Marah-Baikan

1097 Kata
Catatan ini aku persembahkan untukmu, sebagai orang yang pernah hadir di dalam hidupku. Seseorang yang sangat berharga, yang bahkan bisa mengubah kepribadianku secara drastis. Perubahan yang terjadi dalam diriku, tidak hanya dirasakan olehku, tetapi juga oleh orang-orang di sekitar yang sayang dan peduli padaku. Perubahan itu semakin hari menjadi semakin parah, aku yang awalnya ceria dan banyak mengobrol dengan orang lain, menjadi dingin dan lebih penyendiri. Memang, sebelumnya pun aku adalah seorang yang tidak banyak bergaul, tetapi aku bukanlah seorang anti sosial yang menghindari kerumunan. Aku hanya seorang yang suka menyendiri dan menikmati kesendirian. Pertanyaan "kamu kenapa?" sangat sering aku dapatkan sejak menjalin hubungan denganmu. Mulai dari Ayah dan Ibu, lalu juga rekan kerja di apotek, serta Mawar yang merupakan sahabat dekatku pun menanyakan hal yang sama. Satu hal yang bisa aku katakan kepada mereka hanyalah "aku tidak apa-apa" karena aku tidak ingin mengumbar masalah yang sedang aku hadapi dan tidak ingin penderitaan yang aku rasakan menjadi konsumsi publik. Bagiku, sudah cukup aku saja yang merasakan siksaan batin yang menguras emosi ini, jangan sampai orang lain ikut menderita gara-gara ikut peduli dengan masalahku. Sayangnya, kau sebagai sumber masalah yang hadir di hidupku malah bersikap santai dan malah memposisikan diri sebagai orang yang menderita di antara kita. Sekarang aku tanya padamu, Geno. Pantaskah seorang lelaki bersikap seperti itu? Pantaskah kau sebagai orang yang seharusnya mampu melindungi orang yang kau sayang, justru menjadi sumber penyakit? Apakah kau benar-benar sayang padaku, Geno? Ataukah semua perkataanmu hanya sebatas retorika? Aku tahu, kau memiliki masalah dengan orang tua. Aku tahu, kau tidak nyaman berada di rumah. Aku juga tahu, kau di Surabaya tidak memiliki banyak teman. Tapi pernahkah kau sadar betapa busuknya tingkahmu selama ini kepada orang-orang di sekitarmu? Geno, kau seharusnya bercermin di depan kaca yang berukuran sangat besar, sehingga kau bisa tahu betapa busuknya tingkah lakumu kepada orang lain. Aku rasa, korbanmu bukan hanya aku, banyak orang yang muak dengan apa yang kau lakukan. Geno, aku lelah! Aku lelah dengan semua drama dan retorika yang kau buat! Sayangnya, di masa itu, aku tidak sanggup berbuat apapun. Selepas kita berbaikan kembali setelah pertengkaran hebat di antara kita di mana kau sama sekali tidak mau disalahkan, keadaan terasa membaik di permukaan. Ini adalah catatan yang ingin aku tegaskan, HUBUNGAN BAIK YANG TERJADI DI ANTARA KITA, HANYA DI PERMUKAAN! Karena ketika kau tanya bagaimana perasaanku, kau akan menemukan bahwa hatiku benar-benar hancur, tercabik-cabik, bahkan sudah tidak berbentuk lagi. Kau dan aku sudah berhubungan akrab lagi seperti biasanya. Pagi bangun tidur aku memberikan kabar, sebelum pergi bekerja dan menulis aku juga memberikan kabar, sepulang kerja juga aku memberikan kabar, aku akan pergi tidur pun pasti memberikan kabar kepadamu. Jangankan sebelum dan sesudah berkegiatan, di sela-sela aktivitas yang aku lakukan sekalipun, selalu ada waktu yang kusempatkan untuk memberikan kabar kepadamu. Berhari-hari semua aktivitas itu berulang, seakan tidak kenal lelah. Aku selalu menjadi pendengar setia di kala kau sedang gundah, aku selalu menjadi samsak saat kau sedang marah, aku pun selalu menjadi tempat kau menangis saat sedang sedih. Geno, entah kapan aku merasakan kebahagiaan saat bersamamu, aku pun tidak ingat lagi. Semua itu aku lakukan serta merta agar kau tidak marah kepadaku. Aku rela menahan semua rasa sakit yang kau berikan, aku mau menahan semua penderitaan yang aku rasakan, semua itu karena saat itu aku merasa sayang kepadamu. Rasa sayang yang tidak bisa dibedakan dengan keegoisan yang bergejolak, perasaan memikirkan diri sendiri yang meluap di permukaan. Kata "diri sendiri" di sini juga tidak mengacu kepada badanku sendiri, tetapi lebih kepada dirimu, Geno. Aku rela melupakan dan mengabaikan diriku hanya demi memuaskan egomu. Jika kau memang memiliki otak, pasti kau akan mengerti jika apa yang kau lakukan kepadaku selama ini adalah hal yang egois. Bukan hanya kau yang egois, melainkan aku juga melakukan hal yang sama. Aku egois karena tidak memikirkan diriku sendiri. Aku egois karena melupakan kenyamananku sendiri. Aku egois, karena terpaku pada rasa bersalah yang bahkan seharusnya aku tidak merasakannya. Kau meletakkan semua tanggung jawab kepadaku, Geno. Semuanya, sejak awal, selalu menjadi salahku. Kau bilang, kau menenggak minuman keras karena aku meninggalkanmu sendiri. Kalimat itu selalu kau ulang, membuatku selalu merasa bersalah. Aku saat itu selalu merasa jika akulah orang yang menjerumuskanmu ke dalam lingkaran hitam, padahal seharusnya sebagai seorang lelaki dewasa yang sudah memiliki pikiran sendiri, kau harus bisa menentukan pilihan mana yang baik dan tidak baik untukmu, bukan memilih sesuatu yang buruk lalu menyalahkan pilihan burukmu kepada orang lain. Kau bilang, jika bukan kau, tidak ada orang yang akan mau berhubungan denganku. Tapi di sini aku bisa bilang, jika bukan aku, maka tidak ada orang yang betah berhubungan denganmu. Geno, kau tahu tidak? Kita baru berhubungan selama satu bulan. Tetapi selama sebulan itu, hidupku terasa seperti di neraka. Apa yang aku alami selama sebulan ini adalah sesuatu yang paling buruk dari semua hal buruk di seluruh hidupku. Geno, aku harus jujur padamu bahwa aku sudah lelah kau atur-atur sedemikian rupa. Geno, apakah kau masih menganggapku sebagai manusia? Aku sendiri bahkan tidak tahu, apakah aku masih bisa disebut sebagai manusia atau tidak, karena aku sudah lupa bagaimana cara tersenyum. Bukan hanya tersenyum dengan sukarela, aku bahkan lupa bagaimana cara menangis dan bagaimana caranya marah. Semua itu karena setiap hari aku wajib memberikan sapaan manis dan yang meneduhkan hati untukmu. Geno, aku rindu. Aku rindu sosokmu yang dulu. Aku rindu sosok dari seorang lelaki yang memuji aksen daerahku yang kental. Aku rindu dengan sosokmu yang suka dengan caraku berbicara. Aku rindu sosokmu yang selalu mampu membuatku tertawa. Geno, di mana sosok itu sekarang? Apakah sosok itu benar-benar menghilang dari hidupku dan digantikan oleh sosok monster mengerikan yang selalu mengatur kegiatanku 24 jam per 7 hari? Aku harap tidak. Geno, aku ingat, kau pernah mengatakan kepadaku jika akhir-akhir itu aku aneh. Aneh karena ketika kau ajak berbicara, responku hanya berkata "iya" dan "tidak" tanpa menanggapi obrolan secara antusias. Kau berkata jika aku tampak sama sekali tidak ingin berbicara denganmu, lalu kau pun marah. Kau bilang, aku sudah berubah. Aku bukan seorang Nanda yang kau kenal dulu, Nanda yang selalu mau mendengar keluh kesah darimu. Geno, saat kau marah itu, aku merasa serba salah. Aku ingin mengatakan tentang perasaanku padamu. Perasaan lelah yang membebani bahuku, membuat pikiranku benar-benar ingin beristirahat dari semua rutinitas memuakkan yang aku jalani bersamamu. Namun saat aku akan membuka mulut, ada rasa takut yang tiba-tiba muncul. Aku takut kau tersinggung dengan ucapanku dan berakhir dengan pertengkaran di antara kita. Hal itu membuatku mengurungkan niat dan memilih diam. Rupanya, diam pun salah bagimu. Saat aku diam, rupanya kau tetap marah, aku tetap salah, dan kita kembali terjebak pada siklus marah-baikan yang tidak pernah berakhir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN