Sebenarnya, wanita itu sangat kasihan melihat kondisi Syefa sebab dia juga seorang Ibu. Dia tahu beban yang dipikul oleh Syefa saat mendengar langsung penjelasannya kalau ia hidup seorang diri sebab sudah berpisah dari suaminya.
Namun, di sisi lain dia juga seorang pekerja di perusahaan raksasa ini. Dia tidak berhak mengambil keputusan ekstrim yang bisa membahayakan posisinya.
“Kalau saja kau berkata sejak awal, mungkin aku bisa membantumu mencari pekerjaan lain, Syefa.”
Deg!
Dia masih menatap lekat wanita itu.
“Kau bisa mengundurkan diri dari perusahaan ini dengan rasa terhormat, walau kau juga akan tetap menyalahi kontrak perjanjian kerja.”
Syefa terus mendengarkan semua penjelasan dari atasannya itu.
“Tapi aku bisa membantumu mencari alasan lain, walau mungkin tidak bisa diterima oleh mereka. Coba kalau sekarang??”
Wanita itu melihat ke arah luar ruangan kerjanya, memastikan jika tidak ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka.
“Kau sudah berbohong, bahkan sampai lebih dari 2 bulan. Bahkan Dokter dan perawat tahu kalau kau hamil sebelum waktunya. Kalau sudah begini? Bagaimana mungkin aku membantumu dengan memberi surat pengunduran diri, Syefa??”
Syefa tidak bisa berbicara apapun. Rasanya sia-sia memang jika menutup sebuah bangkai.
Tidak, sangat tidak adil jika kehamilannya ini disebut bangkai. Tapi karena keadaan dan kontrak perjanjian kerja perusahaan, Syefa mengakui jika dia memang bersalah.
Sesaat ia menarik kembali kesalahan yang telah ia lakukan terhadap orang tuanya sendiri. Entah kenapa, setelah ia melawan orang tuanya dan memutuskan untuk keluar dari Indonesia, Syefa merasa hidupnya semakin sulit dan tertekan.
“Mungkin aku bisa menyuruh Jihan dan Keysha untuk menutup mulut dan tetap diam, karena mereka adalah sahabatmu dan pasti mengerti kondisi juga kesulitanmu. Lalu aku meminta kepada atasan untuk memberikan surat pengunduran diri untukmu. Dan namamu bisa bersih, lalu kau bisa melamar pekerjaan di perusahaan lain setelah kau melahirkan,” jelasnya panjang lebar dengan suara masih terdengar kecil dan hanya Syefa yang bisa mendengarnya. Tapi ia masih melanjutkan ucapannya.
“Tapi bagaimana dengan Tim Medis yang sudah mengetahui itu secara langsung??”
Syefa tetap diam dan terus menitihkan air matanya. Bukan karena ia dicerahami panjang lebar oleh atasannya. Tetapi karena dia memikirkan nasibnya dan calon bayinya jika ia menjadi pengangguran nanti.
“Aku tidak bisa mengajak mereka untuk bekerja sama, Syefa. Sebab mereka memiliki standar hukum yang lebih ketat dari kita yang hanya pekerja biasa, dan walaupun aku sebagai Kepala Divisi Desain,” sambungnya lagi.
Wanita itu menghela panjang napasnya. Dia menyematkan rapi kedua jemarinya bertahan diatas meja kerja.
Sangat sedih bila ia melihat Syefa harus keluar dari perusahaan ini dengan cara tidak terhormat. Tapi dia juga tidak bisa melakukan apapun untuknya, bahkan memberi pekerjaan baru sekalipun. Sebab ia tahu, itu hanya sia-sia.
“Aku minta maaf jika aku harus memberi surat pemecatan untukmu nanti.”
Glek!
Syefa semakin sulit menegukan salivanya sendiri. Bila mendengar kata pemecatan, entah kenapa telinganya sangat nyeri.
Dia menatap lekat pimpinannya itu.
“Bu … apa perusahaan tidak bisa memberi satu kesempatan lagi untuk saya?? Saya berjanji akan melakukan apapun atau diberi pekerjaan tambahan lain. Saya berjanji tidak akan berbohong mengenai apapun, Bu. Saya siap tidak diberi cuti kelahiran,” ujarnya panjang lebar seraya memohon kepada sang atasan.
Wanita itu langsung menggelengkan pelan kepalanya.
“Maaf, Syefa. Saya tidak bisa berbuat banyak. Bahkan saya sendiri sudah membantumu dengan memohon pada Tim Medis agar tidak menyebarkan berita ini kepada yang lain. Tapi informasi ini tetap harus disampaikan oleh Pimpinan kita dan masuk ke dalam daftar khusus. Kau pasti paham itu, bukan?” ujarnya seraya membuat Syefa paham.
Dia terdiam. Tentu saja Syefa mengerti semua peraturan itu. Seharusnya dia tahu, walau dia memohon dengan segala cara, pimpinannya ini tetap tidak bisa berbuat banyak. Karena kalau pimpinannya membantu, sudah pasti posisi dia yang akan terancam di kemudian hari.
Syefa merasa jika ini memang takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan. Sepertinya Tuhan sedang menguji batas kesabarannya. Meskipun ia khawatir dan memikirkan akan bekerja dimana setelah ini.
..**..
Sore itu, Syefa terpaksa diberhentikan dari pekerjaan lembur. Namun, dia tetap masih bisa bekerja sebelum mendapatkan surat pemecatan yang di tandatangani langsung oleh Pimpinan Tertinggi mereka, Gaza Abisatria Althaf.
Kepala Divisi mereka mengatakan kalau Syefa masih memiliki beberapa hari untuk mengabdi di perusahaan Althafiance, ssebab sebentar lagi Pimpinan mereka akan segera kembali dari Dubai. Berita itu tetap diterima lapang oleh Syefa.
Yah, dia tahu kalau ini memang jalan takdirnya. Syefa menganggap semua kesulitannya adalah sebagai penebus dosa terdahulu yang pernah ia lakukan.
---**---
Beberapa hari kemudian.,
Mansion Mr. Althaf, Dubai, UAE.,
Lantai 2.,
Balkon.,
Siang hari.,
Pria itu tampak rapi dengan jubah hitam sebatas dengkul. Celana panjang berwarna senada. Tidak lupa syal bermerk, sedikit tebal dan mampu menghangatkan bagian lehernya. Karena cuaca hari ini memang sedikit sejuk.
Dia masih menyeruput secangkir teh jahe hangat buatan sang Mommy, Chandly sambil melihat hamparan kebun buah yang luas di hadapannya. Kali ini ia memang harus segera kembali ke New York.
Sebab saudaranya, Aiyaz sudah kembali ke New York beberapa hari lalu setelah acara resepsi selesai. Gamal bisa sedikit bersantai dan tidak perlu mengkhawatirkan lebih jauh Althafa.
Namun, tidak dengannya. Sebagai seorang Presiden Direktur, dia tidak bisa meninggalkan perusahaannya lebih lama.
Walau tidak ada hal-hal buruk yang terjadi, setidaknya pesta sekaligus ia anggap sebagai liburan, sudah cukup memperbaiki suasana hatinya. Pikirannya kembali segar.
Dia tidak mungkin meminta bantuan Abang tertua mereka, Arash yang baru saja menikah dan melangsungkan resepsi besar di dua Negara berbeda. Walau ia tahu Arash memiliki tanggung jawab lain sebagai seorang CEO Althafiance, tapi ia memahami jika pasangan pengantin baru harus memiliki waktu dan ruang sendiri setelah acara.
Itu sebabnya Gaza memutuskan untuk kembali ke New York sore ini juga. Dia sudah memberitahu rencana keberangkatannya kepada keluarga besar Althaf, terutama kepada orang tuanya, Dyrta dan Chandly.
“Tuan?” sapa seseorang yang sudah berdiri di belakang Gaza, sedikit berjarak.
Yah, Gaza tahu kalau Clave menghampirinya.
“Sudah?” balasnya berbalik tanya.
Clave langsung mengangguk kecil.
“Sudah, Tuan. Sebelumnya, ada satu berkas yang harus di tandatangani segera. Sebab semua akan diurus setelah Anda kembali ke kantor,” jelas Clave.
Gaza berbalik badan dan berjalan menuju seperangkat sofa nyaman berbahan empuk disana. Dia mendaratkan bokongnya di sofa empuk itu, lalu meletakan cangkir yang ia pegang sejak tadi diatas meja kaca.
Clave menghampiri Tuan Besarnya, lalu meletakan Ipad di hadapan pria itu.
“Hanya tanda tangan saja, Tuan. Semua akan diurus setelah Anda kembali ke New York. Sebab mereka meminta berkas secepatnya setelah itu,” ujar Clave menjelaskan.
Gaza mengambil Ipad itu, dan membaca isi surat dengan teliti. Kop surat yang terbaca membuat Gaza penasaran dengan isi surat yang akan ia tandatangani.
“Tim Medis membenarkan itu, dan dia masih bekerja di kantor atas suruhan Kepala Divisi Desain. Dia akan segera berhenti setelah surat pemecatannya keluar,” sambung Clave menegaskan.
Gaza mengerutkan kening. Mulai dari daftar riwayat hidup sampai status terkini, ia memang masih single. Lalu dia hamil?
Dan Gaza kembali mengingat kejadian itu. Pria yang pernah mengejarnya, mengaku sebagai suaminya. Itu artinya, pria itu benar dan pekerjanya memang berbohong dan menyalahi aturan kontrak, pikirnya lagi.
Clave masih berdiri disana, membiarkan Tuan Besarnya melihat beberapa slide yang sudah ia siapkan. Dia tahu kalau pria ini pasti menelaah semua kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu.
Dia sendiri tidak percaya kalau ternyata pekerja itu berani berbohong, dan bertahan bekerja di perusahaan mereka. Padahal, sanksi atas pelanggaran di perusahaan Althafiance termasuk kategori berat.
Selain tidak mendapatkan gaji di bulan ia dipecat, pekerja juga tidak akan mendapatkan pesangon apapun dari perusahaan. Lalu yang lebih mengerikan lagi, pekerja itu sudah dipastikan tidak akan diterima bekerja di perusahaan manapun lagi.
Sebab dipecat dari perusahaan Internasional merupakan aib bagi seseorang. Apalagi dipecat tidak hormat dari perusahaan sekelas Althafiance.
“Jadi … wanita itu benar sudah bersuami dan tengah hamil,” gumamnya masih menatap layar Ipad.
Clave segera mengangguk kecil.
“Benar, Tuan. Dan kejadian waktu lalu, sepertinya mereka tengah bertengkar. Sampai wanita itu menganggap pria itu orang lain,” sahut Clave.
Gaza menarik panjang napasnya. Lalu di slide terakhir, dia memperhatikan pas foto wanita bernama Syefa Yasmin.
Yah, tidak salah lagi. Wanita ini adalah wanita yang sama ketika memujinya habis-habisan saat acara rapat berlangsung. Wanita yang sama, yang hampir terjatuh saat hendak keluar dari ruangan rapat. Dan wanita yang sama saat ia melihatnya menyeberang jalan dan diperlakukan kasar oleh pria itu yang ternyata suaminya sendiri.
Bagaimana mungkin perusahaannya dibodohi dengan cara rendahan seperti ini, pikir Gaza.
“Surat pemecatannya sudah dibuat, Tuan. Tinggal menunggu persetujuan saja. Surat itu akan segera keluar dan diproses seperti peraturan berlaku,” jelas Clave.
Gaza menghela panjang napasnya. Di dunia ini memang akan berlaku hal yang seperti selalu sama. Terkadang kebaikan tidak seharusnya dibalas dengan kebaikan yang sama.
Perusahaan sudah memberikan yang terbaik bagi pendukungnya. Namun, jika pekerjanya berulah dan hampir membuat malu perusahaan, Gaza tidak bisa memberi toleransi untuk satu hal itu.
Tanpa berpikir panjang, dia langsung menekan beberapa sidik jari di slide tertentu sebagai tanda persetujuan atas pemecatan karyawan yang bekerja di Althafiance sebagai kantor pusat utama.
“Kita berangkat sekarang,” ujarnya setelah selesai membaca semua dokumen itu, lalu meletakan Ipad itu kembali diatas meja kaca.
Clave mengangguk paham. Dia membiarkan pria itu berjalan masuk ke dalam mansion.
“Tunggu aku di halaman belakang.”
“Baik, Tuan.”
…
Halaman belakang.,
Gaza berjalan mendekati sekelompok orang, dimana ada sang Mommy, Chandly disana.
“Gaza? Kau mau kembali siang ini juga?” tanya seorang wanita yang merupakan Tante mereka dari keluarga sang Grandpa, Zu.
Dia melirik ke arah mereka sambil mengangguk kecil.
“Iya, Tante. Aku tidak bisa berlama-lama. Karena ada banyak pekerjaan yang sudah aku tinggal,” balasnya dengan logika.
“Ayolah, kawan. Aku saja bisa berlibur selama ini. Kenapa kau sangat terburu-buru sekali,” ujar seorang pria yang merupakan sepupu mereka.
Gaza tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Aku tidak bisa. Karena tidak ada yang menangani perusahaan.”
Seorang pria lagi menyahut.
“Jadi benar jika Arash akan cuti selama beberapa minggu?” tanya pria itu.
Gaza meliriknya.
“Tidak, Grandpa. Dia tetap melakukan tugasnya. Hanya saja dia akan libur datang ke kantor,” jawab Gaza kepada pria yang ia panggil Grandpa.
Semua orang memahami kesibukan Gaza sebagai Presiden Direktur yang memegang kendali atas ratusan cabang dan anak cabang Althafiance. Memang dia tidak mengendalikannya seorang diri, tapi semua keputusan memang berada di tangannya.
Gaza menghampiri sang Grandma, Anta yang juga berada disana. Setelah pamit kepada wanita yang ia hormati itu, tidak lupa ia juga berpamitan dengan sang Grandpa, Zu yang duduk di sebelah sana.
Dia juga berpamitan kepada sang Daddy, Dyrta lalu menyalam tangan kanannya.
“Kalau ada apa-apa, segera hubungi kami.” Pesan Dyrta untuk putranya memang selalu terdengar dingin. Tapi ia tahu kalau putranya yang satu ini memang kurang menyukai sikap basa-basi.
“Oke. Selamat menikmati liburan kalian,” ujarnya tanpa ekspresi.
Dyrta hanya bisa menghela panjang napasnya saja. Sikap pria yang satu ini benar-benar terbalik dengan karakternya dan karakter putranya, Gamal.
Gaza berjalan menuruni beberapa undakan tangga kecil, menghampiri mobil yang sudah siap siaga untuknya. Dia tahu kalau sang Mommy mengikuti langkahnya dari belakang.
Chandly mendekati putranya, lalu merapikan jubah yang seharusnya disebut jas hangat. Walau penampilan putranya sudah rapi, tapi ia tetap merapikan apapun sebagai sentuhan sayang terhadap putranya sendiri.
“Hati-hati di jalan. Dan jangan nakal di mansion,” ujar Chandly sambil tersenyum dan memperhatikan putranya dari atas sampai bawah.
Sejujurnya, Gaza merasa risih jika sang Mommy melakukan ini padanya. Apalagi di hadapan seluruh keluarga besar Althaf.
Dia merasa seperti anak kecil yang harus diberi pesan sebelum berangkat ke sekolah. Atau bagaikan sepasang kekasih yang hendak berpisah dan menjalani hubungan jarak jauh.
“Ayolah, Mom. Kami bukan anak kecil lagi,” jawab Gaza sambil melirik ke arah sana, dimana ketiga adiknya berada bersama dengan para sepupunya yang lain.
Chandly mengulum senyum. Dia tahu putranya yang satu ini memang berbeda. Tapi bagaimanapun juga, dia dan suaminya tetap menganggap anak-anak masih berusia kanak-kanak.
“Ya … Mommy tahu. Tapi tidak salah kalau Mommy ingatkan, bukan? Bisa saja kau dan Mas Aka bertengkar karena mengingat perkelahian kalian dulu?” ujar Chandly kembali mengorek memori lama hingga membuat Gaza memutar malas bola matanya. Dia tersenyum, menggoda ekspresi putranya yang sudah berubah kesal.
Yah, Gaza sangat menyesali jika ada salah satu keluarganya yang mencoba untuk mengingatkan memori lama, betapa nakalnya mereka dulu.
“Itu sudah sangat lama, Mom. Jangan membahas itu lagi,” ujar Gaza lalu mengambil tangan kanan sang Mommy, lalu mengecupnya lama.
Chandly mengulum senyum. Dia memejamkan mata saat putranya ini mengecup kening juga puncak kepalanya.
“Kabari aku jika ada hal yang penting, Mom.” Gaza melirik ke arah yang lain.
“Baiklah, Sayang. Clave sudah menunggumu. Hati-hati di jalan, Tuan Abraham,” ujar Chandly mengulum senyum.
Gaza mengangguk kecil.
“Terima kasih, Nyonya Adyrta.” Dia membalasnya tidak kalah rayu hingga membuat sang Mommy menepuk pelan lengan kirinya.
“Kau ini!” ketus Chandly tersenyum melihat putranya yang ada disana, seakan mereka tengah dipantau ketat.
Gaza melihat ke arah yang dilirik oleh sang Mommy, dia menyeringai lalu melangkahkan kakinya menuju mobil mewah berwarna hitam. Sebelum masuk ke dalam mobil, dia kembali berpamitan kepada yang lain.
Keempat saudaranya yang ada disana juga sudah tahu mengenai keberangkatannya siang ini. Jadi, dia tidak perlu lagi berpamitan berlebihan kepada mereka.
Halaman mansion Althaf ini memang sangat luas sekali. Bandara pribadi yang ada di mansion ini seluas milik keluarga Abraham Althaf.
Mobil hitam pekat itu sudah melaju menuju bandara mansion. Disana, telah siap siaga Jet Pribadi milik keluarga Abraham Althaf untuk membawa Tuan Besar mereka menuju New York.
---**---
Althafiance Corporation, New York, USA.,
Ruangan kerja.,
Pagi hari.,
Dua pria itu berseragam hitam sama. Hanya beberapa hal yang membedakan gaya jas mereka.
Yah, mereka baru saja selesai dari rapat penting yang diadakan di ruangan kerja pribadinya. Hanya mereka berdua saja, sebab yang lainnya belum kembali ke New York.
“Aku akan kembali Althafa,” ujarnya sambil melihat jarum jam di pergelangan tangannya menunjukan pukul 09.15 pagi.
Gaza melirik ke arah sang Abang yang membereskan beberapa dokumen disana. Dia mengangguk kecil.
“Ya. Sepertinya ada 1 berkasku yang tertinggal. Aku akan kembali ke mansion setelah ini,” ujarnya memberitahu.
Aiyaz melirik Gaza sekilas. Dia beranjak dari duduknya, lalu menjangkau ponsel miliknya yang ada disana.
Bobby segera membereskan semua berkas yang akan dibawa. Sementara Clave juga melakukan hal yang sama, hanya saja dia akan menyimpan berkas itu di lemari khusus yang ada disana.
“Baiklah, aku pergi.” Aiyaz melirik Gaza sekilas.
Dia mengangguk kecil.
“Hmm, hati-hati.”
Hanya seperti itu jawaban antara dua bersaudara yang sudah terbiasa di pandangan sekretaris pribadi mereka masing-masing. Seperti layaknya makanan sehari-hari.
Aiyaz melangkahkan kakinya keluar dari ruangan khusus yang memang difungsikan sebagai ruangan rapat. Dengan langkah lebar, dia berjalan menuju lift yang ada disana.
…
Di dalam lift.,
Aiyaz mengotak atik ponselnya lalu menghubungi seseorang. Panggilan pertama tidak terjawab, tapi dia mencobanya sekali lagi.
Bobby hanya diam saja ketika suara kesal itu terdengar di telinganya. Baginya sudah terbiasa bila Tuan Besarnya ini lebih sering marah jika kekasihnya lama mengangkat panggilannya.
“Kau dimana, Baby?”
“…”
“Baiklah, aku kesana sekarang.”
“…”
“Okay, aku mencintaimu.”
Tutt… Tutt… Tutt…
Sambungan telepon diputus oleh seseorang di seberang sana, dia melihat angka lift masih sangat lama.
“Kita ke penthouse sekarang.”
Bobby segera mengangguk paham.
“Baik, Tuan.”
...
Gaza mulai duduk santai di kursi kebesarannya. Bukan santai dan berleha-leha, tapi santai karena dia akan memeriksa beberapa dokumen yang akan ia tandatangani.
Clave menghampirinya lalu duduk di kursi seberang meja kerjanya.
“Ini map yang harus ditandatangani segera, Tuan. Surat pemecatan salah satu pekerja desain atas nama Syefa Yasmin. Suratnya sudah keluar dan akan diresmikan siang ini juga,” ujarnya memberitahu sambil menyodorkan satu map terbuka ke arah Tuan Besarnya.
Gaza menarik kursi kebesarannya, hingga tubuhnya sedikit merapat di meja kerja. Tanpa melihat posisi yang sudah dihapal, tangan kanannya lantas mengambil satu pena disana.
“Jangan sampai hal ini terjadi lagi,” ujarnya memberi pesan.
Clave mengangguk paham.
“Baik, Tuan. Semua peraturan semakin diperketat. Dan dipastikan ini tidak terjadi sampai di anak cabang perusahaan,” ujarnya.
Pria itu terlihat diam saja saat membaca sekali lagi isi surat pemecatan itu.
“Tapi wanita itu memohon untuk diberi surat pengunduran diri, Tuan. Dia berharap bisa bekerja di perusahaan lain.”
Gaza masih diam saja mendengar penjelasan dari sekretaris pribadinya, Clave. Yah, dia tahu itu. Sebab pekerja yang memutuskan keluar dari perusahaan Althafiance hanyalah pekerja yang pantas pensiun. Diluar itu, artinya adalah pekerja yang membuat kesalahan fatal.
“Kepala Divisi Desain mengatakan kalau wanita itu tengah hamil dan harus membiayai hidupnya. Dia tidak ingin ditolak hanya karena pengalaman bekerjanya di Althafiance selama lebih kurang 2 tahun, Tuan.”
Penjelasan Clave barusan membuat Gaza menghela panjang napas. Dia tidak mau terlalu pusing memikirkan hal-hal yang bukan urusannya. Sebab ia tidak pernah pilih kasih kepada para pekerjanya.
Itu sebabnya semua peraturan wajib dipatuhi, termasuk jabatan Arash, Aiyaz, dan Gamal yang juga berada di bawah naungan. Mereka juga berhak dipecat jika melakukan pelanggaran yang berada di level mereka.
“Itu bukan urusanku. Selesaikan ini. Jangan sampai terulang lagi,” ujar Gaza lalu menutup dokumen penting itu, dan menyodorkannya ke arah Clave.
Dia mengangguk kecil, dan segera beranjak dari duduknya.
“Baik, Tuan. Saya permisi,” ujarnya sedikit menunduk hormat.
Gaza kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa mau memikirkan persoalan mengenai pekerja yang sudah melanggar kontrak perjanjian kerja. Namun, tidak lama berselang waktu saat Clave membuka pintu ruangan kerjanya, suara parau seorang wanita membuatnya mengerutkan kening.
“Tuan Clave, izinkan saya bertemu dengan Tuan Abraham. Saya mohon sekali ini saja.”
Dia langsung melirik ke arah pintu ruangan yang terbuka.
*
*
Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)