Bab 26

1999 Kata
"Iya. Emang ini nomor siapa, sih? Pacarnya ya?" tanyanya. "Husss.... Pacar, pacar. Kakak juga gak tahu itu nomor siapa. Makanya kakak mau nanya siapa dia lewat nomor kamu," jawabku. "Oh. Bohong, ya? Pasti nomor kakak diblokir, kan? Makanya pinjam Hpku buat hubungin dia," tebaknya. "Eh, anak kecil pinter banget sih kalau disuruh nebak," ucapku. "Tuh, kan? Kakak udah punya pacar beneran?" tanyanya. "Terserah deh, Dik. Pokoknya jangan hapus chat itu. Kalau dibales atau sekedar centang dua abu-abu, kamu harus bilang ke kakak," ucapku. "Ya, ya. Baiklah. Tapi kalau kakaknya sedang gak ada di rumah, bagaimana aku ngasih tahunya?" tanya adikku. "Ya chat aja kakak," jawabku. "Okelah, dimengerti," katanya. Aku pun sebenarnya tak terlalu yakin bahwa cara itu bisa membuktikan tentang siapa pengirim pesan misterius itu. Tapi tidak ada salahnya bagiku untuk mencoba. Terlepas entah nantinya berhasil atau tidak. Terus kunantikan kabar dari adikku tentang bagaimana kelanjutan dari si pengirim pesan misterius itu. Bahkan sampai malam hari, ketika aku sibuk dengan pekerjaanku pun dia belum juga menghubungi aku. Kukira dia lupa dengan tugasnya. Jadi saat itupun aku langsung berinisiatif untuk menghubungi dia terlebih dahulu. Kukirim sebuah pesan singkat untuknya. Hanya sekedar menanyakan tentang hal yang memang ingin kutanyakan. Sepang beberapa saat dirinya membalas pesanku. Katanya belum ada perubahan. Semuanya masih seperti di awal. Dari situ aku memikirkan tentang suatu hal. Nomor yang dipakai oleh si pengirim pesan misterius itu mungkin sudah ia hapus. Ya, aku mengerti. Nomor itu cuma khusus dipergunakan untuk menghubungi aku saja. Jadi percuma lah jika aku menghubunginya lewat nomor adikku. "Sebenarnya siapa sih, dia ini?" tanyaku pada diri sendiri. "Siapa siapa, Niel?" Firman yang baru saja mengantarkan kopi ke pelanggan tiba-tiba bertanya kepadaku. "Ah, nggak. Ini ada pengirim pesan misterius. Gue gak tahu dia siapa. Tapi sudah sejak lama dia selalu mengirimkan pesan semacam untuk menyemangati gue," jawabku jujur. "Menyemangati? Dari apa?" tanyanya. "Ada lah, pokoknya," jawabku. Aku tak pernah ingin menceritakan tentang aku yang dibully kepada Firman. Pikirku, lelaki sejati tak layak untuk menceritakan hal yang menyedihkan itu kepada orang lain. Lelaki sejati tentu akan menyimpannya sendiri tanpa mau berbagi keluh kesah kepada orang lain, sekalipun orang lain itu sudah sangat dekat. "Ah, bisa aja itu cewek," katanya. "Terus kenapa emang kalau cewek?" tanyaku. "Ya dia suka sama Lo," katanya. "Ngarang aja Lo," ucapku. "Mungkin dia itu si Shela," tebaknya. "Shela, ya? Nggak mungkin, sih. Shela itu bukan teman sekelas gue, tapi si pengirim pesan ini tahu segalanya tentang apa yang ada dan apa yang telah terjadi di dalam kelas gue," ucapku panjang lebar. "Ya berarti itu teman sekelas Lo," ucap Firman. "Gue juga tahu kalau soal itu," kataku. "Terus kenapa masih bingung?" tanyanya. "Masalahnya, orang-orang di kelas gue itu bukan hanya 5 orang atau 6 orang. Jadi pastilah gue gak tahu siapa yang telah mengirimkannya," jawabku. "Ooo.... Gitu? Itu cewek, Niel. Beneran deh. Percaya sama gue!" katanya. "Gue sih sebenarnya mau percaya, tapi Lo orangnya gak bisa dipercaya," kataku. "Lah. Bilang, kapan gue pernah bohong sama Lo?" tanyanya. Aku menampakkan senyum meremehkanku. "Entahlah. Lupakan saja! Males gue bahas itu," jawabku. "Hahaha.... Kan? Emang gue gak pernah bohong," katanya bangga. "Terserah Lo aja dah," ucapku. Kutahu semuanya telah gagal. Usahaku untuk menghubungi dia dari nomor yang berbeda gagal. Lalu tebakan Firman tentang di pengirim pesan itupun menurutku sangat tidak berguna. Aku benar-benar bingung kala itu. Ingin kuabaikan, tapi sudah terlanjur melekat di ingatan. Ingin kusikapi dengan ketidak pedulian, tapi lagi-lagi gagal kulakukan. Satu hal kenapa aku tidak bisa melupakan. Itu adalah karena aku tidak pernah bisa bersikap bodoh amat atas sebuah kebaikan. Tekadku selalu bangkit. Tak ingin aku menyerah untuk mencari tahu tentang siapa sosok sebenarnya dari sang pengirim pesan misterius itu. Selalu ada satu nama yang paling mungkin menjadi dalang di balik itu semua. April, ya, nama perempuan berhijab itulah yang selalu terngiang-ngiang di benakku setiap kali aku memikirkan pesan itu. Sialnya, tak ada orang yang bisa kujadikan sumber informasi. Andai aku punya banyak teman, tentu hal semacam itupun akan mudah aku pecahkan. Sebuah teka-teki kecil, tapi terasa susah untuk ditemukan jawabannya karena hanya sendirian dalam usaha untuk mencarinya. Jika boleh mengaku, mulai saat itu aku kembali mengerti tentang pentingnya seorang teman di dalam sebuah kehidupan. Hidup sendirian, tanpa teman terasa sangat menyulitkan. Namun suatu ketika, sebuah kesempatan emas datang kepadaku. Kesempatan untuk berbicara empat mata dengan gadis bernama April itu dan menanyakan segala hal tentang pesan misterius itu. Kurasa itu adalah sebuah kebetulan, di mana ketika jam istirahat berbunyi, ketika semua orang sudah keluar dari kelas dan tinggal menyisakan aku dan dia saja yang masih berada di dalam kelas. Kuberanikan diri untuk mendekati kursi tempat duduknya. Itu kesempatan dan harus aku manfaatkan. Aku tak yakin jika kesempatan itu akan datang untuk kedua kalinya. Maka dari itu kuputuskan untuk memanfaatkan kesempatan yang ada. "Lo kenapa masih di sini?" tanyaku. "Ha?" Dia masih terlihat canggung denganku. Wajar saja, itu adalah hari di mana baru pertama kalinya kami berdua saling bertegur sapa. "Lo gak ikut keluar kelas sama temen-temen Lo?" ucapku lagi, memperjelas pertanyaanku. "Oh. Enggak," jawabnya. "Kenapa?" tanyaku. "Gak apa-apa," jawabnya. Kami saling diam sejenak, kemudian aku teringat akan maksud dan tujuan utama kenapa aku datang mendekatinya. Sebelum orang-orang nanti masuk kelas, aku ingin segera menuntaskannya. "Oh ya. Gue mau nanya sesuatu," kataku. "Nanya soal apa?" tanyanya. "Tapi janji jawab yang jujur, ya," pintaku. "Iya. Mau nanya apaan sih? Jangan berbelit-belit deh," katanya. "Janji dulu," pintaku. "Iya. Janji," katanya. Sikapnya kepadaku saat itu memang nampak agak tidak menyenangkan, akan tetapi aku mengerti kenapa ia menampakkan sikap seperti itu ke aku. "Tolong jawab yang jujur, apa Lo punya rasa simpati ketika melihat gue diperlakukan yang tidak baik oleh orang-orang di kelas ini?" tanyaku. "Ha?" Dia seperti tidak mengerti. "Jawab aja yang jujur," kataku. "Hmmm.... Sedikit," katanya. Aku tersenyum. Mulai nampak tanda-tanda bahwa sang pengirim pesan misterius itu adalah dirinya. "Terima kasih atas simpatinya," ucapku. "Udah kan, itu aja? Kalau gitu gue mau keluar kelas," katanya. "Gue ada pertanyaan lagi, dan gue minta Lo juga jawab yang jujur soal pertanyaan ini," ucapku. Dia yang hampir beranjak dari tempat duduknya pun mengurungkan niatnya. Dia kembali duduk dengan tatapan matanya yang nampak malas. "Apa lagi?" tanyanya mengeluh. "Ini tentang orang misterius yang sering mengirim pesan untuk gue," jawabku dengan serius. "Ah, gue gak tahu," sahutnya. "Gue bahkan belum memberikan pertanyaan. Kenapa Lo udah jawab gak tahu?" kataku. "Hmmm.... Ya udah, cepat, apa yang kau Lo tanyain?" tanya April. "Oke, gue ulangi. Tentang orang misterius yang sering mengirimi gue pesan penyemangat. Tolong Lo jawab yang jujur. Apa orang misterius itu Lo? Soalnya dia tahu segalanya tentang kejadian apa yang terjadi di kelas ini. Tidak mungkin jika orang dari kelas lain yang mengirimkannya," ucapku. "Kenapa berpikir kalau itu gue?" tanyanya seperti tak suka. "Karena Lo punya sedikit rasa simpati ke gue," jawabku. Dia diam membisu. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut dia. Aku merasa ia tak ingin mengatakan apa-apa lagi. Mungkin sudah malas dalam menanggapiku. Lagipula, itu sudah semakin jelas. Aku bahkan sudah bisa memastikan bahwa orang yang telah mengirimkan pesan itu adalah dirinya tanpa ia mengakuinya pun. "Oke, gue mengerti. Jika itu beneran Lo, gue sangat berterima kasih," ucapku. "Ya udah, gue ke perpustakaan dulu," ucapku lagi sambil beranjak pergi dari hadapannya. Aku melangkah, berniat ingin meninggalkan dia yang sedang membisu itu. Biarlah ia di dalam kelas sendirian. Biar ia menikmati kesunyian itu. Biar ia pula sibuk dengan pikirannya tentang segala pertanyaan yang aku lontarkan kepadanya. Akan tetapi, saat itu langkahku harus terhenti akibat kata-kata yang mendadak keluar dari mulutnya. Bahkan fokusku pun kembali ke arahnya. "Gue benci penindasan. Gue juga benci pembullyan. Karena itu gue menaruh rasa simpati ke Lo. Tapi gue gak berani menunjukkannya langsung. Dan, ya, Lo emang benar bahwa yang mengirim pesan ke Lo selama ini adalah gue. Lo emang pintar. Jujur aja gue kagum sama Lo," katanya. Aku menatapnya serius. Terjawab dan terbuktilah sudah semua misteri tentang sang pengirim pesan itu kepadaku. Rupanya memang benar bahwa dalang di baliknya adalah April. Tebakanku dari awal pun ternyata tidak meleset. "Hufff.... Rupanya benar ya, itu Lo? Yah, gue mengerti. Apapun itu, seperti apa yang gue katakan di awal tadi, gue sangat berterima kasih ke Lo," ucapku. "Hmmm.... Gue pengen tahu. Kenapa Lo nggak ngelawan aja kalau ada yang ngebully Lo? Bukankah Lo jago berantem?" tanya April. Aku tersenyum meremehkan. "Nanti Lo juga akan tahu kenapa," jawabku sambil berjalan pergi meninggalkannya. Aku sudah tidak perlu lagi mencari tahu tentang alasan dia yang sebenarnya kenapa simpati ke aku. Di saat semua orang di kelas mengucilkan aku, dia malah memperdulikan aku. Aku tidak butuh alasannya. Karena aku tahu pada dasarnya gadis yang satu itu memang berwatak baik. Sejak awal pertama dia menjadi teman sekelasku, dia adalah gadis yang lemah lembut. Dia juga sopan terhadap guru dan pintar. Dan semenjak hari itu, aku telah memutuskan untuk menjadikan dia sebagai sahabatku. Ya, tidak ada sedikitpun perasaan cinta pada diri kami masing-masing. Kami cuma saling mengagumi. Katanya dia mengagumi aku karena aku pintar, dan aku mengagumi dia karena dia adalah satu-satunya orang di kelas itu yang masih mempunyai hati. Meski begitu, sewaktu di sekolahan dia juga masih tak berani untuk banyak komunikasi denganku. Dia sering menanyakan tugas sekolah kepadaku, dan bahkan sampai meminta tolong untuk mengajarkannya tentang cara-caranya. Terlebih lagi tugas matematika yang paling membuat dia kesulitan. Ya tentu saja komunikasi kami secara virtual. Tak mungkin jika langsung bertatap muka. "Oi, tugas matematikanya gimana?" tanyanya kala itu melalui sebuah ketikan. "Dikerjakan," jawabku melalui ketikan pula. "Maksud gue, gue gak bisa. Hahaha. Bisa minta tolong ajarin gue, gak? Atau sekalian aja contekin," katanya. "Iya. Tapi nanti habis magrib," kataku. "Habis magrib? Kenapa gak sekarang aja?" Dia membalas. "Gue masih kerja," jawabku. "Apa? Lo udah kerja? Kerja apa dan di mana?" tanyanya secara berbondong-bondong. Dan ya, saat itu memang dia belum tahu bahwa aku sudah bekerja. Bagaimana mungkin bisa tahu, sedangkan aku pun tidak pernah memberitahukannya. Kalau Shela, itu lain lagi ceritanya. Dia tahu aku sudah kerja karena dia mengetahuinya sendiri. Kalau dia tidak mengetahuinya sendiri, ya tentu dia tidak akan tahu tentang itu. Mana mungkin aku mau bercerita soal itu kepada orang lain. Kecuali kalau orang lain itu yang bertanya dulu kepadaku. "Iya, kerja di toko buku," jawabku. "Oh. Toko buku mana?" balasnya. "Nanti Lo juga tahu sendiri," jawabku. "Hmm.... Oke, oke. Ya udah, berarti nanti habis magrib aja, ya?" "Iya." Dan sudah, setelah itu ia tidak membalasnya lagi. Aku senang sudah mempunyai teman di satu kelas. Ya meskipun perempuan dan aku tentunya juga harus jaga jarak. Katanya, tidak ada yang namanya persahabatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Pasti salah satunya atau bahkan kedua-duanya mempunyai perasaan cinta kepada orang yang disebutnya sahabat itu. Aku juga tidak bisa menyalahkan pernyataan itu, karena aku tidak pernah tahu ke depannya seperti apa. Sekarang biasa, bisa jadi besok mencinta. Sekarang membenci, bisa jadi besok akan terobsesi. Yah, itulah hidup. Sebuah cerita panjang yang penuh dengan misteri. Aku juga tidak bisa melupakan Shela. Si gadis cantik itu, meskipun aku tahu bahwa harkat dan martabat kami jauh berbeda, tapi perasaan ini selalu muncul di benakku. Kurasa bukan hanya karena dia yang cantik saja sebab aku mencintainya, tapi juga karena sikap baik dan bisa menghargai orang lain itulah yang membuatku menaruh rasa kepadanya. Banyak gadis cantik di luaran sana, tapi aku tidak suka. Sebab apa? Ya tentu karena sikapnya. *** Hari hari berganti dengan begitu cepatnya. Hingga tak terasa sudah memasuki hari di mana ujian akhir semester genap dilaksanakan. Yang kuingat, aku sudah mempersiapkannya sebaik mungkin untuk menghadapinya. Tak pernah sekalipun aku meremehkan soal-soal yang akan diberikan pada ujian akhir semester kala itu. Katanya aku pintar dalam segala macam mata pelajaran. Beruntungnya aku tidak termakan oleh pujian para guru kepadaku. Dan alhasil, karena itu pula aku bisa mengerjakan seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan baik. Akan tetapi, ada suatu masalah yang terjadi pada hari setelahnya. Sebuah masalah yang nantinya bahkan sampai membuatku meneteskan air mata. Ya, mungkin sebagian dari kalian sudah mengetahuinya, karena Shela pun sudah pernah menceritakannya. Tapi, meski begitu, ini adalah dari sudut pandangku. Aku akan menceritakannya dengan detail tentang apa yang aku rasakan pada saat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN