Bab 3

2210 Kata
Meskipun hidupnya terasa nelangsa, setelah Zidan merenggut mahkota berharganya dua bulan yang lalu, hidup yang dijalani Arin sudah mulai kembali seperti semula. Ia mulai berdamai dengan keadaan meskipun hatinya masih sakit atas perlakuan dan perkataan Zidan hari itu. Semenjak kejadian itu pula Arin berubah menjadi pribadi yang pendiam dan tertutup. Jika biasanya ia ceria dan banyak bicara, kini tertutup. Arin juga tidak ingin berkumpul dengan teman-temannya, seperti yang ia lakukan jika pulang dari kampus. Kini, sepulang dari kampus ia pasti akan langsung ke ke-kosan. Tidak mampir ke sana kemari seperti yang dilakukannya dulu. "Arin!" seru seorang pria yang yang berdiri tidak jauh dari gerbang kampus. Pria yang telah menghilang cukup lama, sekaligus pria yang telah menghancurkan masa depannya. Dan ya, pria yang sama masih mengisi relung hatinya yang paling dalam. Arin tahu ada seseorang yang tengah menyerukan namanya. Arin tahu ada seorang pria yang berusaha menyusul langkahnya, karena ia tak kunjung menoleh apalagi berhenti. Ia tahu, tapi tak ada sedikitpun niatnya untuk berhenti. Karena hatinya menolak untuk bertemu dengan pria yang tidak mampu menghargai apa yang telah diberikannya. "Rin, Arin … dengar! Tolong dengarkan aku dulu …!" seru Zidan. Seraya mencoba untuk meraih tangan Arin, dan menggapainya. Berharap Arin mau berhenti dan mendengar penjelasan darinya. "Aku pikir kamu tidak lupa dengan kata yang aku ucapkan dua Minggu yang lalu. Aku tidak ingin bertemu denganmu, sebelum kamu mengubah statement dan keputusanmu itu. Kamu tahu, Zidan … apa yang kamu lakukan hari itu sudah menghancurkan hidup dan merendahkan harga diriku. Lalu apa lagi yang ingin kamu bicarakan denganku?" sergah Arin. Akhirnya ia menoleh kepada Zidan dan menantangnya. Matanya membesar dengan rahang yang mengeras. Andai saja ia bisa Arin pasti telah menelan Zidan hidup-hidup saat ini. Saking marah dan kecewanya kepada pria itu. "Oke, jika itu yang kamu inginkan. Jika itu yang kamu mau, agar kita bisa seperti dulu lagi. Ayo kita menikah. Kita menikah satu bulan lagi dari sekarang. Aku sudah menyampaikan kepada kedua orang tuaku bahwasanya aku telah menemukan wanita yang akan aku nikahi. Mereka setuju, asalkan aku menyelesaikan proyek terakhir yang kini tengah aku tangani. Sayang … aku tidak sanggup hidup tanpamu, makanya aku kembali dengan membawa kabar ini.. Aku mohon … jangan seperti ini." Zidan berucap lirih, di ujung kalimatnya. Seraya berlutut di hadapan Arin, memohon agar mau kembali padanya. Dua minggu. Dua minggu lebih ia jauh dari Arin, dua minggu pula ia merasakan kehilangan. Tapi, Zidan tidak bisa menipu kenyataan yang kini sedang dijalaninya. Ia tidak ingin kehilangan Arin, tapi tak mampu pula kehilangan keluarganya. Mungkin ia harus lebih pintar dan sabar dalam bertindak agar kejadian kemarin tidak terulang lagi. Agar kejadian kemarin tidak menghancurkan segala percobaan dan rencana yang telah tersusun rapi. "Aku tidak bisa percaya padamu." Singkat padat dan jelas. Arin menjauh dan pergi meninggalkan Zidan. Takut hatinya kembali luluh dan terlena dengan apa yang pria itu katakan. Terlena dengan mulut manis dan rayuan Zidan yang tak perlu diragukan lagi. Namun, baru beberapa langkah Arin menjauh, tangan Arin telah melingkar di perut ramping Arin. Begitu erat dan kuat. "Aku sangat mencintaimu. Baru dua minggu saja aku tidak bertemu denganmu, aku sudah merasakan duniaku runtuh seketika. Aku merasa tidak sanggup untuk hidup lagi, tanpa dirimu, Rin. Aku mohon padamu berikan aku kesempatan yang kedua kalinya untuk membuktikan bahwa aku benar serius dengan apa yang aku katakan." Masih sama seperti dulu. Setiap kata yang diucapkan Zidan terdengar begitu manis dan menenangkan. Membuat wanita manapun tidak akan mampu menolak dan lari dari pesona seorang Zidan. "Aku ingin bukti jika memang aku yang kamu inginkan. Aku ingin bukti jika kamu memang ingin bertanggung atas apa yang kamu lakukan meskipun aku belum hamil seperti yang kamu katakan waktu itu." Arin berbalik. Mengurai pelukan Zidan darinya. Ia ingin melihat bagaimana mata Zidan berbicara, ketika mengucapkan janji nantinya. Janji yang masih ragu apakah akan ditepati atau tidak. Zidan mengangguk cepat. Menerima tantangan Arin untuk membuktikan apa yang telah dikatakannya. "Apa? Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan padamu, jika benar aku bersungguh-sungguh untuk meminta maaf dan serius akan menikah denganmu." Zidan menangkup kedua pipi Arin. Mengunci pergerakannya, agar tak lari lagi seperti tadi. "Aku ingin menemui kedua orang tuamu. Aku …" Mata Arin membesar. Tiba-tiba saja Zidan menarik tengkuk dan melumat kedua belah bibirnya. Membuat ucapan Arin berhenti dan nafasnya pun sesak, karena lumatan di bibir Arin begitu dalam dan menggebu. Tidak peduli dengan mahasiswa lain yang menatap sinis kepada mereka berdua. "Sayang, bukankah aku sudah mengatakan kepadamu tadi, jika satu bulan dari sekarang kita akan menikah?" tanya Zidan pelan. Seraya menghapus jejak basah di bibir merah muda Arin. "Ayo kita bicarakan ini di tempat lain, agar kamu paham kalau aku benar serius dengan ucapanku." Menggenggam tangan Arin dan membawanya ke mobil, yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri. "Kita bicarakan ini di tempat biasa," ucap Zidan. Seraya mengusap pucuk kepala Arin, yang kini memasang wajah ketusnya. Tidak ingin ikut, tapi tidak bisa pula menolak permintaan Zidan yang mengajaknya untuk ikut dengannya. Selama perjalanan menuju ke tempat yang dimaksud Zidan, Arin hanya diam. Melipat tangannya ke depan d**a, dan menatap ke jalan raya yang ada di sampingnya. Arin tidak ada niat sedikitpun untuk membuka suara apalagi bercengkrama seperti biasanya. Biasanya, saat Zidan mengemudi, Arin akan menggenggam tangan Zidan. Menciumnya berkali-kali, sebagai wujud cintanya kepada Zidan. Mereka berdua juga saling tertawa dan bercengkrama satu sama lain. Siapapun yang melihat pasti iri dengan kemesraan yang mereka tunjukkan. Tapi, kini semuanya telah sirna, hilang ditelan waktu. Arin telah beku setelah luka yang ditorehkan Zidan padanya. "Hotel? Kenapa hotel?" tanya Arin. Menatap tajam kepada Zidan saat mobil yang ditumpanginya masuk ke dalam perataran parkir sebuah hotel bintang empat. Arin tidak terima di bawa kesana, karena trauma atas apa yang dilakukan Zidan padanya malam itu. Zidan meraih tangan Arin dan menggenggamnya. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Bukankah kamu ingin bertemu dengan kedua orang tuaku?" tanya Zidan, dengan suara yang begitu lembut. "Kita akan bicara di dalam, agar lebih nyaman saja membicarakan pernikahan dengan mereka. Aku ingin kedua orang tuaku tahu jika calon istriku ini adalah wanita yang sangat berkelas. Masak ingin berbicara dengan calon mertua di tempat yang terbuka dan ramai orang." Lagi. Arin lagi-lagi percaya jika Zidan memang ingin berbicara serius dengan kedua orang tuanya. Sehingga tanpa ada rasa ragu lagi, Arin turun dari mobil dan mengikuti langkah Zidan. "Sayang, kamu langsung ke resepsionis dan ambil kuncinya. Aku ingin ke toilet dulu sebentar," ucap Zidan. Seraya mengecup pucuk kepala Arin. "Kunci? Bukankah?" Arin mengerjap. Kedua alisnya bertaut mendengar Zidan memintanya untuk mengambil kunci. Bukankah di kamar sudah ada kedua orang tuanya sedang menanti mereka di sana? "Tunggu saja di sana. Nanti kamu juga akan mengerti." Seraya menjauh pergi, Zidan meminta Arin untuk menantinya di kamar. Ia juga melambaikan tangan untuk meminta Arin menemui resepsionis. Tanpa ada rasa curiga sedikitpun, Arin melakukan apa yang dikatakan Zidan. Mengambil kunci dan lebih dahulu pergi ke kamar dengan nomor seratus tujuh belas, yang ada di lantai lima. Dengan bermodalkan sebuah lift, tidak butuh waktu lama bagi Arin untuk sampai di kamar yang akan ia tuju. "Ini dia," gumam Arin dalam hati. Ia segera masuk ketika menemukan kamar yang dimaksud.. Dengan jantung yang berdetak kencang, ia masuk dan duduk manis di sofa, menanti kedatangan Zidan dan kedua orang tuanya. Itupun kalau pria itu tidak menipu untuk yang kedua kalinya. "Sayang, maaf aku telah membuatmu lelah menunggu!" ucap Zidan, yang baru saja masuk ke dalam kamar. Langsung mengunci pintu kamar, yang tadinya dibiarkan Arin terbuka lebar. "Loh, mana …" "Sabar dulu. Kamu jangan langsung marah seperti ini." Zidan memotong. Ia juga menekan pundak Arin, agar kembali duduk manis di tepi ranjang. "Zidan, jangan coba-coba untuk berbohong padaku!" sergah Arin. Kembali berdiri dan mengacungkan jari telunjuknya kepada Zidan, yang kini tersenyum. Mengeluarkan ponsel dari saku jas yang ia kenakan. Tanpa mempedulikan kemarahan Arin, pria itu duduk di tepi ranjang seraya menyambungkan panggilan video dengan seseorang. "Aku tidak ingin lagi masuk ke dalam jebakan pria …" "Hai, Mi! Maaf aku baru menghubungi Mami. Soalnya menantu Mami ini sangat sulit untuk diajak ke tempat yang sepi, agar bisa berbicara serius dengan Mami dan papi. Dia juga menuduhku berbohong seperti yang aku lakukan waktu itu. Dan, ya, seperti yang aku katakan pada Mami, aku telah melakukan hubungan terlarang dengannya. Maka dari itu aku ingin memperkenalkan kalian dengannya agar dia yakin padaku dan mau kembali kedalam pelukanku. Seperti yang kalian ketahui, aku tidak bisa hidup tanpanya," terang Zidan cepat. Saat panggilan video telah tersambung dengan seorang wanita paruh baya. Membuat Arin yang ingin marah, batal mengucapkan umpatan dari mulutnya. Ia memilih diam dan menyimak apa yang dikatakan Zidan kepada wanita paruh baya, yang dipanggil mami tersebut. "Di mana dia? Kenapa Mami tidak bisa melihatnya? Katamu dia akan berbicara dengan kami berdua," sahut wanita paruh baya tersebut. "Dia disini denganku. Sayang, kemarilah!" ajak Zidan. Meraih tangan Arin dan menuntun Arin untuk duduk. Duduk di atas pangkuannya bukan di tepi ranjang yang ada di sampingnya. "Aku malu," gumam Arin pelan. Saat Zidan bersikeras ingin memangku dan ia sendiri ingin duduk di kasur saja. Namun, Zidan telah melingkarkan tangannya di pinggang Arin, sehingga ia tak mampu lagi untuk bergerak. Apalagi berpindah tempat duduk. "Ah, tidak usah malu begitu. Bukankah kamu dan Zidan sudah melakukan hal yang lebih dari itu?" goda wanita paruh baya tersebut. Membuat wajah Arin bersemu merah. Salah tingkah dengan ucapan yang tak memiliki filter sedikitpun. "Tidak perlu malu. Aku sudah mengatakan semuanya kepada mami dan menceritakan apa yang telah kita lakukan. Maaf, aku telah membuka aib kita berdua. Tapi, ini semua terpaksa aku lakukan agar hubungan kita direstui." Zidan berbisik. Seraya menyelinapkan tangannya ke punggung Arin. Mengusap lembut punggung mulus yang masih ditutupi oleh blouse lengan pendek berwarna hijau daun tersebut. Arin menggigit bibir bawahnya. Menghalau rasa aneh yang muncul saat tangan Zidan mulai nakal menjelajahi punggungnya, untuk melepaskan kaitan yang melintang di sana. "Apa yang kamu lakukan," bisik Arin. Tubuhnya menegang ketika Zidan berhasil melepaskan kaitan tersebut. "Tidak ada. Iseng saja. Aku hanya iseng dan kamu tidak perlu khawatir. Lebih baik dengarkan saja apa yang sedang ibuku katakan," bisik Zidan dengan suara yang begitu serak dan berat. Seakan pria itu tengah menahan sesuatu dan Arin pun bisa merasakan sesuatu yang mengeras di pangkal pahanya. "Arina …!" seru wanita paruh baya, yang masih setia memperhatikan mereka dari panggilan video tersebut. "I-iya, Tante." Arina gugup. Tubuhnya panas dingin karena pahanya kini merasakan Zidan yang makin keras saja di bawah sana. "Ah, jangan panggil Tante. Mami saja, sama seperti Zidan." Protes wanita paruh baya tersebut. "Iya, Mi …" Arin yang semakin tidak nyaman, menyahut. "Begini, Nak. Mami ingin memohon padamu untuk memberikan maaf kepada Zidan atas apa yang dilakukannya hari itu. Mungkin dia khilaf dan tidak bisa lagi menahan diri sehingga hal tersebut terjadi. Sebagai ibunya, Mami ingin meminta maaf dengan tulus padamu. Dan Mami juga ingin meminta waktu satu bulan lagi, sampai proyek yang dikerjakan Zidan selesai dilaksanakan. Agar hidup kalian terjamin dan tidak menjadi cibiran dari keluarga Zidan yang lain. Setelah proyek ini selesai, kamu bisa menikah dengan Zidan. Mami akan segera datang ke rumah kedua orang tuamu untuk melamarmu, Nak. Mami mohon, kamu mau karena Zidan bisa gila jika kamu marah seperti kemarin." Dengan mata yang berkaca-kaca wanita paruh baya itu memohon kepada Arin. Membenarkan apa yang dikatakan Zidan tadi, dan semakin meyakinkan Arin jika itu adalah sebuah kebenaran. "Satu bulan, Mi?" tanya Arin memastikan. Satu bulan, tentunya cukup untuk menanti. Satu bulan bukanlah waktu yang lama, hanya tiga puluh hari saja. "Iya, Nak. Satu bulan ini. Mami mohon," pinta wanita paruh baya tersebut. Kembali memohon kepada Arin untuk setuju dengan permintaannya. Arin yang telah mendapatkan keinginannya tentu saja mengangguk. Menyetujui keinginan wanita paruh baya, yang digadang-gadang sebagai ibu kandungnya Zidan. Karena yang dibutuhkannya hanyalah konfirmasi bahwasanya, benar Zidan memang benar akan bertanggung jawab. Setelah bicara banyak hal, Arin pun berpamitan. Berterima kasih karena sudah merestui hubungan mereka berdua. Tinggal menanti tiga puluh hari dari sekarang, maka ia dan Zidan akan segera menikah. Dan ketika panggilan tersebut berakhir, tanpa persetujuan dari Arin, Zidan langsung melemparkan ponselnya ke ranjang. Menarik ujung blouse yang dikenakan Arin ke atas dan melepaskannya. "Zidan …" Arin tak mampu berbicara. Karena Zidan telah membungkam mulutnya dengan ciuman yang begitu dalam. Arin yang tak siap, tentu saja tidak mampu menghindar dan mencegah Zidan untuk menyerangnya. Dalam sekejap, tubuh setelah polosnya telah berada di bawah kuasa Zidan. Arin ingin menjerit, tapi tak mampu. Karena Zidan begitu kuat menguasainya. "Zidan, aku mohon," lirih Arin. Ia menggeleng dengan wajah pias, memohon agar Zidan tidak memasukinya lagi. Sudah cukup satu kali kemarin saja, ia tak ingin lagi berbuat dosa dengan kekasihnya itu. "Aku mohon. Satu kali ini saja, setelah ini tidak lagi. Kamu tidak perlu takut dan khawatir, karena ibuku telah merestui kita, dan bukankah kamu sendiri telah mendengarnya tadi?" Zidan ikut memohon, tanpa menarik diri dari Arin. "Aku …" "Nikmati saja. Karena satu bulan lagi kita akan menikah." Zidan masuk. Menghanyutkan Arin dalam rasa sakit seperti hari itu. Rasa yang masih sama, meskipun tak separah yang pertama. Untuk yang kedua kalinya ia memberikan tubuhnya secara utuh untuk Zidan. Ya, Zidan. Pria yang kini menyatu dengannya, tapi tidak dengan hidupnya. Meskipun Arin telah berbicara banyak dengan sang ibu kekasihnya itu, tetap saja ada dinding tak kasat mata yang menjadi pembatas mereka berdua. Yang bisa saja menjadi pemisah mereka untuk selama-lamanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN