Bab 19

1013 Kata
"Syuttt! Jangan keras-keras! Nanti bapak kebangun," kataku. Ya, memang. Malam itu bapak sudah tidur terlebih dahulu. Memang seharusnya juga seperti itu. Biar bagaimanapun juga, bapak harus menjaga kesehatannya. Dan salah satu caranya adalah dengan tidur lebih awal. "Ah, iya iya, Kak. Maaf," ucap adikku. "Lagian kakak ditanya serius malah bercanda mulu," lanjutnya. Ya begitulah cewek, setelah minta maaf, permintaan maafnya pasti diiringi dengan ucapan menyalahkan. Hahaha. "Kan kakak masih mengingat-ingat. Kakak beneran lupa, Dik," ucapku. "Ya udah, kakak inget-inget lagi!" perintahnya. "Oke, tunggu!" Aku kembali bertingkah seperti sebelumnya. Biar di pikiran dia aku terlihat sedang mengingat-ingat sesuatu, padahal sebenarnya pun tidak. "Sudah ingat belum?" tanya adikku dengan polosnya. "Ah, sudah," jawabku. Dia mengangkat sebelah alisnya. "Luka-luka ini disebabkan oleh gigitan setan yang terkutuk," ucapku kala itu. Salsa melihatku dengan malas. Lagi-lagi ia tak percaya dengan apa yang aku katakan. Ya memang pilihan yang tepat bagi dia untuk tidak mempercayai aku. Karena kata-kata yang aku ucapkan pun tidak bisa diterima oleh akal sehat. "Sudahlah, malesin. Ditanya betul-betul jawabnya gitu mulu. Aku anggap luka kakak itu karena berantem. Titik," kata adikku. "Idih, ngada-ngada," ucapku. "Habisnya kakak nggak mau ngasih tahu," katanya. "Kan udah kakak kasih tahu dari tadi," ucapku. "Apaan? Jawaban kakak aja gak jelas," kata adikku. "Lha kan emang itu jawabannya," ucapku. "Ah, sudahlah. Mending aku tidur. Bodoamat sama luka-luka kakak," katanya. "Alhamdulillah," ucapku. "Kok alhamdulilah?" tanyanya. "Emang gak boleh?" tanyaku balik. "Ya boleh, sih." "Ya udah." "Cih. Oke deh, oke. Aku mau tidur aja," kata adikku agak emosi. "Perlu kakak anter sampai kamarmu?" tawarku. "Gak usah." "Yakin?" "Kakak lama-lama ngeselin, ya?" ucapnya. "Ya iyalah. Kakaknya siapa dulu, dong?" ucapku bangga. "Cih. Terserah deh, terserah." Kala itu adikku pun pergi meninggalkan aku. Aku tertawa seiring dengan kepergiannya. Puas sekali rasanya membuat adikku kesal. Si gadis polos nan imut itu memang sangat lucu kalau sedang kesal. Dia memang sangat perhatian padaku. Aku bahkan meyakini bahwa saat dia sudah berada di dalam kamar, dia masih tetap memikirkan tentang luka yang aku derita. Mungkin pula dia tidak bisa tidur karena saking memikirkannya. Aku sudah mengira sebelumnya, bahwa perselisihan antara aku dengan Dito tak akan selesai begitu saja. Lewat pertarungan tiga lawan satu itu, aku tidak yakin bahwa itu adalah sebuah bentuk dari penyelesaian masalah. Justru itu adalah awal dari sebuah permasalahan. Dan benar saja, kala itu di hari yang cerah, aku, Dito dan kedua temannya dipanggil oleh Pak Handoko dan diseret ke ruang guru. Kami benar-benar disidang. Tidak, maksudku aku saja yang disidang. Si tua bangka sombong dan anak manjanya itu telah menekan Pak kepala sekolah agar membuat aku berada di posisi yang salah. Katanya aku yang menghajar mereka bertiga. Kalau boleh tertawa, aku jelas ingin tertawa saat itu juga. Alasan macam apa itu? Sebuah alasan yang bahkan mungkin si anak kecil saja tak kan pernah mempercayainya. Namun lagi-lagi, semua terletak pada tekanan orang yang punya harkat dan martabat tinggi itu. Dan di situlah letak kebencianku terhadap orang-orang kaya. Mereka yang memanfaatkan kedudukan untuk menciptakan ketidak adilan yang menguntungkan diri sendiri dan menghancurkan orang lain, bagaimana mungkin aku bisa memaklumi itu semua. Saat itu, sebuah keberanian besar tiba-tiba muncul dari dalam diriku. Aku melakukan pembantahan. Pembantahan yang tidak akan dipercayai oleh orang lain kalau tidak melihatnya langsung. Berkat hal itu, dan dikuatkan oleh satu hal yang lain, yaitu video bukti pengeroyokan yang dilakukan oleh mereka bertiga kepadaku, akhirnya aku dinyatakan tidak bersalah. Masih kuingat betul tentang bagaimana wajah malu-malu dari si tua bangka itu. Dia yang sebelumnya marah-marah tidak jelas setelah melihat ada bukti video tersebut seketika langsung diam dan mengunci mulutnya rapat-rapat. Jika waktu boleh diputar kembali, aku hanya ingin melihat hal itu sekali lagi. Entahlah, rasanya puas sekali ketika melihat orang yang sebelumnya merasa paling benar tiba-tiba berubah menjadi orang yang merasa telah bersalah dalam waktu yang tidak begitu lama. "Terima kasih, Shelania. Gue tahu bahwa Lo yang telah mengirim video itu. Gue janji tidak akan pernah melupakan kejadian ini. Gue janji suatu saat akan membalas menolong Lo. Ini janji yang tidak akan aku lupakan selamanya. Meski Lo juga merupakan bagian dari mereka, tapi gue rasa Lo berbeda, Shel. Sungguh gue gak akan melupakan ini," ucapku dalam hati. Ya, siapa lagi yang mengirim video itu kalau bukan si Shela. Kenapa aku bisa berpikir seperti itu? Karena dialah satu-satunya saksi mata yang melihat semua konflik antara aku dengan Dito dan kedua temannya itu. Sejak saat itu hubunganku dengan Shela semakin dekat. Hanya dekat, belum sampai ke tahap sebagai orang spesial. Aku yang biasanya sangat dingin ke dia, setelah kejadian itu terjadi sikapku berubah menjadi lebih hangat. Kukira, saat itu aku cuma ingin menunjukkan rasa terima kasihku saja ke dia. Dan tentang bagaimana cara untukku menunjukkannya, jawabannya adalah dengan cara yang seperti itu. Aku sering menunjukkan sikap hangatku ke dia. Bahkan bisa dibilang hampir di setiap pertemuan, aku selalu bersikap hangat ke dia. Jika kulihat dari raut wajahnya yang cantik itu, dia terlihat sangat bahagia. Cara bahagia yang sederhana. Entah kenapa setiap kali aku melihat dia, aku jadi teringat akan Salsa, adikku. Baik Shela maupun Salsa, keduanya adalah dua gadis yang gampang untuk menemukan kebahagiaannya. Maksudku, lewat hal yang kecil dan sederhana, mereka bisa merasakan apa itu kebahagiaan. Aku tak tahu kenapa mereka bisa memiliki persamaan seperti itu. Yang pasti, awalan nama mereka pun sama-sama "S". Shela dan Salsa. Ah, sebenarnya tidak hanya sikapku saja yang berubah ke dia. Perhatianku juga berubah. Berubah menjadi lebih besar. Hanya saja, aku sulit untuk menunjukkannya. Kau tahu? Aku sering mengawasi dia dari jauh. Hal itu kulakukan semata-mata hanya untuk memastikan dia aman. Aku tak mau kalau dia kenapa-napa. Ya entah mengapa. Mungkin sesuatu yang bernama cinta telah memaksaku untuk mempunyai perasaan yang sedemikian rupa. Di samping itu, dan karena kejadian di hari itu pula, maksudku hari di mana aku berkelahi dengan tiga orang sekaligus sampai babak belur. Ya, waktu itu aku terpaksa harus tidak masuk kerja karena memang sudah terlanjur telat. Dan sialnya, aku tidak memberi kabar pada bosku kalau aku tidak bisa masuk kerja karena suatu hal. Memang, di dalam satu hari itu tersimpan banyak sekali misteri. Entah itu misteri yang berisikan hal baik atau bahkan hal yang buruk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN