Fachri menghembuskan nafasnya secara kasar. Saat Arin segera bangkit dari tempat duduknya, karena ponselnya berbunyi.
"Permisi sebentar, Pak. Saya angkat ini dulu." Dengan sedikit membungkukkan badannya Arin berpamitan pergi. Tentu saja Fachri tidak bisa melarang apalagi mencegahnya untuk berdiri. Siapa tahu panggilan tersebut sangat penting, buktinya Arin segera beranjak pergi.
"Sial. Andai saja ponselnya tidak berbunyi, pasti saat ini aku sudah mengetahui siapa pria yang kini tengah menjalin hubungan dengannya," umpat Fachri dalam hati. Mengusap wajahnya dengan kasar, karena Arin yang telah buru-buru pergi. Setelah ini belum tentu ia bisa memancing gadis itu untuk bercerita banyak tentang kekasihnya. Benar-benar kesempatan emas yang telah berlalu begitu saja.
"Dengan siapa?" tanya Arin. Begitu ia sampai di ujung teras ruangan Fachri yang ada di lantai tiga. Arin juga memastikan tidak ada orang lain di sana selain dirinya. Karena ia yakin nomor asing yang sedang menghubungi adalah ibunya Zidan.
Berharapnya begitu, karena Zidan tadi mengatakan ibunya akan menghubungi ketika keadaan mulai membaik.
"Ini Arin, ya?" tanya seorang wanita diujung panggilan. Dari suaranya wanita yang tengah menghubungi sudah berusia paruh baya. Semakin meyakinkan Arin jika itu memang adalah ibunya Zidan.
"Ah, ya, ini Arin. Ini siapa?" tanya Arin berbasa-basi. Padahal Ia sudah tahu jika yang menghubunginya adalah ibunya Zidan.
"Ini Mami, Rin."
"Oh, Mami … apa kabar, Mi? Semoga Mami baik-baik saja. Oh, ya, Mi, Papi bagaimana keadaannya?" tanya Arin cepat. Salah tingkah saat mengangkat panggilan wanita yang mengaku sebagai ibunya Zidan.
"Baik, Rin. Ibu sangat baik dan keadaan Papi juga sudah membaik. Tinggal menunggu papi siuman saja. Beruntung Zidan cepat datang, kalau tidak Mami tidak tahu apa yang akan terjadi dengan papi. Maafin Zidan ya, Rin, pergi begitu saja meninggalkan kamu sendirian di sana. Mami yakin kamu belum puas bertemu dengan Zidan."
"Tidak apa-apa, Mi. Aku paham kok kalau papi lebih membutuhkan daripada aku. Lagipula, kita bisa bertemu kapan-kapan lagi. Tidak harus tadi saja."
"Terima kasih atas pengertian kamu ya, Rin. Mami harap kamu begini terus. Mengerti akan posisinya dan keadaan Zidan. Agar hubungan kalian lancar hingga jenjang pernikahan. Dan Mami juga berharap kamu selalu menyembunyikan hubungan kamu dan Zidan sampai kalian menikah. Takut ada rekan bisnis ataupun saudaranya yang tahu jika Zidan menjalin hubungan dengan mahasiswa seperti kamu. Maaf sekali lagi, bukannya Mami merendahkan atau apa. Hanya saja ingin menjaga hubungan kalian agar tetap utuh. Tahu sajalah, Zidan itu tampan dan kaya raya, sehingga banyak wanita diluar sana yang ingin menjadi istrinya. Mami hanya ingin hubungan kalian lancar hingga nanti.. Paham, Rin?" Terang wanita paruh baya tersebut. Menegaskan sekali lagi bahwasanya Arin belum boleh membawa hubungannya dengan Zidan ke publik.
Dengan alasan yang telah berkali-kali ia dengar dari Zidan. Bahkan sudah sering, hingga ia bosan mendengarnya.
"Iya, Mi. Aku paham dan tahu apa yang harus aku lakukan," lirih Arin. Memandangi kawasan kampus yang tampak indah dari tempatnya berdiri.
Jika Zidan batal tanggung jawab, sepertinya ia tahu harus pergi kemana untuk menyelesaikan masalah secara singkat. Akan tetapi, pikiran konyol tersebut segera ditepis Arin. Ia tidak akan pernah melakukan kebodohan yang akan membuatnya mati konyol.
Tanpa diduga Arin sama sekali, lamunannya dimanfaatkan wanita paruh baya tersebut untuk mengakhiri panggilannya. Karena ia sudah kehabisan kata-kata untuk berbicara dengan Arin.
Arin yang kini diam saja diujung panggilan, hanya dikirimi pesan singkat yang berisi kata maaf terpaksa mengakhiri panggilannya karena di seru dokter. Arin yang sudah terlanjur percaya dengan drama yang dibuat Zidan hanya bisa menghela nafas. Menatap ponselnya yang kini telah gelap karena ia tak kunjung menyentuh layar ponsel tersebut.
Dengan langkah yang begitu berat Arin kembali ke ruangan Fachri. Entah untuk melanjutkan makan siang atau langsung ke tugas yang akan dosennya itu berikan.
"Maaf telah membuat Bapak menunggu. Tadi Ibu saya yang menghubungi dari kampung. Kalau tidak segera diangkat takutnya ntar uang jajan saya dipotong," ucap Arin. Seraya mendudukkan kembali bokongnya di kursi.
"Tidak apa-apa," ucap Zidan. Langsung memutar arah laptopnya agar Arin bisa melihat tabel data nilai yang ada di sana. "Kamu rapikan dan masukkan nilai yang ada di map ini. Setelah itu hitung rata-rata agar tahu berapa nilai rata-rata mereka. Saya akan periksa hasil ujian yang lain."
Arin hanya menganggukkan kepalanya. Menyingkirkan makan siangnya agar bisa leluasa mengerjakan apa yang ditugaskan Fachri kepadanya.
"Kamu nggak mau lanjut untuk makan siang dulu? Baru makan dikit lo kamu, Rin," ucap Fachri. Melihat Arin yang langsung bekerja, bukannya menghabiskan makan siang yang masih sisa setengah.
Arin hanya menggeleng. Tanpa melepaskan tatapannya pada layar laptop. "Aku tidak lapar, Pak. Makan bersambung itu tidak enak sama sekali."
"Makan bersambung yang tidak enak, atau akunya yang lagi nggak enak hati? Karena saya lihat kamu berubah drastis setelah menerima panggilan tadi. Kalau saya boleh tahu, kamu kenapa?" tanya Fachri. Berharap ada peluang lagi baginya untuk tahu siapa pria yang kini dekat dengan Arin.
Namun, kali ini Fachri harus bersabar karena kesempatannya hanya satu kali saja. Karena selanjutnya Arin menjawab,
"Tidak, Pak. Aku tidak apa-apa. Tadi itu ibuku hanya mengabarkan kalau uang untuk membayar kosan akan dikirim sedikit terlambat. Aku diminta memohon kelonggaran kepada ibu kos. Dan Bapak tahu apa yang membuat mood saya turun?" Arin mengangkat kedua alisnya.
"Apa?"
"Ibu kos saya orangnya cerewet dan julid. Saya nggak mau jadi bahan buah bibir para penghuni kost."
"Ohh … itu?" desah Fachri. "Kalau begitu, pulang kuliah nanti saya akan antar kamu pulang dan membayar tagihan kost-an kamu. Sebagai gantinya, kamu harus menjadi saya disini. Dan saya tidak menerima penolakan!' tegasnya. Membuat mulut Arin terbuka.
Matanya mengerjap. Tidak menyangka Fachri akan mengatakan hal tersebut kepadanya. Fachri akan datang dan membayar uang kost? Yang benar saja. Uang kosnya saja belum jatuh tempo. Baru satu bulan yang lalu Ia bayar. Sedangkan uang kost dibayar satu kali tiga bulan.
Arin meringis. Memaksakan senyumannya agar Fachri tidak melihat ada rasa takut yang kini bersarang di hatinya. Takut ia ketahuan berbohong dan malah dikira ayam kampus karena datang dengan pria yang berbeda pula hari ini.
Parahnya lagi, status Fachri yang merupakan dosennya di kampus tentu saja akan menjadi pemandangan yang langka sekaligus gosip terhangat. Tidak bisa dibayangkan jika gosip itu masih tetap bertahan sampai Zidan datang menjemputnya. Tentu saja akan menimbulkan masalah bagi hubungannya dengan Zidan.