Bab 21

1369 Kata
"Kalau Lo emang cinta ke dia, ungkapin!" Entah itu kebetulan atau tidak, di saat aku ingin menghidangkan kopi kepada pelanggan, aku mendengar perkataan semacam itu keluar dari mulut salah satunya. Bagai sebuah sindiran keras buatku, meski sejatinya percakapan itu bukan membahas tentangku. Kuhidangkan kopi yang mereka pesan, dan entah kenapa aku malah merasa tertarik dengan apa yang ingin mereka bicarakan setelahnya. Aku menguping dari kejauhan, berharap bisa tahu apa akhir dari percakapan itu. "Susah, Al. Gue takut kalau dia nolak gue." "Hadeh. Jadi cowok pengecut banget sih, Lo." "Cih. Se pemberani apapun cowok, kalau udah masalah cinta itu berat." "Hufff.... Ya terserah Lo aja sih. Kalau Lo pengen dia jadi pacar Lo, Lo juga harus berani untuk ngungkapin perasaan Lo. Meski dia nanti menolak, setidaknya Lo sudah mencoba. Daripada Lo pendam perasaan Lo dan malah ada orang lain yang ngungkapin cinta ke dia. Dan dia menerimanya. Heh, itu malah lebih menyakitkan." Aku tak tahu siapa mereka berdua itu. Yang pasti, mereka adalah pelanggan di warung kopi itu. Nama mereka aku pun tidak tahu. Umur mereka, ya aku juga tidak tahu. Tapi, lewat percakapan dari keduanya itu aku jadi dipenuhi dengan perasaan takut. Rasa takut akan kehilangan Shela. Maksudku, seperti kata salah satu dari mereka, jika aku tidak berani mengungkapkan perasaanku ke Shela, dan suatu saat malah ada yang mengungkapkan cinta ke dia, mungkin itulah saat-saat di mana aku akan menyesalinya. Secara tidak langsung, aku telah mendapatkan dorongan yang cukup kuat untuk mengungkapkan segala perasaanku ke Shela. Tapi, apa kau tahu yang aku lakukan setelahnya? Aku masih tak berani melakukannya. Banyak hal yang menjadi penghambatnya. Khususnya karena aku tahu dia itu anak dari orang yang kaya raya, sedangkan aku adalah anak yang terlahir dari keluarga yang terbilang miskin. Aku berpikir kala itu. Kalau sampai aku dan Shela benar-benar akan pacaran, apa kata dunia? Apa kata orang-orang di sekolahanku nanti? Apa kata guru-guruku nanti? Dan yang paling menakutkan adalah apa kata keluarga Shela nantinya. Ya, mungkin ibunya, atau perempuan yang selalu Shela panggil dengan sebutan "Mama" itu telah memberikan tanggapan yang cukup baik kepadaku sewaktu aku mengantarkan Shela pulang pada hari itu. Akan tetapi tanggapan baik itu adalah karena aku ini teman dari anaknya itu, dan aku juga baik pada anaknya. Aku tak tahu, entah tanggapan seperti apa yang akan ia berikan jika ia tahu bahwa anaknya itu berpacaran denganku. Itu baru ibunya. Belum lagi ayahnya yang bahkan saat itu sekalipun aku belum pernah bertemu dengannya. Katanya, ayahnya Shela itu pemilik perusahaan terbesar di kota Jakarta. Kalau ia tahu anaknya berpacaran denganku, mungkin ia akan langsung menentangnya. Ya, aku sadar akan posisiku. Sang pemilik perusahaan besar seperti ayahnya Shela pastinya akan malu jika anaknya mempunyai pacar sepertiku. Aku tak bisa berbuat apapun. Sungguh, aku tidak sedang bercanda. Rasanya aku ingin mengutuk diriku sendiri. Kenapa aku harus merasakan yang namanya jatuh cinta? Dan kenapa pula orang yang aku cintai harus dia? Apa tidak ada gadis lain yang lebih sebanding denganku? Ingin kubuang rasaku itu jauh-jauh, dan mulai untuk melupakan cintaku ke Shela. Biar bagaimanapun juga, aku rasa aku tidak sebanding dengannya. Akan tetapi setiap kali hal itu terjadi, perasaan itu malah menjadi semakin besar. Tiap malam, setiap kali aku berjaga di warung kopi, selalu kunanti-nantikan kehadiran si gadis cantik itu. Terkadang harapanku pun terkabul dan terkadang juga tidak. Penantian yang kulakukan pernah menjadi sia-sia yang berakhir dengan rasa kecewa. Aku bodoh. Aku hanya mampu mencintai dan mengagumi dalam diam, tapi tak sanggup untuk mengungkapkannya. Suatu hari, dikarenakan perasaan yang ada di dalam hatiku itu tak mampu aku bendung lagi, aku pun datang ke kantor polisi untuk meminta pendapat dari Kak Soni. Jangan tanya kenapa selalu dia, Firman, bapak, Shela, atau juga adikku yang bisa kujadikan lawan berbicara, karena memang cuma orang-orang itulah yang mau melakukan percakapan denganku. Orang-orang di kelasku? Heh, mungkin cuma hinaan yang bisa mereka berikan ke aku. April? Dia memang gadis yang baik, tapi dia juga tidak pernah berani berbicara denganku. Mungkin takut kalau dia juga akan terbully di kelas. Lagipula, misteri sang pengirim pesan misterius itupun saat itu belum aku ketahui. Ya maaf saja jika ada yang bosan tentang kehidupanku. Kenapa cuma orang-orang itu saja yang bisa menjadi lawan bicaraku. Aku ini tak punya teman. Bahkan teman-teman SMP ku pun mungkin sudah melupakan aku gara-gara sudah mendapatkan teman-teman baru. Dan karena sifatku yang seperti itu, aku jadi sulit untuk berinteraksi dengan orang baru selain mereka-mereka itu. "Eh, kamu lagi, Niel," kata Kak Soni ketika aku mengunjunginya. "Iya Kak. Hehehe," kataku sambil tertawa kecil. "Bapak sama ibu gimana? Mereka sehat, kan?" tanya Kak Soni. Maksudnya adalah bapak dan ibu dia. "Alhamdulillah, sehat kok Kak," jawabku kala itu. "Syukurlah." "Tapi bukannya kemarin bapak sama ibu Kakak sudah berkunjung ke sini. Kenapa masih nanya keadaan mereka?" tanyaku tak paham. "Itukan kemarin. Aku nanyanya keadaan bapak sama ibu yang sekarang," katanya. "Ooohhh." "Hahaha.... Terus keadaan bapak kamu gimana? Keadaan adik kamu juga?" tanyanya kemudian. "Alhamdulillah juga sehat. Salsa juga," jawabku. "Dia udah besar sekarang. Udah jadi gadis yang cantik," lanjutku. "Sesekali ajak lah adik kamu ke sini," pinta Kak Soni. Ya memang. Aku tidak pernah mengajak Salsa untuk mengunjungi Kak Soni. Bukannya apa-apa. Aku kalau memang ingin pergi berkunjung, aku akan langsung pergi tanpa bilang ke siapapun. "Hahaha.... Iya Kak, kapan-kapan. Lagipula dia juga jarang keluar rumah. Lebih milih jagain bapak. Gadis yang baik dia tuh," kataku. "Hahaha.... Baguslah kalau emang kayak gitu. Kamu jaga adik kamu. Dia udah besar sekarang. Tanggung jawab kamu sebagai kakak juga bertambah besar," kata Kak Soni. "Siap, Kak. Aku juga paham kalau soal itu," kataku. Dia manggut-manggut mengerti sambil tersenyum. Sudah lama ia berada di dalam penjara, tapi sikapnya ke aku dan keluargaku tak pernah berubah. Dia masih tetap perhatian seperti yang dulu. Hanya saja, tampilan fisiknya itu yang berubah. Dia dulu terlihat lumayan ganteng atau bahkan bisa dibilang juga ganteng, akan tetapi setelah lama berada di dalam penjara fisiknya seperti tidak terawat. Tapi aku tak mempermasalahkan soal itu. Seperti apapun perubahan fisiknya aku tidak peduli. Yang terpenting sikap dia masih sama. "Oh ya. Kamu ke sini pasti sedang ada masalah, ya," tebaknya kemudian. Aku agak tersentak. "Hahaha.... Tahu aja kalau aku sedang bingung," kataku. "Bingung kenapa? Kayak orang aja pakai bingung segala," kata Kak Soni. "Ya bingung. Bingung kenapa aku bingung," kataku. "Hahaha.... Sumpah. Gak jelas," katanya. "Jadi gini, Kak. Tentang gadis yang pernah aku ceritakan waktu itu," kataku. "Kenapa dengan gadis itu?" tanya Kak Soni. "Kalau boleh jujur, aku menyukainya. Tapi aku sadar bahwa aku dan dia itu jauh berbeda. Sekarang, kebencianku sudah hilang, tapi mungkin cuma khusus ke dia dan keluarganya. Hanya saja, ada masalah baru lagi, Kak. Tentang perbandingan antara keluargaku dan keluarga dia. Itu benar-benar cukup jauh," ucapku. "Aku tidak yakin kalau keluarganya bisa menerima aku. Mereka orang terpandang, sedangkan aku cuma orang biasa yang bahkan dianggap rendahan," lanjutku. Setelah itu diam beberapa saat. "Sudah, itu saja?" tanya Kak Soni. "Iya. Karena itu aku ingin bertanya ke Kak Soni selaku mantan playboy." "Sialan gue dikatain mantan playboy," ucapnya. Dan itulah untuk pertama kalinya dia memakai kata "gue" ketika berbicara denganku. "Hahaha.... Jangan dipikirin soal yang itu. Kak Soni cukup jawab aja pertanyaanku," ucapku. Dia menghembuskan napasnya pelan. Lalu setelahnya ia pun bersiap untuk memberikan jawabannya. "Cinta itu gak bisa dipaksakan. Kalau cinta ya cinta. Meski harkat dan martabatmu jauh lebih rendah darinya, meski umur kalian berbeda jauh, meski kekayaan keluarga kalian juga berselisih jauh, dan meski-meski lainnya yang menunjukkan betapa jauh perbedaan di antara kalian, tetap cinta itu tidak pernah salah. Karena apa? Karena perasaan itu datang dari hati. Jika boleh memilih dengan siapa seseorang akan jatuh cinta, maka dunia ini akan menjadi surga bagi mereka yang hampir sempurna. Mereka yang ganteng, cantik, kaya, pokoknya segalanya serba ada. Dan akan menjadi neraka bagi mereka yang jauh dari kata sempurna." "Tuhan itu maha adil, Niel. Jadi, tidak peduli seberapa jauh perbedaan keluarga kalian, selama kalian mencintai ya jalanin aja dulu," lanjut Kak Soni. "Tentang restu orang tua. Kamu dan dia itu cuma baru mau pacaran, bukan mau nikah. Apakah perlu restu?" Aku terdiam sejenak saat itu. Pandanganku kuharapkan ke bawah. Ku cerna dulu kata-kata yang baru saja dikeluarkan dari mulut Kak Soni. Ucapannya memang ada benarnya, tapi juga ada salahnya. "Tapi bagiku, itu penting, Kak. Cinta bukan sebuah permainan," ucapku kala itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN