Bab 8

1111 Kata
"Gantengan yang ini, Rin," bisik seorang wanita paruh baya Dengan daster bunga-bunga dan rambut yang dirol. Ada tiga rol yang kini bertengger di pucuk kepalanya. Tersenyum sumringah saat berkenalan dengan Fachri. Di matanya, Fachri begitu tampan dan merupakan tipe pria idaman wanita. Hidungnya yang menjulang tinggi, dengan rahang tegas dan alis tebal. Matanya yang jernih di bingkai kacamata dengan bingkai hitam. Dan jangan lupakan. Bulu matanya juga tebal dan lentik. Dadanya yang bidang dan lengannya yang sedikit berotot. Perutnya yang datar dan keras. Fachri juga memiliki tinggi di atas rata-rata. Bahkan Zidan yang sudah memenuhi syarat tinggi untuk mendaftar di sebuah instansi, hanya sampai di telinganya saja. Wanita mana yang tidak terpesona dengan kesempurnaan yang ia miliki. Kecuali Arin tentunya. Cinta butanya telah menutup kedua matanya sehingga tidak bisa lagi melihat pria tampan di dunia ini, kecuali Zidan. "Tante bisa saja. Tapi, bagiku tetap milikku yang paling tampan," balas Arin. Seraya menyikut lengan sang pemilik kost. "Ih, mata kamu siwer apa bagaimana sih, Rin? Jelas-jelas ganteng yang ini. Tinggi yang ini, pastinya gedean yang ini juga senjatanya." Menatap ke arah bawah Fachri, yang tertutup dengan celana bahan berwarna hitam tersebut. "Tante nggak boleh genit," cibir Arin. Memutar bola matanya, malas dengan sikap si pemilik kost yang bersikap terlalu centil. Tapi, tetap memberlakukan kebijakan yang ketat di tempat kosnya. Fachri mengerjap. Kedua alisnya bertaut dan tatapannya kini mengarah kepada Arin. Meminta penjelasan kepada Arin, apa yang sedang mereka bicarakan. Sampai-sampai ibu kostnya menunjuk ke arah bagian benda pusaka yang ia miliki. Arin hanya mengangkat kedua pundaknya dengan acuh. Jujur saja, ia tidak ingin Fachri berlama-lama di tempatnya. Takut tiba-tiba saja temannya yang julid datang dan malah melaporkan yang tidak-tidak kepada Zidan nantinya. Lebih parah, Zidan sendiri yang datang dan malah salah paham nantinya. "Oh, iya, ini siapa kamu? Pacar baru?" tanya ibu kost. Akhirnya menanyakan siapa sesungguhnya Fachri. "Saya dosennya Arin. Datang kesini untuk membayar tagihan uang sewa kost Arin yang sudah jatuh tempo," ucap Fachri cepat. Seraya memeriksa tas ransel miliknya. Wanita paruh baya itu menautkan kedua alisnya. Mencoba mengingat kapan tagihan sewa kost Arin jatuh tempo. "Ah, ya, sudah telat kan, Rin? Ibu sampai lupa karena beberapa hari yang lalu Erin membayar sewa juga. Ibu sampai sulit membedakan mana Arin dan Erin. Astaga … punya dua anak kost seperti anak kembar bikin pusing," ucapnya cepat. Saat jari lentik Arin mampir di pinggangnya yang memiliki lemak berlebih. Ia segera tahu itu adalah kode agar ia menerima saja uang yang diberikan Fachri. Lagipula, tanpa diberikan kode pun ia akan tetap menerima. Untuk penjelasan bisa dibicarakan nanti setelah Fachri pergi. Yang jelas ia bisa belanja karena menerima sewa sebelum jatuh tempo. "Terimakasih banyak Bapak sudah membayar sewa kost saya. Padahal sebentar lagi akan libur semester dan saya mungkin akan pulang ke kampung," tutur Arin. Seraya mengantarkan Fachri ke gerbang utama kost-an. Setelah menerima kwitansi p********n dari si pemilik kost. "Tidak apa-apa. Setelah itu kamu kan tetap balik lagi kesini. Jangan terlalu dipikirkan." Menarik kedua sudut bibirnya. Berpamitan kepada Arin untuk pulang. Fachri mendesah panjang begitu ia sampai di mobil. Cukup kecewa karena tidak bisa mengorek informasi tentang siapa nama kekasihnya Arin. Jika tidak ada tato dengan inisial 'M' di nadinya, bisa dipastikan ia tidak akan sekepo ini dengan identitas kekasih mahasiswinya itu. Fachri yakin pria itu orang yang sama, tapi mungkin menuduh tanpa ada bukti yang jelas. ### ### "Kamu mau selingkuh, ya, sama dosen kamu yang tadi?" Pemilik kosan, yang biasa disapa Ajeng itu mendekati Arin. Mengekor di belakangnya seraya menaiki anak tangga. Arin menghentikan langkahnya. Menoleh dengan tatapan horor kepada Ajeng. "Bukan, Bu. Hanya saja aku tidak ingin tanya ini itu lagi. Aku tidak nyaman jika ada orang yang kepo tentang kehidupan pribadi aku. Meskipun dosen aku sendiri." "Kan cuma sebatas nama dan alamat, Rin." Ajeng membela Fachri yang tadi sempat bertanya tentang kekasih Arin. "Biarpun cuma sebatas nama. Aku tidak suka dan tidak akan pernah mau ngasih tahu." Arin yang tidak nyaman mulai meninggikan suaranya. Andai saja ia cepat tahu bagaimana sifat Fachri, tentu saja tadi Ia sudah menolak bantuan dan tebengan untuk pulang. Sayangnya ia tahu ketika sudah sampai di tempat kos saja. Penyesalan Arin tidak sampai disitu saja. Ia masih berhutang pekerjaan kepada Fachri, sebagai balas budi telah membayar uang sewa kamar kosannya. Semakin sial saja nasib yang akan dialaminya. "Kalau aku tarik kesimpulan dari cerita kamu, Rin. Kayaknya dosen kamu suka sama kamu atau nggak, mengenal sepintas tentang kekasih kamu. Apalagi saat melihat tato yang ada di nadi kekasih kamu." Sonya, teman satu kamar dengan Arin mencoba menyampaikan penilaiannya tentang apa yang ia dengar dari Arin. Meskipun tidak berjumpa langsung dengan Fachri, ia sudah bisa menarik kesimpulan meskipun menurut Arin ia kini mengada-ada. "Ish, nggak mungkin lah. Dia itu dosen yang paling digilai para cewek di kampus. Nafas aja, dia udah bikin kaum hawa berteriak histeris. Tentu saja dia memiliki standar selera yang sangat tinggi, Onya. Dan lagi, tadi kamu bilang apa? Dia kenal Zidan? Nggak mungkin, Fachri itu asli orang Samarinda.. Dan kuliah di Bandung ini, sampai menjadi dosen termuda karena prestasi yang dia miliki. Sangat mustahil rasanya dia nyasar ke Jakarta hanya untuk kenalan sama Zidan. Ini, itu, tidak lebih dari rasa kepo dosen ke mahasiswanya. Aku yakin itu," ungkap Arin. . Dengan cepat mematahkan spekulasi Sonya. Ia benar-benar tidak ingin antara kedua kemungkinan tersebut ada pada diri Fachri. Bukannya apa, Arin tidak ingin dicintai Fachri ataupun memiliki saudara seperti dirinya. Yang cukup kaku dan kadang malah digosipkan pecinta sesama jenis. "Serah deh kalau nggak percaya. Kalau aku sih, yes, dengan dua kemungkinan itu." Sonya masih tetap bertahan dengan argumennya. Tidak tahu kenapa ia bisa yakin dengan kedua pilihan tersebut. "Ya, terserah kamu juga kalau mau mikir gitu. Yang jelas … aku tidak ingin percaya." Acuh, Arin segera bangkit dan meraih ponselnya. Ia beranjak menuju ke balkon untuk mencoba menghubungi Zidan. Berharap nomor pria itu sudah bisa dihubungi. "Kamu nggak ingin memastikan salah satu gitu? Takutnya yang kedua, yang menjadi daya tarik dosen kamu," susul Sonya. Ikut duduk dengan Arin di balkon. Gadis cantik yang kini tengah berjuang dalam ujian, kini duduk di samping Arin dengan laptop di pangkuannya. "Tidak ada salahnya mencari tahu, Rin. Takutnya di Jakarta sana Zidan sudah menikah. Kamu tidak ingin bukan, menjadi seorang pelakor? Jadi … mumpung hubungan kalian belum terlalu jauh lebih baik kamu cari tahu tentang Zidan." Menjelaskan dengan acuh kepada Arin. . Namun, menampar Arin dengan keras, sehingga ia tertegun. Meremas kuat ponsel yang ada di genggamannya. Bisa-bisanya Sonya yang jauh lebih muda darinya bisa berpikir dengan baik. Berpikir dengan otak, bukan seperti dirinya yang tak pandai memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Sehingga menyerahkan tubuhnya kepada pria yang baru dikenal lewat sosial media, Zidan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN