Arin mengerjap. Menetralkan pandangannya agar tak lagi buram. Pasalnya ia ingin beringsut melihat pukul berapa saat ini.
"Oh, Tuhan!! Setengah empat? E-empat sore atau …" Arin tergugu. Melemparkan tatapannya pada jendela kamar hotel. Gelap. Satu kata yang cocok menggambarkan apa yang ada di balik tirai tersebut.
"Tidak mungkin," gumam Arin, shock. Segera ia beringsut duduk, seraya menutupi tubuhnya yang polos. Mencari keberadaan Zidan, yang telah berkali-kali menidurinya. "Zidan, di mana dia?"
Arin beringsut turun dari ranjang. Melilitkan selimut di tubuhnya yang polos. Mencari Zidan ke kamar mandi untuk bertanya banyak padanya. Tapi, sayang. Jangankan Zidan, bau tubuhnya saja tidak ada. Pria itu telah pergi.
"Berengsek!!" umpat Arin. Segera meraih ponselnya untuk menghubungi Zidan. Bertanya apa maksudnya meninggalkan ia sendirian di kamar hotel setelah apa yang mereka lakukan dari kemarin sore, hingga tengah malam tadi.
Arin masih bisa merasakan bagian bawah tubuhnya yang nyeri dan tulang-belulangnya remuk secara keseluruhan. Zidan, benar-benar mengambil kesempatan melampiaskan hasrat hingga ia tidak sadarkan diri. Benar-benar pria bajiingan.
'Arin, maafkan aku, terpaksa pergi tanpa pamit. Papi masuk rumah sakit karena jatuh dari kamar mandi. Aku harus pulang karena mami panik melihat papi kritis. Aku ingin membangunkan kamu, tapi tidak tega karena aku yakin kamu pasti kelelahan setelah melewati malam yang panjang. Dengan berat hati aku pergi, dan setelah keadaan baik-baik saja aku akan meminta mami untuk menghubungi kamu. Aku mohon, jangan marah padaku, sayang.'
Arin menarik nafasnya panjang. Menghembuskan secara kasar setelah membaca pesan dari Zidan dua jam yang lalu. Ia menarik satu sudut bibirnya, saat menatap dirinya di cermin lemari.
Rambut yang acak-acakan, dan tubuh yang memiliki tanda merah keunguan bekas percintaan haramnya dengan Zidan. Arin menertawakan dirinya sendiri, yang mudah saja menyerahkan diri kepada Zidan. Meskipun sudah berbicara dengan ibu pria itu, tapi tetap saja tidak seharusnya ia mau saja membuka kedua pahanya untuk dinikmati. Bahkan hingga detik ini Arin tidak pernah tahu di mana alamat Zidan, dan nomor ponselnya langsung tidak aktif ketika pria itu menghilang.
Arin mengusap kasar wajahnya. Berharap tidak ada yang tahu jika ia sudah melangkah sejauh ini. Terutama kedua orang tuanya, yang mati-matian mencari uang di kampung untuk menguliahkannya. Tapi, ia malah bermain api dengan pria dari kota Jakarta, dengan alamat yang tidak jelas sama sekali.
"Bodohnya kamu. Kalau kamu hamil bagaimana?" gumam Arin. Berdiri tegak di depan kaca lemari. Setelah ia selesai mandi dan berkemas untuk kembali ke kosan. Ia mengelus perutnya yang masih rata, menggigit bibirnya dengan kuat untuk menghalau rasa takut yang telah menghantui.
"Tapi …" Arin menatap kosong pada cermin yang ada di hadapannya. Kembali mengingat perkataan Zidan yang akan bertanggung jawab jika ia hamil nanti. Itu artinya, mereka akan semakin cepat menikah jika ia telah hamil, bukan?
"Semoga kamu segera hadir. Agar rasa takutku berkurang dan musnah. Hadirlah, agar aku tak lagi melakukan dosa besar." Gumamnya dalam hati. Berdoa agar benar-benar hamil dan memiliki momongan. Agar tak perlu menanti satu bulan untuk menikah dengan Zidan.
Karena, Arin yakin sampai mereka menikah, Zidan pasti akan terus datang untuk minta dilayani. Dan lagi, ia pasti tidak akan sanggup menolak karena Zidan telah menikmatinya secara utuh.
"Semoga aku segera hamil," gumam Arin. Seraya meraih sejumlah uang yang ditinggalkan Zidan di atas nakas. Yang sengaja pria itu tinggalkan agar Arin memiliki uang untuk pulang ke kosannya yang cukup jauh dari hotel. Termasuk untuk uang belanjanya sehari-hari.
Arin sadar, Zidan meminta dan dilayani. Pria itu meninggalkan sejumlah uang, dan ia sudah mirip seperti wanita bayaran. Arin juga sadar, dijemput di jalan dan pulang sendiri dengan membawa sejumlah uang.
"Tidak ada ubahnya kau dengan wanita bayaran, Rin," ejek Arin kepada dirinya sendiri. Ia menggerutu sepanjang perjalanan dari kamar hingga lobi hotel.. Hingga …
Bugh!!
"Aw!!" pekik Arin. Saat bokongnya terhempas ke atas kerasnya lantai lobi hotel.
"Maaf, saya .. " Seorang pria yang tidak sengaja menabrak Arin, pun meminta maaf dan mengulurkan tangannya untuk membantu. Akan tetapi, ia tertegun melihat siapa wanita yang ditabraknya hingga terduduk di lantai.
"Arin?"
"Pak, Fachri?"
Pekik mereka secara bersamaan. Sama-sama terkejut dengan keberadaan masing-masing, di hotel, di jam yang tak wajar pula.
Fachri, salah satu dosennya di kampus tersebut tentu saja terkejut dengan keberadaan salah satu mahasiswinya di hotel. Subuh-subuh pula, dengan pakaian yang sama dengan hari kemarin.
Ya, Fachri bisa mengingat dengan jelas jika Arin kemarin menggunakan blouse hijau daun, persis seperti yang dikenakannya saat ini. Fachri tidak salah sama sekali, karena dari pagi hingga siang ia mengajar di kelas Arin. Dan itu artinya, gadis cantik itu belum pernah pulang ke rumah, tapi malah mampir ke hotel.
"Arina? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Fachri. Dengan keterkejutan yang luar biasa. Tapi, ia tetap membantu Arin untuk berdiri. Bagaimanapun ia yang menyebabkan gadis itu terjatuh ke lantai.
"Aku … aku menemani kedua orang tuaku yang tengah menginap di hotel ini. Beliau baru datang dari kampung, dan ini … aku mau pulang ke kosan untuk bersiap pergi ke kampus. Takut kesiangan makanya terburu-buru." Arin mengusap tengkuknya. Nyaris saja hilang akal untuk mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan sang dosen.
"Oh, begitu, ya?" Fachri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia berusaha mengingat apakah Arin memiliki jadwal pagi atau tidak. Meskipun otaknya yakin jika Arin hari ini hanya ada kelas siang bersama dosen jurusannya. Ah, semoga saja ia salah dalam mengingat.
Dan semoga saja otaknya saja yang berpikir buruk tentang keberadaan Arin di hotel subuh-subuh begini dan jangan lupakan sebuah tanda merah keunguan yang mengintip di balik leher blouse yang dikenakannya. Fachri meyakinkan diri bahwasanya itu bisa saja sengatan tawon atau nyamuk raksasa.
"Ya, begitu, Pak. Bapak sendiri ngapain subuh-subuh kesini?" Kini Arin balik bertanya kepada Fachri, yang sedang berkelahi dengan akal sehatnya.
"Saya kesini dimintai tolong sama kakak sepupu saya, untuk mengecek apakah benar suaminya disini atau tidak. Dia sekarang tinggal di Jakarta, sehingga tidak bisa mengawasi suaminya. Dan kebetulan, dua hari ini suaminya menemui klien di sini, tapi dia malah dapat laporan jika itu hanyalah sebuah kebohongan semata. Orang suruhan kakak ipar saya malah mengatakan suaminya pergi dengan wanita ke hotel ini, tapi sayang orang suruhannya harus segera pulang karena kakaknya mengalami kecelakaan. Ya, jadinya saya yang melanjutkan tugas untuk memeriksa kebenaran tersebut," terang Fachri secara lengkap. Tanpa menutupi apapun dari Arin.
Karena ia tidak ingin dicap buruk oleh mahasiswinya itu. Akan menjadi gosip yang tidak mengenakkan jika dikira yang tidak-tidak dan tersebar ke seluruh kampus.
"Ohh, gitu, ya, Pak. Ya, sudah. Saya balik dulu, selamat bertugas!" Arin sedikit membungkuk. Berpamitan kepada Fachri untuk pulang.
Fachri hanya mengangguk. Meskipun Arin berusaha menyembunyikan sesuatu, tetap saja Ia yakin ada yang disembunyikannya.
"Lagian, tidak mungkin ada nyamuk raksasa di hotel ini," gumam Fachri. Seraya memperhatikan Arin, yang mulai menjauh dan menghilang dari pandangannya.
Pria dua puluh enam tahun itu hanya bisa berharap Arin tidak terlibat pergaulan bebas, dan tanda tadi … benar-benar bekas gigitan nyamuk. Atau … tanda lahir mungkin?