Bab 9

1723 Kata
Arin memijat pelipisnya untuk meredakan rasa sakit di kepalanya. Sedari tadi subuh ia tidak berhenti memuntahkan isi perutnya, padahal tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan. Akan tetapi, rasa mual akan sangat mengganggu jika tidak dimuntahkan. Sehingga ia terpaksa bolak balik ke kamar mandi, sehingga mengundang perhatian dari sonya yang kini tengah merias diri. "Rin, kamu mondar mandir terus dari tadi nggak capek apa?" tanyanya. Penasaran dengan Arin yang seakan tak kenal lelah keluar masuk ke kamar mandi. Mengalahkan orang yang lagi terkena diare akut, sehingga tidak bisa diam. "Maunya aku nggak gini, Onya. Tapi, perutku sakit karena masuk angin. Sehingga aku diare dan bolak balik masuk ke kamar mandi. Kamu mau aku bab di sini?" sahut Arin lemah. Dengan kebohongan yang secara mendadak ia rangkai. Tidak mungkin rasanya ia mengatakan bahwa, penyebab bolak balik ke kamar mandi karena mual yang tak kunjung berhenti. "Ooo, masuk angin. Kamu, sih, sok nggak mau makan padahal lapar. Cuma gara-gara si Zidan nggak ada kabar. Jadi sakit begini, kan. Siapa yang repot coba? Kamu sendiri, bukan?" cecar Sonya. Mengambil minyak kayu putih di dalam nakas dan menyerahkannya kepada Arin. "Nih, kamu oleskan ke perut dan tengkuk. Semoga bisa mengurangi rasa tidak nyaman di perutmu." Arin mengangguk. Meraih botol berwarna hijau tersebut dan mengoleskannya seperti yang diminta Sonya. Namun, saat indra penciuman Arin menangkap aroma minyak kayu putih tersebut, ia malah muntah dan segera ke kamar mandi. Mengeluarkan isi perutnya yang hanya tinggal cairan kekuningan saja. Ia juga segera mencuci tangannya agar aroma minyak kayu putih tersebut segera menghilang. "Loh, kok? Arin, kamu kenapa?" seru Sonya. Panik melihat Arin yang muntah-muntah karena mencium aroma minyak kayu putih yang ia berikan. Padahal tidak ada yang salah dengan minyak kayu putih tersebut. Aromanya sama seperti minyak kayu putih kebanyakan. "Aku tidak apa-apa, Nya. Aku rasa ini dampak dari diare. Mana semalam makan ayam geprek level delapan. Makin sakit aja perutku." Dengan bantuan Sonya, Arin mendekat ke ranjang. Perlahan merebahkan tubuhnya di ranjang agar bisa istirahat. "Kamu juga sih yang salah. Penyakit di cari-cari. Ya, begini jadinya. Segala pria itu yang kamu pikirkan, padahal kamu bisa menemukan pria yang lebih baik darinya, Rin." Seraya mengomel Sonya menarik selimut dan menutupi tubuh Arin hingga leher. Agar sahabatnya itu bisa merasakan kehangatan dan kondisinya membaik. "Ini bukan karena dia. Aku sudah tidak peduli lagi dengannya, karena hingga detik ini tidak pernah lagi memberikan kabar. Nomornya pun sudah tidak bisa dihubungi. Sudah lebih dari satu bulan ini aku mulai belajar melupakannya," ucap Arin. Menelan kepahitan yang kini menggumpal di pangkal tenggorokannya. Ia berusaha keras menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya dari Sonya. Agar tidak ada yang sejauh mana hubungannya dengan Zidan telah berjalan. Bukan hanya itu, Arin juga khawatir Tuhan mendengar doanya di hotel waktu itu. Sehingga ia tidak lagi mendapatkan tamu bulanan dua bulan belakangan ini. Tepatnya, semenjak menyerahkan diri secara utuh kepada Zidan. Dan jika bulan ini usai, ia tak kunjung mendapatkan tamu bulanan, genap sudah tiga bulan ia tak mendapatkan tamu tersebut. "Kalau begini sebaiknya kita undur dulu untuk pulang kampung, Rin. Aku takut kamu malah pingsan di kereta, mengingat bagaimana jauhnya jarak yang akan kita tempuh untuk sampai di kampung." Sonya mengusulkan. Ia benar-benar tidak tega melihat Arin yang tengah sakit, harus melakukan perjalanan yang sangat jauh. "Jangan kita. Aku saja, Onya. Aku tidak ingin tiket kamu hangus." Arin menarik kedua sudut bibirnya. "Aku tidak apa-apa, kok. Lagian disini ada bu kos kesayangan kita yang bisa menjagaku." "Nggak bisa gitu dong, Rin. Kita datang bareng pulang juga. Lagian kamu lagi sakit, sangat keterlaluan rasanya jika aku pergi begitu saja meninggalkan kamu sendirian disini. Nggak ngotak namanya itu. Teman sakit malah ditinggal." Sonya menggerutu. Memutar bola matanya malas, tidak suka dengan sikap Arin yang memaksanya untuk pergi. "Astaga, Onya … kamu jelek, ih, kalau cemberut begitu. Aku itu nggak apa-apa, cuman masuk angin doang. Itupun bentar lagi bakal sembuh. Percaya deh sama aku. Lagian, aku masih ada keperluan dengan dosenku senin depan. Tidak mungkin bukan, kamu nungguin aku sedangkan liburan kita cuma tiga Minggu. Setelah itu kita bakal sibuk registrasi untuk semester baru. Lagian, kampus kamu dan aku beda dan setahuku kamu sudah libur dari lima hari yang lalu." "Ya, juga sih. Tapi," "Sudah. Tidak apa-apa. Percayalah padaku bahwa aku akan baik-baik saja," ucap Arin. Menepuk punggung tangan Sonya, yang kini tengah menggenggam tangannya. "Ya, sudah. Kalau begitu aku balik dulu. Kamu jaga diri baik-baik. Kabari aku satu jam sekali. Eh, nggak, ding … setengah jam sekali. Agar aku tahu kamu baik-baik saja," ucap Sonya. Sebelum mencium pipi kiri dan kanan Arin. "Mau titip salam nggak, me ibu? Kalau ya, aku mampir." Arin menggeleng. "Tidak. Kamu juga jangan kasih tahu apa-apa ke ibu dan ayah. Kalau beliau bertanya, cukup katakan aku masih ada tugas yang harus diselesaikan. Nanti aku akan pulang dan akan menjadi kejutan untuk mereka berdua." "Cie-cie, romantisnya. Udah mirip ala-ala gitu, kan, pake kejutan segala. Udah dulu, ya, aku jalan dulu. Satu jam lagi keretaku jalan. Takutnya jalan macet." Lagi-lagi Arin hanya menganggukkan kepalanya. Mengulas senyum dan melambaikan tangannya kepada Sonya, sebelum pintu kamar tertutup. Dan begitu pintu kamar tertutup dan Sonya sudah cukup lama pergi, barulah Arin beringsut untuk duduk. Mencoba menghubungi Zidan, untuk mencari tahu bagaimana kabarnya. Di mana kini ia berada dan Arin juga ingin mengatakan bahwa dirinya sudah terlambat datang bulan. Arin juga mencoba menghubungi nomor yang diyakini sebagai nomor ibunya Zidan. Tapi, sayang keduanya tidak bisa lagi dihubungi. Arin menarik satu sudut bibirnya. Waktu satu bulan yang dijanjikan Zidan kini telah usai. Tapi, usai pula kabar darinya. Dan lebih parahnya lagi kini tamu bulanannya pun turut menghilang entah kemana. Sehingga tak kunjung muncul hampir tiga bulan lamanya. "Aku tidak tahu apa salahku padamu, Mas," gumam Arin. Mengusap foto Zidan yang tersimpan rapi di galeri ponselnya. Foto yang ia dapat secara sembunyi-sembunyi, saat Zidan masih tertidur. Dan karena ia lupa mematikan flash kamera, malam itu Zidan malah terbangun dan menidurinya lagi hingga ia tak sadarkan diri telah ditinggal sendirian di kamar hotel. ### ### "Pak Fachri," gumam Arin. Ia tersentak karena ponsel yang ada di pelukannya berbunyi. Tersentak karena getaran yang berasal dari ponsel tersebut. "Selamat siang, Rin. Kamu di kos, bukan? Keluar dong, aku di depan," ucap dosen muda tersebut. Tiba-tiba saja menghubungi dan mengatakan kini ia tengah berada di luar. Seenaknya saja, mentang-mentang Arin masih memiliki setoran tugas yang masih belum dikerjakan. Jika ia tidak mual, bisa dipastikan saat ini sudah menyelesaikan pekerjaannya. "Ya, Pak, saya masih di kos. Tunggu sebentar. Saya turun sekarang," sahutnya pelan. Memaksakan diri untuk melupakan rasa pusing yang kini tengah mendera. Dengan berat hati Arin beringsut turun dari ranjang. Meraih sweater yang ada di lemari untuk menutupi pundak mulusnya. Karena saat ini ia hanya mengenakan tank top dan hot pant saja. Setelan yang sangat nyaman dikenakan saat tidur. "Ada apa, Pak?" tanya Arin. Saat ia dan Fachri kini duduk di kursi yang ada di teras utama kosan. Tempat yang memang digunakan untuk para penghuni kos untuk menerima tamu. Karena mereka tidak diizinkan untuk membawa tamu pria ke dalam kamar. "Kamu sakit?" Bukannya segera menjawab pertanyaan Arin, Fachri malah balik bertanya Bahkan berusaha menempelkan punggung tangannya ke dahi Arin. "Aku tidak apa-apa. Hanya saja aku baru bangun tidur makanya kusut begini," elak Arin. Sebelum punggung tangan Fachri menyentuh dahinya. "Maaf, aku kira kamu sedang sakit." Sedikit malu karena Arin menolak perhatian darinya, Fachri segera membawa tangannya untuk menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Begini …" "Oh, tugas, ya, Pak. Maaf, aku belum selesai. Kalau Bapak tidak keberatan saya akan memberikannya paling lama tiga hari lagi," susul Arin cepat. Saat menyadari masih ada tugas yang harus diserahkan kepada Fachri. "Bukan, bukan itu. Bukan tugas apalagi pekerjaan. Karena kita sudah sepakat untuk hal yang satu itu, bukan?" Arin mengangguk. Membenarkan. "Lalu?" "Tujuan saya datang kesini untuk mengajakmu ke Jakarta. Untuk menemani saya menghadiri acara perayaan kehamilan kakak sepupu saya, yang waktu itu saya ceritakan. Acara tersebut dilangsungkan di sebuah hotel di Jakarta, dan akan digabung dengan acara anniversary pernikahan kakak sepupu saya tersebut. Karena saya masih single, dan malas menjadi bahan olokan, saya ingin meminta tolong padamu untuk menemani. Tidak lebih." "Jakarta?" Fachri mengangguk. "Acaranya dihadiri oleh para orang kaya bukan, Pak?" Kedua alis Fachri bertaut. "Ma-maksud saya, apakah itu acara besar karena saya tidak memiliki pakaian yang layak dikenakan ke acara besar. Karena yang saya tahu Bapak bukanlah orang sembarangan di Samarinda." Arin meralat ucapannya. Agar Fachri tidak curiga jika ia tengah memastikan bahwa acara tersebut dihadiri oleh orang penting atau tidak. Karena bisa jadi Zidan ada di sana. "Ya, nggak terlalu kaya atau penting juga. Tapi, jika kamu khawatir akan kostum, kita akan pergi berbelanja besok. Sekalian kita cari pakaian yang senada agar semakin meyakinkan kalau kita dekat. Tapi, tenang saja. Aku akan tetap memperkenalkan kamu sebagai teman sekaligus mahasiswa." Fachri menambahkan. Agar Arin tidak berprasangka yang tidak-tidak dan malah menolak ajakannya. "Perginya kapan, Pak? Kalau bentrok sama tugas, kayaknya saya nggak bisa." Arin mencoba berbasa basi. Agar Fachri tidak terlalu curiga padanya, bahwa ia menerima karena ada maksud tertentu. "Weekend depan. Bisa?" "Saya usahakan. Karena setelah setoran tugas, saya mau pulang ke kampung." "Kapan bisa berikan saya kepastian. Kalau kamu tidak bisa, saya akan mencoba untuk mencari bantuan ke yang lainnya." Fachri yang tidak enak memaksa, akhirnya menyerah dan memutuskan untuk tidak mendesak Arin. Ia juga baru sadar, diantara banyak teman wanita dan mahasiswi, kenapa hatinya malah menuntun untuk meminta tolong kepada Arin? Sedangkan ia tahu Arin sudah memiliki pasangan dan kini hubungannya sangat harmonis. Arin juga mengatakan sering pergi dengan kekasihnya dan sebentar lagi akan menikah. Sedangkan kakak sepupunya mengatakan semenjak suaminya tahu bahwa dirinya tengah hamil, tak pernah sekalipun meninggalkannya. Bahkan untuk pekerjaan penting di luar kota, di urus oleh sekretarisnya saja. Dan itu artinya, kekasih Arin dengan suaminya Mayang adalah orang yang berbeda. Pun sama, yang jelas Mayang sudah hamil dan mustahil baginya untuk memilih Arin. "Saya bercanda, Pak. Jangan anggap serius. Saya mau kok ikut, hitung-hitung untuk balas budi atas pekerjaan dan bantuan yang Bapak berikan." Arin segera menenangkan hati Fachri. Agar tak batal mengajaknya ke Jakarta. "Ya, sudah. Kalau begitu saya pamit. Jum'at kita belanja, sabtu pagi saya jemput." Fachri segera pamit dan bangkit dari tempat duduknya. Arin mengangguk dan mengantarkan Fachri ke gerbang depan. Sebagai basa-basi tuan rumah kepada tamu yang ingin berpamitan. "Semoga di sana aku bertemu dengan Zidan," gumamnya dalam hati. Seraya melambaikan tangan kepada Fachri yang mulai menjauh dari pandangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN