoga malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak. Semoga keputusanku membawa itu Om gak akan membuat masalah baru buatku."
Sedangkan di kamar sebelah, Dava merasa sangat kedinginan. Ia menarik selimut untuk menutup seluruh tubuhnya. Bahkan kepalanya juga ikut tertutup selimut.
"Dina, aku merindukan kamu," gumamnya Dava dengan kedua mata masih terpejam.