Bab 6

1117 Kata
Kesal? Tentu saja. Arin sudah capek-capek ke gedung tiga, Fachri malah memintanya untuk datang ke ruangannya yang ada gedung utama. Dengan polosnya pria itu memintanya menunggu di sana, seraya meminta tolong membawa tumpukan tugas dari kelas yang kini ia ajar. Dengan langkah yang malas dan bibir mengerucut sempurna, Arin menuju ke ruangan Fachri. Menyusuri lorong dan naik turun tangga, barulah Ia sampai di ruangan dosen termuda tersebut. Arin tertegun. Melihat betapa rapi dan wanginya ruangan tersebut. Memang di kampus tersebut ada petugas kebersihan. Tapi, aroma khas yang menguar dari ruangan Fachri sangatlah berbeda. Sangat khas dan memanjakan indra penciuman. Ruangan cukup luas tersebut juga rapi, tidak berantakan sama sekali. Seraya menanti kedatangan Fachri, yang tidak tahu kapan datangnya, Arin menata buku-buku tersebut di atas meja. Duduk dan melipat tangannya di meja. Melanjutkan tidur yang tadi sempat terganggu karena permintaan Fachri. "Maaf telah membuatmu menunggu lama," ucap Fachri, yang tiba-tiba saja sudah berada di ambang pintu ruangannya. Membuat Arin yang tengah tidur, tersentak. Mengusap wajahnya dan menoleh ke arah Fachri yang kini telah berdiri di sampingnya. "Kita makan siang dulu sebelum mulai." Fachri meletakkan dua buah kantong plastik berisi dua buah kotak dan dua gelas jus jeruk. Kedua alis Arin bertaut. Makan siang? Sudah berapa lama ia tertidur sehingga Fachri datang dan mengajaknya untuk makan siang. Ia yang tertidur lama atau Fachri yang mengada-ada. "Sudah pukul setengah dua belas siang. Waktunya makan siang, bukan?" ucap Fachri lagi. Duduk di kursinya dan mulai membuka kotak tersebut. Aroma sambal yang khas dan ayam goreng yang langsung menggoda indra penciumannya. "Itu …" "Ayam geprek level delapan yang ada di depan kampus. Makanan favorit kamu," sambung Fachri lagi. Mengabaikan Arin yang tertegun, ia telah lebih dahulu memakan makan siangnya. "Untuk saya, Pak?" tanya Arin. Malah termenung melihat kotak makanan yang kini di hadapannya. Fachri mengangguk. Tanpa menghentikan kunyahan di mulutnya. Ia juga tidak memiliki niat untuk mengajak Arin untuk berbicara panjang lebar. Karena ia belum menemukan pembicaraan yang cocok untuk menggali informasi tentang siapa Arin yang sebenarnya. Terlebih lagi, semenjak Fachri menemukan sebuah foto yang sangat mengganjal di hatinya saat memeriksa akun media sosial Arin. Yang ia periksa untuk menemukan makanan favorit mahasiswanya itu. Fachri menemukan sebuah foto, yang menunjukkan sepasang tangan yang saling menggenggam. Dengan caption, 'Semoga hubungan kita segera direstui, agar aku bisa memperkenalkan kamu kepada dunia.' Sungguh sangat romantis. Tapi, menghadirkan tanda tanya besar bagi Fachri. Ketika melihat tato inisial 'M' di nadi salah satu tangan, yang sangat mirip dengan milik suami dari kakak sepupunya. Fachri taku yang menggenggam tangan Arin adalah pria yang kini ia cari. Terlebih lagi tadi subuh mereka bertemu di hotel yang sama dengan sasaran Mayang. Mungkin saja wanita yang dimaksud resepsionis hotel tadi adalah, Arin. "Bapak tahu darimana aku suka makanan pedas?" Cukup lama diam akhirnya Arin membuka suara. Tiba-tiba saja ia terdorong untuk bertanya darimana Fachri bisa tahu makanan kesukaannya. Karena selama ini mereka tak saling tegur sapa. Bahkan berbicara saja tidak, jika bukan urusan kampus. "Media sosial milikmu. Aku mencari tahunya di sana, takut salah membeli makanan untukmu. Maaf, jika aku lancang mencari tahu tentang apa yang kamu sukai." Fachri yang tidak enak hati kepada Arin, memaksakan senyumannya. Agar gadis itu tidak tahu jika kini ia menaruh pikiran buruk padanya. "Ah, nggak apa-apa, Pak. Itu kan media sosial untuk umum. Jadi, ya, nggak masalah mau Bapak lihat hingga ke postingan aku yang pertama kali pun tak apa. Nggak ada yang penting juga." Arin segera menepis ucapan Fachri agar tak berprasangka ia marah atau apa. "Yakin kamu itu media sosial milik umum? Itu tadi saya lihat ada foto genggaman tangan gitu. Setahu saya selama ini kamu tidak memiliki kekasih atau teman pria." Fachri menegakkan punggungnya. Duduk dengan baik dan segera menelan makanan yang masih berada di mulutnya. Takut nantinya ada kabar buruk yang akan membuat makanan tersebut salah jalur. Bisa-bisa harusnya ke lambung malah kembali keluar lewat hidung. "Oohh …, foto itu." Arin segera mengeluarkan ponselnya. Memperlihatkan foto yang dimaksud oleh Fachri. "Ini tangan kekasih saya, Pak. Tapi, sayang, hubungan kami harus ditutupi dari muka umum. Katanya agar tidak ada yang tahu jika kami menjalin hubungan karena dia sedang membujuk kedua orang tuanya untuk memberikan restu kepada kami berdua." "Kenapa begitu?" Fachri mengejar. Arin menarik kedua sudut bibirnya. "Karena aku bukan wanita dari keturunan orang kaya. Jadinya harus disembunyikan sampai waktu yang tak bisa ditentukan." "Ooo, beda kasta ala-ala di sinetron gitu, ya." Fachri mengangguk. "Tapi, Rin. Nama kamu Arina, kenapa tatonya M?" "Tato?" Arin membeo. Melihat ulang foto yang diambilnya dua Minggu yang lalu. Kedua alisnya bertaut melihat kebenaran yang dikatakan Fachri. M, inisial siapa gerangan yang terukir di nadi Zidan? Tentu saja inisial tersebut berhubungan dengan orang yang sangat spesial baginya. "Kamu tidak sadar kekasihmu memiliki tato itu?" Layaknya direktif bayaran, Fachri mengorek informasi yang bisa saja menjadi petunjuk untuk menyelesaikan penyelidikannya. Atau setidaknya ia bisa memastikan kekasih Arin adalah orang yang berbeda dari suaminya Mayang. Arin menggeleng. "Tidak. Aku tidak tahu apapun tentangnya." Dengan kuat Ia menggigit bibir bawahnya. Sungguh sangat bodoh sekali, sudah ditiduri berkali-kali tapi tidak tahu apa-apa tentang kekasih sendiri. Bahkan alamat saja tidak tahu. "Eh, kok?" Fachri mengerjap. Wajah Arin yang tadinya cerah kini berubah suram. Seakan ada kesedihan dan amarah yang berkumpul menjadi satu di hatinya. "Aku dan dia kenal dari media sosial. Aku tidak tahu dia siapa dan tinggal di mana. Yang aku tahu hanyalah, dia seorang pengusaha yang berasal dari Jakarta. Sudah berbicara dengan ibunya, tapi hanya lewat panggilan video saja, tanpa memperkenalkan diri siapa nama dan tempat tinggal beliau." Arin menjeda. Berusaha keras untuk mengingat wajah dari sang ibu mertua. "Aku tidak tahu apa-apa tapi sudah menaruh cinta dan harapan yang begitu besar. Bahkan sudah berharap untuk dinikahi, meskipun setiap dia pergi ke kotanya, aku bisa dikatakan sulit untuk berkomunikasi. Kecuali dia diluar kota Jakarta. Aku bahkan diajak pergi liburan ketika dia ada tugas di kota lain." Fachri tertegun. Ia ingat betul dengan cerita Mayang yang mengatakan sang suami tak lagi mau ditemani jika bertugas di luar kota. Satu lagi poin persamaan yang ditemukan diantara kekasih Arin dan suami Mayang. "Kamu tidak tahu siapa dia dan di mana dia tinggal. saya berharap hubungan kamu dengan dia belum terlalu jauh, Rin," keluh Fachri. Menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia benar-benar takut Arin sudah melangkah jauh mengingat di mana mereka tadi subuh bertemu dan … tanda merah yang masih saja mengintip dari balik leher blouse yang dikenakannya. Fachri juga tidak mampu membayangkan apa yang akan terjadi jika memang kekasih Arin adalah pria yang sama dengan suaminya Mayang. Siapa yang harus mengalah di antara mereka berdua? "Saya …" "Kalau boleh tahu, siapa mana kekasihmu? Dan tolong jangan katakan kamu pun tak tahu siapa namanya!" Fachri menegaskan setiap kata yang ia ucapkan dari mulutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN