Basah dan dingin membuat dua tubuh itu merapat, seolah ingin melebur menjadi satu. Kedua tangan Imdad yang kokoh mendekap pinggang dan pundak Delisha seakan hendak meremuknya. Bibirnya memagut kuat dan rahangnya mengunci ciuman mereka. Ia tidak ingin wanita itu tiba-tiba berubah pikiran dan menarik diri darinya. Ia benar-benar menginginkan wanita itu secara fisik dan juga kepercayaannya.
Pundak bidang Imdad menjadi tempat Delisha menggelayut karena perbedaan tinggi tubuh mereka. Dia siap jatuh karena kakinya lemas akibat ciuman dan pria itu siap menyambutnya. Delisha tidak keberatan kesulitan bernapas, karena yang hendak dihirupnya keseluruhan adalah pria itu. Dia belum pernah merasa seperti itu. Diinginkan, dan rasanya luar biasa. Jantungnya berdegup kencang seolah pergi ke alam lain. Bukan alam gaib yang pernah dialaminya, melainkan alam yang dipenuhi kegembiraan dan keingintahuan.
Dengan ciuman dalam yang sambung menyambung, Imdad membawa wanita dalam dekapannya menuju mobil. Walau hanya berjarak beberapa meter, keduanya tertatih, menyelaraskan antara langkah kaki dengan tangan yang saling menjelajah ke tubuh masing-masing. Dalam setelan c**i dan kain sari membalut tubuhnya, sangat mudah bagi Imdad untuk menemukan kulit wanitanya.
Mereka tiba dalam mobil dan Imdad menyandarkan Delisha ke kursi penumpang di depan. Ia memutus ciuman mereka. "Kita harus tiba di rumah terlebih dahulu," kata Imdad parau. Teggorokannya terasa kering dan napasnya berat. Matanya nanar menatap Delisha yang bersemu hangat walaupun rambut dan wajahnya basah oleh air hujan.
Wanita itu mengangguk cepat dan tampak berusaha keras menelan. Imdad bergegas ke kursi kemudi dan mulai menjalankan mobil memasuki jalanan. Ia mengaktifkan mode aotu-drive pada mobil. Sebelah tangannya menjangkau belakang kepala Delisha dan menarik wanita itu padanya untuk mencium bibirnya lagi.
Delisha yang tak menyangka terkejut sesaat, tetapi menangkup rahang pria itu dan memilih memejamkan mata menikmati ciumannya. Rasanya seperti menaiki karpet ajaib Aladin, tersesat dalam perasaan yang menegangkan, memasuki dunia baru penuh keajaiban. Tak perlu dikemudikan, kendaraan mereka bergerak sendiri sesuai tujuan.
Tangan Imdad sesekali menyentuh kemudi, tetapi lebih banyak berada di tubuh Delisha. Ia melirik sekilas jika alarm mobil berbunyi. Namun sepanjang mereka berciuman, mobil berjalan mulus tanpa kendala, sistem autodrive-nya berfungsi sempurna. Bahkan mobil berhenti di depan gerbang dan melanjutkan jalan ketika pintu gerbang terbuka, lalu menuju garasi secara otomatis. Ketika mobil berhenti, kedua orang itu masih asyik bercum.bu. Suara desahan dan napas berat mereka dibarengi decakan lidah terdengar jelas ketika mesin mobil mati.
Imdad memutus ciuman mereka dan membelai lembut wajah wanita di dekapannya. Manik matanya bergerak-gerak bersemangat meneliti perubahan wajah wanita itu akibat ciumannya.
Delisha menyesap sendiri bibirnya yang memerah ranum karena agak bengkak. Matanya agak berair nanar dan wajahnya merah karena kepanasan.
"Bagaimana rasanya ciumanku?"
Delisha membersihkan tenggorokanya sesaat. "Hebat!" seru Delisha. Pria itu semringah. "Sistem pengemudi otomatis mobilmu yang hebat," lanjut Delisha, membuat Imdad ... sedikit kecewa.
Imdad cemberut sebentar, lalu mendadak menyeringai jahil. "Kalau begitu, aku harus melakukannya lebih banyak lagi," ujarnya lalu kembali menangkup bibir Delisha dengan bibirnya lagi. Kali ini ia menarik tubuh Delisha ke pangkuannya dan membuka pintu mobil. Membawa tubuh wanita itu keluar mobil sambil menciumnya dengan kelaparan. Mereka tersandar di dinding beberapa kali sampai akhirnya membuka pintu samping dan masuk ke dalam rumah, masih dengan bibir dan lengan bertaut antar tubuh.
"Kamarmu atau kamarku, Nona Marianne?" tanya Imdad ketika mereka berhenti sesaat. Napas keduanya berat dan detak jantung berpacu seolah habis berlari cepat.
"Mana yang terdekat?"
Imdad tahu jawabannya. Ia tersenyum dan tertawa kecil. Ia kembali mencium wanita itu, mengangkat tubuh halusnya dan membawa dalam dekapannya menuju kamar paling belakang.
Di kamar wanita itu, Imdad menurunkannya di tengah ruangan. Ia sengaja tak menyalakan lampu, membiarkan kamar dalam cahaya temaram dari lampu luar yang masuk melalui jendela. Ia mendekap Delisha dari belakang dan menyusuri kedua sisi lekuk tubuhnya. Tubuh Delisha basah dan dalam balutan sari, ia sangat memujanya. Dengan perlahan ia membuka pengait sari di pundak Delisha. Sari yang berat karena basah jatuh ke lantai. Tangan besar dan dingin menyibak rambut panjangnya, menampilkan kulit punggung yang terbuka. Jarinya dan bibir kasarnya menelusuri kulit halus di area itu. Ia bisa mendengar desahan lembut wanita itu.
Mata setengah terpejam dan rasa gugup tetapi penuh penantian, Delisha merasakan tubuhnya disentuh dengan penuh perhatian tiap jengkalnya. Sentuhan yang selembut kapas. Namun sensasi yang ditimbulkan membuatnya menggila dan tidak tahan untuk tidak bersuara, walaupun berupa erangan tertahan dan desahan napas pendek. Imdad memutar tubuhnya mendadak membuat Delisha tersentak kaget. Matanya membulat menatap pria itu.
Wajah Imdad menggelap dan sorot matanya dingin, bergumam padanya dengan gigi gemelutuk. "Lepaskan bajumu, aku ingin melihat seluruh tubuhmu!" ujarnya sambil menarik tali c**i di belakang lehernya. Penutup da.da itu melonggar dan memperlihatkan seluruh belahan da.da montoknya.
***
Bersambung ...