Night 24: Stranger^

1534 Kata
Malam semakin larut. Hawa dingin disertai angin kencang dan suara geluduk petir di langit menandakan akan segera turun hujan. Delisha dan Imdad berjalan meninggalkan Parnapuri."Bisakah kau menjelaskan apa yang baru saja terjadi?" tanya Imdad ketika mereka berjalan di koridor. Ia selangkah di belakang Delisha dan melihat wanita dalam balutan sari berjalan anggun dan percaya diri membuat dadanya berdebar-debar kagum. "Apa yang harus kujelaskan? Kau melihatnya sendiri ‘kan, wanita itu mengakui perbuatannya." "Iya, tetapi ... bagaimana kau bisa tahu?" "Aku punya caraku sendiri." "Apakah dari informan yang kau telepon?" "Anggap saja begitu." Imdad berseru takjub. "Wow, kau punya infroman yang hebat!" Delisha memutar bola matanya. Imdad rupanya pria yang gigih dan punya rasa ingin tahu yang besar. "Lalu bagaimana dengan bukti dan saksi yang kau sebutkan?" Delisha berhenti melangkah dan menoleh padanya. "Nandita bisa masuk ke kediaman Vijay karena dia punya duplikat kunci apartemen Vijay. Jika kita periksa kediamannya dan menemukan kunci kediaman Vijay, dia tidak akan berkutik lagi. Dia menaruh sesuatu dalam apartemen Vijay, mungkin suatu zat yang mengandung toksin bakteri atau virus di makanan atau minumannya, karena itulah Vijay bisa jatuh sakit. Kuharap itu menjawab semua keingintahuanmu, Tuan Imdad!" Delisha hanya bisa menjelaskan demikian agar masuk akal. Dia tidak bisa mengatakan bahwa zat toksin itu berasal dari liur makhluk hitam legam piaraan Nandita. Lagipula berdasarkan pengetahuannya dari masa depan, banyak sekali virus-virus dan jenis penyakit baru yang ditemukan ilmuwan, termasuk penyakit-penyakit yang semula dikira karena sihir atau kutukan. Imdad terdiam mencerna perkataan Delisha. Mereka lalu melanjutkan langkah menuju parkiran mobil. "Aman, Bos!" seru Sunil sambil menyerahkan kunci mobil pada Imdad. Sunil terlebih dahulu ke mobil untuk memasukkan koper Delisha dan memeriksa mobil tersebut sebelum digunakan bosnya. "Terima kasih!" sahut Imdad sambil menerima kunci tersebut lalu berdiri di depan pintu mobil menghalangi Delisha. Pria itu tampak menahan diri ingin mengucapkan sesuatu. "Ada apa lagi?" tanya Delisha setengah kesal. Malam sudah larut. Dia ingin segera masuk ke mobil, pulang dan tidur, serta mengganti bajunya. Sari ini, terlalu seksi, seperti mengenakan gaun malam. "Apa kamu tidur dengan Vijay?" tanya Imdad dengan suara rendah dan wajah ditundukkan salah tingkah. "Maksudku benar-benar tidur bersama ..." Mata Delisha terbelalak dan dia menggigit bagian dalam bibirnya. Pria itu menunggu jawabannya. Ia memang pria yang selalu ingin tahu, ya? "Oh, ya ampun, Tuan Imdad!" seru Delisha ketus sambil mendorong Imdad menjauh dari pintu mobil. Pria itu bergegas membuka kunci lalu menuju pintu sebelahnya dan masuk ke mobil. Delisha sudah duduk di dalam ketika ia masuk dan mengomelinya. "Apakah pertanyaan itu pantas diajukan pada seorang wanita? Kau pikir aku tidur dengan setiap pria yang baru kutemui? Memangnya kenapa kalau aku pernah tidur dengan pria lain? Hanya karena aku menginap di tempatnya bukan berarti aku tidur dengannya. Karena aku tidur di tempatmu, bukan berarti aku tidur denganmu, ‘kan? Kita memang pernah berciuman, tetapi itu bukan berarti aku ingin tidur denganmu." "Aku tidak suka kesalahpahaman, kurasa aku sudah pernah mengatakannya," kata Imdad sambil memasang sabuk pengaman. Imdad mengemudi mobil dengan perasaan gundah. Apa wanita itu selalu bicara terus terang? Kenapa wanita ini bicaranya selalu menjurus ke suatu hal yang lebih intim? Apakah dirinya sendiri yang berpikiran vulgar atau wanita ini memang sengaja untuk merayunya secara implisit? Imdad memohon dalam hati agar ia selalu diberi kekuatan untuk menahan diri. Bersama wanita ini, ia mungkin lepas kendali. Delisha memandang jalanan malam yang basah. Butiran-butiran air hujan yang mengenai kaca di sampingnya. Dia menyembunyikan wajahnya dan merutuk dirinya sendiri. Aku dan mulutku. "Sialan! Sialan!" gumam Delisha lalu mendesah putus asa. Sesaat dia larut dalam pikirannya. Jika dia ingin bersenang-senang bersama seorang pria, dia tidak boleh memiliki perasaan terhadap pria itu. Perasaan hanya akan menghambatnya menjalankan misi. Sebagai seorang agen, tubuh dan hidupnya adalah milik Korporasi. Dia memiliki misi dan rahasia yang harus dijalankananya demi kepentingan korporasi. Bahkan namanya saat ini bukan nama aslinya. Dia dan Imdad hanyalah orang asing, bukan sepasang kekasih. "Kau mirip dengan seseorang yang kukenal," ujar Imdad memecah kesunyian. Delisha menoleh padanya. "Namanya July Andrews, kakakku di Khuda Jane." Delisha memantung di kursinya. July ibunya? "Dia idolaku. Dia yang membuatku bersemangat bergabung dengan Xin Corp. Dia bilang, hidup kita tak ada yang sia-sia. Hidup kita ada tujuannya. Bergabung dengan Xin Corp adalah salah satu cara mewujudkan tujuan itu. Ada beberapa bagian di wajahmu yang mirip dengannya. Sewaktu kau tersenyum kalian membentuk lesung pipit yang sama. Sekilas kukira aku melihat July pada dirimu. Jika July punya anak mungkin dia akan seperti dirimu." Delisha membisu. "Kau mengunjungi makamnya, ‘kan waktu ke Khuda Jaane? Kalian sama-sama bertugas di Xin Pusat, kurasa kau mengenalnya." Delisha mengangguk. "Hmm, ya," sahutnya serak lalu mendeham membersihkan tenggorokannya. "Bagaimana July menurutmu?" "Dia ... wanita yang baik. Aku tidak begitu mengenalnya," sahut Delisha cepat. "Oh ...." Imdad kembali fokus mengemudi. Sunyi membuat suara lembut dengkuran mesin terdengar jelas, begitu juga suara indikator lampu sein ketika mobil membelok. Derai hujan yang turun deras turut mewarnai kesunyian mereka. "Kenapa Sunil berkata 'aman' waktu dia menyerahkan mobil ini?" tanya Delisha tiba-tiba. "Oh, itu." Imdad terkekeh geli sendiri. "Seseorang berusaha membunuhku dengan memasang peledak di mobil yang kugunakan. Sudah dua kali kejadian dan dua orang anggota menjadi korban. Aku selamat karena dua orang yang menjadi korban itu menggunakan mobil atas suruhanku. Aku sangat beruntung, ‘kan?" ujarnya sambil melirik kepada wanita di sampingnya dan tersenyum lebar. Ia boleh tersenyum, tetapi Delisha melihat kepedihan di matanya. "Karena itu aku menggunakan motor, lebih praktis dan hemat energi. Lagi pula jalanan Kota ND sangat padat," ujar Imdad sambil menatap ke depan dan tangannya memutar setir. "Hidup kita bisa berakhir kapan saja," lanjutnya. "Aku hanya berusaha menjalani hidupku sebaik-baiknya dan menikmati setiap momen dengan bahagia. Untuk hidup pun ada konsekuensinya, jadi, aku tidak ingin hidup dengan penyesalan." "Ooo, jadi Tuan Imdad, kau yakin tidak ada hal yang kau sesali dalam hidupmu?" pancing Delisha. Niat usilnya tiba-tiba muncul. "Yep! Tidak ada!" jawab Imdad mantap. "Hmm, kalau begitu, bagaimana dengan wanita bernama Anjali?" Ckiiiiit! Imdad menginjak rem mendadak dan menatap terperangah pada Delisha. "Kau tahu soal Anjali?" Delisha menatap balik dan tersenyum menyeringai penuh kemenangan. "Informanmu ... Bibi?" Wanita itu mencibir padanya. Rani? Tidak mungkin, gadis itu masih terlalu kecil dan belum mengerti apa-apa. Kening Imdad bertaut dalam. Klakson mobil di belakang membuat Imdad harus menjalankan mobilnya lagi. "She's history!" ujar Imdad ketus. Sudah lama dia melupakan Anjali, sekarang wanita di sampingnya menyebut lagi. "Apa kau tahu dia ingin kembali padamu?" ujar Delisha menohok. Imdad makin terperangah dan mendengus tidak percaya akan apa yang didengarnya. Bukan soal Anjali yang ingin kembali padanya, tetapi pertanyaan itu keluar dari mulut seseorang yang saat ini sangat ingin diciumnya. Wanita itu berusaha melukai harga dirinya. Ia menepikan mobil dan menatap tajam pada Delisha. "Dia sudah menikah. Aku tidak akan mengejar wanita yang sudah menikah." Liur Delisha tercekat di tenggorokan mendapat tatapan setajam mata elang itu. Dia tidak mengira Imdad Hussain yang biasanya tampak ramah sekarang terlihat kejam dan mengintimidasi. Semua karena wanita bernama Anjali itu. Ternyata pengaruhnya sangat besar pada pria itu. Sialan!! "Bahkan faktanya, aku senang dia meninggalkanku," kata Imdad dengan seringai tipis. Ia  membuka sabuk pengaman untuk mencondongkan tubuh pada Delisha. "Jadi aku bisa bertemu dengan orang asing yang hobinya mencium pria yang tak dikenal." "Aku tidak seperti itu!" bantah Delisha dan tangannya terkepal hendak mendorong Imdad, tetapi tangan besar Imdad menahannya. "Oh, ya? Jadi kau tidak main-main denganku? Kau tidak menolakku, bahkan kau terus menerus mendatangiku. Kau memang tertarik denganku hanya saja kau tidak mau mengakuinya, begitu kah?" Napas Delisha terasa pendek dan sesak. Dia tidak bisa menjelaskan perasaannya. Seharusnya dia tidak mulai menuding Imdad dengan keskeptisannya. Semenjak pertama melihat pria itu, dia seperti binatang malam yang tertarik pada cahaya terang. Cahaya keemasan di seluruh tubuh Imdad membuatnya tak bisa berpaling dan selalu ingin dekat dengannya. Bersamanya, dia lupa dunia sebelumnya. Dia merasa aman dan nyaman. Dia ingin membentuk zat anti terhadap pesona pria itu. Imdad makin memperkuat cengkeramannya atas Delisha. "Kau tidak pandai berbohong, Nona Marianne. Kau berlagak kuat hanya untuk menyembunyikan perasaanmu, padahal kau sangat penakut!" Wajahnya sangat dekat sehingga ia bisa melihat mata cokelat indah itu memerah dan mulai berair. "Tuan Imdad, jangan macam-macam denganku!" ancam Delisha sambil menyentak tangan Imdad agar melepaskannya. "Jika kau tidak suka, jauhi aku," balas Imdad. Dengan gigi gemeletuk, Delisha membuka pintu mobil dan berlari ke luar mobil. Derai hujan mengungkungnya. Hanya beberapa meter dia berlari lalu terdiam memeluk diri sendiri. Dalam keadaan basah kuyup oleh air yang menghujam ke bawah, Delisha merasa terasing dan kesepian. "Kau bahkan takut dengan hujan," ejek Imdad melangkah mendekati wanita itu yang sekarang tampak rapuh, tanpa pertahanan. "Bad memories, I guess ...." Delisha meliriknya melalui bahu. Dalam gelap malam dan hujan lebat, pria itu bercahaya seperti lentera penerang jalan baginya. "Aku bahkan yakin Marianne bukan nama aslimu," lanjut Imdad. Dengan mata membulat, wanita itu berbalik menghadapnya. "Apa yang kau inginkan?" tanya Delisha dengan suara bergetar. Dia mengakui kekalahannya. Tubuh mereka basah dan dingin. Pakaian mereka menempel lekat pada kulit. Dingin pun terabaikan. "Sederhana," jawab Imdad. "Orang asing, aku ingin kita saling mengenal. Kau yang datang padaku atau aku yang datang padamu, hasilnya akan selalu sama." Jantung Delisha berdebar-debar mendengarnya seakan-akan dia sudah lama menantikan ucapan itu. "Kau menjadi Milikku!" Imdad mendekap erat wanita itu dan melumat bibirnya dengan penuh hasrat. *** Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN