Bab 18

1002 Kata
Dan apa kau tahu seberapa berharganya kalung itu buatku? Jawabnya adalah lebih berharga dari seluruh uang yang aku punyai. Bukan masalah bagus atau tidaknya kalung itu. Bukan pula tentang bahannya, apakah emas, intan, berlian ataupun apa. Akan tetapi tentang sang pemberinya, yang tak lain dan tidak bukan adalah ibuku. Kalung itu adalah kenangan paling besar yang aku punya. Kalung itu adalah satu-satunya benda peninggalan dari ibuku yang dikhususkan untukku. Karena itu aku marah di saat ada orang yang berani membuangnya. Karena itu pula aku sampai berani berkelahi menghadapi tiga orang sekaligus. Dan Shela waktu itu telah kuanggap sebagai seorang pahlawan yang telah mengembalikan kalung berharga itu kepada pemiliknya. Saat itu, kalau saja aku tidak segera sadar, mungkin aku sudah memeluknya sebagai tanda rasa bahagiaku. Seorang Daniel Mahendra tersenyum dan tertawa gembira. Mungkin itulah pertama kalinya Shela melihatku seperti itu. Pemikiranku sedikit berubah karenanya. Tentang aku yang menganggap bahwa semua orang kaya itu sama saja. Faktanya, Shela bukanlah orang yang seperti apa yang aku pikirkan. Dia orang baik yang bahkan mau membantuku dalam urusan semacam itu. Jujur aku tak menyangka bahwa dia lah yang akan menjadi sang penolongku kala itu. Shelania Putri Artasyah, jasanya yang satu itu tak pernah aku lupakan. Dan kenapa harus dia? Itulah satu pertanyaan yang selalu muncul di benakku. Seolah-olah, Shela adalah gadis yang telah ditakdirkan untuk melakukan hal itu. Tapi apapun jawaban atas pertanyaan yang kubuat, Shela tetaplah sang pahlawan atas masih adanya kalung kenangan yang kupakai sampai saat ini. "Daniel, kenapa dengan wajahmu itu? Uhuk, uhuk." Sepulang dari sekolah dan mengantarkan Shela pulang je rumah sebanyak dua kali karena tasnya yang ketinggalan di sekolahan, aku ditanya oleh bapakku tentang luka di wajahku itu. Aku agak ragu untuk menceritakan semuanya dengan jujur, tapi segera kuingat bahwa jujur itu memang pahit, tapi hasilnya manis. "Maaf Pak, aku tadi berantem." "Berantem? Kenapa bisa sampai berantem?" Bapak kembali bertanya dengan suara batuk khasnya. "Bapak tidak pernah mengajari kamu untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara kekerasan, Daniel. Kenapa kamu melakukannya?" tanyanya lagi. Aku diam kala itu. Aku segera melepas kalung di leherku itu dan menunjukkannya ke bapak. "Mereka membuang kalung ini ke tumpukkan sampah. Mereka juga telah menghinaku, menghina ibu dan juga menghina keluarga kita. Karena itu aku marah. Aku juga tidak ingin berurusan dengan mereka, tapi aku merasa bahwa itu harus aku lakukan, Pak." "Kalung ini adalah harta yang sangat berharga. Satu-satunya benda peninggalan ibu untukku. Aku harus menjaganya. Meskipun kejadian seperti ini harus terjadi," lanjutku. Aku tahu bapak tidak marah padaku. Dia hanya terkejut ketika anak laki-lakinya ini mendapatkan luka yang begitu parah. Dan lebih terkejutnya, ia tahu bahwa luka itu adalah karena anaknya yang telah dikeroyok oleh anak-anak orang kaya. Kujelaskan sebisaku dan sejujur-jujurnya. Tentang kalung pemberian ibu yang dibuang layaknya sampah yang tidak berguna. Tentang segala penghinaan yang mereka tujukan kepadaku. Semuanya aku ceritakan ke bapakku. Bukan aku suka mengadu. Hanya saja aku ingin menunjukkan kepada bapak bahwa semua yang aku lakukan itu ada alasannya. Bapak khawatir padaku. Khawatir jika aku sampai harus dikeluarkan dari sekolahan itu. Khawatir jika aku terluka. Khawatir jika aku dimusuhi oleh banyak orang. Ya, aku tahu itu. Andai aku bisa menceritakan semuanya ke dia, bahwa sebagian dari kekhawatirannya itu sudah terbukti kebenarannya. Tapi aku tidak mempunyai keberanian untuk melakukan hal itu. Biar saja perasaan sakit itu aku rasakan sendirian tanpa ada orang yang tahu, termasuk juga adikku dan juga bapak. Meski begitu, aku ingin mengucapkan terima kasih ke Dito. Sebab dia, aku bisa punya pengalaman bertarung langsung menghadapi tiga orang sekaligus. Ya meskipun pada akhirnya aku harus kalah, tapi setidaknya mereka juga sudah mendapatkan luka akibat seranganku. Saat itu bukan cuma bapakku saja yang bertanya tentang apa yang sudah terjadi padaku. Adikku juga menanyakan hal yang sama seperti apa yang bapak tanyakan. Kalau soal Salsa, aku tentulah bisa menjawabnya dengan mudah. Bahkan di saat pertanyaan yang ia lontarkan itu adalah sebuah pertanyaan yang serius, aku bisa saja menjawabnya dengan sebuah candaan. "Kak, muka kakak kenapa?" tanyanya kala itu. Dia yang sedari pulang sekolah hanya mengurung di kamar akibat mengerjakan tugas pun sore itu baru melihat wajahku yang terluka. Seperti biasa, kutanggapi dia dengan senyuman. "Habis kena radiasi bom nuklir," jawabku ngawur. "Ihhh, Kak. Aku nanya serius. Mana ada orang kena radiasi bom nuklir cuma terluka kayak gitu," katanya. "Emang gimana kalau terkena radiasi bom nuklir?" tanyaku. "Ya pokoknya jauh lebih parah dari ini, lah. Malah bisa sampai mati," kata adikku. "Oh ya? Tapi kakak kan kuat. Makanya cuma terluka kayak gini," kataku. "Ah, kakak nih, gak pernah serius." "Hahaha.... Kakak udah serius, lho," ucapku. "Tahu ah, males. Ditanya serius jawabnya bercanda mulu," ucap adikku. "Lah, kurang serius apa sih, Sa, kakak nih?" tanyaku. "Gak tahu, gak tahu. Nanya mulu," ucapnya ngambek. "Idih, galak banget." "Bodoamat." Sudah kubilang bahwa menghadapi adikku itu perkara yang mudah. Aku tidak perlu menjelaskan sedetail-detailnya seperti yang aku lakukan ke bapak. Cukup dengan jawaban yang konyol dan tidak akan pernah bisa ia percayai saja sudah bisa menyelesaikannya. Tapi, jangan pula menganggap adikku orang yang gampang menyerah. Sekali dia tidak mendapatkan jawaban yang membuat dia puas, dia akan terus bertanya pada sang narasumbernya. Ya, malam hari, masih tetap di hari yang sama dia kembali menanyakan tentang luka di wajahku itu. Ia seakan tak bisa tidur kalau belum mendapatkan jawaban yang sebenar-benarnya dariku. "Kak, kenapa sih wajah kakak itu? Tolong jawab sejujur-jujurnya biar gak buat aku penasaran," katanya. "Loh. Kan kakak udah bilang bahwa karena kena radiasi bom nuklir," kataku. "Kak ...," rengeknya. "Iya. Apa Dik?" tanyaku. Sekali lagi, panggilanku ke Salsa memang berubah-ubah. Tergantung lidah dan mulutku mau mengucap yang mana. "Wajah kakak kenapa, sih? Habis berantem, ya?" tebaknya. "Ihhh, sok tahu," ucapku. "Jangan bohong sama aku, Kak. Kakak pasti habis berantem, kan? Sama siapa?" tanyanya berbondong-bondong. "Emmm ... Sepertinya iya deh. Kakak emang habis berantem," kataku. "Tuh, kan? Tebakanku benar. Berantem sama siapa, Kak?" tanyanya. "Sama siapa, ya? Sebentar, kakak ingat-ingat dulu," kataku. Aku bergaya seolah-olah aku sedang mengingat-ingat sesuatu. Untuk menghadapi adikku, aku memang punya ribuan cara. "Kakak!" ucap adikku sedikit berteriak. Ia nampak kesal ke aku waktu itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN