Bab 25

2000 Kata
"Hmm.... Cuma itu saja?" tanyanya. "Iya. Atau mau kakak tambahin?" jawab sekaligus tanyaku. "Eh, nggak nggak. Itu aja," jawabnya. "Jadi, sanggup kan?" tanyaku. "Hmmm.... Iya. Aku janji," katanya. "Jika kamu melanggar janji, apa konsekuensinya?" tanyaku. "Kakak beliin lagi aku ponsel baru," jawabnya. "Enak aja. Serius, apa konsekuensinya?" tanyaku lagi. "Ya udah. Kalau sampai aku melanggar janji, kakak bisa ambil atau jual ponsel ini lagi," jawabnya. "Ini kamu sendiri lho, yang minta. Kakak akan ambil kembali ponsel ini kalau kamu sampai melanggar janji," ucapku. "Emm.... Oke," kata adikku. "Eh, satu lagi," ucapku. "Apa lagi, Kak?" tanyanya. "Jangan gunakan ponsel itu untuk pacaran," jawabku. "Oke, berarti kalau pacarannya langsung tanpa lewat ponsel boleh ya, Kak?" tanyanya polos. "Ya tetep gak boleh. Kamu masih kecil. Belajar dulu yang pinter. Gak usah pacar-pacaran!" ucapku. "Hmm.... Ya udah deh. Gak masalah," ucapnya. Kembali ia mengamati ponselnya. Kalau soal bagus tidaknya ponsel yang aku berikan kala itu, tentu aku sendiri pun akan bilang kalau itu tidak bagus. Jika dibandingkan dengan ponsel yang dimiliki oleh teman-temannya, mungkin itu masih jauh berada di bawahnya. Aku juga sadar, adikku sudah menjadi gadis remaja kala itu. Sudah kelas 8 dan tentunya ponsel akan sangat dibutuhkan. Dan aku juga ingin berbicara tentang zaman yang sudah semakin modern. Tanpa punya ponsel, maka bisa saja adikku akan kehilangan kebahagiaannya. Maksudku, orang-orang di zaman modern itu cenderung lebih menemukan bahagianya lewat ponsel. Dan satu lagi. Di saat dia tidak punya ponsel dan semua temannya punya, maka aku pastikan bahwa dia akan diabaikan oleh semuanya. Kenapa aku bilang begitu? Karena akupun pernah mengalaminya sendiri. Meski waktu itu posisiku masih kelas 9 SMP. Aku tidak punya ponsel dan alhasil di saat semuanya sibuk dengan benda itu, kubiarkan diriku terdiam menikmati kesendirian. Tapi itu aku, yang pada dasarnya memang sudah sulit untuk berteman. Walaupun diabaikan juga tak begitu terasa sakit. Akan tetapi bagaimana kalau adikku? Secara dia adalah seorang gadis yang aktif dan ceria. Pastilah sangat menyakitkan buatnya. "Kakak. Ini cara nyalainnya gimana?" "Lah, kamu beneran gak tahu atau pura-pura gak tahu?" tanyaku. Satu lagi tentang kejadian di sore itu. Saat adikku yang polos bertanya kepadaku tentang bagaimana cara menyalakan ponsel barunya itu. Awalnya aku tidak tahu apakah memang dirinya tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, tapi pada akhirnya aku pun tahu semuanya. "Beneran Kak, aku pura-pura tidak tahu. Hahaha," jawabnya sambil tertawa. Aku memasang wajah malas. Sumpah, nampak sekali kebahagiaan yang ia rasakan kala itu. Kurasa, itu adalah hadiah paling berharga bagi dia yang pernah aku berikan. Dan di hari-hari berikutnya, dia masih saja bahagia. Hanya saja dia sungguh pandai dalam mengatur waktunya. Janjinya ke aku tetap ia jalankan. Main Hp cuma di jam-jam tertentu. Itupun ia pergunakan untuk hal-hal positif semacam untuk melihat tutorial memasak ataupun hal-hal positif lainnya. Waktunya untuk belajar pun tak berkurang sedikitpun. Aku akui, dia sungguh gadis yang hebat. Maaf, ini memang bukan cerita tentang adik kecilku, akan tetapi ini adalah cerita tentang Shelania, si gadis iblis berwajah bidadari. Namun bukan tanpa alasan kenapa aku menyertakan banyak sekali cerita tentang adikku. Selalu ada alasan di balik semua yang aku lakukan. Aku cuma ingin menunjukkan bahwa aku mempunyai adik yang hebat di kehidupanku. Seorang adik yang bisa menyemangati aku. Seorang adik yang juga bisa mengerti tentang keadaan keluarga. Banyak sekali yang aku banggakan dari dia. Makanya semua tentangnya selalu ingin aku ceritakan. Dan jangan berpikir bahwa kisah tentang adikku tak ada hubungannya dengan Shela. Ya, setiap kali melihat Shela, entah kenapa aku selalu teringat dengan adikku. Paras cantiknya, dan sifatnya yang terkadang juga mirip dengan Salsa. Hanya saja ada perbedaan dari mereka yang kuanggap wajar. Shela gadis yang keras, meski juga bisa bertingkah lembut, akan tetapi Salsa adalah gadis yang sepenuhnya lemah lembut. Belum pernah aku lihat dia marah. Sekalipun tak pernah. Kurasa Shela bukan mirip Salsa saja. Ia juga sang perempuan kuat mirip ibuku. Satu hal lagi, dia sangat pandai membuat kata-kata motivasi mirip bapakku. Di mataku dia seakan punya segalanya. Dia seakan-akan telah menjadi gadis seumuranku yang paling sempurna. Tak ada lagi yang kukagumi selain dia. Meski banyak juga para perempuan cantik di luar sana, tapi cuma dia yang bisa membuatku tertarik. *** Permasalahan kalung akhirnya bisa membuat aku dan Shela menjadi semakin dekat. Aku merasa sangat berhutang budi karenanya. Maka dari itu selalu kuingat tentang dirinya yang ikut berjuang dalam menemukan kalung itu. Semenjak itu aku tak lagi dingin seperti biasanya. Aku sudah menampakkan sifat hangatku ke dia. Sebuah sifat yang tak aku tunjukkan kepada siapapun di sekolahan itu selain ke dia. "Buku apa, tuh?" tanya Shela kala itu. "Buku bacaan." "Maksud gue, buku bacaan tentang apa? Kayaknya serius amat Lo bacanya," tanyanya lagi. "n****+," jawabku. "n****+? n****+ tentang apa, sih?" tanyanya. Kuletakkan buku n****+ yang k****a sekejap, dan kemudian kutatap ia lekat. "Tentang si pria miskin yang mimpi dan cita-citanya selalu diremehkan oleh orang lain," jawabku dingin. Tapi benar. n****+ yang k****a saat itu memang berisi tentang itu. Hanya saja aku lupa apa judul novelnya. Kalau soal isinya, sampai sekarang pun aku masih mengingatnya, meski tidak semuanya. "Lalu datang seorang gadis cantik di kehidupan si pria itu dan selalu memotivasi dia agar tidak memperdulikan orang-orang yang meremehkan impiannya. Dan alhasil pada akhirnya pria itupun berhasil menggapai semua mimpi dan cita-citanya meski awalnya terlihat sangat mustahil. Gue bener, kan?" tanyanya. Aku terdiam dan masih menatapnya. Nampaknya dia sedang membicarakan tentangku dan juga tentang dia. Dan aku juga tidak menyalahkan. Pasalnya dia pun memang berperan sebagai gadis yang datang ke kehidupanku dan secara terang-terangan langsung mendukungku untuk menggapai mimpi dan cita-citaku. "Heh, sok tahu," kataku. "Emang sih, sok tahu. Tapi bener, kan?" tanyanya. "Gak tahu. Belum selesai gue bacanya," jawabku. "Hufff.... Ya udah, coba gue pinjem," pintanya. "Buat?" tanyaku. "Ya mau gue baca lah. Masa mau gue pakai buat bungkus gorengan," jawabnya tak santai, tapi masih terdengar lembut. Kuberikan saja n****+ itu ke dia untuk dia baca. Selama ia membaca aku memutuskan untuk diam tanpa melakukan apa-apa. Aku menantinya menyelesaikan aktivitas membacanya yang mungkin saja tidak dijalankan oleh dia dengan sungguh-sungguh. Ya tentu aku berpemikiran seperti itu. Pasalnya Shela memang kurang minat dalam hal membaca. "Eh, ini kok ada nama gue. Eh, ini ada Daniel juga," ucapnya heboh. "Mana?" tanyaku. "Ini. Ceritanya tuh si Daniel jadi anak SMA, Shela juga. Dan mereka diceritakan berpacaran," jawabnya tanpa memandang ke arahku. Mendengarnya langsung membuatku tidak percaya. Aku memang belum membaca semua cerita di dalam n****+ itu, tapi saat gadis itu mengaku bahwa namaku dan namanya tertuang di dalam n****+ itu, aku benar-benar tidak bisa mempercayainya. Ditambah lagi dengan dirinya yang menyebut tentang berpacaran. "Mana, coba gue lihat," kataku. "Aduh! Yaaahh, udah ketutup. Hehehe. Gue lupa lagi tadi halaman berapa," katanya. Sumpah sebenarnya aku ingin tertawa kala itu. Shela yang dikenal sebagai gadis iblis, ketika bersamaku dia malah seperti si anak kecil yang lucu. Tapi tawaku tak bisa aku keluarkan dengan sempurna. Seperti ada yang mengganjal di hatiku sehingga membuat tawa itu berubah menjadi senyum meremehkan. "Heh, alasan," kataku. "Eh, beneran deh, Niel. Tadi ada nama kita berdua di n****+ ini. Kok bisa, ya? Apa jangan-jangan ini bukan n****+, melainkan buku ramalan," katanya. "Syirik percaya pada ramalan," kataku. "Eee.... Iya juga, ya," katanya. "Tapi bener deh, Niel. Ada nama kita berdua, tadi," lanjutnya. "Gak percaya, gue," ucapku. "Ya udah kalau gak percaya. Emang kenyataannya ada," ucapnya. "Gak ada buktinya, kan?" tanyaku. "Tapi emang ada," katanya. "Mana?" tanyaku. "Ya di dalam n****+ itu. Gue lupa halaman berapa, tadi," jawabnya. "Lupa? Atau tidak ada?" tanyaku. "Lupa, Niel. Kalau gak percaya, coba deh Lo baca sendiri tuh n****+ sampai tamat," ucapnya. "Terus gue akan nemuin itu?" tanyaku. "Ya belum tentu juga sih. Soalnya dibahasnya cuma sedikit. Bisa saja Lo kelewatan nanti kalau baca," ucapnya. "Heh, Lo terlalu banyak alasan,"ucapku. "Hmm.... Ya udah deh, kalau gak percaya," katanya. Kurasa saat itu dia berlagak sedang ngambek. "Emang gak percaya," kataku. Itulah sikap Shela yang membuat aku semakin tertarik ke dia. Inginku sadar diri, tapi kau tahu apa yang terjadi? Aku tetap tidak bisa memaksa diriku untuk sadar diri. Saat itu kurasa aku benar-benar sedang mencintainya. Kalau aku mengingatnya, aku merasa sedikit menyesal karena tidak mengungkapkan cinta saat itu juga. Padahal dia pun jelas-jelas sudah bertingkah layaknya dia mencintaiku. Menurutku, bukan mendapatkannya yang sulit, akan tetapi yang sulit adalah tentang bagaimana cara untuk mengubah pola pikirku waktu itu. Aku seperti dikalahkan oleh pikiranku sendiri. Jika aku boleh berandai-andai, aku ingin berandai-andai tentang suatu hal. Andai kala itu posisiku adalah sebagai anak orang kaya yang dari harkat dan martabatnya bisa setara dengan Shela, pastilah aku tak kan selalu ragu untuk mengungkapkan cintaku. Lucu sekali rasanya. Ragu mengungkapkan cinta hanya gara-gara itu. Mungkin kisahku sangat bagus jika dibuat sebuah film, judulnya "Cinta Terhalang Perbedaan Harkat dan Martabat". *** Sebuah cerita tentang Shelania. Kurasa tak akan pernah ada habisnya aku menceritakan si gadis cantik itu. Oke, aku tahu ada banyak gadis lain yang cantiknya juga tak kalah dengan dia, tapi yang bisa membuatku tertarik cuma dia. Cuma Shelania Putri Artasyah, sang perempuan aneh yang berhasil membuat seorang Daniel Mahendra kembali bisa merasakan apa itu cinta. Dekat dengan sang anak dari donatur terbesar sekolahan itu bukan berarti aku bisa terbebas dari segala pembullyan ataupun ejekan dari orang-orang di kelasku. Mereka tetap saja masih melakukan hal yang sama meski tahu bahwa aku sedang dekat dengan Shela. Ada banyak kejadian tidak menyenangkan yang telah aku alami, tapi aku tidak mau menceritakan semuanya. Kalau aku ceritakan, tentu akan mengganggu jalannya cerita tentang kisah romansaku dengan Shela. Aku hanya ingin membahas tentang si pengirim pesan misterius itu. Tiap hari kupantau tentang siapa orang yang terlihat tidak suka ketika aku sedang dibully. Dan dari pantauan ku itu, ternyata mengarah ke satu nama yang sudah aku curigai sejak awal. Orang itu adalah si gadis berhijab yang tidak lain dan tidak bukan adalah April. April, nama yang bagus. Nama yang diambil dari bulan ke empat tahun masehi. Kala itu aku yakin sekali bahwa sang pengirim pesan misterius itu adalah dirinya. Tapi aku tak tahu bagaimana caraku untuk membuktikannya. Selalu kucari waktu dan keadaan yang tepat untukku bisa menyapanya, tapi waktu dan keadaan itu selalu berbeda dengan apa yang aku harapkan. Aku tidak mungkin menanyakan langsung ke dia ketika dia sedang bersama teman-temannya. Kalau itu aku lakukan, dan jika benar dia lah sang pengirim pesan misterius itu, maka hancurlah sudah niat baiknya ke aku. Dan dia mungkin akan dianggap sebagai pengkhianatan hingga akan dijauhi juga oleh semua orang. Aku tidak mau kalau hal itu sampai terjadi. Namun menunggu pesan darinya juga percuma. Maksudku, setiap kali pesan itu datang dan aku membalasnya, tidak ada balasan balik yang diberikan oleh sang pengirim itu kepadaku. Aku juga sudah pernah mengirimkan pesan ke nomor asli milik April, tapi dia tidak meresponnya sama sekali. Meski begitu aku tetap yakin bahwa dirinya lah sang pengirim pesan itu. Dan karena itu, jalan satu-satunya untuk membuktikan kalau dia lah si pengirim pesan misterius adalah hanya melalui percakapan langsung dengannya. Saat itu memang rasanya sangat sulit, tapi selalu aku usahakan untuk membuatnya mudah. Meskipun pada akhirnya pun berakhir dengan kegagalan. "Eh Dik, boleh pinjam Hp kamu sebentar?" tanyaku pada adikku. Suatu hari aku mendapat ide baru untuk bisa membuktikan siapa sang pengirim pesan itu. Ya, aku ingin mengirimkan pesan kepadanya lewat nomor adikku. "Buat apa, Kak?" tanya Salsa. "Dijual," candaku. "Eh, aku gak ngelanggar janji, lho. Kok Hp nya mau dijual," protesnya. "Hahaha.... Enggak, enggak. Kakak cuma bercanda. Cuma mau pinjam aja, sebentar," ucapku. "Oh.... Ya udah, ini," ucapnya sambil memberikan benda kotak itu kepadaku. "Makasih. Kakak pinjam sebentar, ya. Ada kuotanya, kan?" tanyaku. "Lah, ngejek. Ya ada, lah," jawabnya. Aku tertawa. Segera kukirimkan nomor si April, maksudku nomor si pengirim pesan misterius itu ke ponsel adikku. Lalu setelah itu aku mengirimkan pesan untuknya. "Hei." Kulihat, cuma centang satu abu-abu yang nampak di layar ponsel adikku kala itu. Kutunggu beberapa saat, namun hasilnya masih saja sama. Dari situ aku menyimpulkan terlebih dahulu bahwa barangkali sang pemilik nomor memang sedang tidak memegang ponsel. Ya, itu adalah positif thinking yang paling bagus dalam hal itu. "Nih, Dik. Tapi kamu jangan hapus chat yang ini, ya!" pintaku ke Salsa sambil memberikan ponselnya kembali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN