Aku Hanya Diam

1139 Kata
Geno, kau yakin dengan apa yang kau katakan? Aku sendiri tidak benar-benar yakin dengan apa yang aku dengar darimu. Perasaanku tidak menentu, bingung harus menjawab bagaimana. Kenapa tiba-tiba kau menanyakan itu? Ah, ini adalah kesalahanku, kesalahan yang langsung menuliskan poin dari surat ini di awal. Seharusnya, aku menceritakan terlebih dahulu apa yang terjadi di antara kita hingga akhirnya pertanyaan keramat itu terlontar dari mulutmu. Kau ingat saat akhirnya kau terbuka dengan seluruh kebiasaan yang menurutku buruk itu? Aku tidak berkomentar sama sekali, tidak berusaha mencegah, dan tidak membencimu. Aku selalu mendampingimu sebagai seorang teman. Aku hanya mengingatkan kepadamu agar tidak mengemudi dalam keadaan terpengaruh minuman beralkohol. Awalnya, kau menerima masukan dariku dengan baik. Kau merespon perkataanku dengan tutur kata lembut yang membuatku nyaman. Tapi semakin hari, aku merasa kau lelah dengan semua ucapanku tentang kebiasaan mengonsumsi minuman beralkohol yang semakin parah dari hari ke hari itu. Bayangkan, Geno, hampir setiap akhir pekan kau selalu berpesta di salah satu sudut kota. Jika bukan kau yang mengajak mereka, mereka lah yang mengajakmu. Sebenarnya, aku selalu marah setiap kali kau mengabariku sedang berkumpul dengan mereka dan berpesta minuman keras, tetapi aku selalu berusaha menggunakan tutur kata lembut agar kau tidak tersinggung dan balik marah padaku. Sayangnya, meski aku merasa selalu mengingatkan dengan cara halus, kau tetap saja marah kepadaku. Geno, jika aku yang sekarang menerima perlakuan seperti itu dari seorang "teman" yang mengaku peduli terhadapku, seketika itu hubungan pertemanan akan aku putus dan tidak akan pernah lagi berhubungan dengan orang sepertimu. Kenapa? Karena hubungan pertemanan ini sama sekali tidak sehat, menyakiti diriku sendiri, dan membuat masa depanku suram. Tapi saat aku masih lebih muda, ketika pikiran naif masih menguasai diriku, aku memilih bertahan meski di belakangmu menangis. Aku rela menahan semua sakit yang kuterima karena ingin kau berubah menjadi lebih baik, kembali menjadi sosok Geno yang aku kenal sebelumnya. Geno, tidak pernahkah kau berpikir bahwa aku benar-benar peduli kepadamu? Tidak pernahkah kau berpikir, sebagai seorang teman aku sayang padamu? Tidak pernahkah kau berpikir jika perkataanmu itu sangat menyakitiku? Apa memang semua hal yang kau pikirkan hanya tentang kamu, kamu, kamu, dan kamu? Geno, jika sikap kasarmu kepadaku karena sedang berada dalam pengaruh alkohol, aku tidak masalah. Karena yang aku tahu adalah, saat seseorang sedang mabuk, ia akan kehilangan setengah dari kesadarannya. Tapi apa yang terjadi saat itu bukan seperti itu, ketika kau sadar keesokan hari pun, tidak ada kata maaf yang terucap darimu baik secara lisan maupun tulisan di pesan singkat. Aku pernah menyinggung saat kau sadar setelah pulih dari pengaruh alkohol, kau justru tertawa mendengar apa yang aku ceritakan tentang perlakuanmu padaku satu hari sebelumnya. Saat itu, aku sebenarnya benar-benar marah! Aku sakit hati mendengar kalimatmu yang seakan tidak merasa bersalah padaku. Ingin aku meluapkan semua kekesalanku kepadamu, tapi aku berpikir, melakukan hal itu akan membuatmu semakin menderita dan merasa tidak memiliki rumah. Karena bagaimanapun aku sadar, kau tidak merasa memiliki rumah yang aman di sana, sehingga aku memposisikan diri sebagai rumah yang bisa membuatmu merasa aman berkeluh kesah. Semua hal yang aku lakukan untukmu, segala usaha yang aku lakukan agar kau bisa kembali menjadi seorang Geno yang aku kenal, perlahan membuatmu merasa nyaman dengan kehadiranku. Aku awalnya tidak tahu dan tidak sadar, karena aku selalu menganggap kau hanya memperlakukan layaknya seorang teman sebagai tempat berkeluh kesah. Tapi suatu ketika, saat kita sedang asyik bercanda, kau berkata jika kau nyaman berada di dekatku. Kala itu aku masih mencoba berpikir lurus, kata "nyaman" aku artikan sebagai tanda jika kau suka berteman denganku. Tapi ternyata, kata tersebut memiliki makna lain bagimu. Aku sebagai orang yang belum pernah terlalu dekat dengan lelaki, tidak berpikir macam-macam ketika kau mengatakan hal itu. Aku hanya tertawa, berusaha menutupi rasa sakit hati atas perbuatanmu di belakangku, dan berusaha larut dalam perbincangan kita di telepon. Namun ada suatu ketika di mana kau merasa kesal dengan sikapku yang menurutmu tidak peka sama sekali terhadap kode yang kau berikan selama ini, kode yang menunjukkan jika kau memiliki ketertarikan tersendiri denganku. Sebenarnya aku bukannya tidak peka, Geno. Aku tahu jika kau memiliki rasa lebih, aku sadar dengan semua kode yang kau berikan. Hanya saja, aku selalu berbaik sangka dan berpikir jika kau hanya menganggapku sebagai seorang teman, tidak lebih, dan aku menganggap semua kode itu hanya sekadar perasaan euforia terhdapku karena kau nyaman sebagai seorang teman. Namun ketika kau berkata bahwa kau menginginkan hubungan yang lebih dari sekadar teman karena ada perasaan nyaman yang bersarang di hatimu, saat itu aku langsung tidak bisa berkata-kata. Bibirku kaku, air mataku tiba-tiba menetes saat kau menyatakan ingin sebuah hubungan yang serius di antara kita. Tanganku bergetar, aku tidak menyangka ada seorang lelaki yang jatuh hati denganku. Tapi maaf, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu dan tidak bisa serta merta mengiyakan permintaanmu. Ada banyak hal yang harus aku pikirkan di sini, Geno. Bukan soal masa depan dan keseharianku, melainkan soal hal-hal yang lebih pribadi. Aku sadar, kau dan aku belum pernah bertemu sama sekali. Aku hanya tahu wajahmu dari foto yang terunggah di akun media sosialmu, begitu juga denganku. Kita selama ini hanya berkomunikasi via suara, tidak pernah sekalipun melakukan panggilan video karena aku masih selalu menolak ketika kau mengajakku bertatap muka melalui panggilan video. Selain itu, perbuatanmu di belakangku pun membuatku ragu. Aku masih keberatan dengan kebiasaan mengonsumsi alkohol dan menghisap tembakau yang menurutku sangat tidak sehat. Jika hanya sebagai seorang teman, aku tidak terlalu keberatan dengan kebiasaan itu, karena namaku tidak akan langsung tercatut ketika ada orang yang aku kenal mengetahui tingkah nakalmu di belakangku. Namun saat kita memiliki hubungan khusus, namaku akan selalu berhubungan denganmu. Jika mau melakukan sesuatu yang buruk, maka aku akan langsung tersangkut di sana. Aku masih belum siap akan hal itu, Geno. Hal lain yang menjadi pertimbanganku adalah tentang perangaimu. Kau yang selalu marah saat mabuk, kau yang selalu tidak suka ketika diingatkan, kau yang selalu tersinggung ketika aku membahas kebiasaanmu mengonsumsi alkohol, aku masih belum siap jika sosokmu yang seperti itu hadir di dalam kehidupanku. Tapi aku juga harus mengakui, ada perasaan sayang yang bersarang di hatiku. Ada perasaan peduli dan ingin memiliki yang bersemi di kepalaku. Ada juga perasaan bersalah yang teramat besar yang membuatku tidak rela jika harus berjauhan darimu, karena khawatir kau akan jauh lebih terpuruk lagi jika tidak ada aku di sisimu. Semua perasaan yang bergejolak itu membuatku ragu, apakah aku harus menerima ajakanmu atau harus dengan tegas menolak permintaanmu. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap diam, tidak menjawab, dan tidak ingin membahas pertanyaan itu lebih lanjut. Aku ingin kita masih tetap seperti ini, tidak lebih dekat, dan tidak lebih jauh. Aku ingin kita hari ini tetap seperti hari ini sampai nanti kau bisa berubah dan aku sudah lebih siap menerima perasaanmu. Aku pun tidak berani berkata bahwa aku hanya ingin kita sebagai teman, karena jawaban itu seakan mengindikasikan jika aku menolak perasaanmu. Aku tidak ingin jawaban dariku membuatmu menjauh, maka dari itu aku hanya diam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN