Delisha merasa kehilangan kontrol atas tubuhnya. Jemarinya gemetaran menurunkan c**i. Kain yang semula menutupi tubuhnya sekarang seluruhnya teronggok di lantai. Berbagai perhiasan di tubuhnya telah dilepaskan oleh pria itu. Di tubuhnya tersisa lingeri merah muda yang menutupi area pribadinya. Imdad melangkah mundur sambil menarik sari yang semula melingkari pinggangnya hanya untuk menelanjanginya dengan sorot mata. Walaupun tubuh lembab, dia merasakan panas membara dari dalam. Napasnya menjadi berat. Seperti inikah rasanya ditatap seorang pria yang menginginkanmu dan kau menginginkannya juga?
Imdad membuka kemejanya sendiri tanpa mengalihkan pandangannya pada wanita di hadapannya. Dia sangat cantik dan siap sedia hanya untuknya. Wanita itu akan melakukan apa pun yang diinginkannya. Ia melempar kemeja ke lantai dan mendekati Delisha untuk menyentuhnya sambil menahan diri, membuat giginya bergemeletuk. Jika ia menuruti hawa nafsunya, wanita itu mungkin akan kesakitan. "Aap bahut sundar hain, Marianne-ji" kamu sangat cantik, Nona Marianne, gumamnya. Ujung jarinya mengangkat dagu wanita itu agar memudahkannya mencium bibirnya. Kulit mereka bersentuhan dan ia bisa merasakan tubuh wanita itu gemetaran, tetapi bukan ketakutan.
Apakah aku masih diriku? batin Delisha sambil memejamkan mata membiarkan Imdad Hussain menyesap bibirnya. Siapa Marianne yang disebut pria ini? "Ah!" Delisha mendesah pendek ketika laki-laki itu membuat kecupan kuat dan dalam di lekukan lehernya. Bukan hanya di situ, pria itu menelusuri setiap inci kulitnya dan menyesap kuat di setiap perhentian untuk meninggalkan bekas. Delisha mendongak sementara kepala Imdad semakin menurun. Pria itu berada di buah dadanya dan menikmati puncak merah muda dalam mulutnya yang hangat, sementara tangan pria itu menelusuri tulang punggungnya dari atas hingga ke ekor.
"Ah!" Delisha mengerang pendek dan meremas rambut tebal dan lembab pria itu. Pikirannya kalut, antara ingin berhenti tetapi ingin tahu yang tak tertahankan. Apalagi ketika mulut pria itu berpindah ke permukaan kulit perutnya dan menurunkan lingerie dengan giginya. Merasakan gigitan pria itu di pinggulnya Delisha terkesiap dan matanya terbuka lebar. "Tuan Imdad, apa yang kau lakukan?"
Pria itu berlutut dan menatapnya dengan mata nanar. "Menyentuhmu," ujarnya, "dan menandaimu sebagai milikku." Imdad membuka kaki wanita itu dan menaikkan salah satunya ke pundaknya.
"Apa? Ah ...!" Delisha tak dapat berpikir lagi ketika pria itu membenamkan wajahnya di celah antara kedua kakinya. Permainan sentuhan lidah dan jari yang piawai di area itu membuat pandangan Delisha menggelap dan sesuatu dalam tubuhnya meledak tak terbendung lagi. Tangannya mencengkeram pundak Imdad dan kuku-kukunya menancap ke kulit, meninggalkan bekas dan sedikit noda darah. Cengkeraman tangan Imdad erat di pinggulnya, menahan tubuhnya agar tak melesat ke angkasa.
"Imdad!" rengeknya ketika pria itu menyesap cairannya. Delisha merasa malu dan khawatir. Dia hampir menangis dibuatnya
Pria itu mengangkat wajahnya dari lekukan di kedua kakinya dan tersenyum tipis. "Sharmeelee mat bano, mere jaan, tum mere munh mein bahut achchhe lagate ho" Don't be shy, my dear. You taste amazing in my mouth! ujarnya sembari menjilat jarinya yang basah. Delisha tidak tahu harus berkata apa. Dia sendiri baru kali ini merasakan sentuhan sedemikian rupa hingga membuat tubuhnya bereaksi aneh.
Tanpa mengindahkan wajah heran wanita itu, Imdad menggendongnya dan membawanya ke peraduan yang tersedia di kamar. Ia merebahkan tubuh pasrah wanita itu dan menaikkan selimut hingga ke dadanya, dengan cepat mengecup keningnya. Ia duduk sebentar di sisi Delisha. "Kurasa ciumanku tadi cukup untuk menenangkan saraf-sarafmu malam ini, Nona Marianne," katanya dengan senyum lebar.
"Ah—ap-apa??" Delisha terperangah dengan mata mengerjap-ngerjap.
"Kuharap kau tidur nyenyak malam ini ... dan tidak merusak barang-barang ...," gumam Imdad sambil mengitarkan pandangannya ke penjuru kamar, lalu kembali menatap Delisha yang masih terperangah.
Imdad tertawa kecil melihatnya lalu mengacak-acak rambut Delisha. "Aku tidak akan mengambilmu secepatnya, mere jaan, masih banyak yang harus kau pelajari."
"A-apaa??"
Dengan senyum dikulum Imdad menatap wajah polos itu. Ia tahu wanita itu belum berpengalaman dan terutama, dia masih perawan. Jika ia menyetubuhinya saat itu juga, ia yakin wanita itu tidak akan menolak. Entah kenapa sebagian kecil hati nuraninya membuatnya menahan diri. Ah, jika saja wanita ini bisa melihat betapa keras usahanya untuk menahan diri.
"Aku akan mengambilmu jika kau sudah siap."
"Mm—maksudmu?"
"Jika kau sudah bisa mengatakan rahasiamu. Siapa kau sebenarnya dan dari mana asalmu. Mungkin bisa dimulai dengan memberitahu namamu yang sebenarnya."
Lidah Delisha menjadi kelu. Dia tak bisa mengatakan fakta tentang dirinya sendiri. Dia bisa dianggap gila. Dia bahkan tidak berasal dari jaman ini. Delisha, anak July Andrews saat ini hanya bocah berusia 8 tahun. Dia adalah Delisha dari masa depan, 16 tahun kemudian. Kena kutukan, putus asa dan belum pernah jatuh cinta.
Imdad merapikan selimut Delisha lalu bangkit dari ranjang. "Tidurlah yang nyenyak, mere jaan. Aku tidak ingin asisten pribadiku jatuh sakit. Aku perlu dia selalu siap sedia kapan pun aku membutuhkannya," ujarnya dengan sengiran lebar.
Delisha memunggunginya lalu menyembunyikan diri dalam selimut.
Imdad memungut kemejanya lalu keluar dari kamar wanita itu. Ia menyandarkan punggungnya ke pintu yang tertutup rapat dan wajahnya mengeras dengan kening menukik dan sorot mata tajam. Ia menarik napas dalam lalu melangkah besar menuju ruang kerjanya. Ia membuka sebuah bilik rahasia di balik rak buku. Kemejanya disampirkan di bahu. Ia memilih-milih aneka senjata api dan senjata tajam yang berjejer rapi dalam bilik rahasia itu. Ia mengokang sebuah pistol dan membidiknya ke arah papan target.
Misi, batinnya. Bukan hanya nyawa yang akan jadi korban. Perasaan pun harus dikorbankan.
***
Bersambung ....