Bab 20

1991 Kata
Bodohnya aku tak memberikan kabar tentang tidak masuknya aku ke tempat kerja. Oh ya. Tempat kerja yang kumaksud adalah toko buku, bukan warung kopi. Esok harinya, dengan masih tanpa alasan apapun tentang kenapa hari kemarin tidak masuk kerja, aku berangkat ke sana dengan tergesa-gesa. Dari awal aku sudah mempunyai pemikiran buruk. Karena memang di sana itu kedisiplinan adalah nomor satu. Dan aku telah melanggar sesuatu bernomor satu itu. Segala pemikiran buruk terngiang-ngiang di benakku waktu itu. Tak ada sedikitpun hal baik yang bisa aku pikirkan. Dipecat, dimarahi, diberhentikan kerja. Pokoknya semua hal buruk telah aku pikirkan kala itu. Dan benar saja. Saat sampai di sana, tatapan mata mereka semua menyorot tajam ke arahku. Seakan sedang menjadikan aku pusat perhatian. Bos toko buku itu, yang biasanya pun tidak berada di sana, di hari itu dia datang ke sana. Jadilah jantungku harus dipaksa untuk bekerja lebih ekstra. d**a terasa berdebar-debar. Tubuh terasa panas. Bahkan keringatku pun menetes lumayan deras. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku juga takut kalau aku benar-benar harus dipecat. Namun, sepertinya hal yang paling pasti terjadi adalah dipecatnya aku dari sana. Padahal, meski cuma bekerja sebentar, dari toko buku itu aku sudah mendapatkan hasil yang lumayan. Aku berpikir, jika aku benar-benar dipecat, mungkin aku tidak bisa lagi mencari kerja di toko buku lain yang bisa menerimaku. Pasalnya, aku waktu itu hanyalah seorang remaja kelas 10 dan juga waktu untuk bekerjanya pun dispesialkan. Kupikir, mana mungkin ada toko buku lain yang bisa memperlakukan aku seperti itu. "Daniel, ikut saya!" Suara bos besar membuatku merinding. Dia berjalan ke sebuah ruangan khusus yang juga masih berada di dalam toko buku tersebut. Aku tahu itu adalah ruangan yang khusus buat dia. Tidak ada yang boleh masuk kecuali dia, dan tentunya juga karyawannya yang bertugas untuk membersihkan ruangan tersebut. Itupun atas kehendak darinya. Sumpah aku mengakui. Di setiap langkah yang aku lakukan, tubuhku terasa gemetar. Perasaan takut telah menyelimuti sekujur tubuhku. Ya, seorang Daniel Mahendra pun tentunya juga bisa takut. Hanya saja, takut akan hal yang berbeda. "Duduk!" perintahnya dengan nada dingin, menyuruh aku duduk di kursi yang telah tersedia. Masih dengan tubuh yang gemetaran. Aku mencoba mengambil duduk di kursi itu. Tak berani kulihat wajah si bos yang nampaknya sedang sangat marah kala itu. Aku tetap bertahan di posisi menundukkan kepala tanpa berniat sedikitpun untuk mendongakkannya. "Kamu tahu? Apa prinsip utama dari toko buku ini?" tanyanya. "I-iya, Pak. Tahu," jawabku. "Apa?" tanyanya. Aku diam sejenak, kemudian berucap. "Kedisiplinan," jawabku. "Lalu, kenapa kami kemarin tidak masuk kerja tanpa izin?" tanyanya masih mencoba untuk menjadi bos yang baik tanpa harus adanya bentak membentak. Dia memang bos yang baik. Di saat dia menasihati para karyawannya, dia jarang menggunakan bentakan. Ingat! Jarang. Jarang bukan berarti tidak pernah. Dia lebih sering menggunakan cara yang seperti itu untuk membuat para karyawannya merasa ketar-ketir. Ya, memang. Ucapan dinginnya itu, pertanyaan dengan nada tenangnya itu, entah kenapa aku merasa itu malah lebih menakutkan dibanding dengan dibentak-bentak. Karena aku tahu, saat aku dibentak, malah yang muncul di benakku adalah tentang rasa sakit hati. Dari rasa itu, takutku pun berkurang banyak atau bahkan sampai hilang. Tapi, bos toko buku itu telah memberikan sebuah pelajaran yang sangat sulit aku lupakan, bahwasanya caranya yang seperti itu malah berhasil membuatku tidak berkutik. Dia tidak mengeluarkan amarahnya bukan berarti dia tidak tegas. Bahkan tanpa mengeluarkan amarahnya pun dia nampak begitu menyeramkan. "Maaf, Pak. Kemarin...." Aku menggantung ucapanku. "Dan kenapa dengan wajahmu itu?" tanyanya. Itu sudah orang ke sekian yang bertanya tentang wajahku. Wajah yang terluka akibat pertarungan hari kemarin. Aku memegangi wajahku yang terluka. Sakit? Tidak terlalu. Hanya saja itu cuma gerakan refleks yang aku lakukan di kala bosku menanyakan hal itu kepadaku. "Inilah alasannya, Pak, kenapa kemarin saya tidak masuk kerja dan tanpa izin. Saya dikeroyok teman-teman sekelas saya. Dan maaf, Pak. Karena itu saya tidak bisa masuk kerja, kemarin," ucapku. Aku tidak menceritakannya secara detail. Pikirku kala itu, yang terpenting bosku sudah tahu tentang alasan kenapa aku tidak masuk kerja. Tatapannya yang tajam bagai sang elang yang siap untuk mencengkeram ular yang melata di tanah itu membuatku agak takut. Bukan agak lagi, tapi memang sangat takut. Jujur saja, aku lebih suka dimarahi daripada disikapi dengan seperti itu. "Kamu itu di sini kerja, dan kerja pun ada aturannya. Di sini, ada banyak prinsip yang harus dijalankan oleh semuanya, dan yang paling utama adalah kedisiplinan. Dan kamu sudah melanggarnya." "Tapi Pak, saya begitu karena ada alasannya," ucapku melakukan pembelaan diri. "Saya tahu. Bukan saya tidak prihatin dengan musibah yang menimpa kamu, tapi, apapun alasannya aturan tetaplah aturan. Toko buku ini tidak bisa menampung lagi orang seperti kamu. Mulai hari ini, kamu dipecat," katanya. Deg! Rasanya, seluruh dunia berhenti bergerak di saat aku mendengar ucapan bosku. Aku dipecat? Ya, aku dipecat. Ketakutanku pun jadi kenyataan. Dan itu benar-benar sangat menyakitkan. Aku hanya bisa diam sambil menggertakkan gigi atas dan bawahku. Mau marah, tapi siapa yang harus aku marahi? Itu semua murni kesalahanku. Salahku yang di hari kemarin tidak izin kalau tidak bisa masuk kerja. Aku memang bodoh. "Maaf, Daniel. Saya tidak bisa memperkerjakan kamu lagi. Silahkan cari kerja di tempat lain, dan saya harap kejadian seperti ini tidak terulang kembali. Jika memang sungguh-sungguh tidak bisa masuk kerja, izin!" ucapnya. "Iya, Pak." Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku dan mengucap kata itu. Ketakutan yang menjadi nyata. Dunia ternyata sedang tidak bercanda. Lalu apa kau tahu tentang bagaimana aku menyikapinya? Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya rasa penyesalan lah yang ada, atas segala hal yang telah aku terima. Meski begitu, bosku masih sangat baik dengan memberikan uang pesangon untuk aku. Ya, meskipun dia telah memecatku, aku tidak membencinya. Dia memecatku karena memang akulah yang bersalah. Dia simpati padaku, tapi baginya peraturan adalah nomor satu. Aku menghormatinya. Benar-benar menghormatinya. Aku respect pada keputusannya untuk memecatku. Kalaulah ia lebih mengedepankan rasa simpatinya ke aku daripada menjalankan peraturan yang telah ada, pastilah saat itu juga dia akan kehilangan ketegasannya. Karena dia sendirilah yang membuat peraturan itu. Dan satu hal lagi yang perlu diingat. Aku tidak suka dikasihani. Sakit, tapi tak berdarah. Ternyata kata-kata itu bukan untuk sesuatu yang berhubungan dengan cinta saja. Akan tetapi waktu itu aku merasakannya dalam kasus yang berbeda. Kehilangan pekerjaan membuat aku harus merasakan sakit itu. Kota Metropolitan bukanlah sebuah kota yang mudah menyediakan pekerjaan. Andai aku hidup di desa, mungkin aku masih bisa bekerja menjadi buruh tani di sawah. Tapi di Jakarta? Apa yang bisa dilakukan oleh anak remaja sepertiku? Aku tidak menyalahkan siapa-siapa atas kejadian buruk yang menimpaku itu. Aku tidak menyalahkan Dito dan kedua temannya yang membuatku harus terlambat untuk datang ke tempat kerja. Aku juga tidak menyalahkan Shela yang menyita banyak waktuku untuk mengantarkannya. Karena biar bagaimanapun juga, waktu itu akulah yang bersikeras untuk mengantarkan dia. Dan jikalaupun saat itu Shela yang memaksa ingin aku antarkan pulang, aku pun tetap tak akan pernah menyalahkan dia. Aku masih bisa bersyukur. Meski dipecat dari toko buku, setidaknya pekerjaan di warung kopi masih terus jalan. Penghasilanku dari sana pun juga sudah lumayan banyak. Cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. "Kamu gak ke toko buku, Niel?" Bapak bertanya kepadaku kala itu. "Hufff ... Aku belum cerita ke bapak, ya?" ucapku tenang. "Cerita tentang apa?" tanya bapak. "Aku udah dipecat, Pak. Aku udah gak kerja di sana lagi," jawabku jujur. Menurutku, jujur memanglah satu-satunya pilihan yang harus aku pilih. Tanpa kejujuran, bisa jadi semuanya akan menjadi lebih rumit. "Dipecat? Gara-gara apa?" tanya bapak. "Ya, gara-gara kemarin itu. Kan aku gak masuk kerja dan gak izin," jawabku masih mencoba santai. "Ya sudahlah, Pak. Meski aku udah dipecat dari sana, aku janji akan mencari pekerjaan yang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga kita," lanjutku. Si manusia bodoh nan sok kuat ini, dulunya benar-benar tidak memperdulikan dirinya sendiri. Dengan begitu mudahnya dirinya mengikrarkan janji, dan sekalinya berjanji itu harus ditepati. Ya, itulah aku. Kalau aku ingat-ingat kembali, aku merasa apa yang aku lakukan adalah sebuah tindakan yang bisa dibilang menghancurkan diri sendiri. Bagaimana tidak? Menurutku janji adalah hutang. Jika seandainya aku tidak pernah bisa mendapatkan pekerjaan baru, lalu bagaimana jadinya? Dan itulah aku. Pada akhirnya pun aku berhasil mendapatkan pekerjaan baru. Sebuah pekerjaan yang tempatnya masih sejenis dengan tempat kerja yang dulu, yaitu toko buku. Tapi, sebelum pekerjaan itu berhasil aku dapatkan, sudah banyak perjuangan yang kulalui hingga bisa mendapatkannya. Aku tidak pernah cerita ke Shela soal itu. Sekalipun tidak pernah. "Hadirmu tak pernah kutunggu. Kau datang dengan sendirinya untuk meminta waktuku. Dari situ aku sadar tentang pentingnya aku bagimu. Lalu perlahan, aku mulai membuka hatiku. Untuk bisa mencintaimu." Sebuah kata-kata singkat yang sangat bermakna pernah aku tulis di dalam sebuah buku tulis. Kata-kata itu tentunya aku tujukan ke Shela. Ya, saat itu, saat di mana ia telah menemukan kalungku yang dibuang, ada perasaanku padanya yang tak bisa kuungkapkan, yaitu cinta. Dulu, sebelum hal itu terjadi aku masih ragu apa perasaanku itu adalah cinta atau apa. Akan tetapi, setelah ia membuktikan tentang kepeduliannya padaku, aku jadi yakin bahwa perasaan yang ada di dalam diriku adalah cinta. Meski begitu, aku masih tidak berani untuk mengungkapkannya. Semenjak hari itu, dia telah kuanggap sebagai orang terbaik yang terlahir dari keluarga kaya. Berbeda dari kebanyakan golongan mereka yang bisanya cuma menindas para kaum di bawahnya. Aku pun pernah dinasihati oleh Kak Soni ketika aku menjenguk dia yang masih berada di dalam penjara. Ketika aku berbicara tentang Shela untuk yang ke sekian kalinya, akhirnya dia mengeluarkan sebuah kata-kata yang tak bisa aku lupakan selamanya. "Seseorang itu akan datang dan tetap selalu bertahan untuk mencintaimu. Bukan karena dia tidak bisa mendapatkan orang lain selain kamu, tapi karena rasa cintanya yang sangat tulus ke kamu hingga membuat dia ingin terus bertahan." Dan kurasa Kak Soni memang benar. Pasalnya aku juga pernah mendapat jawaban langsung dari Shela ketika aku bertanya tentang kenapa dia bisa menyukai aku. Dia menjawab bahwa dia tidak tahu. Katanya rasa itu datang dengan sendirinya. Kalau kau jadi aku, mungkin kamu pun akan berpikir sepertiku. Apa yang gadis secantik Shela cari dari aku? Aku ini hanyalah seorang lelaki biasa yang bahkan tidak dapat menjaga penampilannya. Aku tak mengerti tentang dunia modern. Aku tak peduli dengan gaya-gaya kekinian. Aku tak pernah mengikuti gaya anak-anak muda seusiaku. Aku cuma memikirkan tentang makan apa keluargaku besok. Akan tetapi, malah datang gadis cantik, kaya dan mungkin juga hampir sempurna di dalam kehidupanku. Dia secara terang-terangan bahwa dia menyukaiku. Bagaimana aku tidak bingung bagaimana cara menyikapinya. Kalau kau jadi aku pula, kau mungkin akan menyelidikinya terlebih dahulu tentang kenapa dia bisa menaruh perasaan suka. Apa perasaan itu cuma bercanda, ataupun sungguh-sungguh nyata. Atau bahkan dusta yang terdapat maksud terselubung di dalamnya. Tapi meski begitu, semenjak kejadian yang terjadi di hari itu aku sudah mulai mempercayai Shela. Mempercayai bahwa ia memang tidak mempunyai maksud lain ke aku. Sikap yang ia tunjukkan kepadaku itu adalah murni dari bentuk rasa cintanya. Mungkin aku lah manusia yang paling beruntung di muka bumi ini. Dalam keadaanku yang seperti itu, ada seorang gadis cantik, kaya dan hampir sempurna yang mau mencintaiku apa adanya. Sialnya, aku tak begitu pandai dalam hal percintaan. Tidak, bahkan bisa dibilang bodoh dalam hal itu. Gengsi adalah sesuatu yang tidak aku sukai, akan tetapi sesuatu itu malah aku terapkan dalam hal mengungkapkan rasa cinta. Ya, aku tak pernah bisa mengungkapkan rasa itu ke Shela. Meski sang kuasa seakan telah menakdirkan kami berdua untuk selalu bersama, menjalani kesulitan bersama-sama, dan tertawa juga bersama, tapi raga ini tetap saja menolak untuk menunjukkan apa yang ada di dalam sang hati. Di sisi lain, aku juga ingat tentang pesan dari guru ngajiku sewaktu aku kecil dulu. Ia pernah bilang bahwa pacaran itu dilarang. Mendekati zina katanya. Tapi aku ini tetaplah manusia biasa, yang setidak peduli apapun aku terhadap kaum hawa, tetap aku masih butuh sesuatu yang disebut cinta. Aku mencintai Shela. Tidak bisa kupungkiri hal itu. Di hati hanya ada perasaan bingung yang menghantui. Bingung tentang bagaimana caraku untuk mengungkapkan rasa itu. Dan aku merasakan sesuatu yang sangat menakjubkan di mana di saat seseorang selalu memendam perasaannya, justru rasa yang ia pendam itu malah bertambah semakin besar dan besar. Itulah yang kurasakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN