Bab 23

2004 Kata
Aku sendiri saja mengakui bahwa terasa aneh saat aku bisa mengatakan kalimat yang demikian itu. Bukan masalah bahasa Inggrisnya, tapi tentang kata-katanya. Kalau soal bahasa Inggris, aku memang lumayan pandai. Tapi kalau tentang kata-kata yang berhubungan dengan cinta, aku bisa apa? Namun pada malam itu, di kala sang hujan menghiasi langit malam dan menciptakan suara syahdu bagi orang yang mendengarnya, aku mendadak bisa membuat kata-kata yang berhubungan dengan cinta. Aneh? Jelaslah aneh. Karena itu Firman pun memandangku seolah tidak percaya. "Lo belajar dari mana? Kok tumben bisa buat kata-kata seperti itu?" tanyanya. "Gak ada. Cuma kebetulan bisa aja," jawabku. "Hufff.... Okelah, sebentar lagi gue juga pasti akan mendapatkannya. Nggak cuma bersama, seperti apa yang Lo bilang tadi," kata Firman. "Baguslah. Nanti kalau udah dapat dia, mata Lo nggak usah jelalatan nyari cewek lain!" ucapku. "Ya harus, lah," katanya. "Harus apa?" tanyaku. "Harus jelalatan, lah. Cowok mana cukup dengan satu cewek," jawabnya. "Heh, parah Lo emang." "Hahahaha.... Besok Lo ikut, nggak?" tanyanya. "Ke mana?" tanyaku balik. "Nonton, lah," jawabnya. "Kurang kerjaan banget ikut Lo berdua. Mau jadiin gue bodyguard?" tanyaku. "Bukan, lah," jawabnya. "Terus?" "Obat nyamuk. Hahaha," jawabnya. Aku mendecak. "Nggak, nggak. Maksud gue, Lo ajak si Shela lah. Kan bisa," ucapnya kemudian. "Shela?" "Iya," jawabnya. "Dia bukan-" "Bukan pacar Lo? Oke, kalau gitu gue pacarin dia sekalian," sahutnya aku diam. Tentunya aku merasa tidak rela jika seandainya hal itu jadi kenyataan. Di lubuk hatiku yang terdalam perasaan cinta ke Shela memang benar-benar ada. Cinta, bukan sekedar suka ataupun kagum. "Kenapa diam? Nggak boleh gue pacarin dia? Katanya dia bukan pacar Lo. Jadi bebas dong kalau orang lain mau suka sama dia," kata Firman. "Bukan gitu." "Terus?" tanyanya. "Ah, lupain ajalah! Lo pergi aja sama dia berdua, besok," jawabnya. Masih kusebut gadis yang diceritakan oleh Firman itu dengan sebutan "dia". Karena Firman pun tak pernah menyebutkan namanya. Wajar saja jika akupun tak mengetahuinya. Aku juga tak mau terlalu ingin tahu soal nama si gadis itu, karena menurutku itu bukanlah hal yang penting. "Hufff.... Ya sudahlah. Malah bagus. Gue bisa berduaan sama dia," katanya ke aku. "Ingat! Saat kedua orang yang berbeda jenis sedang berduaan, maka yang ketiganya adalah setan," ucapku sok alim. "Lo mau jadi setannya?" tawarnya. "Sialan! Nggak," jawabku. "Lah. Ini penawaran spesial buat Lo. Soal harga boleh lah dirundingkan, nanti," katanya lagi. "Cih. Nggak," jawabku. Dia tertawa. "Hahaha, ngomong-ngomong soal setan, mumpung gak ada pembeli dan hujan begini, gue punya cerita, nih," katanya. Saat itulah perasaanku mulai tidak enak. Si bodoh itu kemudian menceritakan tentang kejadian mistis yang pernah ia alami. Entah itu nyata atau tidak, aku tidak tahu. Tapi sepertinya itu memang nyata dan pernah terjadi padanya. Hanya saja, waktu ia bercerita itu merupakan waktu yang sangat tidak tepat. Hujan, sepi, malam dan tentunya juga gelap. Si bodoh itu malah bercerita tentang hal mistis semacam itu. Aku tahu itu hanya sebagai bahan untuk menghilangkan rasa bosannya saja, tapi kenapa harus itu caranya? Maaf kalau aku menyebutnya bodoh, karena aku percaya meski Firman tahu aku menyebutnya seperti inipun dia