Kalian Semua Jahat!

1019 Kata
Geno, apa yang sebenarnya kau rencanakan? Kenapa dengan tega kau menyebarkan berita yang sama sekali tidak benar? Geno, kau tahu? Orang tuaku tertekan dengan berita yang kau berikan. Tidak cukupkah urusanmu hanya denganku? Haruskah kau memperlebar urusan kita hingga ke orang-orang di sekitarku? Geno, aku bahkan tidak percaya dengan barang yang kau bawa ke rumah hari ini. Sebuah alat tes kehamilan dengan dua garis merah? Dari mana kau mendapatkan barang ini? Kau tahu, padahal aku dan kau tidak pernah melakukan hubungan terlarang. Jangankan hubungan terlarang, aku bahkan tidak pernah mengizinkanmu untuk menciumku. Untuk apa semua berita bohong ini kau lakukan? Geno, kau benar-benar sakit. Hujan di luar masih belum usai, petir masih menyambar dengan gagahnya serta angin juga masih bertiup kencang membuat suasana sore yang sudah mulai senja ini terasa semakin menyedihkan. Ayahku masih tertunduk lesu, sementara Ibu juga masih menangis di dekatku. Alat tes kehamilan palsu yang kau berikan pun masih tergenggam erat di tanganku. Aku tidak tahu, dari mana kau mendapatkan alamat rumahku? Siapa orang yang membocorkan alamat tinggalku kepadamu? Padahal, aku tidak pernah memberitahu di mana tempatku tinggal sejak pertama kita saling kenal, karena aku ingin memisahkan antara urusan rumah dan urusan di luar rumah. Aku hanya ingin kita saling kenal secara pribadi, tidak lebih. Tapi ternyata kau melangkahi batas yang aku tentukan dan bahkan membuat ricuh orang-orang di luar batasmu. Aku mendekat kepada Ibu, bersimpuh sambil menggenggam tangannya dan bersumpah bahwa tidak pernah ada kejadian di luar kewajaran antara aku dan dirimu. Aku pun ikut menangis, tidak tega melihat Ibu dan Ayah yang tertekan seperti ini. Ibuku yang awalnya masih berusaha bersikap lembut, perlahan mulai merasa geram. Terlihat dari tangannya yang mulai mencengkram tanganku dengan sedikit keras. Aku merasakan sakit di pergelangan tanganku, namun berusaha tetap aku tahan. Aku tidak ingin membuat keributan ini semakin panjang. Sayangnya, semua penolakan yang aku lakukan seakan ditolak mentah-mentah oleh pikiran Ibu dan Ayah. Bahkan Ayah meninggikan suaranya kepadaku, menuduhku berbohong. Aku menoleh ke arah Ayah yang ada di balik punggungku, emosiku sedikit terpantik. Aku ikut meninggikan suaraku, mempertahankan harga diri yang sudah kau rusak. Bukannya mendengar ucapanku, Ayah justru membentakku dengan keras. Hatiku benar-benar runtuh mendengar seorang Ayah yang tidak pernah membentak sejak aku mengenal dunia, tiba-tiba kehilangan akal sebab omongan tidak bertanggung jawab darimu. Ibuku pun tidak kalah kalut, beliau berkata jika alat tes kehamilan itu adalah bukti konkret, tidak terbantahkan. Bahkan Ibu menuduh bahwa aku hendak menggugurkan kandungan, Ibu menuduhku justru sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, bukannya dirimu. Ayah menyeletuk bahwa Beliau malu terhadapku. Bukan malu karena aku dituduh hamil, melainkan malu karena Beliau menganggap dirinya gagal mendidikku menjadi orang yang bertanggung jawab. Aku dianggap lari dari kewajiban untuk membesarkan bayi di dalam kandungan yang sebenarnya tidak pernah ada apapun di dalamnya. Semakin aku berteriak, semakin keras pula Ayah dan Ibu menekanku. Mereka bilang, seharusnya aku bersyukur, orang yang menghamiliku mau datang ke rumah untuk bertanggung jawab. Aku hanya menggeleng, tetap bersikeras jika aku tidak pernah melakukan apapun yang mengecewakan mereka. Sayangnya, lagi-lagi kalimatku dimentahkan oleh Ayah dan Ibu. Mereka memintaku untuk menghubungiku, membahas tentang langkah selanjutnya. Kapan kau akan melamar, kapan kau akan datang ke rumah bersama orang tuamu, dan mereka menekanku agar semua prosesi dilaksanakan secepatnya agar perutku tidak semakin membesar. Aku tidak dapat lagi melawan kalimat kedua orang tuaku, semua argumenku dimentahkan oleh mereka. Aku menatap Ibu yang ada di depanku dengan tatapan tajam, kecewa dengan Beliau yang lebih memilih memercayaimu daripada anaknya sendiri. Kemudian aku bangkit, berjalan cepat ke kamar dan membanting pintu saat menutupnya. Aku memeluk lututku sambil meratap di atas tempat tidur. Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak menyangka, masalah yang kau timbulkan akan melebar sejauh ini, Geno. Haruskah aku menghubungimu lagi? Jika aku melakukannya, maka kau akan menang, egomu akan kenyang karena mendapat asupan makanan. Namun jika aku tetap mengabaikannya, maka akan ada kemungkinan kau kembali datang ke rumah membawa masalah yang lebih besar lagi. Aku pandangi ponselku yang sejak kemarin belum aku hidupkan, masih ragu apakah harus menghubungimu atau tidak. Aku terus menimang-nimang, membiarkan laptop di samping tempat tidurku tetap menyala dengan penanda yang masih berkedip di atas aplikasi pengolah dokumen. Aku belum bisa meneruskan kembali tulisanku, semua ide yang awalnya tersusun rapi di dalam kepala seketika hancur karena kedatanganmu. Air mataku pun tidak berhenti membasahi pipi, membuat mataku semakin bengkak. Tuhan, kapan semua ini akan berakhir? Langit senja berubah menjadi malam gelap dengan hujan yang masih belum ingin berhenti seakan mendukungku untuk bersedih malam ini. Lampu kamar yang tidak menyala, menyamarkan wajahku yang hancur karena tertimpa masalah bertubi-tubi hari ini. Ayah dan Ibu yang biasanya mengetuk kamarku, mengingatkanku makan pun, malam ini seakan benar-benar mengabaikanku. Aku pun semakin tidak peduli lagi dengan diriku sendiri, biarlah aku hancur. Dalam kegelapan malam, akhirnya aku memutuskan untuk menekan tombol power yang ada di bagian samping, memperlihatkan logo merk ponsel yang mulai bergerak indah, bertolak belakang dengan suasana hatiku yang semakin kacau. Tanganku semakin gemetar karena sadar, setelah ini akan terjadi drama yang semakin menyebalkan. Aku sudah memutuskan untuk menyelesaikan semuanya denganmu, agar kau tidak lagi mengganggu hidupku. Setelah jaringan internet mulai terhubung, ponselku harus macet beberapa saat karena harus mengunduh semua pesan dan memuat semua pemberitahuan sejak ponselku mati. Benar saja, setelah semua notifikasi berhasil dimuat, ada banyak pesan darimu yang berisi ancaman, jika aku tidak kembali kepadamu, maka kau akan menghancurkan hidupku hingga benar-benar hancur. Ada satu kalimat yang benar-benar membuatku marah, "bagaimana? Sekarang kau menyesal bukan? Aku akan semakin membuatmu menyesal telah berpaling dariku, Nanda. Karena kau tidak boleh berpaling selamanya dariku." Kalimat itu semakin membuatku takut untuk membalas pesanmu. Aku tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa, orang tuaku sudah tidak percaya lagi padaku, mantan rekan kerjaku sudah membenciku, bahkan Mawar sudah tidak ingin berteman lagi denganku. Aku tidak tahu harus bercerita kepada siapa, tidak ada orang yang percaya padaku. Selain pesan darimu, ada beberapa orang lagi yang mengirimkan pesan padaku. Mawar memintaku untuk menghadapimu, ia menghujatku yang terkesan kabur darimu. Mantan rekan kerjaku pun melakukan hal yang sama, ia merasa lelah selalu kau teror. Kau benar-benar kurang ajar, Geno, sampai kapan kau akan bertindak seperti ini? Sejauh apa kau akan bertindak nekat?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN