Dia Lebih Baik Dariku

1335 Kata
Hai, Geno? Apakah surat ini sampai kepadamu? Kau tahu jika aku adalah seorang penulis bukan? Bisa jadi suatu saat tulisan ini akan diunggah di aplikasi membaca n****+ daring dan dibaca oleh banyak orang. Jika itu terjadi, berarti banyak orang yang akan membaca kisah pribadi kita. Bagaimana? Apakah kau tidak keberatan atas hal itu? Atau kau justru malu ketika menyadari jika aibmu diketahui oleh banyak orang di luar sana? Haha, sayangnya, kau bukanlah orang yang punya rasa malu, kau bahkan tidak malu mengungkapkan perasaanmu padahal kau sudah tahu bahwa kita berada di dunia yang berbeda. Kau dengan dunia gemerlap kota besar, sedangkan aku hidup damai di desaku yang asri. Sayangnya lagi, saat usiaku jauh lebih muda dari hari ini, pikiranku masih belum sejernih sekarang dan menganggap bahwa diriku lah yang tidak pantas bersanding denganmu, bukan kau yang tidak pantas bersanding denganku. Ah entahlah! Aku muak dengan kenaifan yang membuatku sakit seperti hari ini! Kenaifanku inilah yang membuatku jatuh lebih jauh lagi ke dalam jebakanmu. Jebakan? Iya, aku bisa bilang ini jebakan! Setelah kau menyatakan perasaanmu kepadaku dan aku tidak memberikan jawaban kepadamu, sikap kita masing-masing menjadi canggung satu sama lain. Tapi itu hanya berlangsung sesaat, sekitar beberapa hari. Setelah itu, semua kembali seperti semula. Kau juga kembali rajin bertukar kabar denganku, setelah beberapa hari sedikit menjaga jarak dariku. Mungkin, kau merasa canggung dan kecewa denganku yang tidak memberikan jawaban atas ajakanmu berkomitmen. Bagaimana lagi? Aku masih takut berkomitmen denganmu yang menurutku berada di dunia yang jauh berbeda. Saat kembali seperti semula sekalipun, ada sesuatu yang berbeda darimu. Aku menangkap sesuatu itu dengan jelas, karena kau memang terkesan sedikit lebih tertutup dibanding sebelumnya. Meskipun itu hanya sedikit, tetapi aku bisa merasakannya. Perbedaan paling mendasar yang aku rasakan darimu adalah ketika kau bercerita tentang keluargamu. Sebenarnya perbedaan ini cukup positif, di mana kau tidak terlalu menggebu dan lebih tenang, emosimu tidak terpantik ketika bercerita tentang bagaimana keluargamu memperlakukanmu secara tidak adil. Satu sisi aku tersenyum, ikut bergembira melihat perubahanmu yang seakan menjadi lebih baik itu. Tapi di balik itu, aku merasa sedikit khawatir. Kau sekarang tidak lagi bercerita tentang sahabat-sahabatmu yang tidak aku sukai itu, tidak lagi menelponku saat kau sedang berpesta minuman keras bersama teman-temanmu, tidak juga menghubungiku saat emosimu masih meledak-ledak. Ada dua hal yang terlintas di pikiranku. Apakah kau memang sudah berhasil menjauh dari hal-halnyang menurutku buruk dan berhasil menjaga emosi, atau justru kau menemukan orang lain yang bisa diajak bercerita? Kalimat kedua yang terlintas di kepala mulai membuatku merasa asing, tidak percaya diri, dan pelan-pelan mulai mengikuti irama komunikasi yang kau mainkan. Aku tidak lagi terlalu mencarimu ketika kau tidak hadir dalam hariku, tidak lagi mencoba menghubungi ketika sedang membutuhkan teman bercerita, dan tidak lagi mencoba menanyakan bagaimana kabarmu di sana. Aku lebih fokus untuk mencoba menulis lebih giat, bersenang-senang dengan hari-hariku di sini, dan tidak bergantung dengan keberadaanmu di sisiku sebagai seorang teman. Entahlah, Geno, aku merasa berdosa kepadamu. Aku merasa menjadi orang jahat dengan tidak memberikan jawaban pasti atas ajakan berkomitmen yang kau utarakan padaku. Kecanggungan dan jarak yang tercipta di antara kita adalah resiko yang harus aku terima atas keegoisanku terhadap perasaanmu. Semakin hari, kita semakin jarang berkabar. Jarak di antara kita semakin renggang, cerita-cerita yang kita bagikan setiap hari pun semakin jarang. Aku sempat berpikir, mungkin kita berdua sama-sama sedang berada di ambang kebosanan sehingga membutuhkan waktu untuk diri kita sendiri. Aku pun tidak mengambil pusing dan lebih memilih untuk semakin menyibukkan diri dengan kegiatan menulis. Sayangnya, hingga saat ini pun aku masih cukup anti sosial, sehingga lingkungan pertemananku pun hingga saat ini tidak luas. Namun bukan berarti aku tidak memiliki teman sama sekali, meskipun kau tidak mengabari sekalipun, masih ada Mawar yang hingga saat ini masih memiliki hubungan baik denganku. Geno, aku ingin menceritakan sesuatu yang mungkin tidak kau ketahui saat itu. Ah tidak, aku tahu apa yang kau pikirkan sekarang ketika membaca surat ini. Kau pikir aku sama sepertimu karena tidak memberikan jawaban pasti atas pertanyaan darimu? Tidak, tidak sama sekali. Tapi, Geno, mungkin orang lain yang membaca surat ini (jika aku benar-benar mengunggahnya ke internet) akan bingung dengan kalimat "aku sama sepertimu" karena kalimat itu terdengar rancu. Sepertimu? Sepertimu yang bagaimana? Sepertimu yang suka berpesta alkohol? Atau sepertimu yang pemarah? Tidak, aku akan menjelaskan makna kalimat itu di akhir lembar ini. Saat akhirnya kita renggang, aku yang awalnya sangat menutup diri terhadap cerita tentangmu akhirnya mulai mencoba terbuka kepada orang lain secara perlahan. Aku bukan orang yang mudah percaya kepada orang lain, aku hanya akan bercerita tentang hal-hal pribadiku kepada orang yang sangat aku percayai. Lalu apakah kau tahu? Kau bukan termasuk salah satunya. Bahkan saat di masa naif sekalipun, aku sudah berpikir jika kau adalah orang yang menganggap seluruh dunia hanya berpusat kepadamu, seakan kau adalah pusat dari peradaban seluruh manusia di bumi. Pemikiran itu membuatku menutup diri secara tidak langsung, karena kau selalu sibuk menceritakan segalanya tentangmu. Tapi aku bersyukur, hingga saat hubungan kita renggang, aku masih menutup diri darimu. Jika tidak, mungkin aku sangat menyesal, karena kau akhirnya menghilang. Saat kita renggang itulah, aku mulai menceritakan tentang kita kepada sahabatku, Mawar. Ya, Mawar yang di masa SMK pernah jatuh ke pelukan Kumbang, kini menjadi mentor sekaligus konsultanku dalam urusan asmara. Aku bercerita mulai dari bagaimana kita kenal, awal kita dekat, hingga saat kau menyatakan perasaan dan berakhir kita sedikit menjauh satu sama lain. Kau tahu bagaimana tanggapan dari Mawar? Perempuan itu marah dan memberikan sumpah serapah kepadaku. Aku tidak balik marah kepada Mawar, karena ia marah padaku sebab aku tidak menceritakan tentangmu sejak awal kepadanya. Ia marah, karena seharusnya ketika aku kenal dengan seorang lelaki, aku bisa langsung mengabari dan meminta pendapat darinya karena ia tahu jika aku sangat pemula dalam urusan hubungan antara lelaki dan perempuan. Mawar menyuruhku menerima perasaanmu sebelum terlambat, sebelum kau menjadi milik orang lain karena aku tidak bergerak cepat. Menurutku kalimat dari Mawar tidaklah salah. Mawar hanya menerima cerita dariku, tanpa tahu bagaimana kenyataan yang terjadi di antara kau dan aku. Maafkan aku, Geno, aku bukan orang yang suka mengumbar aib orang lain. Aku pun menutupi semua kebusukanmu dari Mawar, sehingga citramu di depan Mawar sangat baik, seakan menjadi lelaki idaman setiap perempuan. Hingga saat aku menulis surat ini pun, aku sama sekali tidak menyesali perbuatanku karena hingga saat ini aku masih mempertahankan sikap itu, sikap menutupi aib orang lain. Kalimat dari Mawar membuatku sedikit lebih yakin untuk menerima perasaanmu dan memulai jalan baru untuk kita. Aku hendak membahas kembali tentang pertanyaan itu kepadamu, namun jariku bergetar ketika melihat foto yang baru saja kau unggah di sosial media. Geno, baru berapa lama kita tidak berbincang, baru berapa lama kita sedikit renggang, tiba-tiba kau mengunggah foto bersama seorang perempuan, di mana kalian berdua duduk mesra sambil mengambil swafoto. Aku marah! Saat itu aku sangat marah! Aku tidak menyangka kau tega melakukan hal itu kepadaku. Aku menangis, menyesali semua perbuatanmu selama ini. Rupanya, di balik kerenggangan hubungan pertemanan kita, diam-diam kau bergerak mendekati orang lain dan orang itu berada di dekatmu, sangat jauh jika dibandingkan denganku yang berada di ujung dunia. Aku tidak menyangka, kau mampu melakukan itu. Saat itu aku berpikir jika kau adalah lelaki paling busuk yang pernah aku kenal. Saat kita renggang pun, aku tidak pernah memiliki pikiran untuk mendekatkan diri kepada lelaki lain, atau menerima pendekatan dari orang lain. Aku tidak ingin kau samakan denganmu yang mampu mencabang saat tidak mendapat jawaban pasti dariku. Kenyataan yang aku lihat, membuatku memutuskan untuk menjauh sepenuhnya darimu. Kau yang sudah menemukan orang lain, tidak ingat lagi dengan sosok seorang teman yang selalu membantu menenangkanmu saat berada dalam keadaan emosi. Kau sama sekali tidak mencariku. Terserahlah! Aku juga tidak akan mencarimu! Bagiku, kau tidak lebih dari seorang yang busuk, yang hanya memikirkan diri sendiri. Aku tidak menyesal sudah menggantung pertanyaanmu jika kenyataan yang terjadi sekarang seperti ini. Mungkin bagiku, kau bukanlah orang yang baik. Tapi entahlah, mungkin wanitamu saat ini lebih baik dariku. Mungkin ia bisa lebih mengerti dirimu, melebihi diriku yang hanya mengawasi dari jauh. Aku memang sudah kalah darinya. Aku hanya bisa mengingatkan makan, sedangkan ia bisa menemanimu makan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN