Bab 22

1631 Kata
"Begitu, ya? Kalau seperti itu, bukankah lebih baik kamu cari tahu lebih detail dulu tentang bagaimana sikap orang tua gadis itu ke kamu," usulnya. "Ya itu masalahnya. Hatiku mungkin ingin aku dekat dengan dia dan keluarganya, tapi tubuh ini seakan menolaknya, Kak," jawabku. "Lah. Malah jadi bingung aku sama apa mau kamu. Cinta sama dia tapi gak mau deket sama dia. Gimana, sih? Jatuh cinta macam apa ini?" ucap Kak Soni. "Ya nggak tahu. Pokoknya kayak gitu," kataku. "Ah, sudahlah, sudahlah. Jadi bingung malahan," katanya. "Lah, Kak, ayolah kasih saran," pintaku. "Nggak, nggak." "Pak, bawa saya ke sel lagi," ucapnya kemudian kepada Pak Polisi. "Eh, Kak, jawab dulu gimana aku harus bertindak?" ucapku. "Sumpah deh, gak tahu aku. Denger kisah cintaku aja udah buat aku bingung," kata Kak Soni. Selepasnya dia meminta lagi kepada Pak Polisi untuk cepat-cepat membawanya ke sel tahanan. Dia pun benar-benar dibawa ke sel tahanan. Ah, bahkan orang yang mengerti tentang cinta saja menyerah untuk memberikan saran atas kisah cintaku. Pasti cinta ini terasa begitu rumit baginya. Jatuh cinta, tapi tak mau mendekat. Aneh, benar-benar sangat aneh. *** Hari-hari berlalu, dan kisahku masih sama saja seperti hari-hari biasanya. Terkucilkan, terbully dan sering didatangi oleh sang bidadari yang selalu membuatku bingung tentang bagaimana cara untuk menghadapinya. Dan entah kenapa, semenjak ia selalu ingin dekat denganku, aku yang tidak pernah berpikir tentang penampilan pun mulai mengubah penampilan. Aku lebih bisa berdandan sedikit. Sebelum-sebelumnya aku berpikir tentang kenapa aku harus berpenampilan menarik. Se menarik apapun diriku, sekeren apapun penampilanku, setampan apapun diriku kalau sudah berada di sekolahan neraka itu aku tetap akan dianggap sampah yang tidak ada harganya. Maka dari itu aku selalu memutuskan untuk tidak pernah berpenampilan menarik. Selain itu pula kendalanya adalah yang. Akan tetapi semenjak kenal Shela semuanya pun berubah. Aku jadi ingin berdandan. Setidaknya untuk mengimbangi penampilannya. Tidak, lebih tepatnya agar tidak malu-maluin saja. Soal penampilan, aku tentu tak akan bisa mengimbanginya, secara dia anak orang kaya yang punya segalanya. Namun Shela seolah selalu tak memperdulikan penampilanku. Dia orang pertama di sekolahan neraka itu yang menyebutku ganteng. Aneh? Ya tentu saja. Bahkan cewek-cewek yang kecantikannya tak seberapa dan sangat jauh dari dia pun enggan untuk menyebutku seperti itu, bahkan ada juga yang malah menghinaku. Akan tetapi dia, gadis bernama Shelania itu telah menyebutku seperti itu. Sungguh aku tidak punya banyak cerita untuk aku ceritakan. Tidak seperti Shela yang hidupnya penuh dengan kenangan. Terserah kamu ingin beranggapan apa ke aku. Menyebut aku sebagai orang dengan kehidupan paling buruk di dunia ini pun aku tidak peduli. Aku sangat ingin menceritakan tentang pertemananku di masa-masa itu, tapi apa yang mau aku ceritakan? Sekali lagi aku tidak punya teman, apalagi ceritanya. Sungguh miris sekali. Jika mengingatnya, hati ini terasa mati. Aku bisa sekuat itu dulu. Hidup tanpa teman, hidup penuh dengan penderitaan, mengemban tanggung jawab yang besar, dan tidak bisa menikmati masa muda yang harusnya bisa aku rasakan. "Dia sering merasakan luka, tapi selalu bisa tertawa. Aneh? Tidak juga. Karena dia adalah lelaki yang kuat." Pernah kudengar kata-kata itu, dan itu keluar dari mulut Shela. Tentu itu adalah kata-kata yang ada hubungannya denganku. Saat itu secara tidak sengaja aku mendengar pembicaraan tidak terlalu pentingnya dengan Icha, sahabatnya. Dan kebetulan sekali lagi-lagi itu membahas tentangku. Hingga pada akhirnya kata-kata itu muncul dengan sendirinya dari mulutnya. Aku terus mengingat kata-katanya di dalam memori internal otakku. Tak lupa pula aku menyalinnya juga ke memori eksternal yang berbentuk coretan tinta di sebuah kertas putih. Ya, saking kerennya kata-kata itu menurutku, aku bahkan sampai menuliskannya di sebuah buku tulis. Aku tahu Shela tidak begitu pintar dalam hal mata pelajaran. Bahkan sering kudengar tentang betapa nakalnya dirinya. Tapi, di balik kenakalannya, aku tidak pernah menyangka bahwa dia bisa menciptakan kata-kata indah semacam itu tanpa sebuah persiapan apapun. Sungguh hal yang luar biasa dan patut untuk dipuji. Aku tidak ingin memuji Shela secara berlebihan, tapi memang begitulah dia. Dia terlalu pandai dalam bersuara dan menciptakan kata-kata. Berbeda denganku yang hanya pandai dalam hal mata pelajaran saja. Ngomong-ngomong soal cinta, dalam usianya yang terbilang terlalu muda, adikku juga pernah dicintai oleh seseorang. Tapi kurasa, tidak ada cinta yang benar-benar nyata di usia segitu. "Kak," panggilnya ke aku. "Iya. Ada apa, Sa?" tanyaku. "Kakak tahu, nggak?" tanyanya balik. "Enggak," jawabku. "Ihhh.... Dengerin dulu kalau adiknya mau ngomong," pintanya. Kalau sudah seperti itu, dia terlihat sangat lucu. "Hmmm.... Iya, silahkan ngomong," ucapku mempersilahkan. "Kakak tahu, nggak? Ada teman aku yang suka sama aku, lho," katanya. "Ya bagus lah. Daripada dibenci," ucapku. "Ihhh.... Masih gak paham juga, sih. Maksud aku tuh, ada teman sekolah aku yang cinta sama aku," jelasnya. "Cewek apa cowok?" tanyaku. "Ya ampun, Kakak. Ya cowok, lah. Kan aku cewek," katanya. "Oh." Mendengarnya aku seperti merasa tak suka. Bukan karena aku iri. Hanya saja adikku itu adalah seorang perempuan, dan aku tahu betul tentang bagaimana sifat kebanyakan lelaki, apalagi lelaki yang sedang dalam masa pubertas seumuran adikku. Aku takut jika orang yang menyukai adikku itu akan berbuat yang macam-macam terhadapnya. Dan apa kau tahu apa yang akan aku lakukan jika ketakutanku itu terbukti benar? Aku pasti akan memberi perhitungan ke orang itu sampai seumur hidupnya tidak tenang. Dan aku tidak akan pernah peduli dengan konsekuensinya. "Kok oh doang sih, Kak," protesnya. "Lalu?" tanyaku. "Ya, gimana gitu," katanya. "Kamu juga suka sama dia?" tanyaku. "Hmmm.... Gimana, ya? Dia sih ganteng. Tapi sepertinya aku gak suka," jawabnya. Aku tersenyum. "Jangan cinta-cintaan dulu, apalagi pacaran. Suka itu wajar, karena kamu dan dia juga normal. Tapi jangan naikkan tingkat suka itu menjadi sayang, apalagi cinta." "Ingat ya, Sa! Kamu itu perempuan. Jadi, pintar-pintarlah menjaga diri. Walau bagaimanapun juga, kakak tidak akan bisa menjaga dan melindungi kamu setiap saat. Ada kalanya kamu harus menjaga diri kamu sendiri," ucapku bijak. "Jangan jadi cewek murahan yang dengan mudah terpikat oleh lelaki. Hanya karena lelaki itu ganteng, kaya, pintar ataupun semacamnya," lanjutku. Ya aku tahu. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti akan hal itu. Akan tetapi aku percaya bahwa Salsa mampu mengerti tentang apa yang aku bicarakan pada hari itu, karena dia adalah gadis yang pintar. Aku berbicara seperti itu pun bukan tanpa maksud. Saat aku membicarakannya, aku juga berharap bahwa dia akan mempergunakan kata-kataku itu sebagai pedoman. Itulah caraku dalam menjaga adikku. Aku tak pernah mengekangnya. Terserah ia ingin melakukan apa. Asalkan yang ia lakukan adalah hal yang baik. Salsa itu gadis yang cantik. Tidak bisa dipungkiri bahwa ia akan disukai oleh banyak lelaki. Maka dari itu, ketika saat itu ia bilang ada orang yang suka sama dia, aku tidak terlalu kaget. Di usianya yang segitu ia sudah mulai disukai. Aku yakin jika ia sudah bertambah dewasa, pasti dia akan menjadi primadona di sekolahannya. Dan itulah satu hal yang malah sangat aku takuti. Kau tahu mengapa? Bukan cuma tentang masalah yang akan ditimbulkan oleh laki-laki yang menyukai Salsa, tapi juga tentang teman perempuannya yang mungkin saja iri dengan posisi Salsa yang menjadi primadona sekolahan. Saat itulah akan timbul kebencian di dalam diri mereka. Lalu Salsa mulai dijauhi, dibully dan disakiti. Tidak menutup kemungkinan adik kecilku itu juga akan bernasib sama seperti aku. Setidaknya itulah ketakutanku kala itu. Dan aku juga sudah tahu, bahwa ketakutan yang berlebihan itu tidak dibenarkan. Ibaratnya, di saat seseorang ingin mencapai suatu tujuan tertentu, tapi ia berpikir bahwa risikonya sangatlah besar. Ketika ia berani menantang risiko itu, maka ada dua hal yang akan ia dapatkan salah satunya. Keberhasilan ataupun kegagalan. Tapi, jika ia bertahan dengan ketakutan untuk tidak mencobanya, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk berhasil. Dan bisa dibilang, yang ia dapatkan adalah kegagalan. *** "Oi, ngelamun aja Lo." Firman mengagetkan aku ketika aku sedang melamun pada malam itu. "Ah, sialan Lo, ngagetin gue aja," ucapku. "Hahaha.... Ngelamunin apaan?" tanyanya. "Ah, enggak. Bukan apa-apa. Cuma masalah sekolah aja," jawabku berbohong. Padahal waktu itu, aku sedang melamun tentang masalah perasaanku ke Shela. Hubunganku dengan Shela sedang dalam masa baik-baiknya, tapi aku tetap saja tak bisa mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. "Nilai Lo jelek? Tumben bodoh," tebak sekaligus hinaannya. "Heh, sok tahu Lo. Udah, gak usah kepo," kataku. "Hmm.... Terserah Lo aja, dah. Lagian gak ada gunanya gue tahu masalah Lo," ucapnya. "Nah, mending begitu. Lebih bagus." "Ngomong-ngomong, nih warung kopi apa kuburan, sih? Sepi amat," ucap Firman. "Lo nggak lihat kalau sedang hujan?" tanyaku tak santai. Oh ya. Kala itu hujan deras sedang menerjang bumiku tercinta. Bersama titik-titik air yang turun itu menambah syahdu malamku. Hanya saja, pendapatan di warung kopi pun berkurang drastis akibat tidak adanya pelanggan yang datang. Hujan memang sering disebut anugerah, tapi terkadang juga sebagai bencana. "Lihat. Emang kenapa kalau hujan?" tanya Firman dengan polosnya. "Ya jelas gak ada orang yang datang ke sini, lah. Kan hujan," jawabku. "Kan bisa pakai payung atau jas hujan. Manja amat jadi orang," katanya. Aku menatapnya malas. "Terserah Lo deh, terserah Lo." Dia bukan Firman Utina, sang pemain bola. Akan tetapi dia adalah Firman temanku. Meski bukan pemain bola, dia bisa menciptakan kenangan indah di antara kami berdua. Ibarat sepak bola, dia adalah orang yang paling banyak memberikan assist ke aku hingga aku bisa banyak mencetak gol ke gawang lawan. Kekonyolannya itu selalu aku ingat. Mungkin umurnya memang jauh lebih tua dariku, tapi tentang sikap, kami tak jauh beda. Malahan pada saat itu terlihat jelas kalau sikapku lebih dewasa daripada dia. Di umurnya yang segitu, jangan anggap dia tidak mempunyai gadis yang sedang dekat dengan dia. Dengan catatan, hanya dekat, belum pacaran. Maka dari itu ia masih bisa dan berani menggoda para gadis cantik di luaran sana, termasuk juga Icha dan Shela yang pernah menjadi korbannya. Malam itu dia memamerkan ke aku tentang dirinya yang mempunyai rencana untuk nonton bioskop bareng si gadis yang aku maksud, tadi. "Besok gue sama dia mau nonton film bioskop. Gak kerasa, gue sama dia semakin lama semakin dekat. Sering bareng," ucapnya. "Jangan cuma together, tapi berusahalah juga untuk to get her," ucapku sok bijak. Dia memandangku takjub.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN