Dava menghentikan mobilnya di depan rumah kedua orang tuanya. Ia tatap bangunan dua lantai yang masih berdiri kokoh, padahal usia rumah itu lebih tua dari usia Dava saat ini.
Dava menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi pengemudi. Dirinya belum berniat untuk keluar dari mobil dan menemui kedua orang tuanya.
Dava merasakan getaran di saku celananya. Ia lalu mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya. Ternyata yang menghubungi Dava adalah sekretarisnya.
“Ada apa, Rin?” tanyanya setelah panggilan itu sudah mulai tersambung.
“Maaf, Pak. Apa Bapak akan datang ke kantor? Bapak tidak lupa kan kalau siang ini ada meeting penting dengan klien dari Bandung?”
Dava menepuk keningnya sendiri. Gara-gara dirinya mabuk semalam, dirinya sampai melupakan meeting penting yang harus dihadirinya.
“Rin, maaf, saya tidak bisa datang ke kantor. Saya sedang tidak enak badan. Kamu bisa ajak Viki untuk membantu kamu menemui klien itu.”
“Tapi, Pak. Bagaimana kalau klien itu kekeh mau ketemu sama Bapak?”
Dava saat ini tengah dihadapkan dengan dua masalah yang sama-sama sangat penting buatnya.
“Gini aja, Rin. Kamu sama Viki temui klien kita dulu. Bilang saja, kita akan memberikan diskon, kalau klien kita itu masih mau melanjutkan kerjasamanya dengan perusahaan kita. Anggap saja saya sedang berbaik hati saat ini.”
“Baik, Pak. Nanti akan saya coba bicarakan dengan Viki.”
“Hem.” Dava lalu mengakhiri panggilan itu dan melempar ponselnya ke kursi penumpang yang ada di sebelahnya.
Dava meraup wajahnya dengan kasar.
"Sialan! Apa ini karma buat aku, karena aku tadi berbohong sama papanya Siska soal kerugian yang aku alami?"
Dava lalu membuka pintu mobil, melangkah keluar dari mobil. Dirinya akan bicara dengan kedua orang tuanya tentang niatnya untuk melamar Siska dalam waktu dekat ini.
"Maafin aku, Sis. Maaf, karena aku terpaksa membawa kamu dalam masalahku. Hanya kamu satu-satunya harapan aku, agar kedua orang tuaku tak lagi mendesakku untuk menikah," gumamnya dalam hati.
Dava melangkah menuju pintu rumahnya, membukanya, lalu melangkah masuk. Ia melihat sang mama yang tengah duduk di ruang tengah dengan sang papa.
“Ma, Pa,” sapanya lalu mencium punggung tangan kedua orang tuanya.
“Astaga, Dava!” Santi beranjak dari duduknya.
“Dari mana saja kamu, Sayang. Kenapa kamu gak jawab panggilan telepon dari Mama? bagaimana dengan Maharani? Bukannya semalam kamu pergi dengannya?”
"Astaga! aku sampai lupa sama itu cewek sialan! Tapi aku harus berterima kasih padanya, berkat dia aku bisa bertemu dengan Siska dan semua masalahku selesai," gumam Dava dalam hati.
“Iya, Ma. Maharani kemarin malam langsung pulang, Ma. Aku mau antar dia pulang tapi dianya gak mau,” ucap Dava terpaksa berbohong.
“Sini... sini duduk dulu. Mama masih mau tanya sama kamu.”
Santi meminta Dava untuk duduk di sampingnya.
Andrean hanya geleng kepala melihat antusias sang istri yang begitu bersemangat ingin menjodohkan Dava dengan Maharani.
“Sayang, gimana? Maharani cantikkan? Dia juga wanita yang baik. Mama sudah mengenal kedua orang tuanya juga.”
Dava hanya mengulum senyum. Kali ini dirinya akan menyempatkan diri untuk mendengar cerita sang mama. Apalagi wajah mamanya saat ini terlihat sangat bahagia.
“Mama juga sudah bicara dengan teman Mama, kalau kamu setuju, Mama dan Papa akan melamar Maharani secepatnya? Gimana? Apa kamu setuju, Sayang?”
Dava mengulum senyum, ia lalu menggenggam tangan sang mama.
“Ma, apa Mama benar-benar ingin melihat aku menikah?”
“Hem. Mama sudah semakin tua, Sayang. Mama ingin, sebelum Mama pergi, ada seseorang yang akan merawat kamu dan menjaga kamu. Mama hanya gak ingin sampai kamu sendirian di masa tua kamu nanti,” ucap Santi sambil mengusap lengan Dava dengan lembut.
Kasih sayang seorang ibu itu tiada batas. Meskipun saat ini sang anak sudah cukup dewasa, tapi di mata Santi, Dava tetaplah putra kecilnya yang dulu selalu bersikap manja padanya.
“Tapi aku tak akan menikahi Maharani, Ma.”
Santi mengernyitkan dahinya.
“Apa maksud kamu, Sayang? bukannya kamu menyukai Maharani? Mama pikir kamu sudah merasa cocok dengan Maharani, makanya semalam kalian mencoba untuk mengenal satu sama lain.”
Dava menggelengkan kepalanya, karena dirinya sekalipun tak pernah berharap Maharani akan menjadi istrinya.
Apalagi dengan sikap Maharani semalam yang sudah membuktikan kalau dirinya tak ada bedanya dengan wanita-wanita yang berakhir di ranjangnya.
“Tapi kenapa, Sayang? Maharani itu gadis yang baik. Apa kurangnya Maharani sampai kamu menolaknya? Apa dia kurang cantik?”
Padahal Santi sudah merasa cocok dengan Maharani. Gadis yang sudah menarik perhatiannya sejak pertama kali melihatnya dan ingin sekali dirinya jadikan menantunya.
Dava tak mungkin mengatakan tentang sikap Maharani semalam kepada sang mama.
Dirinya tak ingin sampai sang mama terkena serangan jantung mendadak setelah mengetahui siapa Maharani sebenarnya.
Dava masih ingin melihat mamanya dimasa tuanya nanti. Dirinya ingin mamanya melihat anak-anaknya nanti.
"Anak? Menikah saja belum sudah ngomongin anak," gumamnya dalam hati.
Dava mengulum senyum dengan khayalannya itu.
“Dav, memangnya wanita seperti apa yang mau kamu nikahi? Maharani menurut Papa gadis yang baik, sopan, dan terlihat sangat dekat sama mama kamu. Apalagi yang kamu cari sebenarnya?” Andrean ikut menimpali ucapan sang istri.
Andrean tak tega melihat sang istri yang harus kecewa untuk kesekian kalinya atas penolakan Dava pada wanita-wanita yang istrinya kenalkan pada anak semata wayangnya itu.
“Karena aku sudah punya calon sendiri, Ma, Pa.”
Andrean dan Santi saling menatap satu sama lain.
“Calon? Calon istri maksud kamu, Sayang?” tanya Santi kembali memastikan dengan apa yang baru saja didengarnya.
Siapa tau telinganya hari ini sedikit bermasalah. Selama ini dirinya belum pernah melihat Dava mengenalkan satu wanita pun padanya.
Tapi kini putra semata wayangnya itu mengatakan kalau dia sudah punya calon sendiri.
Sungguh suatu hal yang belum bisa Santi dan Andrean percayai begitu saja.
Siapa tau kali ini putra semata wayangnya itu hanya membohonginya agar tak dijodoh-jodohkan lagi dengan wanita lainnya.
“Iya, Ma. Calon istri. Masa calon Mama aku, kan gak mungkin,” canda Dava dengan senyuman di wajahnya.
Santi menangkup kedua pipi Dava, meminta Dava untuk menatap kedua matanya.
“Sekarang kamu jujur sama Mama, siapa calon istrimu itu? kamu gak sedang bohongi Mama kan?”
Dava mengangguk, tanda dirinya serius dengan apa yang baru saja dirinya katakan pada kedua orang tuanya itu.
“Siapa gadis itu, Sayang? kenapa gak kamu kenalkan sama Mama dan Papa?”
Santi lalu menatap sang suami.
“Pa... anak kita akan segera menikah, Pa. Dava akan mempunyai keluarga kecilnya lagi,” ucap Santi penuh haru.
Andrean mengulum senyum. Melihat istrinya bahagia, itu sudah membuat dirinya bahagia. Setelah ini dirinya tak akan lagi melihat raut kesedihan sang istri.
“Papa ikut senang mendengarnya, Ma. Akhirnya doa-doa Mama dikabulkan,” ucap Andrean dengan senyuman di wajahnya.
Santi menggenggam tangan Dava, ia lalu tersenyum. Akhirnya dirinya akan melihat putranya menikah lagi.
“Siapa nama gadis itu, Sayang? dimana rumahnya? kapan kamu akan membawa Mama dan Papa untuk menemui kedua orang tuanya?”
Dava terkekeh, saat melihat sang mama yang begitu antusias dan sudah tidak sabar ingin segera melamarkan Siska untuknya.
Tapi dirinya kali ini tak boleh gegabah. Apalagi dirinya belum bisa meyakinkan Siska untuk menikah dengannya.
“Namanya Siska, Ma.”
“Siska? Apa Mama mengenalnya?”
Dava menggelengkan kepalanya. Bagaimana sang mama bisa mengenalnya, dirinya saja baru mengenal Siska. Itupun berkat bantuan Maharani yang sudah meninggalkan dirinya begitu saja semalam.
“Mama gak mengenalnya. Tapi Mama gak perlu cemas. Siska cantik kok, baik lagi. Aku yakin, Mama akan suka padanya,” ucap Dava sambil menepiskan senyumannya.
“Lalu kapan kamu akan mengenalkan dia sama Mama dan Papa?”
Andrean yang sejak tadi ikut menyimak obrolan sang istri dan putra semata wayangnya, akhirnya ikut mengeluarkan pendapatnya.
“Dav, ajak calon istri kamu untuk makan malam di rumah. Papa juga ingin mengenal calon istri kamu itu. Sebelum kalian menikah nanti, Papa harap kamu juga memberitahu kedua mertua kamu, kalau kamu akan menikah lagi.”
Dava menghela nafas panjang, lalu menganggukkan kepalanya. Sekarang dirinya tinggal mencari cara untuk mengajak Siska agar mau bekerja sama dengannya.
Dirinya tak ingin sampai Siska nanti berulah di depan kedua orang tuanya, bisa-bisa gagal semua rencana yang sudah dirinya susun.
“Kalau begitu nanti malam, Mama akan memasakan makanan yang enak buat kamu dan calon istri kamu.”
“Terserah Mama. Nanti aku akan usahakan ajak Siska untuk makan malam disini. Sekarang Dava mau istirahat dulu, Ma, Pa.” Dava lalu beranjak dari duduknya.
Andrean baru sadar, kalau ini masih jam kerja.
“Dav, kamu gak pergi ke kantor?”
“Gak, Pa. Tapi aku sudah bicara sama Rini untuk mengurus semuanya. Lagian hari ini juga gak ada pekerjaan penting. Gak apakan bolos sekali-kali.” Dava lalu melangkah pergi dari ruangan itu.
Andrean hanya geleng kepala melihat tingkah anak semata wayangnya yang sudah tua tapi tak mau dianggap tua.
Dava ingin segera membersihkan tubuhnya. Tubuhnya benar-benar lengket dan bau.
"Untung Papa dan Mama gak sadar kalau aku belum mandi. Kalau sampai mereka tau aku semalam habis minum-minum, bisa mati aku. Mana semalam aku pergi sama Maharani lagi," gumamnya dalam hati.
Setelah membersihkan tubuhnya, Dava melangkah keluar dari kamar mandi. Saat ingin melangkah menuju ruang ganti, dirinya mendengar suara dering ponselnya yang tadi dirinya letakkan di atas ranjang.
Dava mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubunginya.
"Anita!"
Dava hampir lupa dengan kekasihnya itu.
"Kamu memang gila, Dav! Kalau kamu menikah dengan Siska, Anita mau kamu kemanain!" umpatnya dalam hati.
Dava lalu menjawab panggilan itu.
“Hem.” Hanya deheman yang keluar dari mulut Dava saat panggilan itu sudah mulai tersambung.
“Mas, kenapa Mas gak datang ke apartemen ku lagi?”
“Maaf, Nit. Aku lagi banyak kerjaan.”
“Aku kangen sama kamu lho, Mas. Memangnya Mas gak kangen sama aku?”
“Kangen sih. Tapi mau gimana lagi, aku juga gak mungkin meninggalkan pekerjaan aku begitu saja.”
“Gimana kalau aku ke apartemen Mas sekarang? aku mau kasih sesuatu sama Mas?”
“Apa itu?”
“Rahasia dong, Mas. Gak seru kalau aku kasih tau sekarang.”
Dava diam sejenak. Dirinya tengah memikirkan bagaimana cara agar dirinya bisa membagi waktu untuk Anita dan Siska. Dirinya tak akan memungkiri, kalau saat ini dirinya butuh Anita.
Tapi, hari ini Dava juga harus datang ke apartemen Siska untuk mengajak Siska kerjasama agar kedua orang tuanya tidak curiga padanya.
“Mas, kok diam. Mas ada di apartemen kan sekarang?”
“Aku gak ada di apartemen. Em... hari ini aku gak bisa. Kalau aku ada waktu, aku akan datang ke apartemen kamu. Gimana?”
Dava tak ingin hanya gara-gara menuruti hasratnya, dirinya akan kehilangan kesempatan untuk membuat kedua orang tuanya bahagia.
Dava bisa saja menikahi Anita kalau dirinya gagal menikah dengan Siska. Tapi, dirinya tak ingin mengambil resiko, karena menurutnya Anita itu sama saja dengan wanita-wanita yang selama ini mengejarnya hanya karena uang.
“Lah... kok gitu, Mas. Padahal malam ini aku mau tidur di apartemen Mas. Aku benar-benar sangat merindukan kamu, Mas.”
“Lain kali. Aku janji. Maaf, Nit. Aku ada meeting penting. Aku matiin dulu ya.”
Dava lalu mengakhiri panggilan itu sebelum Anita sempat berbicara.
"Astaga! jangan sampai Anita tau soal Siska. Bisa-bisa akan terjadi perang dunia keempat nanti," gumamnya dalam hati.
Dava yakin, Anita tak akan melepaskan dirinya begitu saja, apalagi dirinya sudah merenggut satu-satunya yang paling berharga pada diri Anita.
Dava lalu melangkah menuju ruang ganti untuk berganti pakaian. Awalnya dirinya berniat untuk beristirahat, karena dirinya benar-benar lelah. Tapi, sepertinya dirinya tak akan punya banyak waktu untuk bersantai.
"Lebih baik aku ke tempat Siska sekarang."
Sementara ini Siska masih diam di dalam apartemennya sejak kepergian Dava.
Dirinya bahkan tak peduli dengan penampilannya saat ini, sampai kedua telinganya mendengar suara bel berbunyi.
Dengan langkah gontai, Siska melangkah menuju pintu untuk membuka pintu apartemennya dan melihat siapa yang datang berkunjung.
“Astaga, Siska!” seru Dita setelah pintu terbuka, dimana dirinya melihat penampilan Siska yang sangat berantakan.
“Kamu belum mandi?”
Siska menggelengkan kepalanya, lalu melangkah masuk ke dalam apartemennya dan diikuti Dita di belakangnya.
“Sis, kamu masih sakit?” Dita mendudukkan tubuhnya di samping Siska, ia sentuh kening sahabatnya itu.
“Gak panas.”
Siska menghela nafas panjang dengan raut wajah lesu.
“Dit, bantu aku.”
“Kamu lagi ada masalah?”
Siska menganggukkan kepalanya. Masalah yang dihadapinya kini bukan masalah sepele, karena masalah yang sedang dirinya hadapi saat ini menyangkut hidup dan matinya.
“Ok. Aku akan usahakan untuk bantu kamu. Sekarang ceritakan padaku, apa masalah kamu?”
“Dit, aku gak mau menikah.”
Dita mengernyitkan dahinya.
“Menikah? Memangnya kamu mau menikah?”
“Aku dipaksa menikah.”
“Hah!” kedua mata Dita membulat dengan sempurna.
“Kamu serius?” tanyanya masih tak percaya.
“Mama dan Papa gak percaya dengan apa yang aku katakan. Tapi mereka lebih percaya dengan orang asing yang bahkan tak mereka kenal.”
“Tunggu-tunggu, aku sama sekali gak mengerti apa maksud kamu? orang asing? Siapa maksud kamu?” tanya Dita sambil mengernyitkan dahinya.
“Club malam. Aku menemukan pria itu di club malam. Aku dengan bodohnya membawa pria itu ke apartemenku dan membiarkannya tidur di kamarku.”
Dita memegang kedua bahu Siska. Ia meminta Siska untuk menatapnya.
“Aku benar-benar gak mengerti apa yang kamu katakan. Club malam? Jadi semalam kamu benar-benar datang ke club malam?”
Siska menganggukkan kepalanya.
“Apa kamu ingat dengan Om yang aku tabrak di mall sebulan yang lalu?”
“Om? maksud kamu kekasih tante-tante yang menampar kamu itu?”
Siska kembali menganggukkan kepalanya.
“Terus apa hubungannya Om itu dengan kamu yang mau nikah?”
“Karena dia....”
Siska dan Dita mendengar suara bel berbunyi.
“Sis, lebih baik kamu bersihkan diri kamu dulu. Nanti kita bicara lagi. Biar aku yang buka pintunya.”
Siska menganggukkan kepalanya. Ia lalu beranjak dari duduknya dan melangkah menuju kamarnya untuk membersihkan tubuhnya yang belum mandi sejak pagi.
Dita melangkah menuju pintu untuk membukakan pintu untuk tamu sahabatnya itu.
“Om!” seru Dita saat dirinya sudah membuka pintu apartemen Siska lebar-lebar.
“Tunggu-tunggu. Kenapa Om bisa ada disini? Kenapa Om bisa tau apartemen Siska? Jangan bilang selama ini Om memata-matai Siska ya?” tuduh Dita dengan dahi mengernyit.
Dava memutar kedua bola matanya jengah. Ia tak punya waktu untuk meladeni sahabat Siska itu.
“Dimana Siska?”
“Untuk apa Om mencari Siska? Om juga belum menjawab pertanyaan aku tadi.”
“Sekali lagi aku tanya, dimana Siska?”
Dita terkejut, saat Dava memaksa masuk ke dalam apartemen Siska.
“Om! Siapa yang mengizinkan Om untuk masuk!” Dita berseru sambil mengejar Dava yang tengah melangkah menuju kamar Siska.
Dita membulatkan kedua matanya saat melihat Dava yang tengah membuka pintu kamar Siska, hingga kedua telinganya mendengar suara teriakan dari dalam.
“Aaaa!” teriak Siska yang terkejut saat pintu kamarnya dibuka dari luar.