tidak akan marah. Karena apa? Karena dia adalah sahabatku. Ya, meski soal umur kita berbeda jauh. Kala itu dia bercerita tentang beberapa kejadian mistis yang pernah ia alami. Jujur aku merasa ngeri ketika mendengarnya. Takut? Tentu saja, tapi cuma sedikit. Kurasa bukan masalah ceritanya yang membuatku takut, tapi masalah dari waktu penyampaian ceritanya itulah yang membuat rasa takutku tiba-tiba muncul. Heh, kenangan yang indah, tapi juga menakutkan. Kenangan bersama sang hujan dan juga sang sahabat di tengah sepi dan gelapnya malam. Andai malam itu aku sendirian, mungkin takutku akan sangat berlebihan. *** Tentang impian, aku mempunyai impian yang cukup besar. Aku selalu berharap bahwa aku bisa menjadi pelukis yang hebat. Aku juga ingin mempunyai toko buku. Banyak sekali yang aku inginkan, tapi yang paling aku harapkan bisa terwujud adalah tentang aku yang bisa mempunyai toko buku sendiri dan menjadi bos di toko buku yang besar itu. Mungkin sulit, tapi bukan tidak mungkin. Bicara soal impian, Shela pernah bertanya ke aku waktu itu. Kala itu, posisi kami adalah sedang berada di perpustakaan sekolah. Ya, aku ingat betul peristiwa itu, dan sepertinya Shela juga belum menceritakannya di dalam buku sebelumnya. "Lo tiap hari baca buku?" tanyanya padaku. "Iya. Ada yang salah?" tanyaku balik. "Nggak, cuma aneh aja, ada laki-laki yang suka banget baca buku," ucapnya. "Nggak juga. Banyak di luar sana yang kayak gue." "Hmmm.... Cita-cita Lo apa, sih?" tanyanya kemudian. Aku juga terkejut ketika mendengar pertanyaannya itu. "Nggak punya," jawabku. "Ha?" "Tapi gue punya impian," ucapku selanjutnya. "Apa itu?" tanyanya. "Banyak," jawabku singkat. "Kan bisa disebutin." "Iya. Salah satunya, gue ingin menjadi pelukis yang hebat, dan gue juga pengen punya toko buku sendiri," jawabku jujur kala itu. Shela tersenyum. "Impian yang hebat," kata Shela. "Tapi hampir mustahil untuk terwujud," sahutku. "Jangan begitu! Itu impian Lo. Lo harus percaya bahwa Lo bisa mewujudkannya. Dengan kekuatan tekad pantang menyerah dan doa gue yakin Lo bisa menggapai impian itu. Lihat saja nanti! Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini," ucap Shela kala itu. Dan itulah saat di mana aku merasa termotivasi. Shela adalah satu-satunya orang di sekolahan itu yang bisa menghargai segala impianku, meskipun itu terdengar sangat mustahil. Sebelum itu, tepatnya di saat pelajaran bahasa Indonesia, aku juga sudah sempat memberitahukan tentang impianku itu kepada semua orang di kelas. Tapi apa yang aku dapat? Aku malah diolok-olok dan seakan-akan mereka menganggap selamanya aku tidak akan pernah bisa menggapainya. Aku menyesal telah memberitahukan hal itu. Andai itu bukan karena tugas pelajaran bahasa Indonesia, aku tidak akan pernah membicarakan soal impianku di depan banyak orang seperti waktu itu. Aku bahkan sampai diolok-olok dengan kata-kata mereka yang sangat menusuk hati. Katanya aku bisa apa? Aku punya apa? Katanya juga aku gak sadar diri atas posisiku. Memang harus aku akui bahwa mereka benar, tapi impianku adalah hakku. Mereka harusnya tak perlu ikut campur. Sungguh, direndahkan dan diremehkan atau bahkan diolok-olok itu adalah sebuah hal yang sangat menyakitkan. Tapi dari situ pula aku bisa termotivasi. Semua yang mereka berikan ke aku, aku pakai sebagai dorongan atas terciptanya sesuatu yang aku impikan. Apapun yang terjadi, aku tidak akan terpengaruh dengan semua ucapan buruk dari orang lain terhadapku. Ini impianku. Impianku adalah tentangku sendiri. Boleh saja mereka meremehkannya. Tidak masalah jika mereka mau menyebut itu mustahil. Tapi suatu saat nanti, di saat impian itu benar-benar terwujud, kuharap mereka tidak muncul di depanku dengan tangis penyesalannya. Dan kuharap pula tidak ada yang muncul dengan membawa suara tepukan tangan tanda mengakui hebatku. Karena pada saat itu, bagiku semua yang mereka lakukan sudah terlambat. "Oi, impiannya jadi pelukis, Bro." Seseorang yang tentu tak ingin kusebutkan namanya berbicara dengan teman sebangkunya. "Jadi pemilik toko buku. Hahaha," sahut yang satunya. "Emang bisa?" "Bisa, lah. Bisa stres. Hahaha." Dan kau tahu apa tanggapanku? Aku tidak menanggapinya apa-apa selain dengan diamku. Kalaulah aku terpengaruh dengan hinaan mereka, meski tidak melawan, mungkin saja aku sudah berdoa pada sang pencipta agar mereka dijadikan bisu. Percuma punya suara kalau cuma dipakai untuk mengejek orang lain. Tapi, aku tidak berdoa seperti itu. Justru aku cuma mengabaikan dan menganggap bahwa percakapan mereka tak pernah kudengar. Oh ya, sepertinya diamku juga bukan tanpa alasan. Aku memilih untuk diam karena ingat pada kata-kata yang pernah aku baca secara tidak sengaja di dalam buku tulis milik Salsa, adikku. Entah Salsa sendiri yang menciptakannya atau siapa aku tidak tahu. Kira-kira beginilah bunyinya: "Katakan pada sang harimau, gerakkan kakimu secepat mungkin, maka kau akan bisa berlari dengan cepat. Katakan pula pada sang elang, kepakkan sayapmu, maka kau akan terbang. Juga katakan pada siput, teruslah berjalan meski lambat, maka kau akan sampai ke tempat tujuan. Begitulah. Semua makhluk itu punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kamu tidak boleh memaksanya untuk bisa seperti dirimu. Jangan suruh si harimau untuk terbang, karena sampai kiamat pun ia tidak akan pernah bisa melakukannya. Jangan suruh sang elang untuk berlari cepat seperti harimau, karena ia punya caranya tersendiri untuk bergerak cepat. Dan jangan suruh siput untuk bergerak lebih cepat, karena meskipun dia lambat, dia pasti akan mencapai tempat tujuannya." Terlepas dari siapa sang mahakaryanya, tapi kata-kata itu benar-benar sangat bijak. Ada makna yang cukup mendalam daripadanya dan mampu membuat aku tidak terpengaruh atas segala kata ejekan dan cacian dari mulut orang lain. Memang benar, setiap manusia punya cara tersendiri untuk mencapai keberhasilan. Setiap manusia punya kemampuan tersendiri untuk menggapai semua mimpi dan cita-citanya. Tidak ada yang boleh memaksa seseorang untuk harus melakukan ini atau itu dalam usaha menggapainya. Dan dari situ aku juga mengerti. Ibarat aku adalah sang siput, yang penuh dengan kelemahan. Lalu mereka adalah harimau ataupun elang. Bahkan siput yang jalannya lambat pun tetap bisa mencapai tujuan jika ia mau terus-terusan berusaha. Sungguh sebuah tulisan yang sangat memotivasi aku. Memang kala itu hubunganku dengan Shela sudah cukup atau bahkan sangat baik. Sifatku sudah agak terbuka ke dia. Aku yang biasanya tertutup dan tak mau bercerita tentang apapun kepada orang lain, pada hari itu aku kehilangan sifatku yang demikian. Aku bahkan dengan begitu mudahnya menceritakan tentang impianku pada gadis cantik itu. Sebuah hal yang seharusnya sangat tidak ingin aku ceritakan kepada siapapun. *** Ya memang sifat orang itu berbeda-beda. Ada yang baik dan ada juga yang tidak. Ada yang sombong dan suka merendahkan, ada juga yang tidak. Dan parahnya, 90 persen dari orang sombong yang kutemui sepanjang hidupku adalah datang dari orang-orang kaya. Karena itu aku semakin benci kepada mereka. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar kala itu. Setiap kali mendengar sebutan "orang kaya", hal pertama yang terlintas di benakku adalah tentang kesombongan dan cara mereka merendahkan para kaum di bawahnya. Mungkin itu yang disebut trauma. Sepanjang hidupku sudah banyak mengalami hal-hal yang aku benci itu. Hingga aku lupa, bahwa impianku pun pada akhirnya juga bisa saja menjadikanku orang kaya. Ya, orang kaya. Orang yang sangat aku benci kala itu. Jika saja aku sendiri menjadi orang kaya, itu berarti aku harus membenci diriku sendiri. Heh, itu sungguh lucu. Beruntungnya, si gadis iblis berwajah bidadari itu sudah banyak mengingatkan tentang kesalahan yang aku perbuat. Aku tidak tahu harus menceritakan yang mana lagi. Intinya, hampir semuanya sudah Shela ceritakan di buku itu. Hari-hari berlalu dengan cepat, dan di sekolahan neraka itu, aku tetap menjadi seorang manusia hina di mata mereka. Ryan, lelaki bernama Ryan yang juga merupakan teman sekelasku itu, entah kenapa aku merasa dia sangat suka memprovokasi semua orang untuk menjatuhkan aku. Bahkan aku pernah mendengar dia yang menjelek-jelekkan aku pada saat di belakangku. Oh tidak, bukan menjelek-jelekkan. Kurasa itu adalah adu domba. "Nilai ulangan harian Lo jelek ya, tadi," katanya kala itu. Yang ditanyainya adalah Andra, teman sekelasku juga. "Iya, sial banget gue," jawab Andra. "Lah. Padahal udah nyontek, kan?" tanya Ryan. "Ya jelas, lah. Tapi masih buruk juga nilainya," kata si Andra. "Hahaha.... Sebenarnya Lo itu dapat nilai yang bagus," kata Ryan. "Maksud Lo?" tanya Andra. "Coba deh pikir! Lo nyontek buku, lho. Sumber terpercaya. Tapi nilai Lo masih jelek. Pasti ada orang yang sengaja lapor ke Bu Maya dan akhirnya nilai Lo jadi jelek," ucap Ryan. Saat itu perasaanku sudah mulai tidak enak. "Lapor? Siapa?" tanya si Andra lagi. "Ini bukannya nuduh. Tapi si miskin itu, si Daniel maksud gue. Tadi gue lihat dia kayak ngobrol gitu sama Bu Maya, dan gue gak sengaja denger kalau dia nyebut nama Lo di dalam obrolan itu. Gue juga gak tahu apa yang sedang mereka obrolin. Yang pasti nama Lo disebut. Mungkin dia yang melaporkan Lo ke Bu Maya," ucap Ryan. Dan aku langsung mengepalkan tanganku kuat-kuat kala itu. Biar kuperjelas. Saat itu aku tidak sedikitpun bicara ke Bu Maya apalagi sampai melaporkan Andra ke Bu Maya. Bahkan aku juga tidak tahu kalau si Andra itu mencontek. Semuanya murni fitnah, dan aku telah terfitnah oleh lelaki bernama Ryan itu. Oh ya, tentang posisiku sehingga aku secara tidak sengaja bisa mendengar obrolan mereka, kala itu aku sedang berjalan di teras kelas dan kebetulan dua orang itu berbincang-bincang di dalam kelas persis di dekat jendela. Maka dari itu aku bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka perbincangkan. Apa yang diucapkan oleh Ryan itu jelas fitnah. Meskipun aku tahu Andra mencontek, aku tidak akan peduli, apalagi sampai melapor kepada guru.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN