AWAL KEBEBASAN

1107 Kata
“Aku memang dulu membeli apartemen untuk tabungan, seperti Mas Taufik kakakku. Mas Taufik punya dua apartemen mewah, punyaku masih kalah mewah. Punya dia super mewah dan dia punya dua. Tapi hanya digunakan untuk tabungan. Dia tidak tinggal di apartemen itu. Dia lebih senang tinggal bersama mama dan papa. Apartemennya disewakan.” “Tentu saja acara tidur kedua dan ketiga berlangsung sukses dan setiap periode entah itu tidur pertama, tidur kedua, dan tidur ketiga, tentu tidak satu ronde. Aku tentu melakukannya berkali-kali. Rugi kalau satu kali pertemuan hanya aku lakukan satu kali. Tidak ada dalam kamusnya Galih tidur dengan satu perempuan hanya satu ronde. Tentu harus banyak ronde.” “Puas dengan pelayanannya, aku pun meminta pada manajer produksi agar artis tersebutlah yang menjadi bintang iklan yang akan aku pegang. Aku bilang wajahnya sangat pas untuk iklan tersebut, dan rupanya manajerku setuju. Itulah proyek tidur pertamaku dan selanjutnya banyak artis lain yang juga melakukannya. Baik untuk iklan kecil atau besar, tergantung ketenaran artisnya.” ≈≈≈≈≈≈≈≈ “Ma, pa kayaknya aku ribet deh kalau harus tiap malam berjingkat-jingkat pelan-pelan masuk rumah, atau nanti jam 12.00 malam aku harus keluar pelan-pelan karena mau syuting di luar kota, sehingga subuh aku harus sampai di lokasi.” “Lebih baik aku tinggal di apartemen saja lah. Aku ribet kalau seperti ini. Di rumah sendiri tapi kayak maling.” “Aku pun akhirnya pamit sama mama dan papa dengan alasan tidak ingin mengganggu ketenangan hidup mereka dengan jadwal kepulanganku dan keberangkatan kerjaku yang tidak menentu.” “Awalnya Mama tentu tak setuju dengan permintaanku. Tapi setelah aku berkali-kali memberi argumentasi yang tepat, akhirnya Mama pun membolehkan aku tinggal di apartemen.” “Itulah awal kebebasanku. Bebas dari Mama dan Papa. Kapan pun aku mau tidur dengan modelku bisa aku lakukan. Kapan saja.” “Dan aku pun tak perlu ribet kalau ingin tidur menginap. Jadi model ku sudah biasa. Tentu saja mereka tidak ada yang aku kasih tahu kunci apartemen. Mereka bukan orang spesialku. Mereka datang hanya bila bersamaku atau bila aku tunggu. Kalau tidak ya tidak mungkin mereka datang. Karena aku tidak punya utang apa pun pada mereka.” “Mereka datang bila ada janji dengan aku. Di luar itu mereka tidak akan pernah datang. Tidak ada yang punya keterkaitan hubungan personal denganku. Sama sekali tidak ada. Di luar kantor pun atau bahkan di kantor, apabila aku bertemu mereka, aku seakan tidak punya kedekatan emosional apa pun. Karena memang kalau aku terlihat punya kedekatan dengan mereka tentu akan sangat mencurigakan.” “Walau aku pernah beberapa kali tidur dengan mereka, tak ada yang punya kedekatan emosional. Bahkan kalau tidak ada kepentingan kami tak pernah bicara apa pun di luaran. Sama sekali seperti orang dengan pergaulan formal saja. Layaknya hubungan fotografer dengan modelnya saja. Hanya sekedar menyapa sebentar, lalu sudah.” “Tidak ada omongan apa pun. Bahkan untuk makan dan minum saja kami tidak berani satu meja. Takut ada rumor tersendiri. Jadi kami tak pernah makan di resto yang sama satu meja apa pun alasannya.” ≈≈≈≈≈≈≈≈ “Kamu cari apa sih? Bukannya bukumu itu sudah penuh satu lemari ya? Lagian zaman sekarang nggak perlu lah cari buku. Tinggal baca online saja,” kata seorang gadis pada temannya. “Tetap saja beda lah, namanya juga buku di tangan sama baca di laptop atau baca di HP. Tetap ada kepuasan tersendiri. Sama isinya, tapi ada kepuasan kalau kita punya buku.” “Kalau kamu tadi nggak mau lama, kenapa sih? bilang saja. Dari awal aku sudah bilang nggak usah ikut, karena kita beda minat.” “Kamunya ngeyel mau ikut. Kamu tahu kan kalau aku ke tempat buku itu bisa seharian! Sama seperti kalau kamu hunting baju, kamu seharian dan aku nggak suka. Aku selalu nolak kan kalau kamu ajak hunting baju. Karena aku nggak suka. Tadi aku sudah bilang jangan ikut aku,” kata gadis kedua. “Aku perhatikan wajah itu pernah aku lihat tiga tahun lalu di Amsterdam. Ya gadis di pabrik keju Amsterdam. Aku ingat wajah manis dan polosnya, tapi aku lupa namanya siapa. Resti kah? Atau Chrystie? Aduh lupa Namanya, aku ingat aku pernah minta dia sebagai model foto di pabrik keju di Amsterdam sana.” “Hai, masih ingat aku? Tanya aku pada gadis tersebut untuk memastikan apakah gadis itu benar gadis yang pernah aku temui di Amsterdam dulu.” “Aku lupa siapa namamu. Tapi aku ingat kita pernah bertemu di Amsterdam, kata gadis tersebut.” “Ternyata benar, gadis tersebut juga ingat kami pernah bertemu di Amsterdam. Tentu saja aku sangat senang kembali bertemu dengan gadis manis dan polos tersebut. Gadis idamanku. Polos dan juga terlihat sangat santun. Aku suka perempuan seperti itu.” “Aku Galih. Ingatkan? Namaku Galih, kataku menyebut namaku. Tapi aku juga lupa nama kamu itu Christy atau Resti? Aku tak ingat. Itu kataku padanya.” “Salah keduanya, jawab sambal tertawa, sangat manis tawanya.” “Aku Listy.” “Ooooooooh, aku pikir Christie. Jawabku kala itu. Lalu kami pun kembali bersalaman.” “Kenalkan ini temanku Maria Namanya. Tapi kalian kenalan sendiri lah. Sebut nama sendiri, katanya memperkenalkan aku pada temannya.” “Terlihat mereka sangat berbeda penampilan maupun tipenya. Maria tipe garis pesolek, dandanannya cukup tebal sama seperti model-model yang biasa aku lihat menjadi objek kameraku, dan aku tidak suka perempuan dengan bermake up tebal seperti itu.” “Aku suka gadis polos yang natural. Okelah menggunakan make up, tapi natural. Tidak tebal seperti topeng badut temannya Listy ini.” “Pakaiannya juga kontemporer. Sudah biasa aku temui. Yang lebih terbuka dari dia sudah biasa, tapi memang aku tidak suka type perempuan seperti itu. Ya sudahlah namanya juga suruh kenalan aku kenalan saja, walau tak punya niat apa pun. Sekadar kenalan saja.” “Kamu lagi cari buku apa tanyaku pada Listy.” “Biasalah cari fiksi, buat hiburan kalau jenih kerja,” jawabnya sambil menunjuk meja display yang ada di dekatnya. Aku lihat dia sedang berdiri di dekat tumpukan meja display n****+ dalam bahasa Inggris.” “Dan di tangannya sudah ada satu tas transparan tempat buku yang sudah dipilih oleh para pengunjung pameran buku ini. Aku memang tadi sengaja datang ke pameran buku. Selain cari buku tentu cari objek foto.” “Dengan ID cardku sebahai kameraman, aku bisa bikin foto secara resmi. Tadi sudah aku perlihatkan saat masuk pada penjaga keamanan bahwa aku ingin membuat foto untuk keperluanku. Jadi aku bukan hanya sekedar foto tanpa izin. Aku tadi minta izin pada keamanan.” “Tadi memang sebelum bertemu dengan Listy juga aku banyak membuat foto pameran.” “Abang sendiri cari apa? Tanyanya.” “Aku cari buku juga cari objek foto, jawabku jujur.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN