Bab 2
Pertemuan pertama dengan Zidan begitu berkesan di hati Arin. Sehingga pipinya selalu saja bersemu merah saat mengingat momen bahagia saat makan malam bersama Zidan sore itu.
Rasa bahagia yang diwarnai dengan sikap salah tingkah itu semakin menjadi-jadi saja. Karena Zidan semakin intens berkomunikasi dengannya dan memberikan lebih banyak perhatian daripada biasanya.
Komunikasi mereka semakin intens dan terkadang Zidan menemani Arin tidur lewat panggilan video. Meskipun pria itu akan menemaninya ketika lembur saja. Sisanya hanya berbalas pesan saja.
Perhatian yang diberikan Zidan tidak sampai disitu saja. Setiap akhir pekan Zidan akan datang berkunjung. Sekedar untuk makan bersama atau berbelanja keperluan Arin. Tidak lama. Hanya dua atau tiga jam saja.
Perhatian dan pengorbanan yang dilakukan Zidan terhadapnya, membuat Arina memutuskan untuk mengajak bertemu. Mengatakan kepada Zidan bahwasanya ia sudah memiliki jawaban untuk pertanyaan waktu itu.
Tanpa berpikir panjang Zidan langsung menuju ke tempat Arin, meskipun pekerjaannya di kantor masih menumpuk. Akan tetapi, ia tetap pergi agar bisa mendapatkan jawaban yang sesuai dengan keinginannya, sekaligus membuktikan bahwasanya ia serius.
Butuh waktu empat jam lebih bagi Zidan untuk sampai di tempat yang telah ditentukan Arin, sebagai tempat sekaligus saksi bahwasanya akan ada dua anak manusia yang akan meresmikan hubungan mereka.
Mereka berdua adalah Arin dan Zidan yang kini tengah duduk berdua di sebuah taman. Saling menatap malu-malu karena ini adalah hari penentuan setelah sekian lama menanti jawaban.
"Jadi apa jawabannya?" Akhirnya Zidan membuka suara. Setelah cukup lama duduk berhadapan dengan Arin. Menatap wajah cantiknya yang kini merah merona.
Arin yang sedari tadi mengumpulkan keberanian untuk bisa mengucapkan jawaban untuk Zidan, mengangkat wajahnya yang sedikit menunduk. Menggigit bibir bawahnya, menetralkan rasa gugup yang sedari tadi menguasai dirinya secara keseluruhan.
"Aku … aku menerima keinginanmu untuk menjadi kekasih."
Ah, entah apa yang diucapkan Arin saat ini. Kalimatnya tidak tersusun dan terangkai dengan baik. Padahal dari kos-an tadi ia sudah merangkai banyak kata dengan bumbu yang sedikit manis.
Namun, sayang. Saat bertemu dan menatap Zidan semuanya menguap begitu saja. Seakan seluruh kosakata yang ada di otaknya, terhisap begitu saja oleh karisma yang Zidan miliki.
Kedua sudut bibir Zidan terangkat. Mengulas senyum atas jawaban yang diberikan Arin padanya.
"Terima kasih, Rin. Aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu. Aku … aku sangat berterima kasih dan bahagia bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi kekasihmu." Zidan yang terlanjur bahagia, tanpa disadarinya langsung menggenggam kedua tangan Arin.
Arin hanya tersenyum. Melihat binar bahagia di kedua mata Zidan. Untuk artinya, itu sangat tulus dan sudah lama menanti jawaban 'ya' atas pertanyaan waktu itu.
Tidak ingin munafik. Arin pun sudah lama ingin menjawab 'ya', hanya saja harus menanti waktu yang tepat dan lebih banyak pembuktian agar tidak salah dalam mengambil keputusan.
Lagipula, jika dilihat dari sudut manapun Zidan tidak memiliki cela sama sekali. Ia begitu tampan dan sempurna. Lihatlah. Wajahnya yang tampan, dengan hidung menjulang tinggi. Alis mata tebal serta rahang yang begitu tebal, dihiasi dengan rambut - rambut halus. Semakin melengkapi ketampanan yang dimiliki Zidan.
Dari sudut lain. Zidan adalah pria yang sangat perhatian dan penyabar. Royal terhadap wanita dalam segi uang maupun waktu. Sehingga tidak ada cela sedikitpun yang akan membuat wanita manapun menolak kehadirannya. Termasuk Arin, yang telah bertekuk lutut dengan perhatian Zidan selama ini.
Ya, meskipun hingga detik ini masih ada satu hal yang membuat Arin penasaran. Zidan tidak pernah mau melakukan video di rumahnya. Selalu saja di kantor sambil menemaninya bekerja.
Meskipun begitu, alasan yang diberikan Zidan kepada Arin membuatnya bungkam dan menepis segala pikirkan buruk yang selalu membayanginya. Agar tidak ada lagi yang menghambat perkembangan hubungan mereka berdua.
Alasan yang diberikan Zidan kepada Arin adalah, ia tidak bisa mengangkat panggilan video maupun suara karena takut sang ibu mengetahui ada seorang wanita yang dekat dengannya Sehingga mendesaknya agar segera menikah dan memiliki momongan. Sedangkan Zidan tidak mau ketahuan karena ingin Arin menamatkan kuliah sebelum mereka berdua melangkah ke arah yang lebih serius lagi.
Awalnya Arin masih ragu dengan alasan yang diberikan Zidan padanya. Akan tetapi, pria itu tetap membuktikan bahwa ia serius dengan ucapan dan Arin satu-satunya wanita yang tengah dekat dengannya selama ini.
Maka dari itu, keputusan yang diberikan Arin kepada Zidan tetap seperti keinginan mereka berdua. Menjalin kasih dengan status sebagai sepasang kekasih.
Resmi sudah jalinan kasih antara Arin dan Zidan. Meskipun mereka harus dihadapkan dengan jalinan cinta jarak jauh, perhatian dan waktu yang diberikan Zidan padanya tidak membuat Arin merasakan mereka jauh. Bahkan ia merasa Zidan selalu ada di samping dan menemaninya di mana pun berada.
Sesekali mereka berdua liburan bersama untuk melepaskan penat. Tanpa ada rasa takut karena sudah percaya sepenuhnya kepada Zidan, Arin tidak canggung lagi berpergian berdua. Entah itu sekedar liburan ataupun menginap.
Rasa takut terjadi akan hal buruk, tidak pernah sekalipun terlintas di benak Arin. Karena selama ini Zidan hanya berani sampai memeluk saja. Belum ada ciuman kecuali di pucuk kepala dan punggung tangannya. Zidan juga tidak pernah bertingkah aneh, apalagi bertingkah ini itu. Sehingga Arin merasa aman dan nyaman, jika bepergian bersama Zidan. Kemana pun dan kapan pun.
Hingga satu malam, mereka berdua menginap di sebuah hotel. Seperti biasa, jika pulang sudah terlalu larut. Arin tidak mungkin pulang ke kos-annya, takut di usir oleh sang pemilik kos. Di tempatnya tinggal, tidak diperbolehkan untuk membawa pria hingga malam dan tidak boleh pulang di atas pukul sembilan malam.
Sedangkan sekarang? Jam sudah menunjukan pukul setengah sebelas malam dan Arin memutuskan untuk menginap bersama Zidan. Karena memang mereka sudah biasa melakukannya dan tidak ada hal buruk yang terjadi.
Namun, paginya Arin sudah duduk di ranjang. Menangis terisak memeluk lututnya sendiri. Menatap nanar pada noda darah di sprei kasur, bekas perlakuan Zidan tadi malam. Entah apa yang terjadi, pria itu memaksa dan memohon agar mereka melakukan hubungan terlarang yang akan merugikannya sebagai pihak wanita.
Entah apa yang mendasari Arin mau saja dan luluh begitu saja dengan rayuan maut dari mulut Zidan. Dan, ya, akhirnya semua terjadi dan kini Arin hanya bisa menangis. Meratapi kebodohan yang telah merenggut harga. .
"Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu padamu. Meskipun tidak aku akan tetap menikahimu, karena aku sangat mencintaimu, Rin. Jadi aku mohon, jangan menangis lagi agar aku tidak larut dalam rasa bersalah," ucap Zidan lembut. Meraih tangan Arin dan mengusapnya.
Namun, Arin yang terlanjur kecewa dengan apa yang dilakukan Zidan, langsung menepis. Mengangkat wajah piasnya dan menatap tajam kepada Zidan.
Kepala Arin menggeleng. "Aku sudah memberikan kepercayaan padamu, Mas. Aku juga sudah menolakmu dan memohon agar tidak melakukannya. Tapi, apa? Kamu malah memukul dan meminta maaf dengan rayuan dalam waktu yang sama. Berlaku kasar sehingga aku kehilangan segalanya," lirih Arin. Mengusap kasar air mata, yang tak mau berhenti mengalir.
"... dan sekarang, kamu berkata manis dan ingin tanggung jawab? Buktikan hari ini jika memang benar kamu ingin tanggung jawab. Tidak harus menanti aku hamil atau menunggu aku tamat dulu. Karena hasilnya tetap akan sama." Arin menarik nafasnya dalam-dalam. "Jika tidak sekarang, pergilah! Jangan lagi temui aku."
"Rin …"
"Stop!" Arin mengangkat satu tangannya. Meminta Zidan diam, karena ia tidak ingin lagi mendengar rayuan yang akan menghancurkannya untuk yang kedua kalinya. "Tanggung jawab atau pergi!"
"Rin, aku tidak bisa menikahimu dalam waktu dekat. Kamu masih kuliah, dan tolong selesaikan terlebih dahulu." Zidan terpancing emosi. Ia bangkit dan balik menatap tajam pada Arin. "Bukan hanya itu, aku harus menyelesaikan rumah kita terlebih dahulu baru kita bisa menikah. Aku tidak ingin ibuku mengintimidasimu jika kita tinggal di rumah orang tuaku. Mengingat kamu hanyalah seorang mahasiswa biasa yang berasal dari kampung!"
"Mas!!" Arin tergugu. Bisa-bisanya Zidan mengatakan hal tersebut, sedangkan selama ini ia selalu dipuja. Bahkan Zidan selalu mengatakan akan menerima segala kekurangannya. Akan tetapi, sekarang Zidan berani mengucapkan kata setajam itu padanya.
"Apa? Kamu ingin apa? Menuntutku jika dalam waktu dekat aku tidak ingin tanggung jawab? Silahkan!" sergah Zidan. Terlepas kendali sehingga berucap dengan nada suara yang begitu tinggi.
Semakin menyudutkan Arin, yang kini semakin nanar menatap padanya. "Aku kecewa padamu!"
"Terserah kamu ingin kecewa atau apa padaku! Yang jelas aku akan tanggung jawab jika kamu hamil atau ketika kamu lulus nanti. Selain dari itu, jangan pernah berharap kita akan menikah. Tidak ada harta, setidaknya kamu punya gelar untuk diserahkan kepada kedua orang tuaku."
Bak petir di siang hari. Kalimat yang diucapkan Zidan langsung membakar hangus seluruh tubuh Arin tanpa sisa. Harga dirinya sudah direnggut dan kini use pun diinjak-injak layaknya barang tidak berguna.
Bukan hanya itu, bahkan kini Zidan pergi begitu saja. Meninggalkan dirinya sendirian, menangis tergugu di kamar hotel yang begitu luas. Tanpa ada kata perpisahan sedikitpun darinya. Yang ada hanya dentuman keras dari pintu kamar yang ditutup Zidan secara kasar.
Sekarang apa? Nasi sudah menjadi bubur. Arin tidak akan bisa memperbaiki kesalahannya lagi. Karena semuanya sudah terjadi dan waktu tidak akan pernah bisa diputar kembali meskipun hanya satu detik saja.
Harga dirinya sudah hilang direnggut oleh pria yang baru dikenal, dan baru beberapa kali bertemu. Lebih parahnya lagi, Arin tidak pernah tahu di mana alamat lengkap tempat Zidan tinggal. Yang diketahui hanyalah kota Jakarta saja. Bisa dibayangkan. Sebesar apa kota Jakarta yang akan ditelusuri untuk mencari keberadaan Zidan?