Awan

1369 Kata
Hai, Geno, aku sebenarnya sangat ingin berkata kasar kepadamu saat ini, tepat ketika aku menulis catatan ini untukmu. Sayangnya, perkataan kasar sangat tidak sesuai dengan kepribadianku yang lemah lembut dan benci kekerasan ini. Haha, biarlah aku sedikit berlebihan dalam berkata, setidaknya apa yang aku lakukan masih jauh lebih baik dibanding kau yang berlebihan dalam bersikap hingga membuat orang lain tersiksa karena tingkah busukmu. Di lembar ini, aku ingin menceritakan bagaimana kau memanipulasi pikiranku sehingga bisa jatuh semakin jauh ke dalam jebakanmu. Semua itu terjadi ketika aku yang saat itu tidak mendapat jalan untuk menghubungimu sama sekali setelah kau merajuk, bahkan media sosialku pun kau blokir setelah berkata putus kepadaku. Aku kira, semua berakhir di sana. Aku kira, setelah kau mengatakan putus, kita tidak ada urusan lagi. Kau bahkan tidak memberikan kesempatan untukku menjawab pernyataan putusmu itu dan media sosialku sudah diblokir. Malam itu, sekitar jam 9 malam, saat jadwal tugas jaga apotek berakhir, aku masih ada di apotek karena masih berbincang dengan rekan kerja yang jaga setelahku, kebetulan juga aku masih malas pulang ke rumah, karena kejadian kemarin membuatku merasa tidak nyaman ada di rumah. Saat itu, ada orang asing yang tiba-tiba mengikutiku di media sosial, kemudian memperkenalkan diri dengan nama Awan. Ah, Geno, kau masih ingat dengan orang itu? Orang yang sangat baik, berbeda jauh denganmu yang kasar dan suka seenaknya sendiri. Awan berkata jika ia menemukan akun media sosial dari aplikasi pembaca n****+ daring. Kebetulan, aku memang menaruh akun media sosial di sana agar para pembaca novelku bisa menjangkau lebih dekat dan lebih akrab denganku . Awan memperkenalkan diri dengan sangat ramah dan sopan, Awan juga menjelaskan alasan kenapa ia bisa jatuh cinta dengan n****+ buatanku. Menurut Awan, novelku memiliki konflik ringan, terasa masuk akal, tidak dibuat-buat, serta bisa membuat pembaca hanyut ke dalam cerita. Awan juga menjelaskan bagian-bagian n****+ yang membuatnya tertarik, aku sangat tersanjung dengan orang yang suka terhadap n****+ yang aku tulis. Aku merespon Awan dengan baik, karena tidak ingin memberikan kesan buruk kepada pembaca. Aku ingin menjadi seorang penulis yang ramah, tidak sombong, dan ceria. Citra itulah yang aku coba bentuk kepada Awan. Kehadiran Awan benar-benar membuat suasana hatiku membaik, setelah diterpa badai sejak aku pulang dari rumah kosmu. Ada rasa sesal di hati saat itu, aku rasa, datang ke tempat kosmu adalah satu kesalahan fatal yang aku lakukan. Aku berpikir, mungkin jika aku tidak datang ke sana, suasana masih akan baik-baik saja. Aku mungkin bisa membelikan makan melalui ojek online, agar tidak perlu menampakkan diri di depanmu. Bodohnya aku hari itu, pikiranku terlalu panik karena khawatir atas apa yang bisa terjadi kepadamu, sehingga sekarang suasana hatiku benar-benar berantakan karena konflik yang meluas hingga ke Ayah dan Ibu. Aku merasa berterima kasih kepada Awan, karena kehadirannya bisa mengembalikan senyum yang sempat luntur dari wajahku. Awan adalah seorang pribadi yang asyik, ia memiliki selera humor yang sejenis denganku, membuat obrolanku dan Awan terasa nyambung satu sama lain. Setelah pembahasan tentang n****+, obrolan berlanjut kepada hal-hal yang lebih pribadi, mulai dari di daerah mana aku tinggal, hingga akhirnya menyinggung tentang status asmara. Foto-foto yang aku unggah di media sosial, mengindikasikan jika aku memang belum bersuami, maka dari itu aku juga masih terbuka untuk berkenalan dengan orang-orang baru di luar sana. Kau yang memutus hubungan denganku sore hari sebelumnya pun seakan memberikan isyarat lebih, bahwa aku bisa berkenalan dengan orang lain karena sudah tidak memiliki hubungan lagi denganmu. Aku pun menjawab pertanyaan dari Awan dengan mengatakan bahwa tidak ada lelaki yang sedang dekat denganku. Setelah aku menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba Awan menghilang. Aku bingung, kenapa dia tiba-tiba tidak membalas pesan dariku? Apakah aku salah memberikan jawaban? Aku mencoba tetap berpikir positif, mungkin Awan sudah tidur atau memiliki kesibukan lain, karena jam sudah mulai menunjukkan waktu larut malam. Aku pun harus pulang dari apotek, karena jam kerjaku sudah berakhir sejak satu jam yang lalu. Sebenarnya aku terbiasa pulang lebih lambat sekitar satu hingga dua jam, karena menghabiskan waktu di apotek dengan mengobrol bersama rekan kerja yang lain. Mereka benar-benar asyik diajak berbincang, hingga tanpa sadar aku menghabiskan banyak waktu di sana. Ayah dan Ibu sebenarnya juga tidak masalah aku pulang terlambat, asal memberikan kabar dan tidak terlambat secara keterlaluan. Selepas pulang, aku tidak mengecek ponselku. Ketiadaanmu entah kenapa membuatku menganggap ponsel tidak lagi terlalu penting. Aku merasa, tidak ada orang yang akan mencariku jika aku meninggalkan ponsel di kamar. Aku pun menghabiskan waktu dengan menonton televisi bersama Ayah dan Ibu, menonton beberapa acara receh yang sebenarnya tidak terlalu aku sukai. Sebenarnya aku harus bersyukur berada di keluarga ini, karena Ayah dan Ibu tidak pernah lama jika marah padaku. Hanya butuh beberapa saat, mereka sudah kembali seperti sedia kala. Mungkin memang aku yang terlalu mudah terbawa perasaan, atau mungkin justru aku yang balik marah kepada mereka, sehingga timbul rasa canggung ketika berada di depan Ayah dan Ibu. Beruntung, keadaan rumah sudah kembali seperti sedia kala, tidak ada lagi amarah yang aku tangkap dari Ayah dan Ibu. Mereka berdua sudah kembali menyapa dan mengajakku berbicara dengan baik dan lembut, namun sayang saat itu aku masih egois, tidak ada kata maaf yang terucap dari mulutku padahal aku lah orang yang membuat mereka khawatir. Sekitar pukul 12 malam, baru lah aku kembali ke kamar. Keluargaku memang terbiasa menonton acara malam, entah itu FTV receh ataupun sinetron azab yang tampak tidak masuk akal. Meski begitu, ada keseruan yang aku rasakan dari tontonan tersebut. Entah itu adegan konyol di dalamnya, ataupun reaksi Ibu ketika ada konflik yang mengambil tema perselingkuhan. Ibuku selalu berkomentar ketika ada perselingkuhan yang terjadi di dalam sinetron, Beliau selalu menyinggung Ayah, padahal Ayah tidak pernah sekalipun berselingkuh di belakang Ibu. Aku hanya bisa tertawa geli melihat perdebatan receh di antara dua orang yang sudah tidak muda lagi itu. Sampai di kamar, aku kembali mengecek ponsel sebelum pergi tidur. Aku terkejut ketika melihat banyak sekali pesan darimu. Pesan yang entah apa itu isinya. Mulai dari media sosial, hingga aplikasi bertukar pesan singkat tidak luput dari hujaman pesan darimu. Ketika aku membuka pesan itu, aku membaca banyak sekali caci maki dan cercaan yang kau tunjukkan kepadaku. Banyak kata u*****n, nama-nama binatang, serta sumpah serapah kau tunjukkan padaku. Tanganku gemetar membaca pesan itu, aku tidak merasa berbuat sesuatu yang salah, namun kenapa kau tiba-tiba datang dengan cara menyebalkan seperti itu? Pesan di dalam aplikasi bertukar pesan singkat emmang hanya berupa sumpah serapah, tapi tidak dengan pesan yang ada di dalam kotak masuk media sosialku. Ada banyak tangkapan layar dari percakapan yang aku lakukan dengan Awan kau kirimkan padaku. Namun tangkapan layar itu menunjukkan jika Awan adalah orang yang menangkap gambar tersebut, terlihat dari bar percakapan milik Awan yang ada di sebelah kanan. Kau menuduhku berselingkuh, mencari lelaki lain, sementara sedang bertengkar denganmu. Aku terkejut, seharusnya tidak seperti itu. Satu hal yang aku ketahui saat itu, kau sudah memutuskan hubungan denganku. Tapi saat aku membahas jika kau dan aku sudah putus sehingga aku merasa bebas berkenalan dengan orang lain, kau membalasnya dengan memberikan ketikan huruf kapital lengkap dengan tanda seru yang berjejer di belakang pertanda kau sedang benar-benar marah. Aku bingung dengan sikapmu, kau yang memutuskan hubungan, kau juga yang ribut ketika aku berkenalan dengan orang baru. Percakapan malam itu membuahkan hasil berupa ultimatum darimu. Aku bilang, jika kau mengatakan putus, itu hanya karena emosi sesaat, karena kau tidak akan pernah benar-benar mengatakan putus denganku, karena kau sayang padaku. Jika kau bilang putus, maka aku wajib membujukmu agar tidak marah, lalu kita akan kembali bersama. Jika aku tidak membujukmu agar tidak marah, maka aku hanyalah orang bodoh yang tidak tahu terima kasih, karena kau sudah sayang kepadaku. Kau bilang, tidak ada orang lain yang akan mau dengan perempuan sepertiku. Kau bilang aku aneh, memiliki selera humor yang aneh, dan memiliki cara komunikasi yang aneh. Kau bilang, aku memang cocok sebagai seorang penyendiri, karena keanehanku tidak akan ada lelaki yang mau menyayangiku dengan tulus kecuali dirimu. Bodohnya aku saat itu, aku hanya diam dan menuruti kalimatmu. Bukannya menyalahkanmu, aku justru menyalahkan diriku sendiri dan membenarkan perkataanmu. Iya, aku aneh, iya, aku memang penyendiri, iya, aku memang memiliki selera humor yang aneh. Kalimat-kalimat pembenaran atas perkataanmu berputar di dalam kepalaku malam itu, membuatku tidak bisa tidur hingga sekitar pukul 3 pagi. Terima kasih, Geno, terima kasih sudah memberikan luka yang selalu membekas di dalam hatiku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN