Nanda Hamil

1070 Kata
Hai, Geno, mulai dari sini, aku akan lebih menceritakan lagi tentang apa yang terjadi kepadaku setelah kau meninggalkan rumah orang tuaku. Jujur, saat itu, aku masih benar-benar belum tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya bisa menerka-nerka, apa hal sebenarnya yang kau sampaikan kepada Ibuku saat aku berada di dapur sehingga membuat Ayahku pulang dalam keadaan panik. Awalnya aku hanya diam, Ayah dan Ibu pun ikut diam di ruang tamu. Ingin aku kembali ke kamar, kembali menyelesaikan pekerjaanku, namun aku merasa sungkan jika harus meninggalkan Ayah dan Ibu yang tampak sedang kacau. Aku ingin bertanya kepada Ayah dan Ibu tentang apa yang sebenarnya terjadi, namun bibirku terasa kaku, tidak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Dalam diam, tiba-tiba Ibu terisak. Beliau meneteskan air mata sambil menunduk. Aku semakin bingung dibuatnya, apa yang sebenarnya terjadi? Ayah pun demikian, meski Beliau tidak menangis, tetapi raut wajah khawatirnya tidak dapat disembunyikan. Dalam kondisi seperti sekarang, suasana hatiku benar-benar hancur. Aku tidak mampu lagi melanjutkan pekerjaanku di dalam kamar. Biarlah, biarlah pekerjaan itu akan kukerjaan setelah mendapat kejelasan dari situasi membingungkan di dalam ruang tamu sederhana ini. Sayup-sayup aku mendengar suara hujan yang mulai turun di luar rumah. Heningnya suasana sore ini, membuat suara hujan yang seharusnya tidak kencang pun, dapat terdengar jelas. Ibu masih tetap terisak, seakan tidak peduli dengan pekerjaan dapur yang Beliau tinggalkan. Aku geram, namun takut untuk bersuara. Sesaat kemudian, Ayah yang duduk di kursi yang jauh dariku, bangkit dan mendekat ke arahku. Saat tiba di depanku, Ayah menatapku lekat, kemudian Beliau bersimpuh dan memelukku dengan erat. Aku pun balas memeluk Ayah, namun ada tanda tanya besar yang masih muncul di dalam pikiranku. Badannya terasa bergetar, Ayah menahan sesuatu yang menyakitkan di dalam kepalanya. Aku semakin bertanya-tanya tentang apa yang sudah kau katakan kepada Ayahku, Geno. Sambil mengelus perlahan punggung bidang Ayah yang terlihat letih dan penuh beban, aku melirik ke arah Ibu yang masih tetap menangis. Beliau tidak henti-henti meneteskan air mata. Aku tidak bisa berbuat apa-apa di tengah situasi yang membuatku serba salah ini. Suara rintik hujan di luar rumah terdengar semakin intens, gerimis yang turun sekarang berubah menjadi hujan ringan yang mampu mengganggu aktivitas warga di luar rumah. Dalam pelukanku, ada sebuah kalimat yang disampaikan oleh Ayah. Hingga hari ini, aku masih tetap mengingat kalimat itu. "Tidak apa-apa, Nanda. Ayah dan Ibu tetap bangga kepadamu," begitulah kira-kira ucapan Ayah. Ucapan itu memiliki arti yang luas. Apakah aku sudah membuat kesalahan yang besar? Atau justru sebenarnya aku berhasil melewati sebuah masalah besar tanpa sadar? Suara Ayah yang terdengar bergetar, membuat air mataku menetes tanpa bisa dikendalikan. Aku pun masih tidak tahu, apa yang sebenarnya membuatku menangis? Aku merasa seperti menjadi tim hore yang hanya mengikuti arus yang sedang berjalan. Di tengah situasi yang masih serba tidak jelas ini, tiba-tiba Ibu bertanya tentang pernikahanku denganmu, Geno. Ibu bertanya, kapan aku akan melangsungkan pernikahan denganmu. Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar. Pernikahan? Bagaimana bisa akan ada pernikahan di antara dua orang yang tidak saling mencintai? Pertanyaan dari Ibu membuatku dapat mengerucutkan semua kemungkinan, membuat kabut tebal yang sedari tadi menyelimuti ruangan ini perlahan memudar. Aku sedikit tahu, apa yang telah kau sampaikan kepada Ibu. Untuk saat ini, aku masih belum dapat memberikan reaksi apapun. Aku masih ingin mendengar semuanya, semua cerita dari sudut pandang Ayah dan Ibu. Pertanyaan dari Ibu pun berhasil membuatku berani membuka obrolan lebih lanjut, aku ingin tahu apa saja yang sudah diterima oleh orang tuaku. Aku mendorong dengan lembut bahu Ayah, menjauh dari pelukanku. Air mataku yang mulanya menetes kini mulai mengering berganti rasa dendam dan emosi, mengingat betapa liciknya cara yang kau gunakan. Aku meminta Ayah untuk menceritakan kepadaku tentang apa yang terjadi. Ayah hanya diam, kemudian Beliau menoleh kepada Ibu, seakan memberikan isyarat untuk bercerita lebih lanjut. Setelah menghela nafas, akhirnya Ibu pun mulai membuka cerita. Ibu berkata, awalnya Beliau menganggapmu hanya sebagai temanku. Entah itu teman kerja, teman sekolah, maupun teman yang aku kenal di luar, yang penting kau adalah seorang teman untukku. Namun saat aku pergi ke belakang hendak menyiapkan minum untukmu dan Ibu, tiba-tiba kau membuka omongan bahwa aku sedang hamil. Mendengar kalimat itu saja, sudah berhasil membuat darahku mendidih. Bagaimana bisa kau bercerita kepada orang tuaku jika aku sedang hamil? Padahal, aku tidak pernah melakukan sesuatu yang lain kecuali bergandengan tangan denganmu, tidak lebih. Dari mana cerita tentang hamil itu berasal? Kau tahu, Geno, meskipun aku adalah orang desa yang tidak mengerti pergaulan di luar, tetapi aku selalu berusaha sebaik mungkin untuk menjaga tubuhku. Karena aku tahu, hanya suamiku, orang yang pantas memilikinya. Itu pun nanti, ketika aku benar-benar melepas masa lajang dengan prosesi pernikahan. Semua kalimat itu masih aku coba simpan di dalam hati, karena ingin mendengar cerita lengkap dari Ibu, karena Beliau adalah orang yang menghadapimu secara empat mata. Lalu Ibu melanjutkan cerita, bahwa aku dan kau sudah melakukan sesuatu yang dilarang norma beberapa kali. Masalah tidak berhenti sampai di situ. Bukannya mendukung anaknya sendiri, Ibu justru bercerita kepadamu bahwa aku beberapa kali keluar bermain ke kota sebelah seorang diri. Busuknya dirimu adalah, kau justru berkata kepada Ibuku jika saat itu aku sedang menemuimu, karena kau memang tinggal di kota sebelah. Dan kau tadi juga berkata kepada Ibuku jika perbuatan tidak terpuji itu terjadi saat itu. Cerita tidak berhenti sampai di sana. Ibu berkata kepadamu, jika beberapa waktu sebelumnya aku berhenti bekerja di apotek tanpa memberikan keterangan kepada Beliau. Aku mengakui, hingga hari inipun aku masih belum sanggup menceritakan hal yang sejujurnya kepada Ibu dan Ayah berkenaan dengan alasanku keluar dari apotek. Di sini lagi-lagi kebusukanmu keluar. Tiba-tiba, Ibuku mengeluarkan sesuatu dari tangannya yang sedari tadi digenggam. Sebuah penguji kehamilan dengan dua garis merah, Beliau serahkan kepadaku. Aku masih tetap bingung, karena aku tidak merasa jika pernah melakukan tes kehamilan. Ternyata, kau bercerita kepada orang tuaku jika aku keluar dari apotek karena hamil dan tidak ingin ada orang lain tahu tentang kehamilanku. Betapa terkejutnya aku dengan apa yang kau katakan. Bagaimana bisa, perkataan seorang lelaki yang seharusnya dapat dipegang, sekarang justru menjadi kalimat yang merusak tatanan rumah orang lain? Geno, aku tidak kuasa mendengar seluruh cerita yang kau ucapkan kepada Ibu. Seketika, semua terasa berat. Aku hanya bisa menggenggam dengan geram alat tes kehamilan itu, dengan air mata yang kembali mengucur deras beriringan dengan hujan deras disertai suara guntur yang tidak kalah kencang. Angin kencang yang berhembus di luar juga seakan memberikan isyarat bahwa rumah tangga Ayah dan Ibuku sedang mengalami guncangan hebat. Itu semua karena kau, Geno!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN