Night 27: Closer^

1636 Kata
Delisha membuka mata dan mendapati sinar matahari sudah menerangi kamar. Jendela terbuka dan udara pagi semilir menyejukkan. Udara segar bercampur embun sisa hujan malam tadi. Dia duduk dengan selimut menutupi sebagian tubuhnya dan menggeliat meluruskan pundak dan tangan. Ini bangun tidur terbaik yang pernah dirasakannya. Teringat apa yang dialaminya malam tadi, membuat desiran hangat di da.da dan secara naluriah dia merapatkan pangkal pahanya. Astaga, hanya dengan belaian dan ciumannya saja aku sudah merasa seperti ini, apalagi jika pria itu benar-benar melakukannya, apa yang akan terjadi dengan tubuhku? Imdad benar. Dia belum berpengalaman dan untuk melakukannya kelak dia harus benar-benar siap dan yakin akan segala konsekuensinya. Turun dari ranjang dan menikmati mandi pagi, Delisha menelusuri tubuh dan melihat sendiri bekas-bekas kecupan di kulitnya. Dia jadi bertanya-tanya, apa benar Imdad tidak terpengaruh dengannya? Apa benar daya tahan Imdad bisa sekuat itu? Tidak serta-merta menyerangnya dengan nafsu memburu? Imdad menahan diri karena dia belum berpengalaman, apakah itu berarti lelaki suka wanita yang sudah mahir melayani mereka? Ah, Delisha menangkup wajahnya sendiri karena malu. Dia pasti terlihat konyol dan bereaksi tidak wajar saat itu sehingga Imdad menyadari kepolosannya. Dia merutuk dirinya sendiri. "Huaaa, memalukan!!" Mengenakan rok merah selutut dan kemeja hitam, Delisha duduk di meja makan dan menghirup kopi hitam yang diseduh oleh Bibi. Wanita tua itu tengah memasak kari di kompor dan beberapa hidangan lainnya. Delisha menikmati kopi bersama roti pipih dan selai buah. Rani duduk berseberangan dengan Delisha, menikmati hidangan yang sama. Gadis kecil itu menenggak s**u putih untuk teman makannya. Dia menatap lekat pada Delisha. Menghindari tatapannya, Delisha memilih berbincang-bincang dengan Bibi mengenai masakan India. Imdad memasuki ruang makan sambil menggulung lengan kemeja putihnya hingga ke siku. "Suprabhaat!" Selamat pagi! sapa pria itu bersemangat. Bibi menoleh padanya. "Tidak biasanya kau bangun sesiang ini, Raj!" tuding Bibi. Pria itu mengerling dan tersenyum saja menanggapinya dan Bibi merasa menyesal telah mengutarakan hal itu, sepertinya dia paham kenapa, karena melihat Imdad menyempatkan membelai rambut lembab Marianne dan menyentuh pipinya sekilas sehingga wajah wanita itu bersemu kemerahan. Delisha salah tingkah. "Raj!" serunya kesal manja. Pria itu melempar senyum padanya lalu mendatangi Rani dan mengusap pucuk kepala gadis itu seperti mengacak-acak bulu kucing. Gadis berkepang panjang itu semringah dan langsung bersemangat. "Apa kabar gadis kecilku? Kau harusnya sekolah ‘kan hari ini?" ujar Imdad sambil duduk di sebelah Rani agar ia bisa bertatapan dengan Delisha. "Bisakah aku ikut ke kantormu saja, Raj?" pinta Rani memelas. "Sekolah itu membosankan …." Imdad mengambil roti dan selai. "Tidak bisa, mere jaan! Kau harus sekolah agar kau memiliki pengetahuan yang luas dan kemampuan dalam berbagai bidang pekerjaan." Oh, jadi dia menyebut mere jaan kepada semua orang, ya? Delisha merasa dipecundangi. "Kantorku hanya mempekerjakan orang-orang dengan pendidikan tinggi. Bukankah kau ingin jadi Asisten Pribadiku? Maka kau harus sekolah dulu untuk mendapatkan gelar sarjana," ujarnya pada Rani. Gadis itu harus menyadari pentingnya sekolah dengan cara mencapai impiannya. Ia tersenyum pada Rani dan gadis itu manggut-manggut sambil mulai berpikir untuk menyelesaikan sekolahnya secepatnya. Rani menatap tajam pada wanita muda di seberangnya. Dia tahu wanita itu Asisten Pribadi Raj-nya. Sesaat lagi, dia akan mengalahkan wanita itu dengan kepandaiannya. Delisha mencibir pada gadis itu. Mau melawanku? Tumbuh dulu, Non, baru memikirkan laki-laki! "Aku harus pergi keluar kota," kata Imdad tiba-tiba. "Mobil perusahaan akan menjemputku. kau bisa mengunakan mobil di garasi untuk kegiatanmu, Nona Marianne." "Uhm, baiklah," sahut Delisha sambil menelan rotinya dengan seret. Imdad makan dengan cepat lalu melirik jam tangan. Terdengar bunyi klakson mobil dari depan rumah. "Hmm, mobilnya sudah datang, aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa, mere jaan!" Imdad beranjak dari meja makan dan melempar senyum simpul pada orang-orang di ruangan itu. Ia menenteng jas dan membuka ponsel sambil berjalan lalu menghilang ke ruang depan. Tak lama mobil jemputan itu pergi meninggalkan kediaman. Delisha bergegas menyelesaikan sarapannya lalu bersiap-siap keluar rumah juga. Dia membawa barang-barang yang diperlukannya dalam tas sandang dan mengenakan kacamata hitamnya. Dia pergi mengendarai mobil SUV yang tersedia di garasi. Tujuannya kali ini adalah Hotel Golden Star. "Aapka swagat hai!"  Selamat Datang, sapa pelayan di pintu utama hotel. Pria itu berseragam setelan hitam dengan model kerah tegak. Delisha melangkah ke dalam sementara mobilnya diparkirkan oleh petugas valet. "Dhanyawaad!"  Terima kasih, sahut Delisha. Dia tetap mengenakan kacamata hitam untuk menjaga pandangannya, karena orang-orang di Golden Star mengganggu penglihatannya dan hawa mereka membuatnya tertekan. Dia minta diantarkan ke restoran di Lantai 2 hotel, ingin mencicipi menu spesial yang disajikan restoran tersebut yang menurut panduan travel-kuliner merupakan restoran terbaik di India. Dia memesan Chicken Tandoori, berdasarkan rekomendasi juru masaknya, bikin siapa pun ketagihan. Ayam dimarinasi dengan homemade yoghurt dan rempah asli India lalu dimasak dengan tingkat kematangan yang sempurna, agar tidak menghilangkan sensasi juicy yang begitu terasa dalam setiap gigitan. Dalam hati, Delisha tertawa hambar. Dia sebenarnya menyukai segala jenis makanan, tetapi suasana hotel itu membuatnya enek. Sembari menunggu pesanannya datang, Delisha membuka ponsel dan membaca-baca artikel gosip artis India. Berita tentang Maya, yang diisukan telah mejadi salah satu istri Devdas Star Tailes, karenanya penyanyi sekaligus penari itu menghilang setelah tampil di Hotel Golden Star. Artis tersebut terakhir memberitahu manajernya bahwa dia akan menemui CEO Star Corp setelah itu tidak tampak lagi batang hidungnya. Maya, seperti beberapa artis sebelumnya, jika untuk CEO sekaya raya itu, mereka tidak segan meninggalkan dunia hiburan untuk hidup dalam kemewahan rahasia bersama Devdas Star Tailes. Delisha geleng-geleng kepala membacanya. Nasib baik jika Maya dan wanita lainnya pergi ke surga. Malangnya, yang jelas Maya, malah mejadi hantu gentayangan. "Maya, Maya ...," gumam Delisha. "Mencari aku?" Sosok wanita dalam pakaian penari perut itu muncul dan duduk di hadapan Delisha. Tanpa menurunkan kacamata, Delisha tersenyum kecut pada wanita itu. Maya sambil bertopang dagu ke meja, menatap wanita di depannya. Tak ada yang bisa melihatnya kecuali Delisha. "Wanita dengan kemampuan sepertimu, mengetahui tempat ini menyesakkan dan membawa nasib buruk, tetapi kau masih saja datang. Kau penasaran ingin bertemu dengan Devdas Star Tailes." "Heh, kau pintar juga." "Kebodohanku hanya satu, jatuh ke tangan Devdas Star Tailes dan terlambat bagiku menyesalinya. Pria itu sangat berbahaya, Marianne! Bawa aku keluar dari sini dan kita menjauh darinya." "Membawamu? Kau tak bisa pergi sendiri?" kening Delisha mengernyit. "Kukira kau betah tinggal di sini. Kau bisa melihat Devdas setiap saat," sindirnya. "Walaupun aku sudah mati, aku tetap ingin menikmati hidup, Nona! Melihat pria yang membuatku jadi begini masih hidup dan tampak memesona, membuatku ingin mati saja," tukas Maya. "Awalnya aku tidak mengerti. Karena mati di sini, jiwaku terikat di tempat ini, begitu juga yang lainnya. Jika kami keluar dari tempat ini, kami tidak punya tujuan. Tidak ada yang tahu kami ada. Tidak ada yang merindukan kami dan tidak ada yang menginginkan kami. Kami bisa keluar dari tempat ini kalau ada yang bisa kami tumpangi. Tubuhmu ibarat rumah yang sangat indah dan mewah. Siapa yang tidak tertarik untuk tinggal di tempat seperti itu?" Delisha menyadari hal itu. Tempat tinggal yang indah, tetapi jika dia membiarkan orang lain menumpang, dia khawatir orang itu akan mengambil alih kepemilikan tubuhnya, melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, bahkan bisa menyingkirkannya dari tubuhnya sendiri. Maya menggenggam sebelah tangan Delisha yang bebas. "Bekerjasamalah denganku. Ijinkan aku tinggal bersamamu, maka akan kujaga kau dari makhluk lain yang berusaha mengganggumu." Delisha menelengkan kepala tak percaya. "Harus kuakui, aku memang perlu bantuanmu, tetapi mengijinkanmu ikut denganku ...." "Aku bersumpah, aku akan jadi pengikut yang patuh! Aku tidak akan melakukan apa pun yang bertentangan dengan kehendakmu." Delisha tiba-tiba saja bimbang. Hantu wanita itu menawarkan kerjasama yang sangat menarik baginya. "Bagaimana bisa kau sangat yakin? Memangnya kau punya kelebihan apa?" Delisha menyelidik. Maya memang berbeda dari hantu lainnya. Dia punya penampakan yang sangat cantik, nyaris seperti manusia normal, jika saja dia tidak tembus pandang dan melayang. "Kau penasaran ‘kan kenapa aku bisa seperti ini" Maya tergelak ringan. "Aku menguasai kundalini dan mampu mengontrol semua chakra-ku. Kukira ilmu kebatinan dan tenaga dalam itu hanya berguna saat aku hidup untuk menjalankan ritual dan memikat orang-orang. Pekerjaanku mengharuskanku memiliki daya pikat yang lebih dari artis lain. Ternyata, setelah aku menjadi begini, chakra memberiku kekuatan dan kemampuan mengontrol penampilan." Jika tidak di tempat umum, Delisha ingin sekali bertepuk tangan atas kehebatan wanita itu. Tidak sembarang orang dapat menguasai kundalini dan mampu mengontrol chakra. Maya seharusnya menjadi orang suci. Namun, tetap saja, takdir manusia tidak bisa ditebak, wanita itu malah berakhir mengenaskan dan menjadi hantu. "Pesanan Anda, Nona!" seru pelayan pria berseragam kemeja putih dan rompi hitam. Pria itu datang membawa kereta makanan dan meletakkan satu set sajian Chicken Tandoori serta segelas air putih di hadapan Delisha. Paha ayam bakar itu diguyur kuah berwarna jingga dilengkapi taburan rempah thyme itu harum dan menggugah selera. "Terima kasih!" sahut Delisha sambil melempar senyum manis pada pelayan itu. Setelah pelayan itu pergi, dia kembali menatap hantu Maya dari balik kacamata. "Aku ingin informasi mengenai gadis bernama Sharmila Matondkar," gumam Delisha. "Sharmila Matondkar?" ulang Maya. "Kata ibunya, ayahnya membawa gadis itu ke sini dan tidak pernah kembali. Ibunya menunggu anak itu kembali dan tak tenang selama belum mengetahui kabar darinya." "Baiklah, aku akan mencari tahu, tetapi apa imbalanmu untukku?" "Aku akan mempertimbangkan membawamu, tetapi aku harus melihat dulu hasil kerjamu." Maya semringah. Mata hijaunya berbinar-binar dan dia hampir melompat dari kursi. "Aku akan mencari tahu dan menyampaikan hasilnya padamu secepatnya, Marianne-ji!" ujarnya. Delisha membuka mulut hendak menyantap hidangan ketika suara memanggilnya. "Namaste, Marianne-ji!" sapa seorang laki-laki sambil melangkah mendekat. "Ini luar biasa sekali bisa bertemu Anda lagi, Nona! Boleh saya duduk di sini?" ujar Aftab Shivdasani, Manajer Hotel Golden Star Ia menarik kursi yang diduduki Maya lalu duduk dengan santainya, sementara Maya melangkah mundur dari mereka. "Ah, laki-laki berengsek!" maki Maya, yang tidak didengar oleh laki-laki itu. Sialan! maki Delisha dalam benaknya yang terdalam, karena saat ini dia harus menyunggingkan senyum terpaksa. Sesaat tadi dia berharap dapat menikmati rasa utuh makanan terenak di hotel itu. Namun kedatangan pria berpenampilan laba-laba raksasa itu merusak suasananya. *** Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN