Chapt 9. Chaos. Fatal

2226 Kata
… Malam hari., Kamar Gaza.,             Pria berpiyama abu tua itu terlihat serius. Sejak tadi ia menyibukan diri dengan berbagai hal bermanfaat di meja kerjanya.             Dia masih duduk bersandar di kursi kebesaran berwarna hitam. Ritual setiap malam memang menjadi hal yang wajib bagi seorang Gaza Abisatria Althaf.             Jika pekerjaannya sudah beres, ia tetap akan memeriksanya kembali. Atau paling tidak, ada beberapa hal yang ia lakukan agar bisa tidur nyenyak setiap malam.             Sebagai seorang pria yang belum memiliki kekasih, dia selalu mengisi waktu kosong dengan banyak kegiatan. Kalau ia lelah, bermain game adalah pilihan terakhirnya.             Dia akan mengajak adiknya untuk bermain game yang mereka inginkan. Hanya hal-hal positif yang sering ia lakukan.             Walau tidak menampik satu hal pasti yang tidak terlewatkan, kalau Gaza juga seorang pria dewasa yang membutuhkan sesuatu untuk melepas hasrat. Yah, ada banyak cara baginya untuk melepas hasrat.             Jika dijabarkan, mungkin hanya bermain solo atau menonton film dewasa yang juga menjadi hobi kedua saudaranya yang lain. Hanya dua saja, Aiyaz dan Gamal.             Kalau Arash, entahlah. Dia juga tidak tahu pasti bagaimana cara Abang tertua mereka melepas hasrat. Lebih tepatnya, ia tahu bahwa persoalan itu tidak pantas untuk dibahas bersama.             Berbeda dengan Aiyaz dan Gamal yang lebih suka berbicara gamblang. Bahkan sudah terbiasa bagi mereka menonton film dewasa bersama. Film biru yang selalu menjadi koleksi favorit mereka.             Sebenarnya dia juga menyukai film dewasa atau lebih sering disebut dengan film biru. Namun, ia tidak terlalu menjadikan kegiatan itu sebagai hobi agar ia tidak candu. Sreekk… Sreekk… Sreekk…             Berulang kali ia membolak-balik berkas di tangannya, memastikan jika semua dokumen yang akan mereka rapatkan besok sudah lengkap. Perusahaan mereka akan kedatangan tamu terbaik, jadi ia tidak boleh melewatkan apapun meski hal terkecil sekalipun.             Namun, saat ia tengah fokus, bayangan itu terlintas di pikirannya. Itu membuatnya menghela panjang napas. “Ya Tuhan,” gumamnya sambil memejamkan mata lalu menegakan tubuhnya, mendekatkan tubuhnya pada meja panjang sedikit oval itu.             Kedua sikunya menyangga pada meja kerja berwarna coklat tua. Jemari kanannya lantas memijit sisi kepala yang sebenarnya baik-baik saja.             Dia tidak habis pikir kenapa kejadian tadi siang masih terus menghantui pikirannya. Padahal ia sama sekali tidak berniat untuk memikirkan itu lagi.             Setidaknya wanita itu aman dan dia tidak terlalu menyesal sebab tidak bisa menolong secara langsung. “Sepertinya sudah lengkap,” gumam Gaza lalu membereskan meja kerjanya.             Dia merapikan semua dokumen pentingnya dan menyimpannya di tempat biasa. Meja kerjanya memang didesain dengan beberapa laci khusus terselip di meja kayu, dan hanya bisa dibuka dengan sidik jarinya saja.             Setelah beres, dia beranjak dari kursi kebesarannya lalu melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Membasuh wajah sebelum tidur juga salah satu dari ritual wajibnya.             Seiring dengan kegiatannya sebelum naik ke atas ranjang, Gaza terus memikirkan kondisi wanita itu. Supir pribadinya mengatakan jika bisa terjadi kemungkinan pria itu akan kembali lagi menemui wanita itu dan bersikap kasar.             Gaza berjalan keluar dari kamar mandi dan menyambar beberapa helai tissue kering yang tergantung di dinding berdekatan dengan pintu berwarna coklat tua itu. Dia mengeringkan wajahnya yang basah, lalu membuang tissue itu ke dalam tong tertutup yang ada disana.             Kenapa rasanya sangat sulit menghilangkan kejadian yang ia lihat dengan mata kepala sendiri. Inilah hal yang ia tidak sukai, hingga memaksanya untuk menjadi seseorang yang selalu berpikiran positif, melihat hal-hal positif, dan melakukan kegiatan positif.             Dia beristighfar dalam hati, melangkahkan kakinya menuju ranjang. Sebaiknya ia tidur saja. Semoga besok ia bisa bersikap seperti biasa lagi.             Soal hal lain, itu memang bukan urusannya. Dia tidak berhak bertanggung jawab atas hal apapun yang tidak berhubungan dengannya.             Yah, jika terjadi sesuatu pada karyawannya diluar pekerjaan, itu bukan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin. Apalagi jika menyangkut masalah pribadi, tentu saja Gaza enggan ikut campur walau seujung kuku sekalipun.             Dia masuk ke dalam selimut tebal berwarna abu-abu muda. Tidak lupa ia membuka piyamanya dan hanya menyisakan celana dalam saja.             Selimut tebal itu tertarik ke atas hingga menutup tubuhnya sampai batas pinggang. Matanya mengerjap, menatap langit-langit kamar yang masih terang benderang.             Tarikan napas berulang kali menandakan dirinya masih membutuhkan waktu beberapa saat sebelum menjemput mimpi satu malamnya. Kejadian di kantor kembali terbayang di benaknya.             Ia baru menyadari setelah menelaah sampai berulang kali. Wanita yang mendapatkan surat izin cuti sakit itu ternyata wanita yang terus memujinya selama rapat berlangsung.             Dan dia baru menyadarinya setelah memperhatikan wajah wanita itu tadi siang. Memang tidak terlalu jelas, tapi ia yakin bahwa itu dia.             Lalu penjelasan dari supir pribadinya kalau wanita itu sudah menikah. Seharusnya itu sudah melanggar kontrak perusahaan bagi pekerja dengan masa kerja di bawah 4 tahun. “Hahh …”             Oh, Tuhan … dia kembali beristighfar dalam hati. Kenapa ia memikirkan itu lagi. Kalau memang itu benar, tapi tidak masalah jika kinerjanya selalu bagus.             Gaza juga paham bahwa hal yang seperti itu tidak lagi tabuh untuknya dan ketiga saudaranya. Sebab mereka juga tahu jika banyak sekali pekerja atau mungkin ribuan pekerja yang rela berbohong hanya demi bisa bekerja di sebuah perusahaan.             Namun, itu tidak berlaku di perusahaan mereka yang tergolong sangat disiplin terhadap kontrak perjanjian kerja. Apalagi hukuman pelanggaran terhadap kontrak perjanjian kerja Althafiance tidaklah main-main.             Kenapa dia harus berpikir sekeras ini. Jika benar wanita itu sudah menikah, dia memang melanggar kontrak perjanjian kerja dan harus diberi sanksi tegas.             Gaza menggelengkan kepalanya seraya membuyarkan semua ketikan kalimat di kepalanya. Tangan kanannya menekan sesuatu diatas kepala ranjang yang terbuat dari bahan khusus, hingga benda berbentuk kotak terbuka, ia mengambil remot kecil dari dalam sana.             Sebenarnya, kamar ini serba otomatis. Tidak, mansion ini beserta isinya memang memiliki sensor otomatis. Mulai dari lampu yang akan menyala dan mati otomatis bila lantai ruangan tidak diinjak. Lalu tepukan tangan yang bisa menyala dan meredupkan lampu kamar. Banyak lagi lainnya, yang membuat mansion bergaya Eropa Dubai ini terlihat sangat mewah.             Tanpa berpikir panjang, Gaza langsung meredupkan lampu kamarnya dan menyalakan lampu kecil hanya di sudut kamar. Dia menyimpan kembali remot kecil itu di dalam sana.             Sebab ada hal-hal khusus di kamarnya yang membuat Gaza enggan mengaktifkan sistem otomatis di kamarnya ini. ‘Itu bukan urusanmu! Kendalikan otakmu,’ bathinnya seraya mengingatkan dirinya sendiri.             Dia memiringkan tubuhnya ke arah kanan, lalu memeluk guling empuk disana. Tanpa berniat merapikan kondisi selimutnya, ia membiarkan setengah tubuhnya terlihat begitu saja. Sebab pendingin ruangan ini sudah terbiasa untuknya. ..**..             Setelah melewati malam, Gaza berusaha untuk melupakan kejadian itu dan membuat dirinya sesibuk mungkin. Apalagi acara pesta pernikahan Abang tertua mereka akan digelar beberapa hari lagi.             Dia dan kedua saudaranya membereskan pekerjaan secepat mungkin agar mereka bisa menikmati acara dengan tenang. Sekaligus menganggap acara pesta pernikahan saudara mereka, Arash sebagai acara liburan panjang yang sangat mereka nanti.             Tentu saja mereka harus menjaga kondisi perusahaan dengan stabil. Tidak hanya Althafiance, tetapi mereka juga harus menjaga Althafa, Eruca Alp, The Levent Coltar, Abadi Jaya, dan anak cabang Althafiance yang ada di Indonesia.             Tidak sendirian, mereka juga dibantu oleh Daddy mereka, Dyrta dan Dyrga. Kali ini, mereka meminta bantuan Daddy mereka demi membagi dua konsentrasi terhadap hal lain yang lebih diutamakan. …             Selama dirinya disibukan dengan berbagai kegiatan, Gaza tidak lagi memikirkan kejadian siang itu. Bahkan ia lupa dan sudah menganggap itu sebagai angin lalu.             Sekretaris pribadinya, Clave juga tidak menitipkan pesan kritis apapun mengenai perusahaan mereka. Itu sebabnya Gaza mudah melupakan kejadian yang sempat menguras otaknya.             Apalagi hampir 2 minggu keluarga mereka pergi dari New York. Setelah pesta di London selesai, mereka melanjutkan pesta pernikahan megah di Dubai.             Waktu itu sangat lama bagi Gaza. Walau begitu, otaknya tidak pernah santai dan tetap menyambi pekerjaan, memeriksa dokumen penting sebagai kewajibannya. ..**..             Hari-hari telah berlalu. Syefa hampir mati bosan di apartemennya karena tidak melakukan hal lain selain pekerjaan rumah tangga.             Memang, dia menikmati momen berdua bersama calon bayi yang tengah dikandung tanpa harus berpikir keras. Tetapi, ia juga memikirkan beban pekerjaan yang akan ia tanggung saat masuk ke kantor nanti.             Dan saat cuti sakitnya selesai, benar saja dugaannya. Walau tidak banyak, tetapi beberapa dokumen cukup membuat otak Syefa sedikit berdenyut.             Dia harus menyelesaikan pekerjaan tepat waktu. Apalagi saat kedua teman kerjanya, Jihan dan Keysha mengatakan kalau Kepala Pimpinan mereka tengah berada diluar Negeri untuk acara keluarga.             Awalnya Syefa merasa heran dengan berita yang belum ia dengar selama cuti sakit. Tapi saat tahu bahwa keluarga pemilik perusahaan Althafiance tengah mengadakan pesta besar untuk pernikahan CEO mereka yang bernama Arash Rajaswa Althaf, membuat Syefa ikut bahagia mendengarnya. Kantor dengan gedung pencakar langit tinggi di Amerika itu mulai terlihat santai. Yah, sebab para Bos mereka sedang tidak ada disana. …             Hari itu, Syefa merasa dirinya pusing. Sebelum berangkat ke kantor pun, ia sudah merasa lelah dan mual. Tapi ia meyakinkan diri akan baik-baik saja, dan memaksakan diri untuk tetap pergi bekerja.             Dia tidak bisa menahan aroma yang mulai membuat hidungnya sensitif. Ia mual tertahan.             Berulang kali ia mual dan akhirnya tidak tahan, Syefa pergi ke kamar mandi dengan tergesa-gesa hingga membuat semua karyawan menatapnya aneh. Di kamar mandi, Syefa harus bisa menahan rasa mualnya agar tidak keluar dari kamar mandi yang sudah pasti menimbulkan bunyi nyaring.             Sejak hari hingga beberapa hari berikutnya, Syefa terus seperti itu. Sampai ia sendiri merasa jika dirinya tengah mengalami mual pada tri semester pertama.             Yang membuatnya aneh, kehamilannya yang kedua ini benar-benar membuat tubuhnya lemas. Dia berulang kali meminta kerja sama dengan calon bayinya, tapi hasilnya tetap sama saja.             Syefa harus selalu siaga membawa minyak angin demi menetralkan perasaan mualnya. Namun, untuk bau-bau tertentu benar-benar membuat Syefa tidak tahan.             Entah kenapa dia merasa kalau dirinya tidak sanggup bekerja dalam keadaan hamil. Sebab untuk duduk selama 1 jam saja sudah membuatnya mual. Apalagi jika ia harus bekerja monoton hingga berjam-jam lamanya dan wajib berkonsentrasi.             Belum lagi jika dia diajak untuk rapat besar. Syefa tidak bisa memprediksi apakah ia bisa bertahan dengan bau-bau tertentu atau tidak.             Tidak, Syefa harus memikirkan biaya hidupnya di Negeri mahal ini. Siapa yang akan membiayai hidupnya jika ia berhenti bekerja. Bagaimana dengan nasib dia dan calon bayinya nanti.             Syefa bersikeras untuk tetap pergi bekerja. Ia terpaksa harus selalu menghisap permen mint atau memberi minyak angin di tubuhnya. Walau ia juga harus menyediakan parfum agar minyak angin di tubuhnya tidak terlalu menyengat dan tercium oleh teman kerjanya yang lain. …             Namun, kesalahan tetaplah kesalahan. Ibarat sebuah bangkai yang tidak bisa tertutup lama. Semua akan tercium dengan sendirinya.             Sampai suatu hari, Syefa tidak sadar jika wajahnya sudah pucat pasi. Dalam keadaan lembur bersama dengan kedua rekan kerjanya, Jihan dan Keysha. Sore itu membuat Syefa tidak bisa membuat alasan lain.             Dia pingsan begitu saja ketika hendak berdiri dari kursi kerjanya. Keadaan Syefa tentu membuat syok Jihan dan Keysha, juga Kepala Divisi Desain yang ternyata belum kembali dari kantor.             Syefa segera dibawa menuju lantai khusus sebagai klinik kecil di kantor Althafiance. Yah, sangat spesial sekali. Begitulah cara Althafiance menghargai para pekerja mereka. …             Seorang Dokter perempuan memeriksa keadaan Syefa yang masih pingsan saat itu. Sampai Dokter merasa ada sesuatu yang janggal, dia lalu menggunakan monitor untuk memantau keadaan Syefa lebih lanjut.             Setelah ia melihat secara langsung kondisi tubuh Syefa yang lain, Dokter itu terkejut bukan main. Dokter menyuruh perawat untuk menghubungi Dokter Kandungan sore itu juga.             Hingga Dokter Kandungan ikut memeriksa Syefa. Perkiraan sang Dokter Umum ternyata benar. Syefa tengah hamil dan memasuki bulan ketiga.             Jihan dan Keysha yang juga berada di ruangan yang sama, mereka bisa mendengar pembicaraan antara Dokter dengan Kepala Pimpinan Divisi mereka sebab ruangan hanya dibatasi dengan tirai saja. Bahkan mereka berdua ikut syok mengetahui kebenaran itu secara langsung. ---**--- Althafiance Corporation, New York, USA., Ruang Divisi Desain., Sore hari.,             Syefa masih diam saja dan tidak berani bicara sebab ia tahu apa kesalahannya. “Kau membuatku kecewa, Syefa. Kau membohongiku selama ini,” ujar wanita itu menatap lekat anggotanya. Sebab ia tidak menyangka, karyawan yang ia anggap sebagai disiplin yang taat ternyata tega menyembunyikan kesalahan yang menurutnya fatal.             Dia masih diam, merundukan pandangannya ke bawah. Kedua jemarinya saling meremas, bahkan kedua matanya sudah memerah. “Kalau kau memang tengah hamil. Kau tidak perlu memaksakan diri. Aku yakin kau tidak lupa dengan kontrak perjanjian kerjamu, bukan?”             Syefa mengangguk kecil. Dia tidak bisa berkata apapun. Bibirnya terus terbungkam memikirkan hal lain. Hanya satu yang ia pikirkan, dia akan bekerja dimana setelah dipecat dari perusahaan ini.             Apalagi ia sudah mencemarkan nama baiknya sendiri. Jika Althafiance saja mencampakkannya, sudah pasti perusahaan lain akan berpikir dua kali untuk menerimanya bekerja.             Kali ini, dia hanya bisa pasrah. “Kau tahu aku tidak bisa memberi wewenang apapun atas pelanggaran ini, Syefa. Tapi—” ucapannya berhenti, menatap lekat Syefa yang masih enggan melihatnya sejak tadi.             Syefa masih diam saja dan tetap menatap ke arah meja bertumpukan beberapa berkas di hadapannya. “Kau bahkan tidak bisa mendapatkan kompensasi apapun setelah surat pemecatanmu, Syefa. Aku minta maaf.” Deg!             Dia mendongakan wajahnya, menatap lekat kepala pimpinan divisi mereka. Gelengan kepala wanita itu membuat Syefa menitihkan air mata. “Ini sudah cukup baik, Syefa. Sebab berita ini belum terdengar oleh yang lain. Dan namamu masih bersih.”             Air mata yang keluar dari sudut mata kirinya membuat wanita itu iba. Tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. “Tapi berita ini tetap akan disampaikan oleh atasan kita. Aku tidak bisa membantu banyak setelah menyembunyikan kasus ini dari yang lain. Mungkin kau bisa bekerja sama kepada Jihan dan Keysha agar mereka juga ikut menyembunyikan kesalahanmu ini.”             Tubuh Syefa lemas. Dia hanya bisa diam mendengarkan semua penjelasan dari atasannya.             Jika meminta aju banding juga akan tetap sama. Sebab dia memang bersalah karena telah menyalahi aturan kontrak perjanjian kerja selama 3 bulan terakhir. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN