Kau Semena-mena

1130 Kata
Salam sayang ingin kuucapkan kepadamu, kepada orang yang pernah hadir di dalam kehidupanku. Kau adalah orang yang sangat berharga, memberikan pelajaran hidup bahwa kita tidak boleh terlalu berlebihan dalam mencintai orang lain, apalagi orang yang tidak memiliki hubungan darah dengan kita. Orang yang memiliki hubungan darah saja bisa melakukan sesuatu yang merugikan kita, apalagi orang lain yang datang dari negeri antah berantah? Kehidupanku setelah malam itu, malam di mana kau memberikan doktrin baru yang terasa seperti agama untukku, mengalami perubahan yang sangat besar. Seorang Nanda yang seharusnya menjadi pribadi yang ceria, supel, mudah berbaur dengan orang lain, memiliki banyak cerita, berubah menjadi seorang Nanda yang pendiam dan lebih banyak murung. Pagi itu, setelah sebelumnya mengobrol panjang lebar denganmu, aku awali hari dengan sedikit berbeda dibandingkan sebelumnya. Baru saja aku bangun tidur, aku langsung memeriksa ponsel dan memberikan kabar kepadamu, sekaligus juga dengan hal-hal yang akan aku lakukan beberapa sata ke depan seperti mandi, sarapan, dan lain-lain. Tidak perlu menunggu balasan darimu, aku segera membersihkan diri dan bersiap untuk sarapan bersama Ayah dan Ibu. Di meja makan, Ayah dan Ibu menangkap sesuatu yang tidak biasa dariku, yaitu wajah kusam dan sembab akibat menangis semalaman. Ibuku bertanya kepadaku apakah aku menangis semalam dan aku menjawab jika semalam aku lembur menyelesaikan tulisan karena ditunggu oleh pembaca dan dikejar tenggat waktu yang semakin mepet dari platform daring tempatku menulis. Aku melihat gelagat tidak percaya dari Ibu karena jawabanku terdengar klise, namun aku tidak peduli terhadap hal itu. Setelah bersantap pagi, Ayah meminta tolong kepadaku agar siang nanti aku mengantar makan siang ke sawah untuk Ayah dan beberapa pekerja lain di sana. Sementara waktu luang pagi, aku membantu Ibu di dapur. Sekitar pukul 10 pagi, di mana pekerjaan dapur telah usai, aku kembali memeriksa ponsel. Di sana, ada jawaban darimu sekitar lima menit yang lalu. Kau mengabari jika kau baru saja bangun tidur, aku rasa jam sepuluh pagi sudah cukup siang bagi seseorang bangun tidur. Bukankah seharusnya kau bekerja di pagi hari? Ah, entahlah, jika aku bertanya kepadamu, pasti aku salah lagi. Daripada bertanya dan berujung ribut, aku mengatakan kepadamu jika harus menyelesaikan tulisan yang memang tidak akan selesai karena aku terus menerus memperbaharui kontrak dengan mengirimkan judul-judul baru yang akan diterbitkan di platform daring tersebut. Tanpa menunggu jawaban darimu, aku segera mematikan data seluler ponselku agar aku lebih tenang dalam bekerja. Sebenarnya, aku sempat mengalami buntu saat di tengah-tengah mengerjakan tulisan. Tapi aku tidak berani mengaktifkan data seluler untuk mencari hiburan di internet, karena kau pasti akan memeriksa dan tahu jika aku sedang berada di dalam jaringan. Jika aku tidak mengabarimu, maka kau akan marah besar kepadaku. Aku harus menahan diri dan mencari hiburan di tempat lain. Aku memutuskan untuk menyalakan televisi, meskipun tidak ada tayangan yang bagus di sana. Tapi aku pikir, lebih baik aku menonton televisi daripada stres berada di dalam internet yang mana aku merasa selalu kau pantau setiap saat. Sekitar jam 12 siang, Ibu memanggil dan memintaku untuk mengantar makan siang untuk Ayah di sawah yang tidak jauh dari rumah. Setelah mengantar makanan, baru aku menghidupkan data seluler. Belum sempat aku membuka aplikasi bertukar pesan, kau sudah muncul dan menghujaniku dengan pertanyaaan. Aku segera membuka pesan darimu dengan gemetar, karena takut kau akan marah. Pesan pertama berasal dari saat setelah aku berkata kepadamu jika aku akan menulis. Saat itu kau mengizinkanku. Namun satu jam kemudian, kau mulai muncul dan memanggil namaku, namun aku masih belum dalam keadaan daring. 30 menit kemudian, kau mulai merasa jengkel, terlihat dari caramu mengetik. Aku mulai merasa bersalah, seharusnya aku mengabarimu secara berkala. Pesan terbawah berasal dari saat aku baru saja daring. Rasanya, kau memberikan teror kepadaku. Pesan terakhir itu berbunyi, "akhirnya kau daring juga!" dengan penegasan berupa tanda seru yang berarti kau sedang marah. Aku bilang, aku mematikan ponsel hanya untuk mencari alasan agar dapat menghindar darimu. Kau berkata jika aku di sini sedang bermain dengan lelaki lain dan tidak ingin kau mengetahuinya. Kau menuduhku selingkuh hanya karena data seluler ponsel kumatikan. Aku tidak dapat berbuat apapun saat itu. Aku tidak memiliki keberanian untuk menyangkal, aku juga merasa bersalah jika mengiyakan tuduhan darimu karena itu berarti aku tidak bisa menjaga kepercayaan yang kau berikan untukku. Aku juga tidak berani marah, karena jika aku marah, maka kau akan mengecapku dengan label kekanak-kanakan dan kau justru akan balik memarahiku. Lalu, apa yang aku lakukan untuk meredam kemarahanmu? Aku berkali-kali mengatakan maaf kepadamu dengan nada lirih dan suara rendah melalui pesan suara. Aku ingin memperlihatkan kepadamu jika aku merasa bersalah agar kau tidak merajuk. Setiap kali kau menghujatku, mengatakan hal-hal yang tidak sepantasnya kau katakan kepada orang yang berstatus sebagai kekasih, aku hanya bisa meminta maaf. Maaf, maaf, maaf, dan maaf, hanya kata itu yang aku ucapkan kepadamu. Lalu lagi-lagi,memblokir nomor ponselku agar aku tidak bisa menghubungimu. Sesuai dengan apa yang kau katakan, aku pun menghubungimu melalui pesan pribadi media sosial. Sebenarnya aku juga sudah siap jika kau masih marah, namun aku hanya menuruti kata-katamu dan tetap menghubungimu di sana. Benar saja, kau kembali mencaci maki dan mengatakan jika aku selingkuh. Aku pun kembali memohon, kau tahu? Aku bukan lagi meminta, melainkan memohon, memohon maaf atas kesalahan yang entah sebenarnya aku lakukan atau tidak. Aku terus memohon maaf di tengah cercaan kalimat busuk yang keluar di layar ponselku. Di akhir, kau malah memutuskan hubungan denganku. Kau mengatakan itu berkali-kali sebelum akhirnya kau juga memblokir media sosialku. Sakit, hatiku rasanya teriris. Aku tidak menyangka akan mendapat perlakuan terburuk dari seseorang yang paling aku sayang. Aku pun tidak tahu, apa yang telah aku lakukan hingga bisa terjebak dengan orang yang sangat menyebalkan sepertimu. Aku juga tidak tahu, ternyata rasa kasihan dan rasa bersalah yang bersarang di kepalaku bisa kau manfaatkan sedemikian rupa hanya untuk memuaskan egomu. Aku merasa seperti barang bekas pakai, yang ketika masih dalam keadaan bagus maka akan tetap dipakai, namun ketika aku sudah mulai rusak maka kau bisa seenaknya membuangku. Pukul dua siang, aku segera memacu motor untuk menuju ke apotek. Wajah lesu dan mata sembab masih menjadi teman setiaku hari ini. Sesampainya di apotek, rekan kerjaku pun menyadari jika ada sesuatu yang tidak beres denganku. Sebagai sesama perempuan, ia mencoba untuk memberikan dukungan mental kepadaku. Ia mencoba menenangkanku, agar aku kembali bersemangat. Rekan kerjaku bertanya kepadaku tentang apa yang membuatku menjadi seperti ini, namun aku hanya berkata jika aku tidak apa-apa dan tidak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Mendengar kalimatku, rekan kerjaku justru tampak kesal. Ia berujar jika aku tidak menganggapnya sebagai teman, karena menyembunyikan banyak hal darinya. Ia tahu jika aku sedang tidak baik-baik saja, namun aku masih berusaha menyembunyikan apa yang terjadi. Aku tidak ingin citramu buruk di hadapan orang-orang di sekitarku. Aku saat itu rela, rela untuk merasakan sakit, menahan semua perih yang ada di d**a, agar namamu masih tetap bersih. Tapi sayang, sebagai orang yang aku bela, kau justru berbuat semena-mena.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN