Bab 27

2006 Kata
Kejadian itu berawal di saat secara tidak sengaja aku lewat di toko buku tempat lama aku bekerja. Kau tahu, kan? Aku sudah dipecat dari sana pada waktu itu. Dan secara tak sengaja pula aku melihat Shela yang sedang duduk merenung di atas motornya. Waktu itu posisiku adalah dengan naik angkot. Aku yang awalnya tidak berniat untuk datang ke toko buku itu pada akhirnya harus turun di situ karena melihat ada Shela di sana. Ya, aku berniat untuk menemuinya. Namun ketika aku turun, seorang ibu-ibu atau lebih tepatnya nenek-nenek mendatangi Shela. Rupanya itu adalah nenek-nenek yang sedang menawarkan rotinya pada Shela. Awalnya biasa-biasa saja, tapi pada detik-detik berikutnya, aku melihat pemandangan yang sangat tidak aku sangka-sangka. Shela membentak nenek-nenek itu yang membuat sang nenek pergi meninggalkannya. Mungkin karena takut. Entah kenapa perasaan kecewa atas sikapnya itu mendadak muncul di dalam hatiku. Niatku untuk menemui Shela aku urungkan dan beralih untuk mencari angkot lagi sekaligus secepatnya pergi dari sana. Dari situ aku mulai berpikir yang tidak-tidak kepada Shela. Menurutku, dia tidak ada bedanya dengan anak orang kaya lainnya. Sekarang mungkin aku akan mengatakan bahwa pemikiranku itu salah, tapi dulu, kuanggap itu adalah benar. Shela gadis yang sombong dan tidak ada sopan santunnya. Jujur saja, saat itu aku benar-benar kecewa terhadapnya. Perasaan kesal dan marah pun muncul di dalam diriku. Aku juga menyesal telah menganggapnya sebagai gadis yang berbeda karena faktanya dia juga adalah gadis yang sombong. Nenek-nenek penjual roti itu, aku kenal dia. Selama aku bekerja di toko buku itu, sering sekali aku membeli roti dagangannya. Ya mungkin karena kasihan. Aku tahu dia hidup sebatang kara, tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dalam kehidupannya. Karena itu, ketika Shela memperlakukannya seperti itu, aku jadi sangat marah dan juga kecewa kepadanya. "Heh, ternyata dia juga sama saja," gumamku kala itu. Hingga di hari berikutnya, aku memilih untuk menjauh dari dia. Tak ingin aku berurusan dengan orang sombong sepertinya. Pikiranku kacau. Mau membenci dia, tapi aku sudah terlanjur mencintai. Mau meneruskan untuk mencintainya, tapi aku kecewa dengan sikapnya. Satu-satunya hal yang menurutku paling baik untukku adalah berusaha untuk menjauh darinya. Ya, aku tahu tentu itu akan sangat menyakitkan, tapi aku percaya sedikit demi sedikit, dengan hal itu aku akan bisa melupakannya. Beruntung kejadian itu terjadi di kala ujian akhir semester telah berakhir. Kalau saja itu terjadi sewaktu ujian akhir semester dilaksanakan, maka mungkin saja aku tidak akan pernah bisa berpikir dengan jernih, dan pada akhirnya nilaiku pun akan buruk. Namun usahaku untuk tetap menjauh dari dia pun gagal di saat dirinya yang malah mendatangi aku. Ketika hal itu terjadi, konflik di antara kami pun tak dapat dihindarkan lagi. Aku membahas tentang kejadian dia yang membentak nenek-nenek penjual roti itu sekaligus mengeluarkan kata-kata yang mungkin terdengar sangat menyakitkan buatnya. Dan di situlah alasan di balik penyesalanku pada hari-hari berikutnya. Dia bilang kalau dia akan pindah sekolah. Tentu waktu itupun aku tidak melarangnya. Justru menjauh dari dia adalah hal yang aku inginkan. Dengan dia pindah sekolah, tentunya itu akan mengurangi atau bahkan menyudahi pertemuanku dengannya. Tapi.... "Minggu pagi rencananya gue mau ajak dia jalan-jalan," ucap Firman di malam itu. "Ya terus?" tanyaku. "Lo mau ikut, nggak? Sekalian ajak Shela," kata Firman. Nama gadis itu selalu saja terdengar di telingaku setiap harinya. Entah itu dari mulut Firman ataupun yang lainnya. Sebab itu aku sulit untuk melupakannya. Waktu Firman mengucap, rasanya amarahku pun muncul karena mengingat apa yang telah Shela lakukan terhadap si nenek-nenek penjual roti itu. "Lah, kenapa Lo diem? Mau nggak. Gue sama dia, Lo sama Shela," kata Firman. "Jangan sebut nama itu lagi!" ucapku dingin. "Ha?" "Gue bilang, jangan sebut nama itu lagi." Aku kembali mengulangi kata-kataku. "Kenapa? Lo ada masalah apa sama dia?" tanya Firman. Aku diam. Malas sekali aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Bukan tanpa alasan. Aku tidak mau merasakan kecewa yang berlebihan, karena setiap kali aku mengingat kejadiannya, itu sungguh membuatku kecewa. "Nggak ada. Tapi, mulai sekarang jangan pernah menyebut nama dia lagi di depan gue!" ucapku. "Apa karena dia mendadak sudah punya pacar baru, dan Lo dikhianati?" tanya Firman. "Nggak," jawabku singkat. "Lalu?" tanyanya. Aku kembali diam. Sumpah, untuk masalah yang satu itu, aku sangat malas untuk curhat kepada siapapun, termasuk Firman, atau bahkan Kak Soni. "Pasti masalah yang besar, ya? Kalau emang iya, gue harap secepatnya bisa selesai. Shela itu cantik, Niel, dan juga baik. Dia bukan hanya pantas dijadikan pacar saja, tapi juga pantas untuk dijadikan istri. Jangan sia-siain dia kalau Lo gak mau merasakan penyesalan seumur hidup Lo," kata Firman kala itu. Pikirku, Firman hanya asal bicara soal Shela. Dia mana tahu tentang siapa Shela yang sebenarnya. Aku sama sekali tidak peduli dengan perkataannya waktu itu karena aku sudah tahu tentang Shela yang sebenarnya. Dia tidak lebih dari seorang gadis sombong yang minim kesopanan. Ya meskipun Shela sudah menjelaskan bahwa semuanya tidak seperti apa yang aku lihat, aku bukan tipe orang yang mudah percaya dengan orang lain. Aku anggap itu hanyalah alasan yang ia berikan ke aku sebagai pembelaan dirinya. Kuanggap pula itu hanyalah sebuah kebohongan yang tidak bisa kupercayai. Sebuah kebencian atas tindakan dari seseorang yang semena-mena terhadap seseorang lainnya telah membuatku seperti itu. Hingga aku tidak ingin lagi mendengarkan alasan Shela yang sebenarnya kenapa dia melakukan hal itu. Aku mungkin telah membuatnya bersedih dan menangis kala itu. *** Dan kukira mudah bagiku untuk melupakan seorang Shelania. Bahkan dalam waktu baru dua hari, tiga hari saja tanpa hadirnya dia di sisiku seakan-akan membuat duniaku sepi. Tidak ada lagi ocehan aneh dari si dia. Itulah yang kurasakan. Sepi dan hidup seolah-olah menjadi tidak berwarna lagi. Pada waktu liburan semester genap pun dia tak pernah datang ke warung kopiku, atau bahkan toko buku tempatku bekerja. Eh, seingatku, waktu itu dia memang belum tahu kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan lagi di toko buku. Dia yang biasanya sering berkunjung ke warung kopi ku pada malam hari, semenjak hari itu sudah tak pernah lagi kudapati dia berkunjung. Jujur saja, ada rasa rindu yang mendalam dariku kepadanya. Kehadirannya bahkan selalu aku harap-harapkan. Padahal posisiku waktu itu adalah sedang kecewa, marah dan benci terhadapnya. Aku sering bertanya-tanya pada diri sendiri. Apa karena cinta, kebencian dan kekecewaan dari seseorang pun bisa terkalahkan? Aku mempunyai pertanyaan seperti itu karena aku merasakannya sendiri. Seperti ada sebuah penyesalan di hati ketika dia tidak pernah hadir dalam kehidupanku lagi. Padahal itu barulah awal, sebelum nantinya dia benar-benar pindah sekolah dan aku tidak bisa berkomunikasi dengan dia lagi dalam waktu yang cukup lama. "Gue denger-denger, Lo pacaran sama anaknya Pak Boy itu, ya? Si pemilik perusahaan terbesar di Jakarta ini." Suatu hari, waktu aku masih berada di toko buku, April datang berkunjung dan menanyakan sesuatu kepadaku. "Pacaran?" tanyaku bingung sekaligus memasang raut wajah penuh tanda tanya. "Iya. Sama si Shelania Shelania itu, lho. Bener, ya?" tanyanya lagi. Dan lagi, setiap kali aku ingin melupakan Shela di dalam kehidupannya, selalu saja ada yang entah sengaja atau tidak sengaja mengingatkan aku padanya. Seolah-olah, nama Shela tidak akan pernah menghilang dari kehidupanku. "Enggak," jawabku singkat. "Jangan bohong! Gue juga tahu kalau Lo juga suka sama dia. Iya, kan? Hahaha," kata April sambil tertawa. "Hufff.... Gue cuma Deket sama dia, karena dia orang yang sudah nemuin kalung pemberian ibu gue yang dibuang sama Dito," ucapku. "Deket, dan kemudian cinta, kan?" godanya lagi. "Terus pacaran," lanjutnya. "Lo ke sini mau beli buku atau mau apa, sih?" tanyaku. "Ya beli buku, sekalian mau nanya-nanya soal itu. Hahaha," jawabnya. "Oke, gue jawab. Gue emang deket sama dia. Tapi, sekarang sudah tidak. Dan setelah liburan nanti, katanya dia mau pindah sekolah," ucapku. "Ha? Pindah sekolah? Kenapa emangnya? Lo apain dia sampai dia mau pindah sekolah?" tanya April. Tentu sudah banyak yang tahu tentang tanggapanku dari pertanyaan berbondong-bondong yang April lontarkan kepadaku. Ya, jawabannya adalah aku menanggapinya dengan diamku. Itulah sifat asli seorang Daniel Mahendra yang sudah terkenal. "Hedeh, Daniel, Daniel. Lo itu aneh. Kalau emang udah pacaran ya diakui. Kalau belum pacaran ya diungkapin perasaannya. Bukan malah membiarkannya pindah sekolah kayak gini," katanya. "Cinta itu harus diperjuangin, Niel. Banyak yang mau pacaran sama dia, eh Lo malah menyia-nyiakan dia," lanjut April. Terhitung, dia adalah orang kedua yang telah menasihati aku tentang hancurnya hubunganku dengan Shela. Dari situ pula aku mengerti bahwa April memang tidak menaruh rasa ke aku. Buktinya saja dia malah menyuruhku untuk memperjuangkan cintaku ke Shela. Aku tak bisa menjawab apa-apa. Rasanya hatiku menjadi ragu lagi kala itu. Cinta ke dia benar-benar kuat. Bahkan aku tidak pernah merasakannya sewaktu memutuskan untuk menjauh dari Monic pada waktu itu. Rasanya sungguh berbeda. Padahal semuanya didasari oleh kesalahan yang sama, yaitu ketidak sopanan dan kesombongan. Akan tetapi rasanya sulit sekali untuk menjauh dari Shela. Biar tekadku sangat kuat, tapi tidak bisa aku pungkiri bahwa hati ini gagal untuk menghapus nama Shela. Ditambah lagi dengan orang-orang di sekitarku yang selalu tidak setuju jika aku menjauh dari Shela. Mereka seakan tidak rela jika hal itu aku lakukan. Karena itu pula aku jadi semakin ragu dan ada perasaan sedikit takut kalau Shela benar-benar akan pindah sekolah. *** Liburan sekitar tiga Minggu tanpa hadirnya dia sekalipun membuat aku mencari-carinya. Kala itu aku sungguh merindukan hadirnya. Ya, di dalam kekecewaan ini ada kerinduan. Ingin sekali aku meneleponnya atau sekedar mengirimkan sebuah pesan untuknya. Namun yang kuingat saat itu aku belum bertukar nomor telepon dengannya. Atau mungkin bahkan dia belum tahu kalau aku punya ponsel. Alih-alih bertemu dengannya, waktu awal masuk sekolah di kelas 11 aku malah mendengar kabar yang sangat mengejutkan. Shela resmi pindah sekolah. Berita itu sudah banyak dibicarakan oleh orang-orang. Yang kudengar dari mulut orang-orang, alasan Shela pindah sekolah adalah karena memang sedari awal ia tidak ingin bersekolah di sana. Maka dari itu ia memutuskan pindah di kelas 11. Dia tidak beralasan pindah sekolah karena masalah denganku. Aku mengerti. Ia pasti tidak ingin semua orang menyalahkan aku atas kepindahannya. "Shela beneran pindah sekolah?" Ada satu lelaki yang tak kuketahui namanya bertanya ke lelaki lain yang tak kuketahui namanya juga. Tapi kutahu, mereka berdua adalah orang-orang dari kelas yang sama seperti Shela. Maksudku satu kelas dengan Shela. "Ya menurut Lo gimana? Dia gak ada di sini sekarang itu tandanya dia sudah pindah sekolah," kata lelaki yang satunya. "E...e...e.... Santai, Bos. Kali aja dia gak masuk. Kan tadi hujan deras disertai angin dengan kilatan-kilatannya yang menakutkan." Ya, pagi itu, tepatnya ketika jam berangkat sekolah, hujan lebat mengguyur Kota Jakarta. Hujan itu seakan menandakan keadaan hatiku yang tak bisa aku jelaskan waktu itu. "Gak. Dia emang beneran pindah sekolah." "Tahu dari mana Lo?" "Hati gue dan hatinya sudah terhubung," kata lelaki itu. Aku ingin tertawa mendengar pernyataan lelaki itu. Bukannya sombong atau apa, tapi kutahu waktu itu Shela hanya menyukaiku, tidak dengan laki-laki lain. Tapi aku juga tahu bahwa ternyata Shela memang banyak penggemarnya. Terutama di kalangan anak laki-laki. Ya wajar saja, dia itu cantik. Siapa yang tidak suka dengan gadis berwajah bidadari sepertinya. Semua laki-laki pun pasti akan bangga jika bisa memilikinya. Untuk aku, ya mungkin benar aku telah menyia-nyiakannya. Karena rasa kecewa, aku memutuskan untuk menjauh darinya. Sampai waktu itu aku benar-benar belum bisa menerima tindakan yang dilakukan Shela kepada nenek-nenek penjual roti itu. "E...e...e... Terhubung. Gue serius, woi," kata lelaki yang satunya. "Terus Lo pikir gue sedang bercanda, gitu?" "Lo serius?" "Ya enggak, lah." Meski cuma berperan sebagai pendengar dari canda dua sahabat itu, rasanya sudah bisa sedikit melupakan kesedihanku karena pindahnya Shela dari sekolahan itu. Aku juga sampai iri melihat mereka. Iri dengan persahabatan yang penuh dengan canda tawa yang mereka miliki. Aku tidak punya itu waktu di sekolahan. Yang aku punya hanyalah kesendirian dan juga kesepian. Lalu bagaimana dengan April? Ketika berada di sekolahan, April kembali menjelma menjadi sosok perempuan yang seolah-olah tidak pernah dan tidak ingin mengenalku sama sekali. Alhasil, hanya kesepian lah yang aku dapatkan. Dan lebih parahnya, sudah tidak ada seorang Shelania Putri Artasyah yang biasanya bisa sedikit membuat sepiku hilang. Kau tahu? Aku benci perasaanku. Aku benci perasaanku yang dipenuhi dengan ragu. Jika membenci, kenapa tidak sepenuhnya membenci? Jika mencinta, kenapa harus ada rasa kecewa? Kalau boleh memilih, aku lebih memilih untuk tidak melihat kejadian di mana Shela membentak si nenek itu daripada aku harus melihatnya dan pada akhirnya aku dipenuhi dengan keraguan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN