SEMUA AKAN MOVE KE JOGJA

1034 Kata
“Nah kalau aku beda karena konturnya itu memang khusus buat orang-orang pacaran, jadi aku nanti bikin saungnya itu setiap undakan tuh beda saung baik bentuk mau pun size. Nah itu makanya aku pilih lokasi yang konturnya berbeda itu,” ucap Anto memberi alasan mengapa dia pilih lahan yang kalau dijual agak sulit karena tinggi rendang lokasi tak sama. Saat kecil dia dulu pernah ke lahan itu. “Okelah sip. Apa Mama yang pegang design punya aku?” lempar Listy. “Biar Mas Anto konsentrasi penuh di pembangunan cafenya sendiri saja.” Listy tak ingin cafénya tak diperhatikan Anto karena kakaknya lebih focus ke miliknya pribadi. “Kalau desain mah di kantor siapa saja bisa pegang. Tenang saja, nanti aku oper ke anak buah di kantor,” jawab Anto. “Oke nanti bagan dasarnya aku kasih tahu di mana letak butik aku, di mana letak mini zoo-nya dan segala macamnya, pokoknya aku ingin itu untuk keluarga kalau pagi hingga sore, tapi sore hingga malam itu bisa untuk keluarga atau pasangan muda,” Listy memberi gambaran apa yang ingin dia buat. “Kaaaaaaaaan, gara-gara ngomong enggak serius akhirnya malah terbetik kita semua akan pindah ke Jogja sesuai dengan harapan Papa dulu,” kata Widuri. Dia jadi malah tenang kalau kedua anaknya pindah ke Jogja, sebab dia juga berat pindah ke Jogja bila jauh dari kedua anaknya. Memang sejak dulu Widuri bilang kalau Sutikno pensiun mereka akan kembali ke Jogja untuk menemani kedua orang tua Sutikno. Itu tanda bakti mereka pada orang tua. ≈≈≈≈≈≈≈≈ “Kamu kapan lagi ke Jogja?” tanya Anto pada Irhan. “Kenapa memangnya? Kamu mau ke Jogja?” balas Irhan, mereka sedang ngopi bareng menunggu beberapa rekan yang janjian. “Iya. Aku sama Listy mau bikin cafe yang beda konsep. Konsep ku itu cafe buat anak muda pada umumnyalah. Tapi konsepnya Listy dia bikin kafe itu buat keluarga. Jadi konsep dasarnya itu nanti di café dia ada mini zoo, mungkin ada area permainan begitu.” “Jadi bukan cafe sebenarnya kalau menurut aku, itu lebih cenderung ke resto ya. Apa enaknya ngomong punyanya Listy itu ya? Pokoknya begitu deh bukan cafe sih, resto mungkin. Punya aku juga resto. Entahlah aku bingung sebutan cafe atau resto. Pokoknya aku sama Listy mau buat tempat itu.” “Konsep milik dia bisa untuk keluarga, karena ada mini zoo, ada arena permainan anak-anak walau hanya skala kecil, hanya sekedar pelengkap saja tetap ada musik live tiap sore sampai malam. Dari mulai sore bukan dari magrib. Terus apa lagi ya? Dia bilang dia mau tutup butik di Bintaro. Dia akan buka di sana, jadi dia tiga pekerjaan akan di satu lokasi.” “Kok tiga? ‘Kan butik sama resto saja?” kata Irhan. “Kamu lupa kalau dia penulis?” “Ah benar, aku lupa,” jawab Irhan. “Oke jadi tiga pekerjaan itu dalam satu lokasi. Mantap itu. Asal jangan dia tinggal di situ. Nanti dia akan jenuh akan stuck, nggak bisa berpikir. Jadi lebih baik dia jangan tinggal di situ.” “Nggak sih. Mungkin sementara dia akan tinggal di rumah eyang dulu.” “Kok sementara? Kenapa?” “Aku juga nggak ngerti konsepnya bagaimana. Papa sama Mama kan mau pindah juga ke Jogja. Itu memang niat mereka dari Listy masih TK, yaitu papa ingin menemani orang tuanya di hari tua. Tapi mungkin supaya nggak ribut Papa sama Mama mau bangun rumah sendiri. Nanti rumah yang itu biar dibagi saja ke semua anak eyang.” “Atau mungkin Papa sama Mama beli rumah itu. Jadi rumah eyank hak milik Papa dan Mama. Tapi uangnya buat eyang, dan eyang bagikan buat anak-anak yang lain. Biar nggak rebut. Mungkin seperti itu.” “Entahlah nanti pembicaraan para orang tua seperti apa. Yang pasti papa enggak mau tinggal di rumah eyang dalam tanda petik.” “Kalau memang itu sudah dijual atas nama papa berarti kan itu rumah milik papa. Begitu loh. Tahu sendirilah ipar-iparnya papa itu rewel.” “Bukan kakaknya papa tapi iparnya papa itu rewel. Mungkin kamu pernah diceritakan kemarin soal tidak mau bawa macam-macam, tapi mereka paling rewel dan ngatain Mamalah yang paling disayang sebagai menantu.” “Padahal karena mereka enggak mau bawa. Mereka bilang makanan kampung. Tapi begitu Mama dibawain macam-macam mereka bilang eyang itu senangnya pilih kasih.” “Aku rasa sih sebaiknya kalau bisa, kalau bisa ya, kalau bisa mending jual saja rumah itu. Mungkin pada pihak kedua dulu. Misal aku. Aku yang beli rumah itu dari eyang pastikan sudah deal dan disaksikan oleh kakak-kakak papamu.” “N anti dari phak kedua misal aku, baru Papa beli. Aku belum ganti nama. Nggak usah balik nama karena buang biaya notaris. Yang penting aku beli. Nanti satu bulan kemudian Papa beli dari aku. Nggak usah pakai nambah uang atau apa pun. Papa balik nama dari tanah eyang.” “Gampang kan? Sudah dibeli aku cuma aku belum balik nama. Aku rasa lebih baik seperti itu daripada ribet dan ribut sama saudara yang seperti itu. Tapi kamu harus pastikan pihak kedua itu betul orang jujur yang bisa dipercaya.” “Jangan sampai nanti dia mau miliki rumah itu atau dia jual ke orang lain dengan semaunya.” “Ah boleh juga tuh idemu. Oke nanti aku akan kasih usulan ke Papa seperti itu. Jadi rumah itu tidak perlu dioper ke orang lain. Karena banyak memori eyang di situ. ‘Kan kasihan kalau di hari tua eyang harus pindah dan memasuki rumah baru.” “Pasti banyak sudut yang membuat mereka betah di rumah itu, rumah tua yang punya banyak history.” “Ya aku rasa seperti itu,” kata Irhan. “Lalu kamu mau bikin apa cafe-mu? Maksudnya konsepnya seperti apa?” “Aku mau bikin cafe anak muda. Pangsa pasar ku anak muda atau pasangan muda. Pokoknya seperti itu. Karena tanahku itu bergradasi jadi naik turun. Nanti viewnya kan cantik. Kalau tanah yang punya aku itu dikasih ke Listy kasihan anak-anak. Mereka mainnya luas, nggak enjoy. Tadinya aku suruh Listy pilih, tapi dia bilang ya sudah aku lebih baik yang naik turun dan dia yang landai saja. Jadi dia ambil yang di tengah kota.” “Enggak tengah kota banget, tapi setidaknya nggak seperti aku lahan milikku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN