"Karena muntah-muntah yang sangat parah, pasien ini mengalami dehidrasi berat yang mengancam jiwanya," terang seorang paramedis pada Imdad. "Untuk sementara penyebabnya belum bisa diketahui, Tuan, kami harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut." Imdad manut-manut saja dan menoleh iba pada Vijay yang tak sadarkan diri saat dibawa paramedis pergi dengan brankar. Ia segera memerintahkan beberapa anak buahnya untuk membereskan kekacauan di apartemen Vijay serta menyelidiki kemungkinan adanya ancaman lain di apartemen tersebut.Apartemen Vijay, terlepas dari kotoran muntahan dan bau menyengat, sebenarnya tak tampak kejanggalan, kecuali beberapa perabotan rusak di kamarnya. Kerusakan tersebut ia ketahui disebabkan oleh tamu mereka, Nona Marianne Webster yang sempat menginap di kamar tersebut. Imdad menatap berkeliling ruangan apartemen Vijay dan merasa heran tentang perilaku Marianne Webster. Ia mungkin telah melakukan beberapa hal intim dengan wanita itu, tetapi tetap saja, wanita itu dan dirinya sendiri adalah agen Xin Corp. Sebagai seorang agen, tentunya memiliki kemampuan tertentu yang membuat Korporasi memilih mereka. Menurutnya, wanita itu agak aneh. Mengamuk karena tikus dan kecoa dan sekarang Vijay yang sekarat karena penyakit aneh.
Beberapa anak buah dari Xin India dalam baju terusan anti air membersihkan tempat tersebut. Baunya agak berkurang setelah dibersihkan. Namun tetap saja aroma busuk asam tersebut masih menggelayut di hidung Delisha. Dia menumpang ke toilet salah satu tetangga Vijay untuk membasuh mulut dan wajahnya. Dia menatap bayangannya sendiri di cermin wastafel. Wajahnya tampak lelah dan memucat. Dia mendesah lemah, kecewa pada diri sendiri. Dia pandai bela diri dan terbiasa melihat penampakan, tetapi lemah dengan hal-hal yang menjijikkan.
Dia keluar dari apartemen tetangga Vijay dan mendapati koridor apartemen dipenuhi warga sekitar. Mereka berkumpul untuk menonton kejadian. Mendengar ada ambulans datang serta paramedis dan orang-orang berseragam khusus, menarik perhatian warga sekitar. Orang India memang penuh rasa ingin tahu dan senang menonton kehebohan. Mereka pikir itu semacam proses syuting film dan siapa tahu mereka bakalan masuk televisi, terekam dalam salah satu lensa kamera.
"Vighn, vighn!" Bubar, bubar! Seru seorang petugas keamanan, memburu orang-orang itu agar meninggalkan tempat. Mereka membubarkan diri karena merasa tontonan sudah usai.
Dari orang-orang yang bergerombol tersebut, Delisha melihat seseorang yang pancaran auranya menarik perhatian. Wanita bersari merah diselubungi aura hitam serupa dengan makhluk yang menyerangnya tempo hari. Wanita itu menoleh padanya dan melempar tatapan sinis lalu berpaling meninggalkan keramaian. Dia masuk ke apartemennya sendiri yang berada dalam baris yang sama dengan apartemen Vijay. Wanita itu terlalu mencurigakan, bukan? Delisha mengernyitkan dahinya.
Dia menuju apartemen Vijay dan di ambang pintu melihat Imdad membawa koper travel bersamanya. "Ini kopermu," ujarnya pada Delisha. "Apa kau yakin semua barangmu di dalam sini? Atau kau ingin masuk dan mencari sendiri?" Wanita itu menggeleng cepat dan meraih kopernya.
"Apa kamu baik-baik saja, Marianne-ji?" tanya Imdad dengan nada yang lebih akrab. Ia khawatir karena wajah wanita itu tampak pucat.
"Ini sangat menjijikkan. Aku heran kau tampak biasa-biasa saja menghadapinya," sahut Delisha sinis.
Imdad tertawa pendek. "Ini belum seberapa. Aku sering melihat yang lebih parah," katanya "Sebagian orang India hidup bersama tikus dan monyet. Ada yang hidup dengan sapi, bahkan melumuri tubuh mereka dengan kotoran sapi. Tak ada yang salah dengan itu di sini. Itu adalah dewa mereka, budaya mereka, sudah bagian dari hidup mereka. Bagi beberapa kalangan malah bebas buang air kecil dan air besar di mana saja mereka mau."
"Oh, please!" Delisha melenguh ketus agar Imdad berhenti memberikan penjelasan padanya hal seperti itu. Pria itu tertawa menanggapinya.
Seorang petugas Xin India bernama Sunil menghampiri dan bebicara dengan suara rendah. "Bos, ini sangat aneh, Bos!" ujarnya. "Kalau melihat kejadian yang dialami Vijay, sangat besar kemungkinan Vijay Sharma terkena guna-guna, Bos!"
Imdad dan Delisha sama-sama mengernyitkan dahi mendengarnya. "Guna-guna?" ulang keduanya bersamaan.
"Maksudmu sihir? Vijay Sharma kena sihir?" tanya Delisha.
Sunil menggeleng-geleng mengiyakan. "Haan, Marianne-ji, saya pernah mendengar hal serupa dari nenek saya. Katanya orang yang terkena guna-guna ini tidak akan bisa disembuhkan dan akan segera mati."
Wajah Delisha langsung tertekuk serius dan dia berpikir keras.
"Sunil, jangan mengada-ada! Ini bukan hal yang bisa dianggap main-main!" ujar Imdad dingin.
"Saya tidak main-main, Bos, justru saya sangat mengkhawatirkan Vijay. Ia rekan saya!"
Delisha yang berada di ambang pintu menoleh pada hantu wanita bergaun putih tulang yang berdiri di koridor, menunggunya. Delisha bergerak menjauhi apartemen Vijay dan berdiri dekat hantu itu dan pura-pura menelepon lagi. Tanpa disadarinya, Imdad memperhatikan dari jauh.
"Apa kau tahu sesuatu tentang hal ini?" tanyanya sambil menempelkan telepon ke telinga.
Hantu wanita itu berkata sedih. "Nandita sudah lama menyukai Vijay Sharma tetapi Vijay menganggapnya teman biasa. Wanita jalang itu ... dia bahkan merayu suamiku! Jalang busuk! Dia harusnya mati mengenas!"
"Oh, tolonglah! Aku perlu sesuatu yang berguna! Nyawa Vijay sedang dalam bahaya!"
"Kemarin dia memasuki apartemen Vijay. Kurasa dia cemburu Vijay membawa pulang wanita dan tidur bersama. Aku tak tahu apa yang dilakukannya di dalam, tetapi yang jelas wanita itu suka bermain dengan ilmu hitam. Entah guna-guna apa yang dilakukannya pada Vijay."
Delisha memperhatikan di koridor itu ada CCTV. Namun dia tidak yakin CCTV itu berfungsi karena jika wanita itu berani memasuki apartemen Vijay, tanpa merusak kunci, tentunya wanita itu yakin dia tidak akan ketahuan. "Nandita ini ... dia tinggal di mana?"
Hantu wanita itu menunjuk apartemen yang dimasuki wanita beraura hitam tadi!
Delisha menurunkan ponselnya. Dengan langkah mantap dia menuju apartemen itu. Dia sangat tidak suka ada yang mengancam orang yang dikenalnya di bawah hidungnya. Matanya menyeret tajam ke arah pintu itu dan mengetuk dengan keras.
Wanita bernama Nandita membukakan pintu. "Ya?"
Delisha menatap seolah siap menelannya bulat-bulat. Jin hitam legam yang menyerangnya kemarin malam tampak berkelebat di belakang wanita itu. "Apa yang kau lakukan pada Vijay Sharma?!" bentak Delisha sambil mendorong wanita itu ke dalam ruangannya.
"Apa-apaan kamu?! Kurang ajar! Berani-beraninya masuk kemari dan menuduhku sembarangan!"
Imdad dan Sunil yang menyusul Delisha terheran-heran melihatnya.
"Aku tidak menuduhmu! Kau benar-benar melakukannya! Kau telah mencelakai Tuan Vijay!"
Wanita dalam balutan sari merah itu melipat tangannya di bawah da.da dan mendengus ketus pada Delisha. "Atas dasar apa kau menuduhku mencelakai Vijay Sharma? Kau tidak punya buktinya!"
Delisha makin dongkol. Jelas sekali wanita itu tahu apa yang dibicarakannya. Delisha menyeringai. "Oh, aku punya buktinya ... bahkan saksinya ...."
"Tidak mungkin!" seru Nandita cemas. Delisha melangkah mendekati dengan tatapan tajam menghunus.
"Tak lama lagi kau akan menerima akibatnya, karena kau telah membunuh Vijay Sharma!" gertak Delisha.
Imdad dan Sunil memandangi dari ambang pintu dengan mulut terbuka. Mereka tidak menyangka wanita dari Xin Pusat ini langsung menyerang seorang tersangka.
"Itu salahnya sendiri, karena dia telah tidur denganmu, jalang berengsek!!" Nandita memaki. "Karena kaulah Vijay harus menanggung resikonya!"
Delisha tertawa sinis. "Jadi, kau mengakui ‘kan bahwa kau yang mencelakai Vijay. Rasa cemburu telah menyesatkanmu!" tudingnya. Merasa terdesak, Nandita berlari menerjang Delisha, tetapi wanita itu sangat gesit. Dengan sekali gerakan, tangan Nandita dipelintir dan dijatuhkan tengkurap ke lantai. "Kyaaahh!! Jalang berengsek!!" maki Nandita.
"Jangan panggil aku Jalang, Jalang!" geram Delisha sambil menekan punggung wanita itu dengan lututnya. Wanita itu berontak. "Berhentilah melawan, kau tahu itu tak ada gunanya!" bentak Delisha. "Kau sudah tertangkap basah. Sekarang lepaskan guna-gunamu pada Vijay!"
Delisha membawa wanita itu berdiri dengan sebelah tangannya dipelintir di belakang. Dia menghadapkan Nandita pada makhluk hitam legam yang berdiri di depan mereka. Hanya Delisha dan Nandita yang melihat makhluk itu. Mata merah menatap Nandita nyalang. Mulut menggeram dan liur menetes.
“A-a-aku tidak bisa!" sahut Nandita gemetaran. Dia memalingkan wajahnya dari makhluk itu.
"Kenapa tidak bisa?" gumam Delisha di telinganya "Bukankah kau telah membuat perjanjian dengan seseorang?"
"Aku tidak bisa!" rengek Nandita "Seharusnya kau yang menjadi korban, bukan Vijay!"
Delisha terkesiap mendengarnya. Jadi karena makhluk itu gagal mendapatkannya, Vijay yang menjadi sasaran berikutnya. Delisha menyentak tubuh Nandita. Dia menatap tajam pada makhluk buas hitam legam itu. Untuk bekerjsama dengan makhluk seperti itu, harus ada kesepakatan yang dibuat. "Karena kau telah berani bermain dengan kegelapan, Jalang ... kau harusnya tahu, kegelapan bisa mengambil alih dirimu seluruhnya," ujarnya pada Nandita.
Dia lalu berkata pada makhluk hitam legam di depan mereka. "An eye for an eye, a tooth for a tooth." Makhluk itu menatapnya dengan kepala dimiringkan heran. "Kau tahu maksudku!" ujar Delisha dengan gigi terkatup rapat. "Lepaskan Vijay Sharma! Sebagai gantinya, ambil saja wanita ini. Lagipula ..." Delisha menunda sesaat untuk menatap wajah Nandita yang ketakutan setengah mati. "... wanita ini semena-mena memperalatmu."
Makhluk itu menggeram halus tanda persetujuan dan menatap Nandita dengan sorot mendamba. Delisha mendorong Nandita ke arah makhluk itu dan wanita itu tersungkur di lantai. Nandita meringkuk ketakutan sambil berteriak-teriak, "Tidak! Tidak! Tidak!!"
"Jika terjadi sesuatu dengan VIjay, aku akan mencarimu dan menemukanmu!" katanya pada makhluk hitam legam itu. "Kau akan tahu apa saja yang bisa kulakukan padamu, jalang!" Makhluk tak kasatmata itu menyeringai girang lalu menindih Nandita. Wanita itu makin histeris berteriak.
Bagi Imdad dan Sunil yang melihat kejadian itu, mengira Delisha tengah mengancam Nandita dan wanita itu ketakutan setengah mati.
Mereka meninggalkan wanita itu sendirian di apartemennya. Delisha lalu membuat panggilan telepon palsu lagi.
"Terima kasih!" ujarnya pada hantu wanita yang memberinya informasi. "Sekarang beri tahu nama putrimu, aku akan mencoba mencarinya."
"Namanya Sharmila. Sharmila Matondkar," jawab hantu itu.
"Jadi, ke hotel mana suamimu membawanya?"
"Hotel Golden Star!"
Delisha mematung mendengar jawaban wanita itu.
***
Bersambung ...