Doktrinmu

1091 Kata
Geno, Geno, Geno, aku masih tidak mengerti jalan pikiranmu seperti apa. Bagaimana bisa kau bertindak seperti itu kepada orang yang kau sebut sebagai kekasihmu? Astaga, aku tidak menyangka jika diriku dulu bisa sebodoh itu percaya dan menuruti apapun yang kau katakan. Saat kau marah karena aku tidak mengabarimu, kau memblokir akses aplikasi bertukar pesan. Lalu setelahnya, kau menghubungiku melalui media sosial, mengatakan sumpah serapah kepadaku, menyuruhku mencarimu saat kau menghilang. Aku saat itu lagi-lagi masih sangat payah dan naif. Kau tahu, Geno? Sebenarnya saat itu aku sudah sangat geram kepadamu. Geram sekali, sampai air mataku menetes di malam hari sepulang kerja. Bahkan hari itu pun, aku masih perang dingin dengan Ayah karena aku menganggap Beliau tidak bisa memahami perasaanku sebagai anak muda. Geno, aku bahkan mengabaikan panggilan Ayahku hanya karena membelamu dan kau sama sekali tidak peduli terhadap hal itu? Sebusuk itu rupanya isi dari hatimu! Aku membeli makan di luar, hari itu aku sama sekali tidak ingin menyentuh makanan yang dimasak oleh Ibu. Saat ini, ketika aku menulis catatan ini untukmu, kau harus tahu bahwa aku sedang menangis. Menangis karena merasa berdosa, Ibuku yang sudah bersusah payah menyajikan makanan sehat untukku, harus menelan pil pahit karena anak gadisnya tidak mau menyentuh meja makan karena sifat egois dan tidak tahu malu yang dimiliki oleh anak tersebut. Sayangnya, anak itu adalah aku. Aku melakukan itu semua demi kau, Geno! Bukannya meringankan beban yang aku tanggung, kau justru menambah beban dengan semakin marah karena aku tidak mencarimu saat kau merajuk. Hei, Buaya, kau pikir aku siapa? Kau pikir aku b***k yang bisa kau suruh sesuka hati? Pantas saja perempuan sebelumnya meninggalkanmu! Aku tahu, aku sangat sadar kenapa ia pergi darimu, Geno! Sifatmu yang egois dan seperti anak-anak ini membuat semua orang yang ada di dekatmu muak! Andaipun ada orang yang mau berteman denganmu, pasti ia memiliki niat tersembunyi karena setelah mengenalmu lebih dekat, aku bahkan tidak sudi menganggapnya sebagai teman. Sayangnya, di masa itu, saat aku masih lebih muda, aku tidak berpikir seperti itu. Aku memang mengatakan kepadamu alasanku tidak mencarimu lebih jauh. Dengan lembut, aku berkata kepadamu jika aku ingin memberikan waktu sendiri untukmu agar kau bisa lebih menenangkan diri. Tapi apa yang kau katakan setelahnya benar-benar membuatku sakit. Kau berkata jika seharusnya aku mencari cara untuk menghubungimu. Kau bilang jika media sosial kita masih tetap terhubung dan aku seharusnya bisa memiliki inisiatif untuk menghubungimu dari sana. Aku mengatakan sekali lagi kepadamu jika aku takut, takut saat menghubungimu melalui media sosial maka kau akan kembali memblokir komunikasi kita dan apa yang aku lakukan menjadi percuma. Aku kira awalnya kau akan sadar dan balik meminta maaf, tetapi ternyata aku salah. Bukannya meminta maaf, kau justru mengiyakan apa yang aku katakan. Kau bilang, kemungkinan besar akan memblokir akses media sosialku kepadamu. Aku menghela nafas panjang, menjelaskan secara halus kepadamu, dan bertanya kepadamu tentang apa yang bisa aku lakukan setelahnya. Bukannya memberi penjelasan, kau malah semakin merajuk dan berkata dengan kasar, bagaimanapun aku harus bisa membujukmu dan menemukan cara untuk menghubungimu, bagaimanapun caranya. Aku berkali-kali menghela nafas panjang. Aku belum memiliki pengalaman dengan hubungan antar lawan jenis, lalu sekarang mendapatkan seorang lelaki yang memiliki sifat seperti ini. Ingin rasanya aku menyerah, tapi aku sangat sayang kepadamu saat itu. Selain itu, rasa bersalah dan rasa tanggung jawab ingin mengubahmu menjadi pribadi yang lebih baik, benar-benar menghantui pikiranku. Jika aku menyerah sekarang, aku berpikir jika kau tidak akan berubah ke arah yang lebih baik dan tetap menjadi pribadi yang tampak seperti anak kecil, aku tidak menginginkan itu. Aku ingin kau bisa berubah menjadi seorang lelaki yang bisa dibanggakan, bisa aku tunjukkan kepada orang lain, termasuk kepada Ayah dan ibuku. Aku menangis lagi, jantungku sakit mendengar perkataan kasarmu kepadaku. Namun saat aku menangis, kau malah berkata jika aku lemah. Aku tidak seharusnya menangis, karena beban hidup yang kau rasakan jauh lebih berat dariku. Kau berkata jika aku setiap hari selalu hidup enak, bisa bersama dengan keluarga lengkap dan keluarga yang hangat, tidak sepertimu yang memiliki Ayah dan Ibu super sibuk dengan situasi rumah yang terasa seperti kutub utara. Ada satu hal yang sangat aku ingat hingga hari ini, kau berkata jika aku harus ikut merasakan dinginnya rumah, aku harus ikut menderita, sama sepertimu. Semua itu wajib aku lakukan sebagai pembuktian cinta kepadamu. Kau bilang, itu semua harus dilakukan agar aku tahu rasanya menderita, agar kita menjadi semakin bisa mengerti satu sama lain. Kau memintaku untuk lebih memprioritaskanmu daripada orang tuaku sendiri. Lagi-lagi, bodohnya aku saat itu, karena keegoisanku sendiri, aku menyanggupi apa yang kau syaratkan kepadaku dan berharap kau bisa segera lebih tenang dan bisa menjadi pribadi yang lebih baik. Aku hanya kau izinkan untuk berkata "iya" saat kau sedang marah. Aku tidak kau izinkan untuk menolak, membantah, apalagi melawan perkataamu saat sedang marah. Selain itu, kau sama sekali tidak mengizinkanku untuk merajuk, untuk membuktikan rasa sayangku padamu. Jika aku merajuk, maka saat itu juga kau akan memarahiku dan memintaku untuk menghentikan sikap yang kau nilai kekanak-kanakan itu. Benar, apabila aku merajuk, kau akan menganggap sikapku seperti anak kecil. Namun jika kau yang merajuk, itu adalah hal yang wajar karena kau memiliki hak atas diriku. Itulah yang kau katakan padaku di malam itu. Aku masih sangat ingat dengan semua perkataanmu. Selain itu juga, ada beberapa kewajiban lain yang harus aku patuhi saat menjadi kekasihmu, yaitu, aku harus selalu mengabari di mana, sedang apa, bersama siapa, aku setiap saat. Bangun tidur, akan berangkat kerja, pulang kerja, akan tidur, aku harus selalu mempersembahkan waktu yang kumiliki untukmu. Lalu kau juga menegaskan sekali lagi, apabila kau marah dan memblokir semua akses komunikasi, maka aku harus mencari jalan untuk berkomunikasi denganmu, bagaimanapun caranya. Kau tahu, Geno, perkataanmu saat itu terasa seperti doktrin yang wajib aku turuti dan tidak boleh dibantah. Entah bagaimana aku bisa masuk ke dalam jebakan busuk dari buaya sepertimu, aku pun tidak tahu. Bodohnya aku, semua perkataanmu selalu aku turuti dengan harapan dan doa agar kau bisa berubah menjadi lebih baik. Bagiku, cukup hanya aku yang merasakan penderitaan seperti ini saat menghadapimu. Aku tidak tega jika ada orang lain yang tersiksa seperti ini. Aku bertahan denganmu, selain karena ingin mengubahmu menjadi lebih baik, juga karena tidak ingin ada orang lain yang tersiksa karena sikapmu. Sayangnya, saat itu kau sangat picik. Kau hanya memikirkan egomu saja, sama sekali tidak memikirkan perasaanku. Kau tidak pernah bertanya kepadaku, seperti apa jenis hubungan yang aku inginkan, seperti apa sikap yang harus kau tunjukkan di depanku, dan bertanya tentang apa yang aku suka darimu. Kau hanya fokus untuk menyamankan dirimu sendiri, tanpa peduli bagaimana posisiku saat itu. Pertanyaanku, Geno, apakah kau masih seperti itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN